Oleh
Fitriah
Fakultas
Hukum Universitas Palembang
fitriah241171@yahoo.com
Abstract
The purpose
of this study was to determine and explain the forms of legal protection of the
rights of domestic workers who work as domestic workers (PRT) and to
investigate the role and functions of the Institute Distributors Domestic
Workers (LPPRT) according Permenaker No. 2 Year 2015 on Legal protection for
Domestic Workers (PRT) the type of research is a normative law, the research
done by studying, understanding, and researching materials literature, laws and
regulations relating to the subject to be studied. Study the literature was
conducted to obtain secondary data that is legal material comprising: 1).
Primary legal materials, the Constitution of the Republic of Indonesia Year
1945, Law No. 13 of 2003 on Employment, the Book of the Law of Civil Law,
Ministerial Regulation No. 2 Year 2015 On Legal Protection for Domestic Workers
(PRT) .2) , Secondary law consists of literature that is closely related to the
rights of domestic workers who work as domestic workers. The results of
scientific research in connection with research materials. 3). Tertiary legal
materials, consisting of legal dictionary, large dictionary Indonesian etc. The
results showed that As a form of legal protection for Domestic Workers (PRT),
Minister of Manpower No. 2 Year 2015 regulates the employment agreement called
'basic rights. Employment Agreement is made in writing or orally that contains
rights and obligations and can be understood by both parties and by the
Chairman of the Neighborhood or with another name. The employment agreement is
valid for a period of 2 (two) years and may be extended or terminated in
accordance with the agreement of both parties. The presence of the PRT
Channeling Institutions (LPPRT) is an entity that has received written
permission from the governor or any officer appointed to recruit and Household
Workers (PRT). Given this LPPRT, for domestic workers who channeled by the
channeling institution does not incur any expenses, for expenses incurred such
as for education and training, taken charge of the PRT. LPPRT required to submit
reports every month to the Governor or his representative, and the governor or
appointed official report to the Ministry every six months. Supervision and
guidance LPPRT conducted by the Governor or his representative, and strengthen
the monitoring network to the ward neighborhood association in order to develop
and prevention of the emergence of cases of violence against domestic workers,
as well as the provision of administrative sanctions to LPPRT that violate the
form: written warning, temporary suspension of part or LPPRT entire business
activity, and revocation of licenses.
Key
Word: Household Workers
Abstrak
Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja rumah tangga yang
bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) serta untuk mengetahui fungsi dan
peranan dari Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga (LPPRT) menurut Permenaker
RI Nomor 2 tahun 2015 tentang Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga
(PRT) Adapun jenis
penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara mempelajari, memahami, serta meneliti bahan-bahan kepustakaan, peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan yang akan diteliti. Study
kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu bahan hukum yang
terdiri : 1). Bahan hukum primer, Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan , Kitab Undang-undang Hukum Perdata , PERMENAKER RI
Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Hukum
Bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) .2). Bahan hukum sekunder terdiri dari
kepustakaan yang berhubungan erat dengan
hak-hak pekerja rumah tangga yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Hasil
penelitian ilmiah yang ada kaitannya dengan materi penelitian. 3). Bahan hukum
tersier, terdiri dari kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia dll. Hasil
penelitian menunjukan bahwa Sebagai bentuk perlindungan hukum bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT),
Permenaker RI Nomor 2 Tahun 2015 ini mengatur tentang perjanjian kerja yang
disebut hak normatif . Perjanjian Kerja ini di buat secara tertulis atau lisan
yang memuat hak dan kewajiban dan dapat
dipahami oleh kedua belah pihak serta diketahui
oleh Ketua Rukun Tetangga atau dengan sebutan lain. Perjanjian kerja ini
berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang atau diakhiri
sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Adanya Lembaga Penyalur PRT yang
(LPPRT) adalah badan usaha yang telah mendapat izin tertulis dari Gubernur atau
pejabat yang ditunjuk untuk merekrut dan menyalurkan Pekerja Rumah tangga (PRT). Dengan
adanya LPPRT ini, bagi PRT yang disalurkan oleh lembaga penyalur tersebut tidak
dikenakan beban biaya apapun, karena beban-beban yang dikeluarkan seperti untuk
pendidikan dan pelatihan,diambil biaya dari pengguna PRT. LPPRT wajib menyampaikan laporan setiap bulan kepada
Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, dan gubernur atau pejabat yang ditunjuk
melaporkan kepada Menteri setiap 6 bulan. Pengawasan dan pembinaan LPPRT
dilakukan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, dan memperkuat jejaring
pengawasan sampai tingkat lingkungan Rukun Tetangga dalam rangka pembinaan dan
pencegahan terhadap timbulnya kasus kekerasan terhadap PRT, serta pemberian sanksi
administratif kepada LPPRT yang melanggar
berupa : peringatan tertulis,
penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha LPPRT, dan pencabutan izin.
Kata
Kunci : Pekerja Rumah Tangga
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pekerja
Rumah Tangga (PRT) telah ada sejak lama, diperkirakan ada sejak zaman kerajaan,
penjajahan,begitu pula sesudah Indonesia merdeka. Saat ini pekerjaan rumah
tangga telah berkembang dan mengalami perubahan orientasi dari hubungan
kekerabatan menjadi hubungan pekerjaan, apalagi di kota-kota besar keberadaaan
pekerja rumah tangga sangat dibutuhkan.[1]
Pekerja
Rumah Tangga (PRT) atau sering disebut pembantu rumah tangga adalah bagian dari
masyarakat yang tidak berdaya di tengah modernisasi. Pekerja rumah tangga
bekerja dalam lingkup rumah tangga yang sangat privat, dimana aturan main di
setiap rumah tangga berbeda-beda, sehingga harus bisa mengikuti aturan main
dalam keluarga majikan, jika ingin tetap bertahan di rumah tersebut.
PRT
melaksanakan tugas-tugas rumah tangga seperti mencuci, memasak, membersihkan
rumah, mengasuh anak majikan dan berbagai tugas lain yang diberikan oleh
majikan. Dengan perkataan lain, pekerjaan yang harus dilakukan oleh Pekerja
Rumah Tangga (PRT) sangatlah banyak dan bervariasi tergantung dari kehidupan
rumah tangga majikan.
Sebagai
imbalan atas pekerjaannya Pekerja Rumah Tangga (PRT) menerima upah dari
majikan. Besarnya upah tergantung dari perjanjian antara Pekerja Rumah Tangga (PRT)
dengan majikan yang seringkali didasarkan pada harga pasaran di suatu wilayah
tertentu.
Biasanya
pekerja rumah tangga yang bekerja di salurkan oleh teman, tetangga atau bahkan
saudaranya sendiri, sehingga tidak memiliki kontrak kerja. Kesepakatan kerja
yang terjadi hanya secara lisan disampaikan, dengan saling memahami peran
masing-masing. Ketidakjelasan jenis kerja, jam kerja, dan upah yang diterimanya
sejak awal menjadi pemicu munculnya berbagai permasalahan. Sementara untuk
pekerja rumah tangga yang disalurkan melalui Lembaga Penyalur Pekerja Rumah
Tangga (LPPRT) kontrak kerja, yang terjadi bukan antara pekerja rumah tangga
tetapi antara majikan dan penyalur, sehingga pekerja rumah tangga menjadi obyek
untuk diperjualbelikan oleh Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga (LPPRT) yang nakal.
Merubah
kata dari pembantu menjadi pekerja adalah suatu hal yang cukup besar artinya
bagi pekerja rumah tangga. Sebutan dan penerimaan Pekerja Rumah Tangga (PRT)
sebagai pekerja tentunya akan memberikan status yang baru kepada Pekerja Rumah
Tangga (PRT) sebagai pekerja formal. Status baru tersebut memungkinkan Pekerja
Rumah Tangga (PRT) untuk memperjuangkan haknya secara lebih terbuka.
Dan
dalam mengorganisir Pekerja Rumah Tangga (PRT) bukanlah sesuatu yang mudah,
mengingat pekerja rumah tangga berada di ranah orang lain. Dimana dan untuk apapun
yang akan dilakukan pekerja rumah tangga, dia harus mendapatkan ijin terlebih
dahulu dari majikannya.
Memang
harus diakui bahwa sampai saat ini keberadaan Pekerja Rumah Tangga (PRT)
sebagai pekerja tidak diterima oleh semua pihak. Pekerja Rumah Tangga (PRT)
tidak diakui sebagai tenaga kerja yang sama dengan tenaga kerja lainnya seperti
pekerja pabrik, perusahaan, dan lain-lain. Bahkan harus diakui bahwa dewasa ini
sebutan sebagai “pekerja” pun belum diterima oleh masyarakat. Pada umumnya
masyarakat lebih menerima untuk menyebut Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai
“pembantu”. Oleh karena itu, Pekerja Rumah Tangga (PRT) dimasukkan dalam
lingkup pekerjaan sektor informal.
Dengan
memasukkan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam lingkup sektor informal, perjuangan
untuk mendapatkan hak-hak pekerja terbatas. Hal ini karena persoalan-persoalan Pekerja
Rumah Tangga (PRT) tidak tercakup dalam ketentuan perundang-undangan mengenai
ketenagakerjaan yang berlaku. Pekerja Rumah Tangga (PRT) tidak mendapatkan
perlindungan hukum yang menjamin pekerjaan mereka sama seperti rekan-rekan
mereka yang bekerja di pabrik, perusahaan, dan lain-lain.[2]/
.Undang-undang
tentang ketenagakerjaan (UU No 13 Tahun 2003) mendefinisikan pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain (Pasal 1 butir 3). Berdasarkan pengertian tersebut nampak bahwa seharusnya
PRT termasuk dalam pekerja sektor formal yang dilindungi oleh ketentuan
undang-undang.[3]
Kelemahan
atau kekurangan acuan yuridis ini memberikan dampak bahwa PRT kurang
mendapatkan perlindungan hukum. Adanya pengakuan secara sosial dan hukum tentunya akan
memudahkan dalam membuat peraturan perundang-undangan yang secara langsung
memberikan perlindungan kepada para Pekerja Rumah Tangga (PRT). Maka, acuan
yuridis pun menjadi jelas bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pengguna jasa Pekerja
Rumah Tangga (PRT) serta masyarakat.
Keberadaan Permenaker
RI No.2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT)
merupakan peraturan yang sangat penting untuk memberikan jaminan kepastian
hukum kepada para Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam memperoleh hak-hak mereka
dan melaksanakan kewajiban mereka. Tentunya hal ini berlaku juga bagi para
pengguna jasa yang mempekerjakan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Kedua belah pihak
dapat terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan dalam hubungan kerja di antara Pekerja
Rumah Tangga (PRT) dan pengguna jasanya.
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis tertarik mengambil judul: Perlindungan Hukum Terhadap Hak-hak Pekerja
Rumah Tangga Yang Bekerja Sebagai Pekerja Rumah Tangga Menurut PERMENAKER RI
Nomor 2 tahun 2015”.
B.
Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka
permasalahan dalam penulisan ini adalah : Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja rumah tangga yang
bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) menurut Permenaker RI Nomor 2 Tahun
2015 serta apakah fungsi dan peranan
dari Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga (LPPRT) menurut Permenaker RI Nomor
2 tahun 2015 tentang Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) .
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dilakukan
dalam rangka untuk :
a.
Mengetahui dan menjelaskan bentuk perlindungan hukum
terhadap hak-hak pekerja rumah tangga yang bekerja sebagai Pekerja Rumah
Tangga (PRT) menurut Permenaker RI Nomor 2 Tahun 2015
b.
Mengetahui dan memahami fungsi dan
peranan dari Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga (LPPRT) menurut Permenaker
RI Nomor 2 tahun 2015 tentang Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga
(PRT).
D. Metode
Penelitian
Adapun
jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian dengan
cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis, seperti buku-buku (kitab),
majalah dan jurnal yang berkaitan. Study kepustakaan ini dilakukan untuk
memperoleh data sekunder yaitu penelitian bahan pustaka yang berkaitan dengan
permasalahan ini yang terdiri :
1.
Bahan hukum primer yang meliputi :
a.
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
b.
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
c.
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata
d.
PERMENAKER RI Nomor 2 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah
Tangga (PRT).
2. Bahan
Hukum Sekunder :
Bahan hukum sekunder adalah bahan
hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dalam hal ini
hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum yang ada relevansinya
dengan topik penelitian ini.
3.
Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier adalah bahan-bahan
hukum yang memberikan penjelasan tentang
bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus.
II.
PEMBAHASAN
1.
Sejarah
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Asal
mula hukum ketenagakerjaan di Indonesia
terdiri dari beberapa fase jika kita lihat pada abad 120 SM, ketika bangsa Indonesia sudah mengenal adanya
syetem gotong royong antara anggota
masyarakat . Dimana gotong royong
merupakan suatu system pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan
keluarga yang dimaksudkan untuk mengisi kekurangan tenaga, pada masa sibuk
dengan tidak mengenal suatu balas jasa dalam bentuk materi .
Sifat
gotong royong ini memiliki nilai luhur dan diyakini membawa kemaslahatan karena
berintikan kebaikan , kebijakan, dan hikmah bagi semua orang. Gotong royong ini
akhirnya menjadi sumber terbentuknya hukum ketanagakerjaan adat, dimana
walaupun peraturannya tidak secara tertulis , namun hukum ketenagakerjaan adat
ini merupakan identitas bangsa yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia
dan merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa Indonesia dari abad ke abad.
Setelah
memasuki abad masehi , ketika sudah mulai berdiri suatu kerajaan di Indonesia
hubungan kerja berdasarkan perbudakan , seperi saat jaman kerajaan hindia
belanda pada zaman ini terdapat suatu system pengkastaan . antara lain :
brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan paria , dimana kasta sudra merupakan
kasta paling rendah golongan sudra & paria ini menjadi budakdari kasta
brahmana , ksatria , dan waisya mereka hanya menjalankan kewajiban sedangkan
hak-haknya dikuasai oleh para majikan.[4]
Pada
saat ini, masalah ketenagakerjaan banyak sekali terbentang berbagai kendala dan
memerlukan pemecahannya, misalnya terdapat kesenjangan yang semakin membengkak
antara jumlah pencari kerja dengan sedikitnya kesempatan kerja yang tersedia,
serta kurang tersedianya tenaga terampil dan berpengalaman di bidangnya masing-masing.
Di dalam
TAP MPR Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)antara
lain menetapkan : “jumlah penduduk yang sangat besar apabila dapat dibina dan
dikerahkan sebagai tenaga kerja yang efektif dan merupakan modal pembangunan yang
sangat besar dan sangat menguntungkan bagi usaha-usaha pembangunan segala
bidang”.[5]
Perkembangan
hukum ketenagakerjaan di Indonesia dibagi dalam tiga masa : [6]
a.
Masa
sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945
Sejarah perkembangan hukum
ketenagakerjaan di Indonesia sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, pada
prinsipnya dapat dibagi dalam tiga periode yaitu masa perbudakan, masa
penjajahan Hindia Belanda, dan masa penjajahan Jepang.
1. Masa
Perbudakan
Pada
masa perbudakan ini, keadaan Indonesia dapat dikatakan lebih baik dari pada di
negara lain, karena telah hidup hukum adat. Pada masa ini, budak adalah milik
majikan. Pengertian milik berarti menyangkut perekonomian, serta hidup matinya
seseorang. Politi hukum yang berlaku pada masa ini, tergantung pada tingkat
kewibawaab penguasa (raja). Contohnya pada tahun 1877, saat matinya raja Sumba, seratus orang budak dibunuh,
agar raja itu di alam baka akan mempunyai cukup pengiring dan pelayan. Contoh
lainnya budak yang dimiliki oleh suku Barce Toraja di Sulawesi Selatan Tengah
nasibnya lebih baik dengan pekerjaan membantu mengerjakan sawah dan ladang.
2. Masa
Penjajahan Hindia Belanda
Masa ini sebenarnya tidak untuk
seluruh wilayah indonesia karena pada saat ini masih ada wilayah kekuasaan raja
di daerah yang mempunyai kedaulatan penuh atas daerahnya. Pada masa ini
meliputi masa pendudukan Inggris, masa kerja rodi dan masa poenale sanctie.
Tahun 1811-1816, saat penddukan Inggris dibawah Thomas Stamford Rafales, ia
mendirikan The Java Benevolent Institution yang bertjuan menghapus
perbudakan. Cita-cita itu belum sampai terlaksana karena kemudian Inggris
ditarik mundur.
Pekerjaan rodi atau kerja paksa dilakukan oleh
Hindia Belanda mengingat untuk melancarkan usahanya dalam mengeruk keuntungan
rempah-rempah dan perkebunan. Untuk kepentinagan politik imperalismenya,
pembangunan sarana dan prasarana dilakukan dengan rodi. Contohnya,Hendrik
Willem Deandels (1807-1811) menerapkan kerja paksa untuk pembangunannya jalan
dari Anyer ke Panaruakan (Banyuwangi).
Kerja rodi pada saat itu dibagi
tiga,yaitu [7] :
a.
Rodi gubernmen (untuk
kepentingan gubenemen dan pegawai),
b.
Rodi perorangan (untuk kepentingan
kepala desa atau pembesar Indonesia), dan
c.
Rodi desa (untuk kepentingan desa).
Rodi untuk para pembesar dan gubernemen (disebut
pancen) sangat memberatkan rakyat karena penetapannya diserahkan kepada mereka.
Convention no. 29 Concercing forced or compulsory labour (kerja paksa
atau kerja wajib yang diratifikasi pemerintahan Hindia Belanda tahun 1933).
Tidak memandang kerja wajib untuk keperluan tentara dan orang lain dalam
pekerjaan ketentaraan serta rodi untuk kepentingan desa sebagai yang terlarang.
Selanjutnya menurut Jan Breman ,poenal
sanctie diterapkan dengan penerapan Koeli ordonantie serta agrarisch
wet dalam melakukan hubungan kerja antara buruh yang bekerja di tanah
pertanian dan perkebunan. Politik hukum ketenagakerjaan berkaitan erat dengan
politik hukum agraria, mengingat banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di
tanah pertanian.
Poenal sanctie itu bertujuan
untuk mengikat buruh supaya tidak melarikan diri setelah melakukan kontrak
kerja . kontrak kerja saat itu dapat dikatakan semu karena setelah tanda tangan
apabila brurh diperlakukan sewenang-wenang tidak dapat mengakhiri hubungan
kerja.
Berdasarkan laporan Rhemrev, di
luar poenal sancti, masih ada pukulan dan tendangan sesuai kehendak
majikan kulit putih guna menanamkan disiplin kepada buruh kulit berwarna.
Mencambuk kuli kontrak yang membangkang kadang-kadang sampai mati atau mengikat
kuli perempuan di bungalo tuan kebun dan menggososk kemaluannya dengan lada
yang ditumbuk halus tidak hanya terdapat di Deli. poenal sanctie
berakhir dengan dicabutnya Kuli Ordonatie 1931/1936 dengan staatsblad
1941 No. 514 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1942.
3. Masa
Pendudukan Jepang
Pada masa
pendudukan Jepang dimulai tanggal 12 Maret 1942, pemerintah militer jepang
membagi menjadi tiga daerah pendudukan, yaitu Jawa, Madura, dan Sumatera yang
dikontrol dari Singapura dan Indonesia Timur. Politik hukum masa penjajahan
Jepang, ditetapkan untuk memusatkan diri bagaimana dapat mempertahankan diri
dari serangan sekutu, serta menguras habis kekayaan Indonesia untuk keperluan
perang Asia Timur Raya. Pada masa ini diterapkan romusya dan kinrohosyi.
Romusa adalah tenaga kerja sukarela, kenyataannya adalah kerja paksa yang
dikerahkan di Pulau Jawa dan penduduk setempat, yang didatangkan dari Riau
sekitar 100.000 orang. Romusya lokal adalah mereka yang dipekerjakan
untuk jangka pendek disebut kinrohosyi.
b.
Masa
pasca proklamasi 17 Agustus 1945
Sejarah
perkembangan hukum ketenagakerjaan Indonesia pada masa pasca proklamasi 17
Agustus 1945, pada prinsipnya dapat dibagi dalam dua periode, yaitu masa
pemerintahan Soekarno dan masa pemerintahan Soeharto.
1.
Masa Pemerintahan Soekarno
Pada masa
pemerintahan Soekarno tidak banyak terdapat kebijaksanaan tentang
ketenagakerjaan mengingat masa itu adalah masa mempertahankan wilayah Negara
kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari jajahan Hindia Belanda. Di bidang hukum
ketenagakerjaan, pemerintah membuat produk hukum sebagaian besar dengan cara
menterjemahkan peraturan Hindia Belanda yang dianggap sesuai dengan alam
kemerdekaan atau dengan mengadakan perbaikan dan penyesuaian.
Meskipun
demikian, produk hukum di masa pemerintahan Soekarno justru lebih menunjukan
adanya penerapan teori hukum perundang-undangan yang baik, yaitu hukum yang
baik apabila berlaku sampai 40 atau 50 tahun yang akan datang, dari produk
hukum yang sekarang ini.
2.
Masa pemerintahan Soeharto
Pada masa
pemerintahan Soeharto keadaan Indonesia sudah lebih baik, politik hukum
ditekankan pada pembangunan ekonomi. Kesejahteraan nasional akan cepat terwujud
apabila pembangunan ekonomi berjalan dengan baik. Untuk mewujudkan suksesnya
pembangunan ekonomi tersebut maka diterapkanlah Repelita. Sejalan dengan
berkembangnya waktu, dalih pembangunan ekonomi akhirnya menjurus pada tindakan
penguasa yang sewenang-wenang.
c.
Masa
Pasca Reformasi
Pada masa pasca reformasi, dibagi menjadi empat masa
pemerintahan, yaitu masa pemerintahan Baharudin Jusuf Habibie, masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid, masa pemerintahan Megawati dan masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
a.
Masa Pemerintaha Jusuf Habibie
Di masa pemeritahan BJ Habibie sebagai
reaksi adanya reformasi dengan mundurnya Soeharto. Politik hukum dibidang
ketenagakerjaan ditekankan pada peningkatan kepercayaan luar negeri kepada
Indonesia bahwa Indonesia bahwa Indonesia dapat mengatasi problem negaranya
sendiri tanpa menindas Hak Asasi Manusia (HAM) serta mempunyai andil besar
dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia.
Karena tekanan dari luar negeri maka indonesia dengan terpaksa meratifikasi Convention No. 182 Concerning the Immediate Action to Abolish and Eliminate the Worst Forms of Child Labour (tindakan segera untuk menghapus dan mengurangi bentuk-bentuk terburuk pekerja anak diratifikasi dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tanggal 8 Maret 2000). Dengan ratifikasi tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah Indonesia telah mengakui memperlakukan dengan sangat buruk pekerja anak. Selain itu, di masa tahanan ini tahanan politik banyak yang dibebaskan.
Karena tekanan dari luar negeri maka indonesia dengan terpaksa meratifikasi Convention No. 182 Concerning the Immediate Action to Abolish and Eliminate the Worst Forms of Child Labour (tindakan segera untuk menghapus dan mengurangi bentuk-bentuk terburuk pekerja anak diratifikasi dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tanggal 8 Maret 2000). Dengan ratifikasi tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah Indonesia telah mengakui memperlakukan dengan sangat buruk pekerja anak. Selain itu, di masa tahanan ini tahanan politik banyak yang dibebaskan.
b.
Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Di masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), politik hukum ketenagakerjaan
tampaknya meneruskan BJ Habibie dengan penerapan demokrasi dezgan adanya UU No.
21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/ Serikat Buruh. Sayangnya masyarakat
indonesia masih belum matang untuk berdemokrasi, sehingga dengan sangat
banyknya jumlah serikat pekerja di Indonesia justru membuat hubungan industrial
semakin buruk. Pada masa pemerintahan Gus Dur, ia menciptakan musuh monumental
dan beliaulah yang menggiring persatuan tersebut, ketegangan dianggap kemesraan
setelah kersahan itu terlewati.
c.
Masa Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
Pada masa
Megawati perkembangan ketenagakerjaan hampir tidak tampak gebrakannya,justru
yang banyak adalah kasus ketenagakerjaan yang mengambang dan kurang mendapat
perhatian. Contohnya adalah masalah pemulangan TKI dari Malaysia serta revisi
dari UU No. 25 Tahun 1997 yang berdasarkan
UU No. 28 Tahun 2000 diundur masa berlakunya hingga 1 Oktober 2003 dan
berakhir dengan disahkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
tanggal 25 Maret 2003 oleh Megawti Soekarno Putri.
Selain itu, terdapat fenomena
menarik, demo yang dilakukan antara buruh bersama-bersama dengan majikan tentang
kenaikan tarif dasar telepon, listrik, dan air. Serta penolakan serikat pekerja
PT Indosat atau privatisasi BUMN yang dianggap menjual aset negara. Catatan
negatif pada masa ini adalah penangkapan aktivis demonstran. Terhadap hal ini
ada pandangan yang mengatakan bahwa megawati telah melupakan cara bagaimana ia
dapat menduduki kursi kepresidenan dengan melalui demonstrasi.
Politik
hukum Megawati yang dapat diraskan langsung dampaknya setelah tragedi bom Bali
di dunia ketenagakerjaan adalah banyaknya hari libur. Dampak negatif bom Bali
sangat terasa pada perekonomian bangsa. Investor asing banyak yang meninggalkan
Indonesia karena tidak terjaminnya keamanan negara ditambah lagi tragedi Bom
Marriot. Hal ini ternyata berakibat pada politik hukum ketenagakerjaan
Megawati, yaitu memulihkan sektor pariwisata sebagai inti dari peningkatan
perekonomian bangsa.
Untuk
menunjang pemulihan sektor pariwisata. Perlu kebijaksanaan politik dengan
pengalihan hari libur ke hari yang lainnya sebelum dan sesudahnya. Dampak negatif
dari banyakanya hari libur ini misalnya, terkesan bangsa Indonesia adalah
bangsa yang pemalas bekerja. Lebih menyenangi banyak hari libur nasional.
Di samping itu, dalam hubungan
bisnis antarnegara ternyata merepotkan dunia usaha. Di negara lain bekerja,
di Indonesia jatuh hari libur nasional dan hal ini dapat menghambat terjadinya
transaksi dagang. Ada kekhawatiran bagaimana seandainya kebijaksanaan
pengalihan hari libur ditiadakan sementara masyarakat sudah terbiasa dengan
jumlah hari libur yang banyak, apakah tidak mungkin akan mendukung terciptanya
etos kerja yang rendah dari bangsa Indonesia semakin parah.
d.
Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Komitmen terhadap pemberantasan korupsi seharusnya tidak terbatas pada
kata-kata saja, akan tetapi harus diwujudkan dalam tindakan dan perilaku yang
benar. Dorongan politik dari pemerintahan SBY sangat diperlukan untuk mendukung
tindakan dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan dalam memberantas korupsi,
apalagi dengan adanya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dibentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. KPK saat ini sedang menjadi target, yaitu munculnya
kasus Antasari Azhar, yang kemungkinan sebagai alat perseteruan terhadap KPK
yang sepak terjangnya mampu mengusik dan mendobrak benteng korupsi di
lembaga-lembaga Negara yang ada, baik di Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
pemerintahan sampai DPR. Korupsi adalah tindak kejahatan yang juga extraordinary,
sehingga pemberantasan korupsi merupakan tanggung jawab dan diperlukan
kerjasama pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, dan seluruh lembaga negara
yang ada.
Ada juga masalah lemahnya diplomasi Indonesia dalam menghadapi
persoalan-persoalan dengan negara lain baik yang menyangkut nasib warga Negara
Indonesia di luar negeri, misalnya TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia,
Hongkong, dan Arab Saudi, atau masalah ancaman terhadap wilayah NKRI, masalah
hubungan Indonesia dengan Negara terdekat seperti Singapura, Australia, dan
Malaysia, serta sikap Indonesia terhadap masalah-masalah Internasional.
Hubungan Indonesia dengan Negara-negara lain, apalagi negara terdekat atau
negara tetangga, merupakan bagian yang sangat penting dalam rangka eksistensi
NKRI di dalam kancah internasional. Eksistensi NKRI dalam dunia Internasional
sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan internal Indonesia sendiri, karena
itu kekuatan diplomasi Indonesia yang ditunjukkan sekarang pada dasarnya juga
menunjukkan kekuatan di dalam Negara Indonesia.
Kasus-kasus yang dialami warga negara di luar negeri ternyata sampai saat
ini masih terus terjadi, baik yang menyangkut tindak pidana kekerasan,
pelecehan seksual, penganiayaan sampai pembunuhan, maupun yang menyangkut
masalah ketenagakerjaan. Hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah dalam
memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia terutama di luar negeri dan
berkaitan dengan kemampuan diplomasi Indonesia dengan negara lain. Wujud
komitmen Indonesia tersebut dapat dilihat dari berbagai kesepakatan yang telah dibuat
dan tentunya harus ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan yang tegas dan
berani dari pemerintah. Peningkatan daya tawar diplomatik juga harus dilakukan
sehubungan dengan makin banyaknya warga negara Indonesia yang mendapat
perlakuan tidak manusiawi di luar negeri selain tentunya peningkatan kualitas
SDM (sumber daya manusia) misalnya dalam kasus TKI di luar negeri.
Perselisihan antara
Indonesia dengan negara tetangga yang menyangkut wilayah negara, di satu sisi
memerlukan penyelesaian secara yuridis, akan tetapi lebih diperlukan tindakan
diplomatik yang kuat agar Indonesia dapat lebih melindungi diri dari ancaman
dan tantangan dari negara sekitarnya. Untuk itu kekuatan atau daya tawar
Indonesia harus lebih ditingkatkan melalui korps diplomatik yang kuat dan
kompak. Apalagi Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam rangka
membentuk dirinya menjadi negara adidaya yang didukung oleh kekuatan alam dan
sosial yang beraneka ragam. Diperlukan peningkatan kekuatan baik fisik maupun
non-fisik, antara lain yang menyangkut peningkatan SDM yang tidak hanya bisa
mengirimkan TKI yang berposisi sebagai PRT (pekerja rumah tangga).[8]
2. Sifat Dan kedudukan Hukum Ketenagakerjaan
Sifat hukum ketenagakerjaan pada
dasarnya adalah masuk dalam lingkup hukum privat. Mengingat bidang-bidang
kajian hukum tersebut merupakan satu kesatuan dan tidak mungkin untuk dilakukan
pemisahan, maka menjadikan hukum ketenagakerjaan termasuk dalam hukum
fungsional yaitu mengandung bidang hukum yang lainnya.[9]
Hukum perburuhan bersifat privat/perdata karena
mengatur hubungan antara orang perorangan (pembuatan perjanjian
kerja),sedangkan bersifat publik karena pemerintah ikut campur tangan dalam
maslah-masalah perburuhan serta adanya sanksi pidana dalam peraturan hukum
perburuhan. Bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah adalah membuat
peraturan-peraturan yang mengikat buruh dan majikan serta membina dan mengawasi
proses hubungan industrial.
Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam tata hukum
Indonesia terletak di bidang Hukum Administrasi/Tata Negara, Hukum Perdata, dan
Hukum Pidana. Kedudukan tersebut membawa konsekuensi yuridis bahwa ketentuan
peraturan-peraturan hukum ketenagakerjaan haruslah berdasarkan pada teori hukum
yang menelaah bidang tersebut.
3. Sumber Hukum
Ketenagakerjaan
Yang dimaksud dengan sumber hukum
materiil atau lazim disebut sumber isi hukum ialah kesadaran hukum
masyarakat yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat mengenai sesuatu
yang seyogyanya atau seharusnya. Profesor Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa
sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu
pembentukan hukum. Sumber Hukum Materiil Hukum Ketenagakerjaan ialah Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum dimana setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan bidang ketenagakerjaan harus merupakan pengejawantahan dari
nilai-nilai Pancasila.[10]
Sedangkan sumber hukum dalam arti
formil merupakan tempat atau sumber dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan
hukum. Sumber formil hukum perburuhan misalnya Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
kebiasaan, putusan,perjanjian, traktat.
Kebiasaan merupakan kebiasaan
manusia yang dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama dan diterima oleh
masyarakat, sehingga bilamana ada tindakan yang dirasakan berlawanan dengan
kebiasaan tersebut dianggap pelanggaran perasaan hukum. Berkembangnya hukum
kebiasaan dalam bidang ketenagakerjaan disebabkan beberapa hal antara lain:
a. Perkembangan
masalah-masalah perburuhan jauh lebih cepat dari perundang-undangan yang ada.
b. Banyak
peraturan yang dibuat zaman Hindia Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan ketenagakerjaan sesudah Indonesia merdeka.
Putusan
disini adalah putusan yang dikeluarkan oleh sebuah panitia yang menangani
sengketa-sengketa perburuhan yaitu: Putusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat), Putusan P4D ( Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah). Panitia penyelesaian perburuhan
sebagai suatu compulsory arbitration (arbitrase wajib) mempunyai
peranan yang penting dalam pembentukan hukum ketenagakerjaan karena peraturan
yang ada kurang lengkap atau tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang.
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahan Swasta sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dalam rangka untuk memperolah keadilan dan kepastian hukum
maka dikeluarkanlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menggantikan peraturan sebelumnya. Dalam UU No. 2
Tahun 2004 dimungkinkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
jalur yuridis (litigasi) maupun jalur non yuridis (non litigasi) seperti
perundingan bipartite, arbitrase, kondisi, serta mediasi.
Perjanjian
merupakan peristiwa dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lainnya
untuk melaksanakan sesuatu hal, akibatnya pihak-pihak yang bersangkutan terikat
oleh isi perjanjian yang mereka adakan. Kaitannya dengan masalah perburuhan,
perjanjian yang merupakan sumber hukum perburuhan ialah perjanjian perburuhan
dan perjanjian kerja. Prof. Imam Soepomo menegaskan, karena kadang-kadang
perjanjian perburuhan mempunyai kekuatan hukum seperti undang-undang.[11]
Traktat
ialah perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih. Lazimnya perjanjian
Internasional memuat peraturan-peraturan hukum yang mengikat secara umum.
Sesuai dengan asas “pacta sunt servanda” maka masing-masing Negara sebagai
rechtpersoon (publik) terikat oleh
perjanjian yang dibuatnya.
Indonesia
sebagai anggota ILO tidak secara
otomatis terikat. Sementara itu, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :
a.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
khususnya pasal (1313, 1338,1320)
b.
UU NO 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
c.
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 31 TAHUN 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional.
d.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor
: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjain Kerja Waktu
Tertentu.
e.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor
: KEP.48/MEN/IV/2004 tentang Tata cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
f.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : KEP.261/MEN/XI/2004 tentang
Perusahaan yang Wajib Melaksanakan Pelatihan Kerja.
g.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor
: PER.08/MEN/III/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran
Perjanjian Kerja Bersama.
h.
Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
PER.22/MEN/IX/2009 Tentang
Penyelenggaraan Pemagangan di dalam Negeri.
i.
Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi RI Nomor: PER.21/MEN/X/2007
tentang Tata cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia .
4. Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja
Pada
dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha terjadi
setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja
menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya
untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.[12]/
Di dalam Pasal 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa
hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan
pekerja.[13]
Pengertian
perjanjian kerja diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dalam Pasal
1601 a KUH Perdata disebutkan kualifikasi agar suatu perjanjian dapat disebut
perjanjian kerja. Kualifikasi yang dimaksud adalah adanya pekerjaan, di bawah
perintah, waktu tertentu dan adanya upah.[14]
Kualifikasi mengenai adanya pekerjaan dan di bawah perintah orang lain
menunjukkan hubungan subordinasi atau juga sering dikatakan sebagai hubungan
diperatas (dienstverhouding), yaitu pekerjaan yang dilaksanakan pekerja
didasarkan pada perintah yang diberikan oleh pengusaha.
Undang-undang
Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian
kerja dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu [15]/:
perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Menururt
Subekti, perjanjian kerja di bagi menjadi tiga macam ,yaitu :[16]
1. Perjanjian
perburuhan yang sejati
2. Perjanjian
pekerjaan borongan
3. Perjanjian
pekerjaan pelayanan jasa dan lepasan.
Di dalam
perjanjian kerja ada 4 unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya unsure work atau
pekerjaan, adanya servis atau pelayanan, adanya unsur time atau waktu tertentu,
suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Sedangkan perjanjian kerja akan
menjadi sah jika memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata
yaitu : Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, Suatu hal tertentu, Sebab yang halal.[17]
5.
Hak dan Kewajiban Pekerja dan Pemberi Kerja
Pada dasarnya
hakikat “hak pekerja/buruh merupakan kewajiban pengusaha”, dan
sebaliknya “hak pengusaha merupakan kewajiban pekerja/buruh”.
1. Adapun hak dan Kewajiban Tenaga Kerja
yaitu :[18]
a.
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan
yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. (Pasal 5)
b.
Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha. (Pasal 6)
c.
Setiap tenaga kerja berhak untuk
memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja. (Pasal 11)
d.
Tenaga
kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan
kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga
pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja. (Pasal 18)
e.
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan
kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan
memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. (Pasal 31)
f.
Pekerja/buruh perempuan berhak
memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya
melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut
perhitungan dokter kandungan atau bidan. (Pasal 82)
g.
Setiap
pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan
kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai agama (Pasal 86)
h.
Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. (Pasal 88)
i.
Setiap
pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja. (Pasal 99)
j.
Setiap
pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh. (Pasal 104)
k.
Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh)
hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
l.
Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh)
hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat (Pasal 140).
m. Apabila
terjadi PHK, pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1(satu) kali
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam
Pasal 156 ayat (4). (pasal 163)
2. Hak
dan Kewajiban Pemberi Kerja, yaitu :[19]
a. Pemberi kerja
yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana
penempatan tenaga kerja. (Pasal 35:1)
b. Setiap
pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (Pasal 42:1)
c. Tenaga kerja
asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak
dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya. (Pasal
42:6)
d. Perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis. (jasa outsourcing) Pasal 64
e. Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak
melakukan pekerjaan. (Pasal 93:1)
f. Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena
kesenjangan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. (Pasal 95:1)
g. Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah
melampaui jangka waktu 2(dua) tahun sejak timbulnya hak. (Pasal 96)
h. Setiap pengusaha berhak membentuk dan manjadi anggota
organisasi pengusaha. (Pasal 105)
i. Menyusun PKB
(Pasal 116 :1)
j. Setiap
pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja selama 40 jam/minggu (Pasal
77) diluar itu pengusaha wajib membayar uang lembur (Pasal 78)
k. Memberikan upah (pasal 88),
l. Jamsostek (pasal 100)
m. Mendapatkan laporan mogok kerja dari pekerja
(Pasal 140)
n. Terkait mogok
kerja, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara ; melarang para
pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi
perusahaan. (Pasal 140:4)
o. Mogok kerja
yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139
dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.(Pasal 142)
p. Penutupan
perusahaan (lock-out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh
sebagaian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya
perundingan.(Pasal 146)
q. Menghindari
PHK (pasal 153)
r. Pengusaha
wajib memberikan THR / Tunjangan Hari Raya kepada pekerja yang
telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih . Dasar
Hukum pemberian Tunjangan Hari Raya adalah Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Republik Indonesia Nomor : Per-04/MEN/1994 tanggal 16 September 1994
tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan
2. Pengertian Pekerja
Rumah Tangga (PRT)
Pembantu rumah tangga, pekerja rumah tangga (disingkat PRT), asisten rumah tangga atau sering disebut pembantu saja adalah orang yang bekerja di dalam lingkp rumah
tangga majikannya. Di Indonesia saat masa penjajahan
Belanda, pekerjaan pekerja rumah tangga disebut baboe (dibaca "babu"),
sebuah istilah yang kini kerap digunakan sebagai istilah berkonotasi negatif
untuk pekerjaan ini.[20]
Pekerja rumah tangga mengurus pekerjaan rumah tangga
seperti memasak serta menghidangkan makanan, mencuci, membersihkan rumah, dan
mengasuh anak-anak. Di beberapa negara, pembantu rumah tangga dapat pula merawat
orang lanjut usia yang mengalami keterbatasan fisik. Di beberapa negara, karena
adanya kesenjangan ekonomi yang tinggi dan minimnya kesempatan kerja, sebuah
keluarga kelas menengah 'urban' sanggup memperkerjakan "pembantu seumur
hidup". Banyak negara mendatangkan pekerja rumah tangga dari luar negeri.
Negara semacam itu termasuk kebanyakan negara di Timur Tengah, Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Sumber
utama pekerja rumah tangga mencakup Filipina, Thailand, Indonesia, Sri Lanka, dan Ethiopia. Taiwan
juga mendatangkan pekerja rumah tangga dari Vietnam dan Mongolia.
Di dalam Pasal 1, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI,
Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga, yang dimaksud dengan Pekerja Rumah Tangga yang
selanjutnya disingkat PRT adalah : “orang yang bekerja pada orang perseorangan
dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima
upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain”. Pekerjaan kerumahtanggaan adalah
pekerjaan yang dilakukan dalam lingkup dan kepentingan rumah tangga. [21]
Pembantu rumah tangga adalah suatu posisi pekerjaan dalam kehidupan yang bersifat temporer dalam artian kehadiran
pembantu rumah tangga bukan suatu hal yang mutlak dalam suatu keluarga, namun
kehadiran pembantu rumah tangga pada satu sisi dapat dikatakan penting karena
bagi sebahagian keluarga,dimana ibu dan ayah masing-masing memiliki pekerjaan
dan perlu bantuan pihak lain untuk membantu dalam pekerjaan rumah tangga.
Pada awalnya pembantu rumah tangga dapat dilihat sekilas dari proses
perkembagan
kebudayaan di Indonesia pada umumnya, seperti dalam kebudayaan Keraton Jawa,
dimana dalam suatu keluarga yang terdiri ayah, ibu dan anak memiliki seorang
pengasuh yang bekerja tidak hanya sekedar mengasuh dan menjaga anak selama
kedua orangtua bekerja,melainkan juga memiliki pekerjaan memasak mencuci dan
lain sebagainya, pada bentuk kebudayaan lainnya posisi pengasuh juga memiliki
arti penting dalam keluarga .
Seiring perkembangan zaman, secara harfiah kata
pengasuh tidak relevan lagi karena terbatas pada artian mengasuh sehingga
perkataan pengasuh bergeser pada penggunaan kata pembantu yang berkonotasi
sebagai individu yang memiliki pekerjaan membantu dalam suatu keluarga dengan
jenis pekerjaan yang berbeda-beda. Pekerjaan pembantu rumah tangga pada awal
perkembangannya merupakan suatu posisi pekerjaan yang diisi oleh individu yang
memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga yang menggunakan jasanya dengan
harapan agar timbul rasa kepercayaan yang tinggi karena posisi kerja pembantu
rumah tangga adalah posisi kerja yang memerlukan tingkat kepercayaan tinggi.
Pada saat sekarang ini pembantu rumah tangga tidak
hanya terbatas pada suatu kemampuan dalam tingkat bekerja secara sederhana,
seperti mencuci,memasak dan menjaga rumah, melainkan sudah menjadi kompleks
dengan munculnya kebutuhan-kebutuhan dalam keluarga. Permintaan terhadap
pembantu rumah tangga juga meningkat tajam seiring kehidupan masyarakat
perkotaan yang kompleks dan membutuhkan ketepatan waktu yang tinggi, untuk
menyiasati hal tersebut diperlukan individu yang dapat membantu dalam hal
pekerjaan rumah tangga, hal ini ditandai dengan munculnya agen-agen penyalur
rumah tangga hingga pada pengiriman pembantu rumah tangga dengan label tenaga
kerja ke luar negeri. Pekerjaan pembantu rumah tangga pada saat sekarang ini
sudah mengalami pergeseran menjadi suatu pekerjaan yang pada awalnya mengisi
ruang privat keluarga menjadi ruang publik dengan artian individu yang menjadi
pembantu rumah tangga tidak lagi diisi oleh individu yang memiliki hubungan
kekerabatan melainkan individu yang memiliki keahlian khusus dalam pekerjaan
rumah tangga.
3. Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Menjadi Pekerja Rumah Tangga
(PRT)
Adapun
faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi
seseorang menjadi pekerja rumah tangga adaa.
a. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah
satu masalah sosial yang mendasar yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia dewasa
ini. Hal tersebut ditandai dengan adanya berbagai kekurangan dan
ketidakberdayaan masyarakat miskin. Berbagai kekurangan dan ketidakberdayaan
tersebut disebabkan baik faktor internal maupun eksternal yang membelenggu,
seperti adanya keterbatasan untuk memelihara dirinya sendiri, tidak mampu
memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhanya. Dengan
begitu, segala aktivitas yang mereka lakukan untuk meningkatkan hidupnya sangat
sulit.
b.
Kurangnya
Hak dan Kesempatan untuk Memperoleh Pekerjaan
Bekerja adalah melakukan
kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau
keuntungan. Pekerjaan dalam arti luas adalah aktifitas utama yang dilakukan
oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas
atau suatu kerja untuk menghasilkan uang bagi seseorang. Jumlah tenaga kerja selalu
bertambah seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, namun hal ini tidak diikuti
dengan penyerapan tenaga kerja yang memadai.
c.
Kurangnya
Tanggung Jawab Suami Dalam Mensejahterakan Keluarga
Kedudukan suami isteri dan
orang tua ditentukan oleh kewajiban-kewajiban di dalam keluarga atau masyarakat
luas. Dengan menentukan pekerjaan-pekerjaan tertentu pada kepala keluarga di
dalam rumah tangga. Mencari nafkah bagi keluarga adalah tanggung jawab seorang
suami atas keluarganya.
d.
Rendahnya
Jenjang Pendidikan Suami-istri
Rendahnya jenjang pendidikan
suami maupun istri juga berpengaruh terhadap banyaknya minat masyarakat untuk
bekerja sebagai PRT, karena pada umumnya
masyarakat kalangan bawah hanya bisa menikmati bangku sekolah sampai Sekolah
Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP).
e.
Motivasi
Kerja Kaum Wanita untuk Mensejahterakan Keluarganya
Salah satu faktor mengapa
wanita bekerja sebagai pekerja rumah tangga yaitu karena motivasi kerja dari
diri wanita tersebut. Mereka mempunyai
dorongan untuk bekerja karena mempunyai keinginan atau kebutuhan untuk
memperoleh apa yang ia inginkan yaitu memperoleh uang untuk membantu suami
dalam mencari nafkah demi merubah nasib perekonomian keluarganya agar dapat
hidup sejahtera.
III.
PENUTUP
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan :
1.
Sebagai bentuk perlindungan hukum bagi Pekerja
Rumah Tangga (PRT), Permenaker RI Nomor
2 Tahun 2015 ini mengatur tentang
perjanjian kerja yang disebut hak normatif . Perjanjian Kerja ini
di buat secara tertulis atau lisan yang memuat
hak dan kewajiban dan dapat dipahami oleh kedua belah pihak serta diketahui oleh Ketua Rukun Tetangga atau dengan sebutan
lain. Perjanjian kerja ini berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat
diperpanjang atau diakhiri sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2.
Lembaga Penyalur PRT yang
selanjutnya disingkat LPPRT adalah badan usaha yang telah mendapat izin
tertulis dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk untuk merekrut dan
menyalurkan Pekerja Rumah tangga (PRT). Dengan
adanya LPPRT ini, bagi PRT yang disalurkan oleh lembaga penyalur tersebut tidak
dikenakan beban biaya apapun, karena beban-beban yang dikeluarkan seperti untuk
pendidikan dan pelatihan,diambil biaya dari pengguna PRT. LPPRT wajib menyampaikan laporan setiap bulan kepada
Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, dan gubernur atau pejabat yang ditunjuk
melaporkan kepada Menteri setiap 6 bulan.
Pengawasan dan pembinaan LPPRT dilakukan oleh Gubernur atau
pejabat yang ditunjuk, dan memperkuat jejaring pengawasan sampai tingkat
lingkungan rukun tetangga dalam rangka pembinaan dan pencegahan terhadap
timbulnya kasus kekerasan terhadap PRT, serta pemberian sanksi administratif
kepada LPPRT yang melanggar berupa : peringatan tertulis, penghentian sementara
sebagian atau seluruh kegiatan usaha LPPRT,
dan pencabutan izin.
DAFTAR PUSTAKA
. Sumber Buku :
Abdulkadir
Muhammad, Hukum & Penelitian Hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004
Asri
Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca
Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta,2009
Bahder
Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu
Hukum, CV.Mandar Maju, Bandung, 2008
Djumadi,
Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Imam
Soepomo, Rachmat ,Pengantar Hukum Perburuhan, jakarata, Djambatan 2003
PNH
Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum perdata
Indonesia, Djambatan ,Jakarta, 2005
R
Gunawan Oetomo, Pengantar Hukum
Perburuhan dan Hukum perburuhan di Indonesia, Grhadika Binangkit
Press,Jakarta, 2004
Soerjono
Soekamto dkk, Penelitian Hukum Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Syarief
Darmoyo & Rianto Adi, Trafiking Anak untuk Pekerja Rumah Tangga,
Jakarta,2000.
Wawan
Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi
Hukum perikatan Dalam Islam,Pustaka Setia, Bandung, 2011
Zainal
Asikin, Dasar-dasar Hukum perburuhan,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
. Sumber
Perundang-undangan :
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW)
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Permenaker
RI Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga
(PRT)
. Situs Internet
:
http://www.gajimu.com.pekerja rumah tangga
https//
studihukum.wordpress.com.sejarah
hukum ketenagakerjaan
http//www.ocw.usu.ac.id.perkembangan hukum
ketenagakerjaan
Santriuniversitas.blogspot.com.kerja rodi
linabr3.blogspot.com/.../kondisi-perekonomian-indo
http://www.wikipedia.or.id/pembantu_rumah_tangga
[4] https// studihukum.wordpress.com, diakses tanggal 23 Maret 2015
[5] Djumadi, Hukum Perburuhan Kerja, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta,2004,hal.4
[6] http//www.ocw.usu.ac.id, diakses tanggal, 26 Maret 2015
[7] / Santriuniversitas.blogspot.com,
diakses tanggal 30 maret 2015
[8] linabr3.blogspot.com/.../kondisi-perekonomian-indo..diakses
tanggal 1 April 2015
[9] Asri Wijayanti, Hukum
Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta,2009,hal.12
[10] Imam Soepomo, Rachmat ,Pengantar Hukum Perburuhan, jakarata, Djambatan 2003, hal
13
[11] Ibid, hal 24
[12] Ibid ,hal.88
[13] Undang-undang RI Nomor 13 Tahun
2003 (Pasal 50)
[14] R Gunawan Oetomo, Pengantar
Hukum Perburuhan dan Hukum perburuhan di Indonesia, Grhadika Binangkit
Press,Jakarta, 2004, hal. 15.
[15] UU RI Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan
[16] Wawan Muhwan Hariri, Hukum
Perikatan Dilengkapi Hukum perikatan Dalam Islam,Pustaka Setia, Bandung,
2011,hal.92
[17] PNH Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum perdata Indonesia,
Djambatan ,Jakarta, 2005,hal.334
[18] UU RI Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan
[19] UU RI Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[21] PERMENAKER RI NOMOR 2 TAHUN
2015 (Pasal 1)
Assalamualaikum,, saudaraku semua yg ada diperantauwan. Izinkan sy berbagi cerita disini siapa tau dapat bermanfaat.. sy seorang mantan TKW dulu kerja di Taiwan pikir-pikir kurang lebih 5 tahun kerja jd Tkw di taiwan hanya jeritan batin dan tetes air mata ini selalu mengharap tpi tdk ada hasil memuaskan. Mana lagi dapat majikanku galak, kejam, cerewet, salah sedikit kena marah lagi . Tiap bulan dapat gaji hanya separoh saja . . itu pun tdk cukup biaya anak di kampung. Tapi setelah sy melihat crta teman sy yg dulu kerja di Singapura di beranda FB tentang kyai haji Abdul salam akhirnya sy tertarik meminta bantuan sama beliau.. Alhamdulillah berkat bantuan kyai haji Abdul salam melalui dana gaib sy bisa balik kampung dan sekarang sy sudah punya usaha sendiri.. Bagi saudara(i) yakin dan percaya ingin seperti sy slhkan hub kyai haji Abdul salam di no WhatsApp 085'298'892'338 atau bisa kunjungi situs resmi beliau di www.programdanagaib.com atau klik DISINI semoga pesan sy ini bisa bermanfaat terima kasih...
BalasHapusSalam satu jiwa