Rabu, 11 Januari 2017

Perlindungan HukumTerhadap Hak-hak Pekerja Rumah Tangga Yang Bekerja Sebagai Pekerja Rumah Tangga Menurut PERMENAKER RI Nomor 2 tahun 2015



Oleh Fitriah
Fakultas Hukum Universitas Palembang
fitriah241171@yahoo.com
          Abstract
The purpose of this study was to determine and explain the forms of legal protection of the rights of domestic workers who work as domestic workers (PRT) and to investigate the role and functions of the Institute Distributors Domestic Workers (LPPRT) according Permenaker No. 2 Year 2015 on Legal protection for Domestic Workers (PRT) the type of research is a normative law, the research done by studying, understanding, and researching materials literature, laws and regulations relating to the subject to be studied. Study the literature was conducted to obtain secondary data that is legal material comprising: 1). Primary legal materials, the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, Law No. 13 of 2003 on Employment, the Book of the Law of Civil Law, Ministerial Regulation No. 2 Year 2015 On Legal Protection for Domestic Workers (PRT) .2) , Secondary law consists of literature that is closely related to the rights of domestic workers who work as domestic workers. The results of scientific research in connection with research materials. 3). Tertiary legal materials, consisting of legal dictionary, large dictionary Indonesian etc. The results showed that As a form of legal protection for Domestic Workers (PRT), Minister of Manpower No. 2 Year 2015 regulates the employment agreement called 'basic rights. Employment Agreement is made in writing or orally that contains rights and obligations and can be understood by both parties and by the Chairman of the Neighborhood or with another name. The employment agreement is valid for a period of 2 (two) years and may be extended or terminated in accordance with the agreement of both parties. The presence of the PRT Channeling Institutions (LPPRT) is an entity that has received written permission from the governor or any officer appointed to recruit and Household Workers (PRT). Given this LPPRT, for domestic workers who channeled by the channeling institution does not incur any expenses, for expenses incurred such as for education and training, taken charge of the PRT. LPPRT required to submit reports every month to the Governor or his representative, and the governor or appointed official report to the Ministry every six months. Supervision and guidance LPPRT conducted by the Governor or his representative, and strengthen the monitoring network to the ward neighborhood association in order to develop and prevention of the emergence of cases of violence against domestic workers, as well as the provision of administrative sanctions to LPPRT that violate the form: written warning, temporary suspension of part or LPPRT entire business activity, and revocation of licenses.

Key Word:  Household Workers
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk perlindungan hukum  terhadap hak-hak pekerja rumah tangga yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) serta untuk mengetahui fungsi dan peranan dari Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga (LPPRT) menurut Permenaker RI Nomor 2 tahun 2015 tentang Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari, memahami, serta meneliti bahan-bahan kepustakaan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan yang akan diteliti. Study kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu bahan hukum yang terdiri :  1). Bahan hukum primer, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan , Kitab Undang-undang Hukum Perdata , PERMENAKER RI Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Hukum   Bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) .2). Bahan hukum sekunder terdiri dari kepustakaan  yang berhubungan erat dengan hak-hak pekerja rumah tangga yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Hasil penelitian ilmiah yang ada kaitannya dengan materi penelitian. 3). Bahan hukum tersier, terdiri dari kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia dll. Hasil penelitian menunjukan bahwa Sebagai bentuk perlindungan hukum  bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT), Permenaker RI  Nomor 2 Tahun 2015  ini mengatur tentang perjanjian kerja yang disebut hak normatif .  Perjanjian Kerja ini di buat secara tertulis atau lisan yang memuat hak dan kewajiban dan dapat dipahami oleh kedua belah pihak serta diketahui oleh Ketua Rukun Tetangga atau dengan sebutan lain. Perjanjian kerja ini berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang atau diakhiri sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Adanya Lembaga Penyalur PRT yang (LPPRT) adalah badan usaha yang telah mendapat izin tertulis dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk untuk merekrut dan menyalurkan  Pekerja Rumah tangga (PRT). Dengan adanya LPPRT ini, bagi PRT yang disalurkan oleh lembaga penyalur tersebut tidak dikenakan beban biaya apapun, karena beban-beban yang dikeluarkan seperti untuk pendidikan dan pelatihan,diambil biaya dari pengguna PRT. LPPRT wajib menyampaikan laporan setiap bulan kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, dan gubernur atau pejabat yang ditunjuk melaporkan kepada Menteri setiap 6 bulan. Pengawasan dan pembinaan LPPRT dilakukan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, dan memperkuat jejaring pengawasan sampai tingkat lingkungan Rukun Tetangga dalam rangka pembinaan dan pencegahan terhadap timbulnya kasus kekerasan terhadap PRT, serta pemberian sanksi administratif kepada LPPRT yang melanggar  berupa :  peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha LPPRT,  dan pencabutan izin.

Kata Kunci : Pekerja Rumah Tangga


I.         PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pekerja Rumah Tangga (PRT) telah ada sejak lama, diperkirakan ada sejak zaman kerajaan, penjajahan,begitu pula sesudah Indonesia merdeka. Saat ini pekerjaan rumah tangga telah berkembang dan mengalami perubahan orientasi dari hubungan kekerabatan menjadi hubungan pekerjaan, apalagi di kota-kota besar keberadaaan pekerja rumah tangga sangat dibutuhkan.[1]
Pekerja Rumah Tangga (PRT) atau sering disebut pembantu rumah tangga adalah bagian dari masyarakat yang tidak berdaya di tengah modernisasi. Pekerja rumah tangga bekerja dalam lingkup rumah tangga yang sangat privat, dimana aturan main di setiap rumah tangga berbeda-beda, sehingga harus bisa mengikuti aturan main dalam keluarga majikan, jika ingin tetap bertahan di rumah tersebut.
PRT melaksanakan tugas-tugas rumah tangga seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah, mengasuh anak majikan dan berbagai tugas lain yang diberikan oleh majikan. Dengan perkataan lain, pekerjaan yang harus dilakukan oleh Pekerja Rumah Tangga (PRT) sangatlah banyak dan bervariasi tergantung dari kehidupan rumah tangga majikan.
Sebagai imbalan atas pekerjaannya Pekerja Rumah Tangga (PRT) menerima upah dari majikan. Besarnya upah tergantung dari perjanjian antara Pekerja Rumah Tangga (PRT) dengan majikan yang seringkali didasarkan pada harga pasaran di suatu wilayah tertentu.
Biasanya pekerja rumah tangga yang bekerja di salurkan oleh teman, tetangga atau bahkan saudaranya sendiri, sehingga tidak memiliki kontrak kerja. Kesepakatan kerja yang terjadi hanya secara lisan disampaikan, dengan saling memahami peran masing-masing. Ketidakjelasan jenis kerja, jam kerja, dan upah yang diterimanya sejak awal menjadi pemicu munculnya berbagai permasalahan. Sementara untuk pekerja rumah tangga yang disalurkan melalui Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga (LPPRT) kontrak kerja, yang terjadi bukan antara pekerja rumah tangga tetapi antara majikan dan penyalur, sehingga pekerja rumah tangga menjadi obyek untuk diperjualbelikan oleh Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga (LPPRT)  yang nakal.
Merubah kata dari pembantu menjadi pekerja adalah suatu hal yang cukup besar artinya bagi pekerja rumah tangga. Sebutan dan penerimaan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai pekerja tentunya akan memberikan status yang baru kepada Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai pekerja formal. Status baru tersebut memungkinkan Pekerja Rumah Tangga (PRT) untuk memperjuangkan haknya secara lebih terbuka.
Dan dalam mengorganisir Pekerja Rumah Tangga (PRT) bukanlah sesuatu yang mudah, mengingat pekerja rumah tangga berada di ranah orang lain. Dimana dan untuk apapun yang akan dilakukan pekerja rumah tangga, dia harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari majikannya.
Memang harus diakui bahwa sampai saat ini keberadaan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai pekerja tidak diterima oleh semua pihak. Pekerja Rumah Tangga (PRT) tidak diakui sebagai tenaga kerja yang sama dengan tenaga kerja lainnya seperti pekerja pabrik, perusahaan, dan lain-lain. Bahkan harus diakui bahwa dewasa ini sebutan sebagai “pekerja” pun belum diterima oleh masyarakat. Pada umumnya masyarakat lebih menerima untuk menyebut Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai “pembantu”. Oleh karena itu, Pekerja Rumah Tangga (PRT) dimasukkan dalam lingkup pekerjaan sektor informal.
Dengan memasukkan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam lingkup sektor informal, perjuangan untuk mendapatkan hak-hak pekerja terbatas. Hal ini karena persoalan-persoalan Pekerja Rumah Tangga (PRT) tidak tercakup dalam ketentuan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan yang berlaku. Pekerja Rumah Tangga (PRT) tidak mendapatkan perlindungan hukum yang menjamin pekerjaan mereka sama seperti rekan-rekan mereka yang bekerja di pabrik, perusahaan, dan lain-lain.[2]/
.Undang-undang tentang ketenagakerjaan (UU No 13 Tahun 2003) mendefinisikan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 butir 3). Berdasarkan pengertian tersebut nampak bahwa seharusnya PRT termasuk dalam pekerja sektor formal yang dilindungi oleh ketentuan undang-undang.[3]
Kelemahan atau kekurangan acuan yuridis ini memberikan dampak bahwa PRT kurang mendapatkan perlindungan hukum. Adanya pengakuan secara sosial dan hukum tentunya akan memudahkan dalam membuat peraturan perundang-undangan yang secara langsung memberikan perlindungan kepada para Pekerja Rumah Tangga (PRT). Maka, acuan yuridis pun menjadi jelas bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pengguna jasa Pekerja Rumah Tangga (PRT) serta masyarakat.
Keberadaan Permenaker RI No.2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan peraturan yang sangat penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada para Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam memperoleh hak-hak mereka dan melaksanakan kewajiban mereka. Tentunya hal ini berlaku juga bagi para pengguna jasa yang mempekerjakan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Kedua belah pihak dapat terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan dalam hubungan kerja di antara Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pengguna jasanya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik mengambil judul:   Perlindungan Hukum Terhadap Hak-hak Pekerja Rumah Tangga Yang Bekerja Sebagai Pekerja Rumah Tangga Menurut PERMENAKER RI Nomor 2 tahun 2015”.

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka  permasalahan dalam penulisan ini adalah : Bagaimanakah  bentuk perlindungan hukum  terhadap hak-hak pekerja rumah tangga yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) menurut Permenaker RI Nomor 2 Tahun 2015  serta apakah fungsi dan peranan dari Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga (LPPRT) menurut Permenaker RI Nomor 2 tahun 2015 tentang Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) .

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk :
a.       Mengetahui dan menjelaskan bentuk perlindungan hukum  terhadap hak-hak pekerja rumah tangga yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) menurut Permenaker RI Nomor 2 Tahun 2015
b.      Mengetahui dan memahami fungsi dan peranan dari Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga (LPPRT) menurut Permenaker RI Nomor 2 tahun 2015 tentang Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT).
D. Metode Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis, seperti buku-buku (kitab), majalah dan jurnal yang berkaitan. Study kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu penelitian bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan ini yang terdiri :
1.    Bahan hukum primer yang meliputi :
a.         Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b.          Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
c.          Kitab Undang-undang Hukum Perdata
d.        PERMENAKER RI Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Hukum   Bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT).
2.    Bahan Hukum Sekunder :
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dalam hal ini hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum yang ada relevansinya dengan topik penelitian ini.
3.    Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan  penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus.
II. PEMBAHASAN
1.    Sejarah Hukum Ketenagakerjaan  Indonesia
Asal mula hukum ketenagakerjaan  di Indonesia terdiri dari beberapa fase jika kita lihat pada abad 120 SM,  ketika bangsa Indonesia sudah mengenal adanya syetem gotong royong  antara anggota masyarakat .  Dimana gotong royong merupakan suatu system pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga yang dimaksudkan untuk mengisi kekurangan tenaga, pada masa sibuk dengan tidak mengenal suatu balas jasa dalam bentuk materi .
Sifat gotong royong ini memiliki nilai luhur dan diyakini membawa kemaslahatan karena berintikan kebaikan , kebijakan, dan hikmah bagi semua orang. Gotong royong ini akhirnya menjadi sumber terbentuknya hukum ketanagakerjaan adat, dimana walaupun peraturannya tidak secara tertulis , namun hukum ketenagakerjaan adat ini merupakan identitas bangsa yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia dan merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa Indonesia dari abad ke abad.
Setelah memasuki abad masehi , ketika sudah mulai berdiri suatu kerajaan di Indonesia hubungan kerja berdasarkan perbudakan , seperi saat jaman kerajaan hindia belanda pada zaman ini terdapat suatu system pengkastaan . antara lain : brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan paria , dimana kasta sudra merupakan kasta paling rendah golongan sudra & paria ini menjadi budakdari kasta brahmana , ksatria , dan waisya mereka hanya menjalankan kewajiban sedangkan hak-haknya dikuasai oleh para majikan.[4]
Pada saat ini, masalah ketenagakerjaan banyak sekali terbentang berbagai kendala dan memerlukan pemecahannya, misalnya terdapat kesenjangan yang semakin membengkak antara jumlah pencari kerja dengan sedikitnya kesempatan kerja yang tersedia, serta kurang tersedianya tenaga terampil dan berpengalaman di bidangnya masing-masing.
Di dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)antara lain menetapkan : “jumlah penduduk yang sangat besar apabila dapat dibina dan dikerahkan sebagai tenaga kerja yang efektif dan merupakan modal pembangunan yang sangat besar dan sangat menguntungkan bagi usaha-usaha pembangunan segala bidang”.[5]
Perkembangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia dibagi dalam tiga masa : [6]
a.    Masa sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945
Sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, pada prinsipnya dapat dibagi dalam tiga periode yaitu masa perbudakan, masa penjajahan Hindia Belanda, dan masa penjajahan Jepang.
1.    Masa Perbudakan
Pada masa perbudakan ini, keadaan Indonesia dapat dikatakan lebih baik dari pada di negara lain, karena telah hidup hukum adat. Pada masa ini, budak adalah milik majikan. Pengertian milik berarti menyangkut perekonomian, serta hidup matinya seseorang. Politi hukum yang berlaku pada masa ini, tergantung pada tingkat kewibawaab penguasa (raja). Contohnya pada tahun 1877, saat matinya    raja Sumba, seratus orang budak dibunuh, agar raja itu di alam baka akan mempunyai cukup pengiring dan pelayan. Contoh lainnya budak yang dimiliki oleh suku Barce Toraja di Sulawesi Selatan Tengah nasibnya lebih baik dengan pekerjaan membantu mengerjakan sawah dan ladang.
2.    Masa Penjajahan Hindia Belanda
Masa ini sebenarnya tidak untuk seluruh wilayah indonesia karena pada saat ini masih ada wilayah kekuasaan raja di daerah yang mempunyai kedaulatan penuh atas daerahnya. Pada masa ini meliputi masa pendudukan Inggris, masa kerja rodi dan masa poenale sanctie. Tahun 1811-1816, saat penddukan Inggris dibawah Thomas Stamford Rafales, ia mendirikan The Java Benevolent Institution yang bertjuan menghapus perbudakan. Cita-cita itu belum sampai terlaksana karena kemudian Inggris ditarik mundur.
Pekerjaan rodi atau kerja paksa dilakukan oleh Hindia Belanda mengingat untuk melancarkan usahanya dalam mengeruk keuntungan rempah-rempah dan perkebunan. Untuk kepentinagan politik imperalismenya, pembangunan sarana dan prasarana dilakukan dengan rodi. Contohnya,Hendrik Willem Deandels (1807-1811) menerapkan kerja paksa untuk pembangunannya jalan dari Anyer ke Panaruakan (Banyuwangi).
Kerja rodi pada saat itu dibagi tiga,yaitu [7] :
a.      Rodi gubernmen (untuk kepentingan gubenemen dan pegawai),
b.      Rodi perorangan (untuk kepentingan kepala desa atau pembesar Indonesia), dan
c.       Rodi desa (untuk kepentingan desa).
Rodi untuk para pembesar dan gubernemen (disebut pancen) sangat memberatkan rakyat karena penetapannya diserahkan kepada mereka. Convention no. 29 Concercing forced or compulsory labour (kerja paksa atau kerja wajib yang diratifikasi pemerintahan Hindia Belanda tahun 1933). Tidak memandang kerja wajib untuk keperluan tentara dan orang lain dalam pekerjaan ketentaraan serta rodi untuk kepentingan desa sebagai yang terlarang.
Selanjutnya menurut Jan Breman ,poenal sanctie diterapkan dengan penerapan Koeli ordonantie serta agrarisch wet dalam melakukan hubungan kerja antara buruh yang bekerja di tanah pertanian dan perkebunan. Politik hukum ketenagakerjaan berkaitan erat dengan politik hukum agraria, mengingat banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di tanah pertanian.
Poenal sanctie itu bertujuan untuk mengikat buruh supaya tidak melarikan diri setelah melakukan kontrak kerja . kontrak kerja saat itu dapat dikatakan semu karena setelah tanda tangan apabila brurh diperlakukan sewenang-wenang tidak dapat mengakhiri hubungan kerja.
Berdasarkan laporan Rhemrev, di luar poenal sancti, masih ada pukulan dan tendangan sesuai kehendak majikan kulit putih guna menanamkan disiplin kepada buruh kulit berwarna. Mencambuk kuli kontrak yang membangkang kadang-kadang sampai mati atau mengikat kuli perempuan di bungalo tuan kebun dan menggososk kemaluannya dengan lada yang ditumbuk halus tidak hanya terdapat di Deli. poenal sanctie berakhir dengan dicabutnya Kuli Ordonatie 1931/1936 dengan staatsblad 1941 No. 514 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1942.
3. Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang dimulai tanggal 12 Maret 1942, pemerintah militer jepang membagi menjadi tiga daerah pendudukan, yaitu Jawa, Madura, dan Sumatera yang dikontrol dari Singapura dan Indonesia Timur. Politik hukum masa penjajahan Jepang, ditetapkan untuk memusatkan diri bagaimana dapat mempertahankan diri dari serangan sekutu, serta menguras habis kekayaan Indonesia untuk keperluan perang Asia Timur Raya. Pada masa ini diterapkan romusya dan kinrohosyi. Romusa adalah tenaga kerja sukarela, kenyataannya adalah kerja paksa yang dikerahkan di Pulau Jawa dan penduduk setempat, yang didatangkan dari Riau sekitar 100.000 orang. Romusya lokal adalah mereka yang dipekerjakan untuk jangka pendek disebut kinrohosyi.
b.      Masa pasca proklamasi 17 Agustus 1945
Sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan Indonesia pada masa pasca proklamasi 17 Agustus 1945, pada prinsipnya dapat dibagi dalam dua periode, yaitu masa pemerintahan Soekarno dan masa pemerintahan Soeharto.
1.        Masa Pemerintahan Soekarno
Pada masa pemerintahan Soekarno tidak banyak terdapat kebijaksanaan tentang ketenagakerjaan mengingat masa itu adalah masa mempertahankan wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari jajahan Hindia Belanda. Di bidang hukum ketenagakerjaan, pemerintah membuat produk hukum sebagaian besar dengan cara menterjemahkan peraturan Hindia Belanda yang dianggap sesuai dengan alam kemerdekaan atau dengan mengadakan perbaikan dan penyesuaian.
Meskipun demikian, produk hukum di masa pemerintahan Soekarno justru lebih menunjukan adanya penerapan teori hukum perundang-undangan yang baik, yaitu hukum yang baik apabila berlaku sampai 40 atau 50 tahun yang akan datang, dari produk hukum yang sekarang ini.
2.        Masa pemerintahan Soeharto
Pada masa pemerintahan Soeharto keadaan Indonesia sudah lebih baik, politik hukum ditekankan pada pembangunan ekonomi. Kesejahteraan nasional akan cepat terwujud apabila pembangunan ekonomi berjalan dengan baik. Untuk mewujudkan suksesnya pembangunan ekonomi tersebut maka diterapkanlah Repelita. Sejalan dengan berkembangnya waktu, dalih pembangunan ekonomi akhirnya menjurus pada tindakan penguasa yang sewenang-wenang.
c.       Masa Pasca Reformasi
Pada masa   pasca reformasi, dibagi menjadi empat masa pemerintahan, yaitu masa pemerintahan Baharudin Jusuf Habibie, masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, masa pemerintahan Megawati dan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
a.                   Masa Pemerintaha  Jusuf Habibie
Di masa pemeritahan BJ Habibie sebagai reaksi adanya reformasi dengan mundurnya Soeharto. Politik hukum dibidang ketenagakerjaan ditekankan pada peningkatan kepercayaan luar negeri kepada Indonesia bahwa Indonesia bahwa Indonesia dapat mengatasi problem negaranya sendiri tanpa menindas Hak Asasi Manusia (HAM) serta mempunyai andil besar dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia.
          Karena tekanan dari luar negeri maka indonesia dengan terpaksa meratifikasi Convention No. 182 Concerning the Immediate Action to Abolish and Eliminate the Worst Forms of Child Labour (tindakan segera untuk menghapus dan mengurangi bentuk-bentuk terburuk pekerja anak diratifikasi dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tanggal 8 Maret 2000). Dengan ratifikasi tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah Indonesia telah mengakui memperlakukan dengan sangat buruk pekerja anak. Selain itu, di masa tahanan ini tahanan politik banyak yang dibebaskan.
b.                  Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), politik hukum ketenagakerjaan tampaknya meneruskan BJ Habibie dengan penerapan demokrasi dezgan adanya UU No. 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/ Serikat Buruh. Sayangnya masyarakat indonesia masih belum matang untuk berdemokrasi, sehingga dengan sangat banyknya jumlah serikat pekerja di Indonesia justru membuat hubungan industrial semakin buruk. Pada masa pemerintahan Gus Dur, ia menciptakan musuh monumental dan beliaulah yang menggiring persatuan tersebut, ketegangan dianggap kemesraan setelah kersahan itu terlewati.
c.                   Masa Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
Pada masa Megawati perkembangan ketenagakerjaan hampir tidak tampak gebrakannya,justru yang banyak adalah kasus ketenagakerjaan yang mengambang dan kurang mendapat perhatian. Contohnya adalah masalah pemulangan TKI dari Malaysia serta revisi dari UU No. 25 Tahun 1997 yang berdasarkan  UU No. 28 Tahun 2000 diundur masa berlakunya hingga 1 Oktober 2003 dan berakhir dengan disahkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tanggal 25 Maret 2003 oleh Megawti Soekarno Putri.
Selain itu, terdapat fenomena menarik, demo yang dilakukan antara buruh bersama-bersama dengan majikan tentang kenaikan tarif dasar telepon, listrik, dan air. Serta penolakan serikat pekerja PT Indosat atau privatisasi BUMN yang dianggap menjual aset negara. Catatan negatif pada masa ini adalah penangkapan aktivis demonstran. Terhadap hal ini ada pandangan yang mengatakan bahwa megawati telah melupakan cara bagaimana ia dapat menduduki kursi kepresidenan dengan melalui demonstrasi.
Politik hukum Megawati yang dapat diraskan langsung dampaknya setelah tragedi bom Bali di dunia ketenagakerjaan adalah banyaknya hari libur. Dampak negatif bom Bali sangat terasa pada perekonomian bangsa. Investor asing banyak yang meninggalkan Indonesia karena tidak terjaminnya keamanan negara ditambah lagi tragedi Bom Marriot. Hal ini ternyata berakibat pada politik hukum ketenagakerjaan Megawati, yaitu memulihkan sektor pariwisata sebagai inti dari peningkatan perekonomian bangsa.
Untuk menunjang pemulihan sektor pariwisata. Perlu kebijaksanaan politik dengan pengalihan hari libur ke hari yang lainnya sebelum dan sesudahnya. Dampak negatif dari banyakanya hari libur ini misalnya, terkesan bangsa Indonesia adalah bangsa yang pemalas bekerja. Lebih menyenangi banyak hari libur nasional.
Di samping itu, dalam hubungan bisnis antarnegara ternyata merepotkan dunia usaha. Di negara lain  bekerja, di Indonesia jatuh hari libur nasional dan hal ini dapat menghambat terjadinya transaksi dagang. Ada kekhawatiran bagaimana seandainya kebijaksanaan pengalihan hari libur ditiadakan sementara masyarakat sudah terbiasa dengan jumlah hari libur yang banyak, apakah tidak mungkin akan mendukung terciptanya etos kerja yang rendah dari bangsa Indonesia semakin parah.     
d.        Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Komitmen terhadap pemberantasan korupsi seharusnya tidak terbatas pada kata-kata saja, akan tetapi harus diwujudkan dalam tindakan dan perilaku yang benar. Dorongan politik dari pemerintahan SBY sangat diperlukan untuk mendukung tindakan dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan dalam memberantas korupsi, apalagi dengan adanya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK saat ini sedang menjadi target, yaitu munculnya kasus Antasari Azhar, yang kemungkinan sebagai alat perseteruan terhadap KPK yang sepak terjangnya mampu mengusik dan mendobrak benteng korupsi di lembaga-lembaga Negara yang ada, baik di Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, pemerintahan sampai DPR. Korupsi adalah tindak kejahatan yang juga extraordinary, sehingga pemberantasan korupsi merupakan tanggung jawab dan diperlukan kerjasama pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, dan seluruh lembaga negara yang ada.
Ada juga masalah lemahnya diplomasi Indonesia dalam menghadapi persoalan-persoalan dengan negara lain baik yang menyangkut nasib warga Negara Indonesia di luar negeri, misalnya TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia, Hongkong, dan Arab Saudi, atau masalah ancaman terhadap wilayah NKRI, masalah hubungan Indonesia dengan Negara terdekat seperti Singapura, Australia, dan Malaysia, serta sikap Indonesia terhadap masalah-masalah Internasional. Hubungan Indonesia dengan Negara-negara lain, apalagi negara terdekat atau negara tetangga, merupakan bagian yang sangat penting dalam rangka eksistensi NKRI di dalam kancah internasional. Eksistensi NKRI dalam dunia Internasional sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan internal Indonesia sendiri, karena itu kekuatan diplomasi Indonesia yang ditunjukkan sekarang pada dasarnya juga menunjukkan kekuatan di dalam Negara Indonesia.
Kasus-kasus yang dialami warga negara di luar negeri ternyata sampai saat ini masih terus terjadi, baik yang menyangkut tindak pidana kekerasan, pelecehan seksual, penganiayaan sampai pembunuhan, maupun yang menyangkut masalah ketenagakerjaan. Hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia terutama di luar negeri dan berkaitan dengan kemampuan diplomasi Indonesia dengan negara lain. Wujud komitmen Indonesia tersebut dapat dilihat dari berbagai kesepakatan yang telah dibuat dan tentunya harus ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan yang tegas dan berani dari pemerintah. Peningkatan daya tawar diplomatik juga harus dilakukan sehubungan dengan makin banyaknya warga negara Indonesia yang mendapat perlakuan tidak manusiawi di luar negeri selain tentunya peningkatan kualitas SDM (sumber daya manusia) misalnya dalam kasus TKI di luar negeri.
Perselisihan antara Indonesia dengan negara tetangga yang menyangkut wilayah negara, di satu sisi memerlukan penyelesaian secara yuridis, akan tetapi lebih diperlukan tindakan diplomatik yang kuat agar Indonesia dapat lebih melindungi diri dari ancaman dan tantangan dari negara sekitarnya. Untuk itu kekuatan atau daya tawar Indonesia harus lebih ditingkatkan melalui korps diplomatik yang kuat dan kompak. Apalagi Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam rangka membentuk dirinya menjadi negara adidaya yang didukung oleh kekuatan alam dan sosial yang beraneka ragam. Diperlukan peningkatan kekuatan baik fisik maupun non-fisik, antara lain yang menyangkut peningkatan SDM yang tidak hanya bisa mengirimkan TKI yang berposisi sebagai PRT (pekerja rumah tangga).[8]
2. Sifat Dan kedudukan Hukum Ketenagakerjaan
          Sifat hukum ketenagakerjaan pada dasarnya adalah masuk dalam lingkup hukum privat. Mengingat bidang-bidang kajian hukum tersebut merupakan satu kesatuan dan tidak mungkin untuk dilakukan pemisahan, maka menjadikan hukum ketenagakerjaan termasuk dalam hukum fungsional yaitu mengandung bidang hukum yang lainnya.[9]
Hukum perburuhan bersifat privat/perdata karena mengatur hubungan antara orang perorangan (pembuatan perjanjian kerja),sedangkan bersifat publik karena pemerintah ikut campur tangan dalam maslah-masalah perburuhan serta adanya sanksi pidana dalam peraturan hukum perburuhan. Bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah adalah membuat peraturan-peraturan yang mengikat buruh dan majikan serta membina dan mengawasi proses hubungan industrial.
Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam tata hukum Indonesia terletak di bidang Hukum Administrasi/Tata Negara, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana. Kedudukan tersebut membawa konsekuensi yuridis bahwa ketentuan peraturan-peraturan hukum ketenagakerjaan haruslah berdasarkan pada teori hukum yang menelaah bidang tersebut.
3. Sumber Hukum Ketenagakerjaan
Yang dimaksud dengan sumber hukum materiil atau lazim disebut sumber isi hukum  ialah kesadaran hukum masyarakat yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat mengenai sesuatu yang seyogyanya atau seharusnya. Profesor Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Sumber Hukum Materiil Hukum Ketenagakerjaan ialah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dimana setiap pembentukan peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan harus merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila.[10]
Sedangkan sumber hukum dalam arti formil merupakan tempat atau sumber dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Sumber formil hukum perburuhan misalnya Undang-undang, Peraturan Pemerintah, kebiasaan, putusan,perjanjian, traktat.
Kebiasaan merupakan kebiasaan manusia yang dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama dan diterima oleh masyarakat, sehingga bilamana ada tindakan yang dirasakan berlawanan dengan kebiasaan tersebut dianggap pelanggaran perasaan hukum. Berkembangnya hukum kebiasaan dalam bidang ketenagakerjaan disebabkan beberapa hal antara lain:
a.     Perkembangan masalah-masalah perburuhan jauh lebih cepat dari perundang-undangan yang ada.
b.    Banyak peraturan yang dibuat zaman Hindia Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan ketenagakerjaan sesudah Indonesia merdeka.
Putusan disini  adalah putusan yang dikeluarkan oleh sebuah panitia yang menangani sengketa-sengketa perburuhan yaitu:  Putusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat),  Putusan P4D ( Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah). Panitia penyelesaian perburuhan sebagai suatu compulsory arbitration (arbitrase wajib) mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan hukum ketenagakerjaan karena peraturan yang ada kurang lengkap atau tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam rangka untuk memperolah keadilan dan kepastian hukum maka dikeluarkanlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial  yang  menggantikan peraturan sebelumnya. Dalam UU No. 2 Tahun 2004 dimungkinkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur yuridis (litigasi) maupun jalur non yuridis (non litigasi) seperti perundingan bipartite, arbitrase, kondisi, serta mediasi.
Perjanjian merupakan peristiwa dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lainnya untuk melaksanakan sesuatu hal, akibatnya pihak-pihak yang bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka adakan. Kaitannya dengan masalah perburuhan, perjanjian yang merupakan sumber hukum perburuhan ialah perjanjian perburuhan dan perjanjian kerja. Prof. Imam Soepomo menegaskan, karena kadang-kadang perjanjian perburuhan mempunyai kekuatan hukum seperti undang-undang.[11]
Traktat ialah perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih. Lazimnya perjanjian Internasional memuat peraturan-peraturan hukum yang mengikat secara umum. Sesuai dengan asas “pacta sunt servanda maka masing-masing Negara sebagai rechtpersoon (publik) terikat oleh perjanjian yang dibuatnya.
Indonesia sebagai anggota ILO  tidak secara otomatis terikat. Sementara itu, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :
a.              Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya pasal (1313, 1338,1320)
b.             UU NO 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
c.              Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 TAHUN 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional.
d.             Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjain Kerja Waktu Tertentu.
e.              Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : KEP.48/MEN/IV/2004 tentang Tata cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan  serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
f.              Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : KEP.261/MEN/XI/2004 tentang Perusahaan yang Wajib Melaksanakan Pelatihan Kerja.
g.             Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : PER.08/MEN/III/2006  tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-48/MEN/IV/2004  tentang Tata cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan  serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
h.             Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia    Nomor PER.22/MEN/IX/2009 Tentang  Penyelenggaraan Pemagangan di dalam Negeri.
i.               Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi RI Nomor: PER.21/MEN/X/2007 tentang Tata cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia .
        4. Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja
Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.[12]/ Di dalam Pasal 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.[13]
Pengertian perjanjian kerja diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dalam Pasal 1601 a KUH Perdata disebutkan kualifikasi agar suatu perjanjian dapat disebut perjanjian kerja. Kualifikasi yang dimaksud adalah adanya pekerjaan, di bawah perintah, waktu tertentu dan adanya upah.[14] Kualifikasi mengenai adanya pekerjaan dan di bawah perintah orang lain menunjukkan hubungan subordinasi atau juga sering dikatakan sebagai hubungan diperatas (dienstverhouding), yaitu pekerjaan yang dilaksanakan pekerja didasarkan pada perintah yang diberikan oleh pengusaha.
Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian kerja dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu [15]/: perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Menururt Subekti, perjanjian kerja di bagi menjadi tiga macam ,yaitu :[16]
1.      Perjanjian perburuhan yang sejati
2.      Perjanjian pekerjaan borongan
3.      Perjanjian pekerjaan pelayanan jasa dan lepasan.
Di dalam perjanjian kerja ada 4 unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya unsure work atau pekerjaan, adanya servis atau pelayanan, adanya unsur time atau waktu tertentu, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Sedangkan perjanjian kerja akan menjadi sah jika memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu : Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, Suatu hal tertentu, Sebab yang halal.[17]
5. Hak dan Kewajiban Pekerja dan Pemberi Kerja
Pada dasarnya hakikat “hak pekerja/buruh merupakan kewajiban pengusaha”, dan sebaliknya “hak pengusaha  merupakan kewajiban pekerja/buruh”.
1. Adapun hak dan Kewajiban Tenaga Kerja yaitu :[18]
a.      Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. (Pasal 5)
b.      Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. (Pasal 6)
c.       Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja. (Pasal 11)
d.       Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja. (Pasal 18)
e.      Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. (Pasal 31)
f.        Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. (Pasal 82) 
g.       Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :  keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86)
h.       Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (Pasal 88)
i.         Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. (Pasal 99)
j.        Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (Pasal 104)
k.       Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
l.        Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat (Pasal 140).
m.    Apabila terjadi PHK, pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1(satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). (pasal 163)
2. Hak dan Kewajiban Pemberi Kerja, yaitu :[19]
a. Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja  yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. (Pasal 35:1)
b. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (Pasal 42:1)
c. Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya. (Pasal 42:6)
d. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. (jasa outsourcing) Pasal 64
e.  Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. (Pasal 93:1)
f. Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesenjangan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. (Pasal 95:1)
g. Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2(dua) tahun sejak timbulnya hak. (Pasal 96)
h. Setiap pengusaha berhak membentuk dan manjadi anggota organisasi pengusaha. (Pasal 105)
i. Menyusun PKB (Pasal 116 :1)
j. Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja selama 40 jam/minggu (Pasal 77) diluar itu pengusaha wajib membayar uang lembur (Pasal 78)
k. Memberikan upah (pasal 88),
l.  Jamsostek (pasal 100)
m.  Mendapatkan laporan mogok kerja dari pekerja (Pasal 140)
n. Terkait mogok kerja, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara ; melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan. (Pasal 140:4)
o. Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.(Pasal 142)
p. Penutupan perusahaan (lock-out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagaian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.(Pasal 146)
q. Menghindari PHK (pasal 153)
r. Pengusaha wajib memberikan THR / Tunjangan Hari Raya kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih . Dasar Hukum pemberian Tunjangan Hari Raya adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor : Per-04/MEN/1994 tanggal 16 September 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan
2. Pengertian  Pekerja Rumah Tangga (PRT)
Pembantu rumah tangga, pekerja rumah tangga (disingkat PRT), asisten rumah tangga atau sering disebut pembantu saja adalah orang yang bekerja di dalam lingkp rumah tangga majikannya. Di Indonesia saat masa penjajahan Belanda, pekerjaan pekerja rumah tangga disebut baboe (dibaca "babu"), sebuah istilah yang kini kerap digunakan sebagai istilah berkonotasi negatif untuk pekerjaan ini.[20]
Pekerja rumah tangga mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak serta menghidangkan makanan, mencuci, membersihkan rumah, dan mengasuh anak-anak. Di beberapa negara, pembantu rumah tangga dapat pula merawat orang lanjut usia yang mengalami keterbatasan fisik. Di beberapa negara, karena adanya kesenjangan ekonomi yang tinggi dan minimnya kesempatan kerja, sebuah keluarga kelas menengah 'urban' sanggup memperkerjakan "pembantu seumur hidup". Banyak negara mendatangkan pekerja rumah tangga dari luar negeri. Negara semacam itu termasuk kebanyakan negara di Timur Tengah, Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Sumber utama pekerja rumah tangga mencakup Filipina, Thailand, Indonesia, Sri Lanka, dan Ethiopia. Taiwan juga mendatangkan pekerja rumah tangga dari Vietnam dan Mongolia.
Di dalam Pasal  1, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI, Nomor 2 Tahun 2015  Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang dimaksud dengan Pekerja Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat PRT adalah : “orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain”. Pekerjaan kerumahtanggaan adalah pekerjaan yang dilakukan dalam lingkup dan kepentingan rumah tangga.    [21]
Pembantu rumah tangga adalah suatu posisi pekerjaan dalam kehidupan yang  bersifat temporer dalam artian kehadiran pembantu rumah tangga bukan suatu hal yang mutlak dalam suatu keluarga, namun kehadiran pembantu rumah tangga pada satu sisi dapat dikatakan penting karena bagi sebahagian keluarga,dimana ibu dan ayah masing-masing memiliki pekerjaan dan perlu bantuan pihak lain untuk membantu dalam pekerjaan rumah tangga.
Pada awalnya pembantu rumah tangga dapat dilihat sekilas dari proses
perkembagan kebudayaan di Indonesia pada umumnya, seperti dalam kebudayaan Keraton Jawa, dimana dalam suatu keluarga yang terdiri ayah, ibu dan anak memiliki seorang pengasuh yang bekerja tidak hanya sekedar mengasuh dan menjaga anak selama kedua orangtua bekerja,melainkan juga memiliki pekerjaan memasak mencuci dan lain sebagainya, pada bentuk kebudayaan lainnya posisi pengasuh juga memiliki arti penting dalam keluarga .
Seiring perkembangan zaman, secara harfiah kata pengasuh tidak relevan lagi karena terbatas pada artian mengasuh sehingga perkataan pengasuh bergeser pada penggunaan kata pembantu yang berkonotasi sebagai individu yang memiliki pekerjaan membantu dalam suatu keluarga dengan jenis pekerjaan yang berbeda-beda. Pekerjaan pembantu rumah tangga pada awal perkembangannya merupakan suatu posisi pekerjaan yang diisi oleh individu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga yang menggunakan jasanya dengan harapan agar timbul rasa kepercayaan yang tinggi karena posisi kerja pembantu rumah tangga adalah posisi kerja yang memerlukan tingkat kepercayaan tinggi.
Pada saat sekarang ini pembantu rumah tangga tidak hanya terbatas pada suatu kemampuan dalam tingkat bekerja secara sederhana, seperti mencuci,memasak dan menjaga rumah, melainkan sudah menjadi kompleks dengan munculnya kebutuhan-kebutuhan dalam keluarga. Permintaan terhadap pembantu rumah tangga juga meningkat tajam seiring kehidupan masyarakat perkotaan yang kompleks dan membutuhkan ketepatan waktu yang tinggi, untuk menyiasati hal tersebut diperlukan individu yang dapat membantu dalam hal pekerjaan rumah tangga, hal ini ditandai dengan munculnya agen-agen penyalur rumah tangga hingga pada pengiriman pembantu rumah tangga dengan label tenaga kerja ke luar negeri. Pekerjaan pembantu rumah tangga pada saat sekarang ini sudah mengalami pergeseran menjadi suatu pekerjaan yang pada awalnya mengisi ruang privat keluarga menjadi ruang publik dengan artian individu yang menjadi pembantu rumah tangga tidak lagi diisi oleh individu yang memiliki hubungan kekerabatan melainkan individu yang memiliki keahlian khusus dalam pekerjaan rumah tangga.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Menjadi Pekerja Rumah Tangga  (PRT)
Adapun faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi  seseorang menjadi pekerja rumah tangga adaa.
a.    Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang mendasar yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia dewasa ini. Hal tersebut ditandai dengan adanya berbagai kekurangan dan ketidakberdayaan masyarakat miskin. Berbagai kekurangan dan ketidakberdayaan tersebut disebabkan baik faktor internal maupun eksternal yang membelenggu, seperti adanya keterbatasan untuk memelihara dirinya sendiri, tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhanya. Dengan begitu, segala aktivitas yang mereka lakukan untuk meningkatkan hidupnya sangat sulit.
b.    Kurangnya Hak dan Kesempatan untuk Memperoleh Pekerjaan
Bekerja adalah melakukan kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Pekerjaan dalam arti luas adalah aktifitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau suatu kerja untuk menghasilkan uang bagi seseorang. Jumlah tenaga kerja selalu bertambah seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, namun hal ini tidak diikuti dengan penyerapan tenaga kerja yang memadai.
c.    Kurangnya Tanggung Jawab Suami Dalam Mensejahterakan Keluarga
Kedudukan suami isteri dan orang tua ditentukan oleh kewajiban-kewajiban di dalam keluarga atau masyarakat luas. Dengan menentukan pekerjaan-pekerjaan tertentu pada kepala keluarga di dalam rumah tangga. Mencari nafkah bagi keluarga adalah tanggung jawab seorang suami atas keluarganya.
d.   Rendahnya Jenjang Pendidikan Suami-istri
Rendahnya jenjang pendidikan suami maupun istri juga berpengaruh terhadap banyaknya minat masyarakat untuk bekerja  sebagai PRT, karena pada umumnya masyarakat kalangan bawah hanya bisa menikmati bangku sekolah sampai Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP).
e.    Motivasi Kerja  Kaum Wanita untuk Mensejahterakan Keluarganya
Salah satu faktor mengapa wanita bekerja sebagai pekerja rumah tangga yaitu karena motivasi kerja dari diri  wanita tersebut. Mereka mempunyai dorongan untuk bekerja karena mempunyai keinginan atau kebutuhan untuk memperoleh apa yang ia inginkan yaitu memperoleh uang untuk membantu suami dalam mencari nafkah demi merubah nasib perekonomian keluarganya agar dapat hidup sejahtera.
III. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan :
1.      Sebagai bentuk perlindungan hukum  bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT), Permenaker RI  Nomor 2 Tahun 2015  ini mengatur tentang perjanjian kerja yang disebut hak normatif .  Perjanjian Kerja ini di buat secara tertulis atau lisan yang memuat hak dan kewajiban dan dapat dipahami oleh kedua belah pihak serta diketahui oleh Ketua Rukun Tetangga atau dengan sebutan lain. Perjanjian kerja ini berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang atau diakhiri sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2.      Lembaga Penyalur PRT yang selanjutnya disingkat LPPRT adalah badan usaha yang telah mendapat izin tertulis dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk untuk merekrut dan menyalurkan  Pekerja Rumah tangga (PRT). Dengan adanya LPPRT ini, bagi PRT yang disalurkan oleh lembaga penyalur tersebut tidak dikenakan beban biaya apapun, karena beban-beban yang dikeluarkan seperti untuk pendidikan dan pelatihan,diambil biaya dari pengguna PRT. LPPRT wajib menyampaikan laporan setiap bulan kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, dan gubernur atau pejabat yang ditunjuk melaporkan kepada Menteri setiap 6 bulan.
Pengawasan dan pembinaan LPPRT dilakukan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, dan memperkuat jejaring pengawasan sampai tingkat lingkungan rukun tetangga dalam rangka pembinaan dan pencegahan terhadap timbulnya kasus kekerasan terhadap PRT, serta pemberian sanksi administratif kepada LPPRT yang melanggar  berupa :  peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha LPPRT,  dan pencabutan izin.
DAFTAR PUSTAKA
. Sumber Buku :
Abdulkadir Muhammad, Hukum & Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta,2009
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV.Mandar Maju, Bandung, 2008
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Imam Soepomo, Rachmat ,Pengantar Hukum Perburuhan, jakarata,  Djambatan  2003
PNH Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum perdata Indonesia, Djambatan ,Jakarta, 2005
R Gunawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum perburuhan di Indonesia, Grhadika Binangkit Press,Jakarta, 2004
Soerjono Soekamto dkk, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Syarief Darmoyo & Rianto Adi, Trafiking Anak untuk Pekerja Rumah Tangga, Jakarta,2000.
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum perikatan Dalam Islam,Pustaka Setia, Bandung, 2011
Zainal Asikin, Dasar-dasar Hukum perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
. Sumber Perundang-undangan :
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Permenaker RI Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT)
. Situs Internet :
https// studihukum.wordpress.com.sejarah hukum ketenagakerjaan
   http//www.ocw.usu.ac.id.perkembangan hukum ketenagakerjaan
  Santriuniversitas.blogspot.com.kerja rodi
linabr3.blogspot.com/.../kondisi-perekonomian-indo
http://www.wikipedia.or.id/pembantu_rumah_tangga
















[1]  http://www.gajimu.com, diakses tanggal 12 Maret 2015
[2]/ Syarief Darmoyo & Rianto Adi, Trafiking Anak untuk Pekerja Rumah Tangga, Jakarta,2000. hal 6
[3]/  UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Pasal 1(3))
[4]  https// studihukum.wordpress.com, diakses tanggal 23 Maret 2015
[5]  Djumadi, Hukum Perburuhan Kerja, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,2004,hal.4
[6]  http//www.ocw.usu.ac.id, diakses tanggal, 26 Maret 2015
[7] / Santriuniversitas.blogspot.com, diakses tanggal 30 maret 2015
[8]  linabr3.blogspot.com/.../kondisi-perekonomian-indo..diakses tanggal 1 April 2015
[9] Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta,2009,hal.12
[10]  Imam Soepomo, Rachmat ,Pengantar Hukum Perburuhan, jakarata,  Djambatan 2003, hal 13
[11] Ibid, hal 24
[12]  Ibid ,hal.88
[13]  Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2003 (Pasal 50)
[14] R Gunawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum perburuhan di Indonesia, Grhadika Binangkit Press,Jakarta, 2004, hal. 15.
[15]  UU RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[16] Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum perikatan Dalam Islam,Pustaka Setia, Bandung, 2011,hal.92
[17]  PNH Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum perdata Indonesia, Djambatan ,Jakarta, 2005,hal.334
[18]  UU RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
[19] UU RI Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[20]  www.wikipedia.or.id /pembantu_rumah_tangga /diakses pada  2 April 2015.
[21]  PERMENAKER RI NOMOR 2 TAHUN 2015 (Pasal 1)

1 komentar:

  1. Assalamualaikum,, saudaraku semua yg ada diperantauwan. Izinkan sy berbagi cerita disini siapa tau dapat bermanfaat.. sy seorang mantan TKW dulu kerja di Taiwan pikir-pikir kurang lebih 5 tahun kerja jd Tkw di taiwan hanya jeritan batin dan tetes air mata ini selalu mengharap tpi tdk ada hasil memuaskan. Mana lagi dapat majikanku galak, kejam, cerewet, salah sedikit kena marah lagi . Tiap bulan dapat gaji hanya separoh saja . . itu pun tdk cukup biaya anak di kampung. Tapi setelah sy melihat crta teman sy yg dulu kerja di Singapura di beranda FB tentang kyai haji Abdul salam akhirnya sy tertarik meminta bantuan sama beliau.. Alhamdulillah berkat bantuan kyai haji Abdul salam melalui dana gaib sy bisa balik kampung dan sekarang sy sudah punya usaha sendiri.. Bagi saudara(i) yakin dan percaya ingin seperti sy slhkan hub kyai haji Abdul salam di no WhatsApp 085'298'892'338 atau bisa kunjungi situs resmi beliau di www.programdanagaib.com atau klik DISINI semoga pesan sy ini bisa bermanfaat terima kasih...

    Salam satu jiwa

    BalasHapus