ABSTRACT
This research uses normative jurisis method. research
results: an important aspect in the legal relationship between the customer and
the bank is an agreement between the two, which is usually made unilaterally by
the bank. With the development of law and the entry of the law of the
Anglo-Saxon State, the treaty as stipulated in the Indonesian Civil Code has
been shifted. Formally the legal relationship between the bank and the customer
was born since the signing of the application form or the opening of the
customer's account at the bank. With the opening of the account, the legal
relationship between the customer and the bank creates the rights and
obligations of both parties.
Keywords: Legal, Customer's Bank
ABSTRAK
Penelitian ini mengunakan metode yurisis normative.
hasil penelitian : aspek penting dalam hubungan hukum antara nasabah dengan bank adalah perjanjian antara keduanya, yang
biasanya dibuat secara sepihak oleh bank. Dengan perkembangan hukum dan masuknya hukum dari Negara Anglo saxon, maka
perjanjian sebagaimana diatur dalam KUHPerdata yang dianut oleh Indonesia
selama ini mengalami pergeseran. Secara formal hubungan hukum antara bank dan nasabah lahir sejak di ditandatanginya formulir
atau aplikasi pembukaan rekening nasabah di bank tersebut. Dengan pembukaan
rekening tersebut maka melahirkan hubungan
hukum antara nasabah dengan bank yang menimbulkan hak
dan kewajiban dari kedua belah pihak.
Kata kunci :
Hukum, Bank Nasabah
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Undang-Undang
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (pasal 1 angka (2).
Berdasarkan dua
fungsi utama dari bank
tersebut yaitu fungsi penghimpunan dana dan fungsi penyalur dana (kredit), maka
terdapat dua hubungan hukum
antara bank dan nasabah yaitu:
1.
hubungan hukum
antara bank dan nasabah penyimpan dana.
2.
hubungan hukum
antara bank dan nasabah debitur
Kegiatan usaha
yang dapat dilakukan oleh bank lebih banyak menampilkan aspek hukum perdata, yaitu hubungan antara 2 (dua)
subyek hukum (penyandang hak
dan kewajiban), yaitu bank dan nasabah. Sebagaimana diketahui hubungan hukum terjadi apabila antara dua
pihak atau lebih tercipta hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi
pihak-pihak yang terkait,
Sebagai contoh
dalam pemberian kredit, hubungan antara bank dan nasabah menimbulkan hak bagi
nasabah di satu pihak untuk memperoleh fasilitas kredit dan wajib mengembalikan
pada waktunya, di lain pihak kewajiban bank untuk menyediakan fasilitas kredit
yang diminta pada waktu yang tepat dan berhak mendapatkan pembayaran kembali
pada waktu yang telah diperjanjian.
Hubungan hukum tesebut pada umumnya dapat
dilihat dalam wujud suatu dokumen atas naskah berupa perjanjian yang secara
jelas mencantumkan hak dan kewajiban para pihak. Akan tetapi adanya suatu
hubungan hukum hanya dapat
dipersangkaka dengan melihat beberapa petunjuk berupa naskah atau perbuatan
pihak-pihak yang terkait dalam suatu prosedur kerja yang harus dilalaui. Jika
hubungan hukum dalam kegiatan
pemberian kredit dapat jelas diketahui dari perjanjian kredit yang
bersangkutan, maka hubungan hukum
antara bank dengan nasabah penabung (Deposan) tidak bergitu jelas terlihat
Dalam kegiatan
pemupukan (penghimpunan) dana masyarakat, baik dalam bentuk deposito maupun
tabungan tidak dibuat secara jelas dan rinci. Di dalam Undang-Undang Perbankan
No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, tidak ditemui ketentuan yang mengatur
secara tegas perihal hubungan hukum
antara bank dan nasabahnya. Namun dari beberapa ketentuan dapat disimpulkan
bahwa hubungan hukum antaa
bank dan nasabah diatur oleh suatu perjanjian. Hal ini disimpulkan dari pasal 1
angka (5) UUP, simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada
bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dan dalam bentuk giro, deposito,
sertifikat deposito, tabungan dan atau untuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
Jadi simpanan masyarakat di bank
dapat berupa
a.
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan
setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya atau dengan pemidahbukuan (pasal 1 angka 6).
b.
Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan
bank (pasal 1 angka 7).
c.
Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk
deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindatangankan (pasal 1
angka 8).
d.
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat
ditarik dengan cek, bilyet giro dan alat lainnya yang dapat dipersamakan dengan
itu (pasal 1 angka 9).
e.
Penitipan adalah simpanan harta berdasarkan perjanjian
atau kontrak antara bank Umum dengan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang
bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut. (pasal 1
angka 14).
Jadi dari
ketentuan di atas terlihat bahwa hubungan hukum antara bank dan nasabah diatur oleh hukum perjanjian. Masalah perjanjian diatur
dalam Buku III KUHPerdata yang menganut system terbuka dalam arti hokum
perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Pasal-pasal dari hukum
perjanjian merupakan hukum
pelengkap (option law). Hal ini bnerarti bahwa pasal-pasal itu boleh
dikesampingkan apabila dikehendaki oleh para pihak yang membuat petjanjian
mereka diperbolehkan membuat ketentuan sendiri yang menyimpang darai pasal-pasal
hokum perjanjian[1]
Akibat hukum dengan ditandatangani suatu
perjanjian ialah perjanjian tersebut mengikat para pihak. Asas ini dalam hukum perjanjian dikenal dengan asas
kebebasan berkontrak (The Freedom of
Contract). Asas ini tesimpul dai pasal 1338 (1) KUHPewdata yang
mengemukakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya
Selain asas
kebebasan berkontrak dalam hukum
perjanjian Sebagaimana diketahi bahwa salah satu azas hukum dalam hukum perjanjian adalah azas konsensual yang berarti bahwa suatu
perjanjian terjadi saat terjadinya kata sepakat (consensus) antara para pihak mengenai pokok-pokok yang
diperjanjikan, sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. Dilihat dari asas ini dapat
disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat para pihak dapat dilakukan secara
lisan saja, kecuali bila peraturan perundang-undangan menegaskan perlunya
dibuat secara tertulis dan atau secara otentik. Pada hakikatnya suatu
perjanjian adalah pormvry,
tidak terikat pada suatu bentuk tertentu.
B. Perumusan Masalah
Jika hubungan hukum
dalam kegiatan pemberian kredit dapat jelas diketahui dari perjanjian kredit
yang bersangkutan, maka hubungan hukum
antara bank dengan nasabah deposan (penabung) tidak begitu jelas dan terlihat,
kapan hubungan hukum tersebut
terjadi:
Apa akibat hukum dari hubungan hukum tersebut?
C.
Metode
Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif.
D. Tujuan Penelitian
Tulisan ini
memusatkan diri kepada hubungan hukum
bank dengan nasabah yang mempunyai tujuan untuk mengetahui bentuk perjanjian ,
sejak kapan lahirnya hubungan hukum
dan apa akibat hukum para pihak dari
hubungan hukum antara bank
dengan nasabah penabung.
II.
PEMBAHASAN
Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan baik karena undang-undang”.
Buku III KUHPerdata tidak memberikan suatu rumusan atau pengertian dari
perikatan atau persetujuan. Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Mariam Darus (1983: 1) bahwa perikatan adalah adalah hubungan
yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan
harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya
wajib memenuhi prestasi itu.
Dari pengertian tersebut di atas, bahwa unsur dari perikatan ada 4
(empat ) Yaitu:
1.
Hubungan hukum
yang
dimaksud dengan hubungan hukum adalah hubungan-hubungan yang
terjadi dalam lalu-lintas masyarakat hukum yang meletakan hak pada satu pihak dan meletakan kewajiban pada
pihak lain. Apabila satu pihak tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan
tadi, lalu hukum memaksakan
supaya hubungan tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan kembali.
Apabila
salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban maka hukum memaksakan agar kewajiban kewajiban tadi dipenuhi.
2.
Kekayaan
untuk
menilai suatu hubungan hukum
perikatan atau bukan, maka hukum
mempunyai ukuran-ukuran (kriteria) tertentu. Yang dimaksud
dengan kriteria perikatan itu
adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum itu dapat disebut perikatan.
Di
dalam perkembangan sejarah apa yang dipakai sebagai criteria itu tidak tetap.
dahulu yang menjadi criteria ialah apakah sesuatu hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang atau
tidak. Apabila hubungan hukum
itu dapat dinilai dengan uang maka hubungan itu adalah merupakan suatu
perikatan.
Criteria
itu semakin lama sukar untuk dipertahankan, karena di dalam masyarakat tedapat
juga hubungan hukum yang
tidak dapat dinilai dengan uang. Namun kalau terhadapnya tidak diberikan akibat
hukum, rasa keadilan tidak
dipenuhi. Dan hukum
bertentangan dengan salah satu tujuan dari pada
hukum yaitu mencapai
keadilan. Oleh karena itu sekarang criteria di atas tidak dapat dipertahankan
sebagai criteria, maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan
uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu
hubungan itu diberi akibat hukum,
maka hukumpun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi
3.
Pihak-pihak
Apabila
hubungan hukum tadi dijajaki
lebih jauh lagi maka hubungan hukum
itu harus terjadi anatar dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi,
pihak yang aktif adalah kreditur atau siberpiutang dan pihak yang wajib
memenuhi prestasi, pihak yang pasip adalah debitur atau si berhutang. Mereka
ini yang disebut subyek perikatan. Dalam kaiatnnya dengan para pihak dalam
dunia pebankan yaitu antara bank itu sendiri dengan nasabahnya.
4.
Prestasi.
Pasal
1234 KUHPerdata menyebutkan “:Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.
Perikatan
adalah hukum yang terletak di
dalam lapangan kekayaan, yang terjadi antara dua orang atau lebih, dimana pihak
yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan pihak yang lainnya wajib
memenuhi prestasi.
Dari
beberapa uraian tersebut di atas maka dapat dikatakan lahirnya hubungan hukum antara bank dengan nasabah
bermula dari adanya perjanjian antara kedua belah pihak, tanpa adanya suatu
perjanjian tidaklah mungkin ada hubungan hukum yang mengakibatkan lahirnya hak dan kewajiban masing-masing
para pihak yang membuat perjanjian.
Pengertian
perjanjian atau menutut Burgerlijke
Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ KUHPerdata) yang diterjemahkan
oleh R. Subekti dan Tjitrosudibio, disebutkan sebagai persetujuan, diatur dalam
pasal 1313 KUHPedata.
Pasal
1313 KUHPedata tersebut berbunyi sebagai berikut “Suatu persetujuan adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap
satu orang lain atau lebih”. Dengan demikian perjanjian atau persetujuan yang
dibuat diantara mereka menimbulkan perikatan diantara mereka.
Yang
dimaksud dengan perikatan[2] menurut
R. Subekti (1987 ; 1 ) adalah suatu hubungan hokum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Dari perikatan
tersesbut maka lahirnya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Hak yang
dituntut dnamakan “prestasi”, pihak yang berhak menuntut prestasi dinamakan
kreditur, dan pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi dinamakan debitur.
Syarat sahnya suatu
perjanjian
Syarat
sahnya suatu perjanjian ini diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.
Suatu
perjanjian dianggap sah dan mengikat para pihak yang membuatnya apabila
syarat-syarat dibawah ini dipenuhi:
1.
syarat subyektif.
Syarat subyektif adalah syarat mengenai keadaan oang atau subyek yang
membuat perjanjian. Syarat ini terdiri dari
a.
sepakat para pihak yang mengikatkan
sepakat mengandung arti bahwa para pihak secara timbale balik saling
menyetujui untuk melaksanakan suatu transaksi atas suatu obyek tertentu.
Kesepakatan ini harus terjadi secara bebas dalam arti tidak ada paksaan,
kekhilafan maupun penipuan.
b.
kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
para pihak yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum, yaitu harus dewasa dan tidak dibawah
pengampuan.
2.
syarat objektif
syarat objektif adalah syarat mengenai perjanjian sendiri atau obyek
dari perbuatab hukum yang
dilakukan dalam perjanjian. Syarat ini terdiri dari
a.
suatu hal tertentu
suatu hal tertentu mengandung arti bahwa obyek yang diperjanjikan harus
jelas serta dapat diidentifikasikan baik jenis maupun jumlahnya.
b.
sebab yang halal
sebab yang halal dimaksudkan bahwa isi maupun tujuan perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban
umum.
Subyek Perjanjian dan objek perjanjian
1. subyek perjanjian
yang dimaksud dengan subyek perjanjian adalah pihak-pihak yang terlibat
dalam perjanjian. Dalam setiap perjanjian senantiasa ada 2 (dua) pihak yaitu
kreditur (pihak yang berhak menuntut
prestasi) dan debitur (pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi.
Subyek perjanjian dapat dikelompokan menjadi sebagai berikut
a.
yang berbentuk perorangan (Pribadi)
b.
yang bebentuk badan hukum, terdiri dari
1.
badan hukum
public
Badan hukum public
adalah badan hukum yang
didirikan oleh Negara berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang kegiatannya
melaksanakan urusan public/umum dan mempunyai wewenang untuk membuat peraturan
yang mengikat public, misalnya instansi pemerintah, Departemen.
2.
badan hukum
Perdata
Badan hukum perdata
adalah badan hukum yang
didirikan oleh orang-orang perorangan atau badan hukum, misalnya:
a.
Perseroan Terbatasa
b.
Koperasi
c.
Yayasan dll
2. Objek perjanjian
Yang dimaksud dengan objek perjanjian adalah isi (materi) dari suatu
perjanjian yang menyangkut suatu benda atau jasa yang menjadi pokok perjanjian.
Salah satu aspek penting dalam bahasan hubungan hukum antara nasabah denngan bank adalah
perjanjian antara keduanya, yang biasanya dibuat secara sepihak oleh bank.
Seiring dengan perkembangan hukum
dan masuknya hukum dai Negara
Anglo saxon, maka perjanjian
sebagaimana diatur dalam KUHPerdata yang dianut oleh Indonesia selama ini
mengalami pergeseran. Di antara pegeseran dalam pembuatan perjanjian adalah
perjanjian antara produsen dan konsumen yang salah satunya adalah antara bank
dan nasabah. Meskpun ada
pergeseran dalam system perjanjian antara produsen dan kosumen sebagiaman dianut dalam Undang-Undang No. 8 tahun
1999 tentang perlindungan Konsumen,
namun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih banyak diterapkan dalam dunia
perbankan dalam pembuatan perjanjian antaa pihak bank dengan nasabah.
Sebagaimana diketahui, azas kebebasan berkontrak yang menjadi landasan hukum perjanjian, setiap orang bebas
untuk membuat perjanjian mengenai hal atau obyek apapun dan dalam bentuk yang
bagaimanapun. Pembatasan yang diatur undang-undang adalah bahwa kebebasan dimaksud
dapat dilakukan, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.kebebasan yang diberikan undang-undang mencakup pula dengan
siapa seseorang tersebut akan mengadakan perjanjian, bahkan juga untuk tidak
mengadakan perjanjian
Dewasa ini ada kecenderungan makin memperlihatkan bahwa banyak perjanjian
di dalam transaksi bisnis yang terjadi dilakukan bukan melalui suatu proses
negosiasi yang seimbang di antara para pihak, tetapi perjanjian bisnis tersebut
dilakukan oleh pihak yang satu telah menyiapkan suatu syarat baku pada suatu
formulir perjanjian yang sudah dipersiapkan lebih dulu atau sudah dicetak dan
kemudian diserahkan kepada pihak yang lain untuk disetujui dengan hampir tidak
memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak yang lain untuk melakukan
negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan. Perjanjian yang demikian
dinamakan sebagai perjanjian standar atau perjanjian baku atau perjanjian adhesi.
Perjanjian baku
ini juga dikenal dalam transaksi di bidang perbankan, khususnya dalam produk
tabungan . Pada produk-produk tesebut biasanya pihak bank telah menyiapkan
segala persyaratannya secara baku
dalam bentuk formulir produk perbankan, dengan pengertian posisi deposan
(nasabah) harus menyetujui atas segala persyaratan yang terdapat pada formulir
produk perbankan tersebut. Nasabah tidak dapat menawar akan segala persyaratan
tersebut nasabah harus tunduk akan segala persyaratan yang ditentukan oleh
bank. Penggunaan kontrak baku
ini karena adanya perbuatan-perbuatan hokum atau perjanjian sejenis yang
terjadi secara berulang-ulang disertai dengan isi dan syarat-syarat perjanjian
yang selalau sama, yang mungkin berbeda terletak pada subjek dan objek.
Di dalam praktek, perjanjian baku atau perjanjian standar ini tumbuh
sebagai perjanjian tertulis dalam bentuk formulir, perbuatan-perbuatan hokum
sejenis yang selalu terjadi secara berulang-ulang dan teratur bisa melibatkan
banyak orang atau pihak sehingga menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi
perjanjian terlebih dahulu, kemudian dibakukan sehingga memudahkan penyediaan
setiap saat jika masyarakat membutuhkannya.
Lahirnya bentuk perjanjian baku atau perjanjian standar ini berlandaskan
pada asas hukum perdata yang
menganut system terbuka yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian. Dan setiap perjanjian yang dibuat
tersebut mengikat para pihak. Hal ini tercemin dari pasal 1338 KUHPedata yang
mengemukakan semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Hakikat dari asas kebebasan berkontrak dan asas kesepakatan tersebut ada,
apabila posisi tawar menawar (bargaining
position) para pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling
mengemukakan apa yang dikehendaki masing-masing.. dalam praktek perbankan, pada
umumnya bank telah membuat formulir tersendiri. Dalam formulir tersebut telah
tertera segala persyaratan-persyaratan yang harus ditentukan oleh bank. Apabila
dilihat dari sudut pandang ini, jelas bagi nasabah hanya ada dua pilihan yakni
apakah setuju atau tidak terhadap persyaratan yang telah ditentukan oleh bank.
Oleh karena itu muncul berbagai
pendapat bahwa perjanjian baku bertentangan dengan pasal 1320 Jo pasal 1338 (1)
KUHPerdata maupun kesusilkaan. Akan tetapi di dalam praktik perjanjian ini
tumbuh karena keadaan menghendakinya dan harus diterima sebagai kenyataan[3]
Jika asas
kebebasan berkontrak memberikan kedudukan yang sama antara kedua belah pihak
yang mengadakan perjanjian untuk mencapai kesepakatan, maka perjanjian dengan
bentuk baku sedikit banyak diartikan sebagai mengurangi kebebasan tersebut..
suatu perjanjian yang berlandaskan asas kebebasan berkontrak terjadi melalui
proses negosiasi antara para pihak untuk mencapai kata sepakat menyusun suatu
perjanjian yang mencakup hak-hal yang disetujui bersama. Dalam perjanjian yang
bersifat baku dari
mulai bentuk perjanjian klausula yang dirumuskan dibuat secara sepihak tanpa
melalui proses negosiasi sebagaimana lazimnya. Oleh karena itu dalam hal ini
hampir tidak ada lagi kebebasan pada pihak lain (nasabah) untuk mengemukakan
saran-saran perubahan, sehingga ia hanya sampai pada pilihan merima atau
menolak.[4]
Sebagaimana
diketahui bahwa hubungan hukum
yang timbul dalam kegiatan penghimpunan dana masyarakat tidak diwujudkan dalam
suatu perjanjian, akan tetapi adanya suatu hubungan hukum hanya dapat dipersangkakan dengan
melihat beberapa petunjuk berupa naskah atau perbuatan pihak-pihak yang terkait
dalam suatu prosedur kerja yang harus dilalui. Dalam kegiatan penghimpunan dana
masyarakat, baik melalui deposito maupun tabungan tidak dibuat perjanjian yang
menetapkan hak dan kewajiban
para pihak dengan jelas dan rinci. Dilihat secara hukum praktek ini sah dan mengikat para
pihak dan warkat-warkat yang digunakan dapat membuktikan adanya hubungan hukum.
Basis hubungan
hukum anatara bank dan para
nasabahnya adalah hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual ini terjadi pada
saat nasabah menjalin hubungan hukum
dengan bank, hubungan hukum
terjadi pada saat nasabah melakukan
hubungan hukum seperti
nasabah mengisi dan penandatanganan aplikasi permohonan untuk membuka
rekening menabung atau mendepositolan uang. Pada umumnya formulir permohonan
telah menyebut angka, besar atau jumlah dana yang disimpan/didepositokan,
jangka waktu dan tingkat suku bunga (pada deposito) dan demikian juga halnya
dalam tabungan seperti dana awal minimal yang harus disetor dalam pembukaan
rekening tabungan.
Aplikasi atau
permohonan dimaksud diakhiri dengan suatu klausul yang menyatakan kesediaan
calon nasabah mentaati peraturan-peraturan yang dikeluarkan bank, baik yang
sudah ada maupun yang akan ditetapkan kemudian. Klausula yang bunyinya
mengikatkan diri pada serangkaian ketentuan pada hakikatnya menimbulkan akibat
yang sama dengan suatu perjanjian. Hal tersebut terbukti dengan kenyataan bahwa
bank kemudian menyerahkan buku tabungan atau bilyet deposito kepada nasabah
sebagai suatu tanda persetujuan atas permohonan yang diajukan, dalam hal
dikatakan terjadi suatu persetujuan secara diam-diam. Dalam buku tabungan dan
bilyet deposito tercantum pula beberapa ketentuan dan syarat-syarat yang dibuat
dalam bentuk yang sudah baku. Pada nasabah tidak dapat lain, kecuali
menerimanya. Jadi perjanjian yang dibuat dalam menabung dan mendepositokan uang
tidak jelas merumuskan hak dan kewajiban pihak-pihak
Brosur dan
leaflet yang diedarkan dalam rangka memperkenalkan produk bank tersebut lebih
banyak memperlihatkan dan menjelaskan manfaat yang dapat diperoleh nasabah.
Sebaliknya mengenai kewajiban dan apa yang menjadi haknya secara rinci belum
tampak dalam brosur atau leaflet yang disebarkan. Meskipun didalam brosur atau
leaflet tersebut tidak diatur secara jelas hak dan kewajiban. Akan tetapi
karena dengan pengisian aplikasi atau formulir tersebut merupakan suatu bentuk
kesapakatan antara pihak nasabh dan bank, maka akan melahirkan hubungan hukum yang akan menimbulkan hak dan
kewajiban antara para pihak baik dari nasabah maupun dari bank itu sendiri.
Untuk
mengetahui hak dan kewajiban antara bank dan nasabah, harus dilihat lebih dulu
jenis layanan jasa apa yang digunakan oleh nasabah. Hal ini penting, karena
layanan jasa yang diberikan oleh dunia perbankan sudah demikian luas (lihat
pasal 6 UU Perbankan) sehingga
persyaratan yang tercantum dalam standar kontrak yang digunakan oleh bank juga
bervariasi. Artinya tergantung dari jenis layanan jasa yang digunakan. Misalnya
persyaratan yang tercantum dalam pembukaan rekening giro, tabungan, deposito
dan perjanjian kredit, mempunyai persyaratan tersendiri.
Persyaratan
yang harus dipenuhi bila hendak menjadi penabung suatu bank, tergantung dari
persyaratan yang ditentukan oleh bank yang bersangkutan. Disebut demikian,
karena persyaratan antara satu bank dengan bank lainnya berbeda satu sama lain.
Masing-masing bank mempunyai produk tersendiri yang satu sama lain mempunyai ciri
tersendiri dan selalu menawarkan program
yang lebih unggul dan kompetitif dalam menghadapi persaingan di dunia
perbankan.
Untuk suatu
hubungan hukum antara nasabah
dengan bank dalam pembukaan rekening ada tiga ketentuan [5]
1. ketentuan
yang tedapat dalam aplikasi
2. ketentuan
yang tedapat pada syarat-syarat umum pembukaan rekening
3. ketentuan
yang terdapat pada produk yang digunakan oleh nasabah.
Apa yang
dikemukakan diatas merupakan penunjukan terhadap ketentuan-ketentuan formal
yang mengatur mengenai hubungan hukum
antara nasabah dengan bank. Dan yang perlu diketahui, bank sebaiknya memberi
tahu kepada masyarakat tentang hak dan kewajibannya dalam mengadakan hubungan hukum dengan bank, sebab nasabah
pada dasanya telah terlanjur percaya kepada bank sehingga mereka juga
mempercayai apa yang dibuat dan termuat dalam formulir-formulisr atau
aplikasi tersebut. Atas dasar
kepercayaan itulah, sekalipun perjanjian-perjanjian antara nasabah dengan bank
tersebut menguntungkan secara sepihak bagi bank, tetapi masyarakat harus
dibertahu hak dan kewajiban sebagai akibat dari adanya hubungan hukum antara nasabah dengan pihak bank
Meskipun hak dan kewajiban tersebut tidak tercantum secara jelas didalam
brosur atau leaflet pembukaan rekening nasabah di bank dan tidak dibicarakan
dengan negosiasi dalam pembukaan rekening, akan tetapi secara umum dapat
dilihat hak dan kewajiban antara bank dan nasabah.
Secara umum dapat diungkap di
sini,hak dan kewajiban antara bank dan nasabah. Adapun kewajiban bank adalah untuk:
1. menjamin kerahasiaan identitas nasabah beserta
dengan dana yang disimpan pada bank, kecuali kalau peraturan perundang-undangan
menetukan lain.
2. menyerahkan dana kepada nasabah sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.
3. membayar bunga simpanan sesuai dengan
perjanjian
4. memberikan laporan kepada nasabah terhadap
perkembangan simpanan dananya di bank.
Sebaliknya bank
berhak untuk:
1. mendapatkan
provisi terhadap layanan jasa yang diberikan kepada nasabah
2. menolak
pembayaran apabila tidak memenuhi persdyaratan yang telah disepakati
3. mendapatkan
buku cek, bilyet giro, baku
tabungan, kartu kredit dalam hal terjadi penutupan rekening.
Kewajiban
nasabah
1. mengisi
dan menandatangai formulir yang telah disediakan oleh bank
2. melengkapi
persyaratan yang ditentukan oleh bank
3. menyetor
dana awal yang ditentukan oleh bank
4. membayar
provisi yang ditentukan oleh bank
Nasabah berhak untuk
1. mendapatkan
layanan jasa yang diberikan olah bank, seperti faslitas kartu ATM
2. mendapatkan
laporan atas transaksi yang dilakukan melalui
3. menuntut
bank dalam hal terjadi pembocoran rahasia.
III.
PENUTUP
Dari beberapa uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa secara
formal hubungan hukum antara
bank dan nasabah lahir sejak di ditandatanginya formulir atau aplikasi
pembukaan rekening nasabah di bank tersebut. Dengan pembukaan rekening tersebut
maka melahirkan hubungan hukum antara nasabah dengan bank yang
menimbulkan hak dan kewajiban dari kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Badrulzaman, Mariam Darus,
perjanjian
kredit bank,
Alumni, bandung, 1983
Hotma Bako, Ronny Sautama,
Hubungan bank
dan nasabah terhadap produk tabungan dan Deposito. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1995.
Kasmir, Manajemen Perbankan, ,
Raja
Grafindo
Persada, Jakarta, 2008.
Sembiring Sentosa, Hukum
Perbankan,
Mandar Maju,
Bandung, 2008.
Subekti, pokok-pokok hokum
perjanjian,
Intermasa,
Jakarta, 1975
Tri Widiyono, Aspek Hukum
Operasional
Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, simpanan, jasa dan Kredit, Ghalia
Indonesia, Jakarta 2006.
B. Perundang-undangan
1.
UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan
UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan
[1]Subekti, pokok-pokok hokum perjanjian, Intermasa,
Jakarta, 1975, halaman 13
[2] .Ibid , halaman 1
[5] Tri Widiyono, Aspek Hukum
Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia,
simpanan, jasa dan Kredit, Ghalia Indonesia, Jakarta 2006, halaman 23
ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
BalasHapusdapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q