Oleh Barhamudin
Fakultas Hukum
Universitas Palembang
bsuryaigama@yahoo.com
ABSTRACT
The purpose
of the research is to know the extent of replacement place of heirs in the
compilation of Islamic law. Legal research is a scientific activity based on
certain methods, systems, and thoughts that aim to study one or all of the laws
by analyzing them and this type of research is a normative legal research.
(normative juridical), namely legal research conducted by prioritizing research
library or documents called secondary data, in the form of primary, secondary,
and tertiary legal materials. The materials obtained from the research that is
done secondary data, to the data is done as follows: Selecting the articles and
verses and opinions of the jurists who contains the legal precepts that
regulate the problem of replacement heirs. The results obtained that the
Islamic inheritance law determines, the child can replace his father's position
is the son and daughter of the male lineage whose father had died first from
the heir, while the boys and girls of the female lineage is not entitled
entirely to replace his mother's position to obtain property from his
grandfather (heir). The grandson of a new boy can replace his parent's position
if the heir does not leave the other surviving son. And the right of the
surrendered heir is not necessarily the same as the right of the person to be
replaced, nor should it be exceeded from the part of the heirs who are equal to
the substituted, but may be reduced. Likewise, based on Article 185 of the
Compilation of Islamic Law, grandchild may be the surrogate heir and replace
the position of his parents. Grandchildren will have an inheritance equal to
the share earned by his parents if he were alive. The surrogate heirs aims to
safeguard the right of the beneficiary who should receive the part of the
heiress who is passed on to his successor ie his son for continued family
survival also strengthens the brotherhood between the heirs and the successor
heirs.
Keywords: successor heirs, Islamic law
ABSTRAK
Tujuan penelitian untuk mengetahui sejauh mana penggantian tempat ahli
waris dalam kompilasi hukum Islam. Penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya
dan jenis penelitian ini adalah
merupakan penelitian hukum normatif. ( yuridis
normatif), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan mengutamakan
meneliti bahan pustaka atau dokumen yang disebut data sekunder, berupa
bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan-bahan yang diperoleh
dari penelitian yang dilakukan yaitu data sekunder, terhadap data tersebut
dilakukan hal sebagai berikut : Memilih pasal-pasal dan ayat-ayat serta
pendapat para ahli hukum yang berisi
kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang masalah ahli waris pengganti. Hasil penelitian
diperoleh bahwa hukum kewarisan Islam menentukan, anak dapat menggantikan kedudukan ayahnya adalah anak
laki-laki dan anak perempuan dari garis keturunan laki-laki yang ayahnya sudah
meninggal terlebih dahulu dari pewaris, sedangkan anak laki-laki dan anak
perempuan dari garis keturunan perempuan tidak berhak sama sekali menggantikan
kedudukan ibunya untuk memperoleh harta dari kakeknya (pewaris). Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan kedudukan orang tuanya
apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang lain yang masih hidup.
Dan hak yang diperoleh ahli waris pengganti itu belum tentu sama dengan hak
orang yang digantikan, dan juga tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti, tetapi mungkin berkurang. Demikian juga
berdasarkan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tersebut, cucu dapat menjadi ahli
waris pengganti dan menggantikan kedudukan orang tuanya. Cucu akan mendapat
bagian warisan sebesar bagian yang diperoleh
orang tuanya seandainya ia masih hidup. Ahli waris pengganti bertujuan untuk
menjaga hak dari ahli waris yang seharusnya menerima bagian dari pewaris yang
dioper kepada penggantinya yaitu anaknya agar kelangsungan hidup keluarga
berjalan terus juga mempererat tali persaudaraan antara pewaris dengan ahli
waris pengganti.
Kata
kunci : ahli waris pengganti, hukum islam
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk dan membina keluarga yang kekal dan merupakan
ibadah serta mendapatkan keturunan yang harus dipelihara dan dididik dengan
baik, disamping itu merupaka sarana untuk mengalihkan harta benda kepada
keturunannya tersebut. Adapun peralihan harta benda secara demkian disebut
pewarisan yang diatur oleh norma hukum kewarisan. Salah satu bentuk hukum yang diterapkan di Indonesia dalam rangka
mengatur hubungan hukum antara masyarakat Indonesia adalah Hukum Islam. Hukum Islam
merupakan hukum yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadist yang mengatur segala
perbuatan hukum bagi masyarakat yang menganut agama Islam.Hukum Kewarisan Islam
adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak
dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia
kepada ahli warisnya. Dengan demikian, dalam hukum kewarisan ada tiga unsur
pokok yang saling terka it yaitu
pewaris, harta waris, dan ahli waris.
Hukum
waris yang berlaku secara nasional ada tiga macam, yaitu hukum waris Islam,
hukum waris barat/perdata, dan hukum waris adat. Hukum waris berdasarkan hukum
Islam berlaku bagi mereka yang memeluk agama Islam, hukum waris perdata berlaku
untuk golongan warga negara yang berasal dari Tionghoa dan
Eropa, sedangkan hukum waris adat yang merupakan hukum yang sejak dulu berlaku
dikalangan masyarakat, yang sebagian besar masih belum tertulis tetapi hidup
dalam tindakan-tindakan masyarakat sehari-hari, dan hukum waris adat ini
berlaku bagi golongan masyarakat Bangsa Indonesia asli.[1]
Hukum waris Islam pada dasarnya mengatur hal yang sama dengan hukum
waris pada umumnya (hukum waris barat dan hukum waris adat), yaitu mengatur
tentang pembagian harta peninggalan dari seseorang yang telah meninggal dunia.
Dalam hukum Islam, hukum waris mempunyai kedudukan yang amat penting. Hal ini
dapat dimengerti karena masalah warisan akan dialami oleh setiap orang, selain
itu masalah warisan merupakan suatu masalah yang sangat mudah untuk menimbulkan
sengketa atau perselisihan di antara ahli waris. Warga negara Indonesia yang
mayoritas beragama Islam telah menerima hukum Islam sebagai hukum kewarisan
yang sudah menjadi hukum positif di Indonesia. Namun ada beberapa persoalan
yang sering menimbulkan sengketa, seperti mengenai harta warisan atau sengketa yang berkaitan dengan ahli waris pengganti.
Penyelesaian masalah kewarisan Islam merupakan kewenangan peradilan
agama. Hal tersebut ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 1 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa
kewenangan Pengadilan Agama dibatasi khusus bagi orang-orang yang beragama
Islam sehingga masalah kewarisan merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Sebagai
acuan dari pelaksanaa undang-undang ini, telah diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam. Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang
peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan
bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat itu. Hal ini disebabkan hukum
kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia,
bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa
hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa hukum,
yaitu meninggalnya seseorang akan sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu
tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang
yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang
diatur dalam hukum kewarisan.
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja
di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan
masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan
di daerah itu. Salah satu konsep pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia
ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam melalui Intruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Salah satu
konsep pembaharuan hukum kewarisan Islam dalam Kompilasai Hukum Islam (KHI)
adalah diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada
keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang
menjelaskan bahwa: Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris
maka kedudukannya dapat di gantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut
dalam Pasal 173. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat.
Kedua ayat dalam Pasal tersebut telah mengangkat posisi seseorang yang
sebelumnya dipandang tidak berhak mendapatkan warisan, untuk kemudian
ditempatkan sebagai kelompok ahli waris yang berhak menerima harta warisan
setelah diangkat untuk menempati kedudukan orang tuanya yang telah meninggal
lebih dahulu dari pewaris. Namun ketentuan tersebut tidak secara rinci
menetapkan suatu bagian tertentu yang akan diperoleh bagi seorang ahli waris
pengganti serta tidak pula menentukan apakah segala atribut yang disandang oleh
ahli waris yang diganti itu diturunkan pula pada ahli waris yang
menggantikannya, misalnya dalam hal hijab
mahjub (dinding mendinding). Selain itu, Pasal tersebut juga tidak
menegaskan apakah ketentuan itu berlaku hanya pada ahli waris garis lurus ke
bawah (nubuwwah), atau berlaku pula
pada ahli waris garis lurus ke atas (ubuwwah),
atau berlaku juga pada ahli waris garis ke samping (ukhuwwah). Oleh karena itu, hal tersebut dapat menimbulkan
interpertasi yang berbeda tentang ahli waris pengganti ini. Bahkan ahli waris
yang sebelumnya telah memperoleh bahagian berdasarkan ketentuan yang sudah baku
pun dianggap sebagai ahli waris pengganti dengan berdasar pada ketentuan Pasal
185 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut
: Bagaimana kedudukan ahli waris pengganti dalam hukum kompilasi Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum untuk mengetahui sejauh mana
penggantian tempat ahli waris dalam kompilasi hukum Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun
manfaat dalam penelitian ini adalah : Sebagai
sumbangan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum waris
yang membahas tentang ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam.
a.
Memperluas pola fikir dan mengembangkan
pengetahuan dibidang hukum kewarisan.
c. sumbangan
ilmu pengetahuan agar dapat menciptakan unifikasi dibidang hukum waris untuk
menuju kodifikasi hukum hingga dapat mewujudkan hukum waris nasional.
D. Metode Penelitian
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan
masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna
memperoleh pemecahan permasalahan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis,
metodelogi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah.
Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan
ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.[2] Metode penelitian
yang tepat diperlukan untuk memberikan pedoman serta arah dalam mempelajari
serta memahami tentang objek yang diteliti. Dengan demikian panelitian yang
dilakukan akan berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang
ditetapkan.[3]
Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran
tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu
dengan jalan menganalisanya.[4] Oleh karena jenis penelitian
ini adalah merupakan penelitian hukum normatif. ( yuridis normatif), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
mengutamakan meneliti bahan pustaka atau dokumen yang disebut data sekunder,
berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Bahan hukum diperoleh melalui
studi pustaka atau literatur, Data sekunder tersebut meliputi:
a. Bahan
Hukum Primer, yang merupakan bahan hukum yang
mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang antara lain dari:
Al-Qur’an dan Hadist; Kompilasi Hukum Islam.
b.
Bahan
Hukum Sekunder yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, berupa: Buku-buku; Jurnal-jurnal; Majalah-majalah;
Artikel-artikel media; dan berbagai tulisan lainnya.
c.
Bahan Hukum Tersier yang merupakan bahan-bahan
hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan sekunder, serperti :Kamus Inggris-Indonesia; Kamus Hukum Arab-Indonesia;
Kamus Besar Bahasa Indonesia; Ensiklopedi Hukum Islam.
Metode yang digunakan dalam menganalisis dan mengolah data-data yang
terkumpul adalah analisis kualitatif.
Maksud dari penggunaan metode tersebut adalah memberikan gambaran terhadap
permasalahan berdasarkan pada pendekatan yuridis normatif.[5] Pada metode ini bahan-bahan
yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan yaitu data sekunder, terhadap
data tersebut dilakukan hal sebagai berikut : Memilih pasal-pasal dan ayat-ayat
serta pendapat para ahli hukum yang
berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang masalah ahli waris pengganti
tersebut agar dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Bahan hukum yang
diperoleh dianalisis dengan objektif, serta menghubungkannya dengan pendapat
pakar hukum dan penulis-penulis, lalu hasilnya ditafsirkan untuk dirumuskan
menjadi penemuan dan kesimpulan penelitian.
A.
Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Islam
1.
Pengertian Harta Waris
Dalam literatur
fiqh Islam, kewarisan (al-mawarits kata tunggalnya al-mirats) lazim juga
disebut dengan fara‟idh, yaitu jamak dari kata faridhah diambil dari kata fardh
yang bermakna “ketentuan atau takdir”. Al-fardh dalam terminologi syar’i ialah
bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.[6]
Hukum kewarisan
Islam adalah hukum yang mengatur segala yang berkenaan dengan peralihan hak dan
kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli
warisnya.[7]
Di dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 171 (a) dinyatakan bahwa hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagian masing-masing.
2.
Syarat dan Rukun Waris
Pada dasarnya
pesoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikan sebuah
benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya. Dalam hukum
waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta
warisan berpindah dengan sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa
digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris.[8] Pengertian
tersebut akan terpenuhi apabila syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan
tidak terhalang mewarisi.
Dalam pembagian
harta warisan terdapat tiga syarat pokok
yang telah disepakati oleh ulama, ketiga syarat tersebut adalah:[9]
a. Meninggalnya
seseorang (pewaris) baik secara hakiki hukumnya (misalnya dianggap telah
meninggal) maupun secara taqdiri.
b. Adanya ahli waris yang hidup secara
hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
c. Seluruh ahli waris diketahui secara
pasti baik bagian masing-masing.
Disamping syarat
diatas, juga rukun waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan. Menurut
Fachtur Rahman, bahwa rukun waris dalam hukum kewarisan Islam diketahui ada tiga
yaitu:[10]
a. Muwaris yaitu orang yang diwarisi harta
peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris harus benar-benar
telah meninggal dunia, baik mati hakiki maupun mati hukmy yaitu suatu kematian yang
dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun sesungguhnya
ia belum mati.
b. Waris (ahli
waris) yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan
darah (nasab), hubungan sebab semenda atau hubungan perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris,
ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi
yang masih dalam kandungan (al-haml) terdapat juga syarat lain yang harus
dipenuhi, yaitu antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling
mewarisi.
c. Maurus atau
al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan
jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.[11]
3.
Bagian-bagian Ahli Waris
Harta waris
dibagikan jika memang orang yang telah mati itu meninggalkan harta yang berguna
bagi orang lain. Namun sebelum harta warisan itu diberikan kepada ahli waris,
ada tiga hal yang terdahulu mesti dikeluarkan, yaitu:[12]
a. Segala biaya yang berkaitan dengan
proses pemakaman jenazah
b. Wasiat dari orang yang meninggal
c. Hutang piutang sang mayit.
Ketika tiga hal
di atas telah terpenuhi barulah pembagian harta waris diberikan kepada keluarga
dan juga para kerabat yang berhak.
Menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf c, yang berbunyi “Ahli waris ialah orang yang
pada saat meninggal mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum utnuk menjadi ahli
waris”.[13]
Hukum waris Islam
membagi ahli waris menjadi dua macam yaitu:
a. Ahli waris
Nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena ada
hubungan darah. Maka sebab nasab menunjukkan hubungan kekeluargaan antara
pewaris dengan ahli waris.
b. Ahli waris sababiyah yaitu hubungan
kewarisan yang timbul karena sebab tertentu.
1) Perkawinan yang sah
2) Memerdekakan hamba
sahaya atau karena
perjanjian tolong menolong.
Macam-macam ahli
waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan yang ditinjau dari jenis
kelaminnya, dan dari segi haknya atas harta warisan. Jika ditinjau dari jenis
kelaminnya, maka ahli waris terdiri dari dua golongan yaitu ahli waris
laki-laki dan ahli waris perempuan. Sedangkan jika ditinjau dari segi hak atas
harta warisan maka ahli waris terdiri dari 3 golongan yaitu al-dzawil furudl,
„ashabah, dan dzawil arham.[14]
Adapun besar
kecilnya bagian yang diterima bagi masing-masing ahli waris dapat dijabarkan
sebagai berikut. Pembagian harta waris dalam Islam telah ditentukan dalam
Al-Qur’an surat an-Nisa’ secara tegas dan jelas yaitu ada pihak yang
mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga
(2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).[15]
a. Pembagian harta waris bagi orang-orang yang
berhak mendapatkan warisan separuh (1/2)
1. Seorang suami
yang ditinggalkan istri dengan syarat ia tidak memiliki keturunan anak
laki-laki maupun perempuan, walaupun keturunan tersebut tidak berasal dari
suaminya kini (anak tiri).
2. Seorang anak
kandung perempuan dengan 2 syarat yaitu pewaris tidak memiliki anak laki-laki,
dan anak tersebut merupakan anak tunggal.
3. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki
dengan 3 syarat yaitu apabila cucu tersebut tidak memiliki anak laki-laki, dia
merupakan cucu tunggal, dan apabila pewaris tidak lagi mempunyai anak
perempuan.
4. Saudara kandung perempuan dengan syarat: ia
hanya seorang diri (tidak memiliki saudara lain) baik perempuan ataupun
laki-laki, dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek ataupun keturunan baik
laki-laki maupun perempuan.
5. Saudara
perempuan se-ayah dengan syarat: apabila ia tidak mempunyai saudara (hanya
seorang diri), pewaris tidak memiliki saudara kandung naik perempuan maupun
laki-laki dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek dan keturunan.[16]
b. Pembagian harta waris dalam Islam bagi
orang-orang yang berhak mendapatkan warisan seperempat (1/4) yaitu seorang
suami yang ditinggal oleh istrinya dan begitu pula sebaliknya.
1. Seorang suami
yang ditinggalkan dengan syarat, istri memiliki anak atau cucu dari keturunan
laki-lakinya, tidak peduli apakah cucu tersebut darah dagingnya atau bukan.
2. Seorang istri
yang ditinggalkan dengan syarat, suami tidak memiliki anak atau cucu, tidak
peduli apakah anak tersebut merupakan anak kandung dari istri tersebut atau
bukan.[17]
c. Pembagian harta waris bagi orang-orang yang
berhak mendapatkan waris seperdelapan (1/8) yaitu istri yang ditinggalkan
suaminya yang mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut berasal dari
rahimnya atau bukan.[18]
d. Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang
yang berhak mendapatkan waris dua pertiga (2/3).
1. Dua orang
anak kandung perempuan atau lebih, dimana dia tidak memiliki saudara laki-laki
(anak laki-laki dari pewaris).
2. Dua orang
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan syarat pewaris tidak
memiliki anak kandung, dan dua cuc tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.
3. Dua saudara
kandung perempuan (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak memiliki anak, baik
laki-laki maupun perempuan, pewaris juga tidak memiliki ayah atau kakek, dan
dua saudara perempuan kandung tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.
4. Dua saudara
perempuan seayah (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak mempunyaun anak, ayah
atau kakek ahli waris yang dimaksud tidak memiliki saudara kandung.[19]
e. Pembagian harta waris dalam Islam bagi
orang-orang yang berhak mendapatkan waris sepertiga (1/3)
1. Seorang ibu
dengan syarat pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dan keturunan
anak laki-laki. Pewaris tidak memiliki dua atau lebih saudara (kandung atau
bukan).
2. Saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih dengan syarat
pewaris tidak memiliki anak, ayah atau kakek dan jumlah saudara seibu tersebut
dua orang atau lebih.[20]
4.
Sebab-sebab Seseorang Mendapatkan Warisan
Seseorang berhak
mendapatkan sejumlah harta warisan apabila terdapat salah satu sebab di bawah
ini yaitu:
a. Kekeluargaan
b. Perkawinan
c. Karena memerdekakan budak
d. Hubungan Islam orang yang meninggal
dunia apabila tidak mempunyai ahli waris, maka harta peninggalannya diserahkan
ke baitul mal untuk umat Islam dengan jalan pusaka.[21]
5.
Sebab-sebab Seseorang Tidak Berhak Mendapatkan Warisan
a. Hamba.
Seorang hamba tindakan mendapat warisan dari semua keluarganya yang meninggal
dunia selama ia masih berstatus hamba.
b. Pembunuh.
Seorang pembunuh tidak memperoleh warisan dari orang yang dibunuhnya.
Rasulullah Saw bersabda : “Yang membunuh tidak mewarisi sesuatupun dari yang
dibunuhnya” (HR Nasai).
c. Murtad. Orang
yang murtad tidak mendapat warisan dari keluarganya yang masih beragama Islami.
d. Orang non
muslim. Orang non muslim tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang
beragama Islam dan begitu pula sebaliknya, orang muslim tidak berhak menerima
harta warisan dari orang non muslim (kafir).[22]
6.
Pewaris Pengganti
Perihal pewaris
pengganti, KHI mengaturnya dalam pasal 185 sebagai berikut:
a. Ahli waris
yang meninggal lebih dahulu dari pewaris maka kedudukannya dapat digantikan
oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
b. Bagian ahli
waris pengganti tidak boleh melebihi dari ahli waris yang sederajat dan yang
diganti.[23]
Hukum waris
adalah semua aturan yang mengatur tentang pemindahan hak atas kekayaan
seseorang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya dan atau yang ditunjuk
berdasarkan wasiat si pewaris. Hal-hal yang menyangkut hukum waris adalah:[24]
Pewaris adalah orang yang meninggal yang
meninggalkan hartanya untuk diwariskan. Dalam Pasal 830 KUHPdt dinyatakan
“Pewarisan hanya terjadi karena kematian”.
Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama serta perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama menjelaskan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu
pelaksana kakuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Adapun
tugas dan wewenang pengadilan agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat, infaq,
wakaf dan sadaqah serta ekonomi syari‟ah.
Dalam Hukum Acara Perdata, selain perkara gugatan dimana terdapat pihak
penggugat dan tergugat, ada perkara-perkara yang disebut permohonan yang
diajukan oleh seorang pemohon atau lebih secara bersama-sama. Perbedaan gugatan
dengan permohonan adalah bahwa perkara gugatan merupakan sengketa atau konflik
yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam hal
permohonan tidak ada sengketa. Dalam hal ini hakim sekedar memberi jasa-jasanya
sebagai seorang tata usaha negara. Hakim kemudian mengeluarkan suatu penetapan
atau biasa disebut putusan declaratoir,
yaitu putusan yang bersifat menetapkan atau
menerangkan saja. Dalam persoalan ini hakim tidak memutuskan suatu konflik
seperti halnya dalam perkara gugatan. Terhadap putusan declaratoir atau penetapan upaya hukum yang dapat dilakukan adalah kasasi.
Dalam hukum waris Islam, ahli waris laki-laki berkedudukan seimbang
dengan ahli waris wanita sesuai dengan kedudukan dan fungsinya dalam keluarga
dimana ahli waris laki-laki dan wanita memperoleh hak dengan perbadingan 2 : 1
(dua banding satu). Perbandingan tersebut didasarkan bahwa laki-laki mempunyai
tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan wanita, misalnya akan menjadi kepala
rumah tangga keluarga. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 34 bahwa: yang kepadanya dibebankan untuk memberikan
nafkah kepada keluarganya dan anak laki-laki itu setelah meninggal orang tuanya
(bapaknya), maka ia langsung mengambilalih tanggung jawab tersebut seperti
memberikan nafkah kepada saudara-saudaranya, termasuk jika ada saudaranya yang
wanita ditinggal mati oleh suaminya.
Pembagian harta warisan antara laki-laki dan wanita tersebut dijelaskan
dalam surah An Nisa ayat 11 dan 176 yang terjemahannya adalah sebagai berikut:
Ayat 11 : Allah telah menetapkan pembagian harta
warisan anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak
wanita.
Ayat 176 :
Jika mereka ada beberapa orang saudara
laki-laki dan wanita, maka bagian untuk seorang anak laki-laki sebanyak bagian
dua orang wanita.
Anak-anak pewaris masing-masing ditetapkan sebagai ahli waris dzawwul furudh dengan perbandingan 2 : 1 (dua banding satu) antara
anak laki-laki dan anak wanita.
Kelompok-kelompok
ahli waris terdiri dari:
1.
Menurut hubungan darah: golongan laki-laki
terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek dan golongan
perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
2.
Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda
atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya:
anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Kemudian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa: Ahli
waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
Bagian
ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti.
Apabila melihat Pasal
185 Ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam, maka ketentuan
yang berlaku bahwa harus si ahli waris yang meninggal terlebih dahulu
untuk kemudian dapat digantikan posisinya oleh ahli waris pengganti (anak-anak
ahli waris/cucu pewaris). Hadis yang dimaksud antara lain yang diriwayatkan
oleh Bukhari (t.th., (VIII) :7) dari Ibnu „Abbas sebagai berikut: Berikanlah bagian yang telah ditentukan dalam Alquran kepada
yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah kepada keluarga laki-laki
yang terdekat.
Hadis ini menegaskan bahwa harta warisan harus diserahkan kepada ahli
warisnya yang dalam hal ini dibagikan terlebih dahulu kepada kelompok dzawwul furudh dan setelah itu, sisanya
diserahkan kepada kelompok „asabah.
Ahli waris asabah adalah ahli waris
yang bagian yang diterimanya adalah sisa setelah harta warisan dibagikan kepada
ahli waris dzawwul furudh.
Hadis berikutnya adalah dari Zaid bin Tsabit yang diriwayatkan oleh
Bukhari, (t.th.,: VIII: 6) sebagai berikut: Cucu laki-laki dan cucu wanita dari
keturunan laki-laki, sederajat dengan anak jika tidak ada anak laki-laki yang
masih hidup, maka bagian cucu laki-laki tersebut seperti dengan anak laki-laki.
Sedangkan cucu wanita seperti halnya dengan anak wanita. Mereka menghijab seperti halnya anak. Hadist
ini menegaskan bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki adalah sederajat dengan
anak laki-laki. Demikian halnya dengan cucu perempuan setara pula dengan anak
perempuan, mereka mewaris dan mendinding sebagaimana halnya dengan anak.
Jika melihat Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam dimana dijelaskan
bahwa “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Dalam konteks ini,
Sarwoedy tidak masuk dalam kategori ahli waris. Walaupun dalam Pasal 171 huruf
c ditentukan bahwa ahli waris adalah yang mempunyai hubungan perkawinan, namun hubungan perkawinan
yang dimaksud adalah kedudukannya sebagai suami/isteri.
Jika dikaji dengan teliti redaksi Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam,
khususnya pada Ayat (1) tersebut, maka secara tekstual dapat dipahami bahwa
tidak ada kewajiban hukum untuk menerapkan pasal tersebut terhadap semua kasus
penggantian ahli waris. Pasal itu hanya bersifat fakultatif. Hal tersebut dapat
dipahami dari redaksi “… dapat digantikan…”,
kata ini mengisyaratkan bahwa pasal tersebut
bukanlah suatu keharusan yang bersifat imperatif.
Dengan demikian, berarti bahwa Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam boleh
digunakan dalam hal tertentu saja, yakni apabila ada ahli waris yang dipandang
tidak bisa memperoleh harta warisan atau belum berhak memperoleh harta warisan,
sementara yang bersangkutan sangat dekat hubungan kekerabataanya (hubungan
darah) dengan pewaris, misalnya cucu dari si pewaris. Dalam kasus seperti ini
timbul 2 (dua) pendapat, ada yang mengatakan mereka dapat menggantikan ahli
waris dan ada pula yang mengatakan mereka tidak dapat menggantikan ahli waris.
Pandangan yang mengatakan bahwa cucu pewaris dipandang tidak berhak mendapatkan
harta warisan karena masih ada kelompok ahli waris dzawwul furudh yang menutupinya. Namun
demikian, ketentuan yang terpenting adalah bahwa ahli waris pengganti dapat
menggantikan kedudukan ahli waris dzawwul
furudh sepanjang ahli waris dzawwul
furudh yang lebih dulu meninggal dunia dari pada si pewaris.
Jika Pasal 185 tersebut dijadikan sebagai dasar dalam pertimbangan
hukum, maka bagian ahli waris tersebut dapat saja memperoleh bagian maksimal,
yakni seperti sedianya akan diterima orang tuanya selama yang bersangkutan
tidak terhalang untuk tampil menjadi ahli waris sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal tersebut yang terhalang menjadi
ahli waris adalah ahli waris yang telah dipersalahkan oleh pengadilan dan sudah
berkekuatan hukum tetap karena alasan pembunuhan, atau mencoba melakukan pembunuhan,
atau menganiaya berat pewaris, atau pun memfitnah pewaris.
Bahwa anak-anak si pewaris dianggap tidak efektif lagi untuk mendinding
atau menutupi ahli waris lainnya, dalam hal ini cucu laki-laki dan wanita dari
anak perempuan si pewaris yang telah meninggal terlebih dahulu sehingga mereka
ditetapkan memperoleh bagian yang berasal dari bagian orang tuanya. Cucu dari
pewaris masing-masing diangkat posisinya sebagai ahli waris efektif untuk
mengganti kedudukan orang tuanya yang sudah meninggal lebih dahulu dari pewaris. Setelah penempatan tersebut, posisi cucu tersebut
kedudukannya tidak disejajarkan dengan posisi anak-anak si pewaris sehingga
ahli waris pengganti hanya memperoleh bagian dari bagian yang diterima oleh
orang tuanya. Bagian orang tuanya inilah yang kemudian dibagi oleh si cucu
berdasarkan porsinya masing-masing.
Dalam Hukum Waris Perdata Barat dikenal 2 (dua) cara mewarisi, yakni
mewaris secara langsung dan mewaris secara tidak langsung. Mewaris secara
langsung yaitu mewaris karena dirinya sendiri (uit eigen hoofde), sedangkan mewaris secara tidak langsung atau
mewaris dengan cara mengganti (bij
plaatsvervulling) ialah mewaris untuk orang yang telah meninggal terlebih
dahulu daripada si pewaris, ia menggantikan kedudukan ahli waris yang telah
meninggal terlebih dahulu dari si pewaris.[25]
Mewaris karena dirinya sendiri (uit
eigen hoofde) dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 852 dimana haknya adalah
haknya ia sendiri dimana tiap-tiap ahli waris menerima bagian yang sama
besarnya. Mewaris dengan cara mengganti (bij
plaatsvervulling) dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 841-848 penggantian
disini bukan hanya menggantikan dalam hal mewaris, tetapi juga menggantikan hak
seperti hidupnya orang yang digantikan.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa kedudukan ahli waris pengganti pada prinsipnya
adalah menggantikan hak hidupnya orang yang digantikannya itu, bukan terbatas
dalam hal mewaris. Menurut penulis, penggantian tempat dalam Kompilasi Hukum
Islam pada prinsipnya sama dengan penggantian tempat dalam hukum waris perdata
barat sebagaimana diuaraikan di atas. Prinsipnya adalah penggantian
tempat bukan hanya dalam hal mewaris, tetapi juga hak hidupnya orang yang
digantikannya itu.
Cucu adalah keturunan garis lurus ke bawah yang dimana kedudukannya itu disamakan
dengan anak, ia berhak menjadi ahli waris dan bahkan dalam hal tertentu ia
menjadi ahli waris bersamaan dengan anak si pewaris. Namun demikian, kedudukan
cucu sebagai ahli waris tidak diatur secara rinci dalam Al-Quran sehingga
terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli mengenai kedudukan cucu sebagai
ahli waris, apakah hanya cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki
atau termasuk pula cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan.
Menurut Mazhab Syafi‟i, ada 3 macam ahli waris, yakni
Dzawwil
Furudh,
yakni ahli waris yang mempunyai bagian tertentu.
‘Ashabah, yakni
ahli waris yang mempunyai bagian, tetapi jika tidak ada ahli waris dzawwil
furudh sama sekali, maka mereka menerima seluruh harta warisan. Jika ada
ahli waris dzawwil furudh maka ahli
waris „ashabah menerima sisanya.
Dzawwil Arham, yakni ahli waris yang mempunyai hubungan keluarga dengan pewaris tetapi tidak masuk ahli waris dzawwil furuhl dan ‘ashabah. Ahli
waris dzawwil arham baru mendapat bagian warisan sesudah ahli waris dzawwil furudh dan ‘ashabah tidak ada.
Jika melihat konsep Mazhab Syafi‟i ini bisa dikatakan bahwa sistem
kewarisan yang dianut adalah bersifat partilineal karena hukum kekeluargaannya
menarik garis keturunan dari garis laki-laki atau garis bapak sehingga hanya
anak laki-laki yang dapat menjadi penghubung. Menurut ajaran kewarisan Sunni,
dalam hal pergantian tempat, cucu yang berhak mewaris hanyalah cucu laki-laki
dan cucu perempuan dari anak laki-laki pewaris, sedangkan cucu laki-laki dan
cucu perempuan dari anak perempuan pewaris tidak dapat mewaris. Sayuti Thalib
mengartikan ajaran ini ke dalam garis hukum sebagai berikut:[26]
a.
Cucu laki-laki melalui anak laki-laki menempati
tempat anak laki-laki kalau tidak ada anak laki-laki dan tidak ada anak
perempuan. Cucu laki-laki ini mewaris dan menghijab sama seperti anak lak-laki.
b.
Cucu perempuan melalui anak laki-laki menempati
tempat anak perempuan kalau tidak ada anak laki-laki dan tidak ada anak
perempuan. Cucu perempuan ini mewaris dan menghijab sama seperti anak
perempuan.
c.
Cucu laki-laki melalui anak laki-laki tidak
mewaris jika ada anak laki-laki.
Jika ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan dan seorang cucu
laki-laki, maka anak perempuan itu mendapat ½ harta peninggalan sedangkan cucu
laki-laki melalui anak laki-laki itu mendapat sisa.
Cucu melalui anak perempuan, baik
laki-laki maupun perempuan baru berhak tampil sebagai ahli waris jika: Sudah
tidak ada ashabul furudh (orang yang
berhak mewaris) atau „ashabah sama
sekali. Ashabul furudh yang mewarisi
bersama-sama dengan dzawwil arham itu
salah seorang suami isteri, maka salah seorang suami isteri mengambil bagiannya lebih dahulu, baru kemudian sisanya
diterimakan kepada mereka. Sisa itu tidak boleh di-radd-kan kepada salah
seorang suami isteri selama masih ada dzawwil arham. Sebab me-radd-kan sisa
lebih kepada salah seorang suami isteri dikemudiankan daripada menerimakan
kepada dzawwil arham.[27]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hukum kewarisan Sunni dalam
kaitannya dengan ahli waris pengganti sifatnya diskriminatif dan terbatas.
Diskriminatif yang dimaksud disini adalah bahwa dalam hukum kewarisan ini yang
dapat menjadi ahli waris pengganti hanyalah cucu yang melalui garis
laki-laki/anak laki-laki, sedangkan cucu dari garis perempuan tidak berhak
menerima warisan karena ia adalah dzawwil arham. Terbatas maksudnya adalah
bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki hanya akan menerima warisannya jika
pewaris tidak mempunyai anak laki-laki lain yang masih hidup, sedang cucu perempuan baru akan menerima warisan jika perwaris tidak
mempunyai anak laki-laki atau dua anak perempuan yang masih hidup.
Selain ajaran Sunni atau ajaran Mazhab Syafi‟i, Hazairin juga memiliki
ajaran tentang ahli waris pengganti. Penggantian kedudukan menurut Hazairin
sebenarnya sudah termakub dalam Surat An Nisa ayat 33 yang artinya “dan bagi tiap-tiap orang kami membuat mawali
(waris pengganti) dari apa yang telah
ditinggalkan oleh ibu bapaknya dan kerabat dekatnya dan orang yang mengikat
janji denganmu maka berilah mereka bagiannya”. Menurut Hazairin, maksud
mengadakan ahli waris untuk si fulan
adalah bahwa bagian si fulan yang akan diperolehnya seandainya dia hidup dari
harta peninggalan itu, dibagi-bagikan kepada mawalinya itu, bukan sebagai ahli
warisnya tetapi sebagai ahli waris-ahli waris ibu atau bapaknya yang meninggalkan
harta itu.[28]
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa kedudukan
cucu dapat menggantikan posisi orang tuanya secara penuh sebagai ahli waris.
Selain itu, kedudukan kakek dan nenek, baik dari pihak ayah maupun dari pihak
ibu dapat pula menggantikan posisi anaknya sebagai ahli waris pengganti. Cucu
dapat menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal dunia lebih dahulu
meskipun pewaris mempunyai anak laki-laki lain yang masih hidup.
Cucu tersebut tidak dibedakan apakah ia laki-laki ataupun perempuan, baik dari
anak laki-laki maupun dari anak perempuan.
Ajaran kewarisan seperti yang dikemukakan oleh Hazairin ini adalah untuk
memperjuangkan hak warisan bagi ahli waris yang ditinggal mati lebih dulu oleh
orang tuanya atau ahli waris yang menghubungkannya. Ajaran ini berbeda dengan
ajaran Sunni yang menempatkan cucu sebagai dzawwil arham seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya. Dengan ajaran seperti yang diikemukakan oleh Hazairin
ini, maka seorang anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya dapat memperoleh
bagian warisan sesuai dengan bagian yang sedianya akan diterima oleh orang
tuanya apabila orang tuanya tersebut masih hidup.
Teori ahli waris pengganti Hazairin juga dapat dipandang sebagai
pemecahan masalah keadilan dan menghindari diskriminatif terhadap kelompok ahli
waris tertentu yang berjenis kelamin perempuan, sehingga dengan demikian
kelompok ahli waris yang dinamakan dzawwil arham dapat diangkat sebagai ahli
waris yang sesungguhnya, selama mereka memungkinkan dapat ditampilkan sebagai
ahli waris, karena tidak sama-sama mewarisi dengan orang-orang yang berada di
atasnya atau tidak terdapat larangan syara‟ yang menghalangi penerimaan hak
kewarisan.
Dalam perkara perdata, yang diutamakan adalah bagaimana kemudian para
pihak yang bersengketa dapat berdamai. Hakim selalu mengupayakan
perdamaian di antara ke dua belah pihak yang bersengketa dan kalau pun perkara
tersebut tetap berlanjut, maka hakim mengupayakan putusan yang sifatnya win-win solution sehingga tidak ada
pihak yang merasa dirugikan. Hal yang demikian itu tidak terkecuali dalam
perkara pewarisan.
Ketentuan mengenai ahli waris pengganti dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum
Islam harus dapat diterapkan secara optimal untuk mewujudkan keadilan sebagai
salah satu tujuan hukum. Dengan memberikan harta warisan kepada ahli waris yang
sebelumnya dipandang tidak berhak untuk kemudian menggantikan kedudukan orang
tuanya adalah perbuatan yang sangat terpuji di sisi Allah SWT sekaligus sebagai
perekat dalam keluarga untuk memelihara hubungan silaturahmi sehingga keakraban
tetap utuh. Di samping itu, hal
tersebut juga dimaksudkan sebagai ungkapan rasa kemanusiaan, apalagi hal
tersebut sudah menjadi ijma’ ulama se
Indonesia.
Dalam Alquran surat al-Nisa
ayat 8 sebagai berikut: Dan apabila waktu pembagian itu hadir kerabat, anak
yatim dan orang-orang miskin, maka berilah harta dari mereka itu (sekadarnya)
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Sedikit banyaknya bagian yang akan diterima ahli waris pengganti ditentukan dari
jenis kelamin ahli waris yang diganti yang sedianya menerima
harta warisan dari pewaris. Jika sekiranya ahli waris yang diganti itu wanita
(misalnya anak wanita yang meninggal lebih dahulu dari pewaris), maka bagian
yang diberikan kepada ahli waris yang menggantikannya itu sesuai dengan jumlah
yang sedianya akan diterima anak wanita pewaris tersebut walaupun ahli waris
pengganti itu laki-laki. Dengan cara seperti itu, maka ahli waris efektif
lainnya tidak merasa dirugikan haknya.
Ahli waris pengganti pada dasarnya adalah ahli waris karena penggantian,
yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak
mendapat warisan mati lebih dulu dari pada pewaris sehingga kedudukan orang
tuanya digantikan olehnya. Jadi, Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam bermakna
selain penggantian tempat, juga bermakna derajat dan hak-hak tanpa membedakan
dari garis keturunan laki-laki atau perempuan. Derajat yang dimaksud disini
adalah bahwa ahli waris yang menggantikan kedudukan anak lak-laki memperoleh
derajat yang sama dengan anak laki-laki, ahli waris yang menggantikan anak
perempuan maka ia akan memperoleh derajat yang sama dengan anak perempuan yang
digantikannya. Sedangkan hak yang dimaksud adalah bahwa apabila orang yang
digantikan oleh ahli waris pengganti tersebut memperoleh warisan maka ahli
waris pengganti juga berhak menerima warisan. Jika ia menggantikan kedudukan
anak laki-laki, maka ia akan mendapat bagian warisan sebesar bagian anak
laki-laki, jika perempuan maka ia akan mendapat bagian
sebesar bagian perempuan yang ia ganti tersebut. Jika ahli waris pengganti
tersebut ada dua orang atau lebih maka mereka akan berbagi sama rata atas
bagian harta yang diperoleh oleh ahli waris yang ia gantikan dengan ketentuan
laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan seperti yang diatur dalam Surat An
Nisa ayat 11.
Kompilasi Hukum Islam memberikan batasan mengenai bagian yang diterima
oleh ahli waris pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (2) ompilasi
Hukum Islam yang menyatakan bahwa bagian ahli waris pengganti tidak boleh
melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Berdasarkan
Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, bahwa kedudukan cucu pada kasus ini dapat
menggantikan kedudukan orang tuanya sebagai ahli waris. Berdasarkan Pasal 185
ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, seseorang dapat mewaris karena penggantian
tempat adalah:
a.
Orang yang digantikan oleh anaknya tersebut
harus sudah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.
b.
Orang yang digantikan oleh anaknya tersebut
merupakan ahli waris andaikata ia masih hidup.
Syarat pertama sudah sangat jelas bunyinya, sedangkan untuk syarat kedua
harus dilihat bunyi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 173 Kompilasi Hukum
Islam. Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa seseorang terhalang
menjadi ahli waris apabila terdapat putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: Dipersalahkan telah
membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris. Dipersalahkan secara
memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diacam dengan
hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Syarat lain yang meskipun tidak tersurat secara tegas dalam Kompilasi
Hukum Islam tetapi harus dianggap ada adalah bahwa yang digantikan itu harus
beragama Islam karena seorang cucu yang orang tuanya beragama selain agama
Islam dan telah meninggal lebih dahulu daripada pewaris (kakek atau nenek si
cucu) meskipun cucu tersebut beragama Islam, maka ia tidak dapat mewaris secara
penggantian tempat oleh karena seandainya si orang tua tersebut masih hidup
sesungguhnya ia tidak dapat menjadi ahli waris. Hal ini sebagaimana sabda
Rasulullah yang artinya “Orang-orang
Islam tidak dapat mewarisi harta orang
kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam”. (HR.
Muttafaq Alaih)
Menurut hukum
kewarisan Islam berdasarkan pendapat ahl al-sunnah, bahwa anak yang
menggantikan kedudukan ayahnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan dari
garis keturunan laki-laki yang ayahnya sudah meninggal terlebih dahulu dari
pewaris, sedangkan anak laki-laki dan anak perempuan dari garis keturunan
perempuan tidak berhak sama sekali menggantikan kedudukan ibunya untuk
memperoleh harta dari kakeknya (pewaris).[29]
Menurut hukum kewarisan Islam berdasarkan pendapat ahl al-sunnah bahwa cucu dari anak laki-laki baru dapat
menggantikan kedudukan orang tuanya apabila pewaris tidak meninggalkan anak
laki-laki yang lain yang masih hidup. Kalau syarat ini tidak terpenuhi maka
cucu tersebut terhijab oleh saudara ayahnya itu dan tidak akan memperoleh
bagian dari harta warisan kakeknya. Namun demikian ada wasiat wajibah yang
memberi peluang kepada cucu dari anak laki-laki yang terhijab untuk mendapatkan
warisan dari kakeknya.
Menurut hukum kewarisan Islam pendapat dari ahl al-sunnah hak yang
diperoleh ahli waris pengganti itu belum tentu sama dengan
hak orang yang digantikan, dan juga tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti, tetapi mungkin berkurang.
Berdasarkan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tersebut, cucu dapat menjadi
ahli waris pengganti dan menggantikan kedudukan orang tuanya. Bila orang tuanya
berkedudukan sebagai dzawil furudl maka ia akan menjadi dzawwil furudh juga, begitupun jika orang tuanya
berkedudukan sebagai ‘ashabah maka ia
pun menjadi ‘ashabah. Cucu akan
mendapat bagian warisan sebesar bagian yang
diperoleh orang tuanya seandainya ia masih hidup.
Ahli waris pengganti bertujuan untuk menjaga hak dari ahli waris yang
seharusnya menerima bagian dari pewaris yang dioper kepada penggantinya yaitu
anaknya agar kelangsungan hidup keluarga berjalan terus juga mempererat tali
persaudaraan antara pewaris dengan ahli waris pengganti. Hukum kewarisan telah melembagakan ahli waris pengganti ke
dalam dan telah melaksanakannya walaupun belum dalam bentuk undang-undang, tapi
dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam.
Secara normatif, pembagian warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang tertera secara konkrit dalam Al Qur‟an dan Al Sunnah. Namun
dalam kenyataannya, masyarakat sering melakukan pembagian warisan secara damai.
Hal ini terjadi bisa saja karena dalam kenyataannya ahli waris yang menerima
bagian besar secara ekonomi telah berkecukupan sementara ahli waris yang
menerima bagian sedikit masih kekurangan. Kompilasi Hukum Islam mengakomodir
pembagian warisan secara damai di mana dalam Pasal 183 dijelaskan bahwa “para
ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dengan pembagian harta warisan
setelah masing-masing menyadari bagiannya”. Kompilasi Hukum Islam menghendaki
agar pembagian warisan dengan cara damai ini, para ahli waris mengerti hak dan
bagiannya masing-masing. Apabila ada ahli waris yang secara ekonomi kekurangan
dan mendapat bagian sedikit, kemudian ada pula ahli waris yang menerima bagian
banyak ikhlas untuk memberikan kepada yang lain, maka hal itu dapat dibenarkan
untuk dilakukan.
II.
PENUTUP
Hukum kewarisan
Islam menentukan, bahwa anak dapat menggantikan kedudukan ayahnya adalah anak
laki-laki dan anak perempuan dari garis keturunan laki-laki yang ayahnya sudah
meninggal terlebih dahulu dari pewaris, sedangkan anak laki-laki dan anak
perempuan dari garis keturunan perempuan tidak berhak sama sekali menggantikan
kedudukan ibunya untuk memperoleh harta dari kakeknya (pewaris). Cucu dari anak
laki-laki baru dapat menggantikan kedudukan orang tuanya apabila pewaris tidak
meninggalkan anak laki-laki yang lain yang masih hidup. Dan hak yang diperoleh
ahli waris pengganti itu belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan, dan
juga tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang
diganti, tetapi mungkin berkurang. Demikian juga berdasarkan Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam tersebut, cucu
dapat menjadi ahli waris pengganti dan menggantikan kedudukan orang tuanya.
Bila orang tuanya berkedudukan sebagai dzawil furudl maka ia akan menjadi dzawwil furudh juga, begitupun jika
orang tuanya berkedudukan sebagai ‘ashabah
maka ia pun menjadi ‘ashabah. Cucu
akan mendapat bagian warisan sebesar bagian yang diperoleh orang tuanya seandainya ia masih hidup. Ahli waris
pengganti bertujuan untuk menjaga hak dari ahli waris yang seharusnya menerima
bagian dari pewaris yang dioper kepada penggantinya yaitu anaknya agar
kelangsungan hidup keluarga berjalan terus juga mempererat tali persaudaraan
antara pewaris dengan ahli waris pengganti. Hukum kewarisan telah melembagakan ahli waris pengganti ke
dalam dan telah melaksanakannya walaupun belum dalam bentuk undang-undang,
tapi dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam.
Kompilasi Hukum Islam mengakomodir pembagian warisan secara damai di mana dalam
Pasal 183 dijelaskan bahwa “para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dengan pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari
bagiannya”. Kompilasi Hukum Islam menghendaki agar pembagian warisan dengan
cara damai ini, para ahli waris mengerti hak dan bagiannya masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
R.Subekti, 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata, .Intermasa,
Jakarta.
Ronny
Hanintijo Soemitro, 1998. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Komarudin,
1979, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Ade
Saptomo, 2007. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum, Unesa University Press,
Surabaya.
Muhammad
Ali Ash-Sahabuni, 1995, Terj. A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam,
Gema Insani Press, Jakarta.
_____________
,1995. Hukum Waris Dalam Syariat Islam,
CV Diponegoro, Bandung, Amir Syarifudin, 2000. .Hukum Kewarisan Islam,
Jakarta: Kencana.
Muhammad
Daud Ali, 1990.Asas Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta.
Abdul
Ghofur Anshori, 2005. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ekonisia, Yogyakarta.
Ahmad Azhar Basyir, 2001. Hukum Waris Islam,
ed. revisi, UII Press, Yogyakarta.
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, 2008.
Hukum Waris Islam,: Sinar Grafika, Jakarta,
Ali Parman, 1995.Kewarisan Dalam Al-Qur‟an,
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Habiburrahman, 2011, Rekonstruksi Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia, t.t.p.: Kementrian Agama RI , Soesilo dan Pramuji
R, 2007. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, t.t.p: Wipress, Effendi Perangin, 2008, Hukum Waris,
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sajuti
Thalib, 1982, Hukum Kewarisan Islam di Indonesi, Bina Aksara, Jakarta.
Fatchur
Rahman, 1981, Ilmu Waris, .Alma’arif, Bandung. .
Hazairin,
1964, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadith, Tintamas Indonesia,
Jakarta.
Ahmad
Mujahidin, 2012, Pembaharuan Hukum Acara
Peradilan Agama, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Ali
Parman, 1995, Kewarisan Dalam Al-Quran
(Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Abdul
Aziz, 1997, Ensiklopedi Hukum Islam,
. Icthiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Abdul
Ghofur Anshori, 2005, Hukum kewarisan Di
Indonesia Eksistensi dan
Adaptabilitas, Ekonisia, Yogyakarta.
Bambang
Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian
Hukum, .RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ahmad
Azhar Basyir, 2001, Hukum Waris Islam,
UII Press, Yogyakarta. Ahmad Rafiq, 1993, Fiqih
Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Cik
Hasan Bisri, 1999, Kompilasi Hukum Islam
dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional, , Logos, Jakarta.
Departemen
Agama Republik Indonesia, 1989, Al-Qur’an
Dan Terjemahnya, .Jaya Sakti,
Surabaya.
Hilman
Hadikusuma, 2003, Hukum Waris Adat, .
Citra Aditya Bakti, Bandung.
M.
Idris Ramulyo, 2004, Perbandingan Hukum
Kewarisan Islam dengan Kewarisan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
___________,
2000, Perbandingan Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam dengan Kewarisan
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Sinar Grafika, Jakarta.
___________,
2006, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan,
Hukum Acara Peradilan Agama dan
Zakat, Sinar Grafika, Jakarta.
___________,
1993, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk
Wetboek), Sinar Grafika, Jakarta.
___________
,1987, Hukum Kewarisan Islam (Studi Kasus
Perbandingan Ajaran
Syafe’i/Patrilinial) Hazairin (Bilateral) dan Praktek Di Pengadilan Agama,
Ind.Hilco, Jakarta.
Soerjono
Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian
Hukum, UI Pres, Jakarta.
___________,Sri
Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif,
Raja Grafindo Persada Jakarta.
Sudarsono,
1991, Hukum Waris dan Sistem Bilateral,
.Rineka Cipta, Jakarta.
Zainuddin
Ali, 2008, Pelaksanaan Hukum Waris Di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Hazairin,
1982, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut
Al Qur’an dan Al Hadits,
Tintamas, Jakarta.
Juhaya
S. Praja, 1993, Filsafat Hukum Islam,
Yayasan Piara, Bandung.
Mohammad
Daud Ali, 2000, Asas-asas Hukum Islam
–Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , Rajawali Press, Jakarta .
Mukti
Arto, 2009, Hukum Waris Bilateral Dalam
Kompilasi Hukum Islam, Balqis Queen, Solo.
Roihan A. Rasyid, 1990, Kewenangan dan Acara
Peradilan Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika; Bandung.
[1] R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum
Perdata, .Intermasa, Jakarta. 1995, hal. 10
[2] Ronny Hanintijo Soemitro,
Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal 9
[3] Komarudin, Metode Penulisan
Skripsi dan Tesis, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1979, hal 27
[4] Ronny Hanintijo Soemitro, Op.Cit.
hal 9
[5] Ade Saptomo, Pokok-Pokok
Metodologi Penelitian Hukum, Unesa University Press, Surabaya, 2007, hal 30
[6] Muhammad Ali Ash-Sahabuni, Terj. A. M. Basalamah, Pembagian Waris
Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hal. 33.
[7] Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan
Islam, Jakarta: Kencana, 2000, hal. 4.
[8] Muhammad Daud Ali, Asas Hukum
Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1990 , hal. 129.
[9] Abdul Ghofur Anshori, Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia, Ekonisia, Yogyakarta, 2005 , hal. 24-25.
[11] Ibid.,hal. 26.
[12] Ibid., hal. 26.
[13] Muhammad Ali As Sahbuni, Hukum
Waris., hal. 49.
[14] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris
Islam, ed. revisi, UII Press, Yogyakarta, 2001, hal.34.
[15]
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam,: Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, hal. 24.
[16] Abdul Ghofur Anshori, Hukum
Kewarisan Islam..., hal. 52.
[17] Ibid., hal. 52.
[18] Ibid.,hal. 53.
[19] Ibid., hal. 54.
[20] Ibid., hal. 54.
[22] Ibid., hal. 63.
[23] Habiburrahman, Rekonstruksi
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, t.t.p.: Kementrian Agama RI , 2011, hal.
66-82.
[24] Soesilo dan Pramuji R, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, t.t.p:
Wipress, 2007,hal. 194.
[25] Effendi Perangin, Hukum Waris,
Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2008, hal.11
[26] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan
Islam di Indonesi, Bina Aksara, Jakarta. 1982, hal. 145-146.
[27] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, .Alma’arif, Bandung. 1981, hal.
357.
[28] Hazairin, Hukum Kewarisan
Bilateral menurut Qur’an dan Hadith, Tintamas Indonesia, Jakarta. 1982., hal. 29
[29] Fatchur Rahman, Op. Cit. hal.
60-64
ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
BalasHapusayo segera bergabung dengan kami di ionqq**
add pin black.berry 58ab14f5 || ditunggu ya**