Senin, 26 Februari 2018

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM


Oleh  Barhamudin
Fakultas Hukum Universitas Palembang
bsuryaigama@yahoo.com

ABSTRACT
               The purpose of the research is to know the extent of replacement place of heirs in the compilation of Islamic law. Legal research is a scientific activity based on certain methods, systems, and thoughts that aim to study one or all of the laws by analyzing them and this type of research is a normative legal research. (normative juridical), namely legal research conducted by prioritizing research library or documents called secondary data, in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. The materials obtained from the research that is done secondary data, to the data is done as follows: Selecting the articles and verses and opinions of the jurists who contains the legal precepts that regulate the problem of replacement heirs. The results obtained that the Islamic inheritance law determines, the child can replace his father's position is the son and daughter of the male lineage whose father had died first from the heir, while the boys and girls of the female lineage is not entitled entirely to replace his mother's position to obtain property from his grandfather (heir). The grandson of a new boy can replace his parent's position if the heir does not leave the other surviving son. And the right of the surrendered heir is not necessarily the same as the right of the person to be replaced, nor should it be exceeded from the part of the heirs who are equal to the substituted, but may be reduced. Likewise, based on Article 185 of the Compilation of Islamic Law, grandchild may be the surrogate heir and replace the position of his parents. Grandchildren will have an inheritance equal to the share earned by his parents if he were alive. The surrogate heirs aims to safeguard the right of the beneficiary who should receive the part of the heiress who is passed on to his successor ie his son for continued family survival also strengthens the brotherhood between the heirs and the successor heirs.
Keywords: successor heirs, Islamic law
ABSTRAK
Tujuan penelitian untuk mengetahui sejauh mana penggantian tempat ahli waris dalam kompilasi hukum Islam. Penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya dan  jenis penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum normatif. ( yuridis normatif), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan mengutamakan meneliti bahan pustaka atau dokumen yang disebut data sekunder, berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan-bahan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan yaitu data sekunder, terhadap data tersebut dilakukan hal sebagai berikut : Memilih pasal-pasal dan ayat-ayat serta pendapat  para ahli hukum yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang masalah ahli waris pengganti. Hasil penelitian diperoleh bahwa hukum kewarisan Islam menentukan, anak dapat  menggantikan kedudukan ayahnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan dari garis keturunan laki-laki yang ayahnya sudah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, sedangkan anak laki-laki dan anak perempuan dari garis keturunan perempuan tidak berhak sama sekali menggantikan kedudukan ibunya untuk memperoleh harta dari kakeknya (pewaris). Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan kedudukan orang tuanya apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang lain yang masih hidup. Dan hak yang diperoleh ahli waris pengganti itu belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan, dan juga tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, tetapi mungkin berkurang. Demikian juga berdasarkan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tersebut, cucu dapat menjadi ahli waris pengganti dan menggantikan kedudukan orang tuanya. Cucu akan mendapat bagian warisan sebesar bagian yang diperoleh orang tuanya seandainya ia masih hidup. Ahli waris pengganti bertujuan untuk menjaga hak dari ahli waris yang seharusnya menerima bagian dari pewaris yang dioper kepada penggantinya yaitu anaknya agar kelangsungan hidup keluarga berjalan terus juga mempererat tali persaudaraan antara pewaris dengan ahli waris pengganti.
Kata kunci : ahli waris pengganti, hukum islam



I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah   
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk dan membina keluarga yang kekal dan merupakan ibadah serta mendapatkan keturunan yang harus dipelihara dan dididik dengan baik, disamping itu merupaka sarana untuk mengalihkan harta benda kepada keturunannya tersebut. Adapun peralihan harta benda secara demkian disebut pewarisan yang diatur oleh norma hukum kewarisan. Salah satu bentuk hukum yang diterapkan di Indonesia dalam rangka mengatur hubungan hukum antara masyarakat Indonesia adalah Hukum Islam. Hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadist yang mengatur segala perbuatan hukum bagi masyarakat yang menganut agama Islam.Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dengan   demikian, dalam hukum kewarisan ada tiga unsur pokok yang saling terka    it yaitu pewaris, harta waris, dan ahli waris.
Hukum waris yang berlaku secara nasional ada tiga macam, yaitu hukum waris Islam, hukum waris barat/perdata, dan hukum waris adat. Hukum waris berdasarkan hukum Islam berlaku bagi mereka yang memeluk agama Islam, hukum waris perdata berlaku untuk golongan warga negara yang berasal dari Tionghoa dan Eropa, sedangkan hukum waris adat yang merupakan hukum yang sejak dulu berlaku dikalangan masyarakat, yang sebagian besar masih belum tertulis tetapi hidup dalam tindakan-tindakan masyarakat sehari-hari, dan hukum waris adat ini berlaku bagi golongan masyarakat Bangsa Indonesia asli.[1]
Hukum waris Islam pada dasarnya mengatur hal yang sama dengan hukum waris pada umumnya (hukum waris barat dan hukum waris adat), yaitu mengatur tentang pembagian harta peninggalan dari seseorang yang telah meninggal dunia. Dalam hukum Islam, hukum waris mempunyai kedudukan yang amat penting. Hal ini dapat dimengerti karena masalah warisan akan dialami oleh setiap orang, selain itu masalah warisan merupakan suatu masalah yang sangat mudah untuk menimbulkan sengketa atau perselisihan di antara ahli waris. Warga negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam telah menerima hukum Islam sebagai hukum kewarisan yang sudah menjadi hukum positif di Indonesia. Namun ada beberapa persoalan yang sering menimbulkan sengketa, seperti mengenai harta warisan atau sengketa yang berkaitan dengan ahli waris pengganti.
Penyelesaian masalah kewarisan Islam merupakan kewenangan peradilan agama. Hal tersebut ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa kewenangan Pengadilan Agama dibatasi khusus bagi orang-orang yang beragama Islam sehingga masalah kewarisan merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Sebagai acuan dari pelaksanaa undang-undang ini, telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat itu. Hal ini disebabkan hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang akan sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur dalam hukum kewarisan.
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. Salah satu konsep pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam melalui Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Salah satu konsep pembaharuan hukum kewarisan Islam dalam Kompilasai Hukum Islam (KHI) adalah diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam  Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan bahwa: Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat di gantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat.
Kedua ayat dalam Pasal tersebut telah mengangkat posisi seseorang yang sebelumnya dipandang tidak berhak mendapatkan warisan, untuk kemudian ditempatkan sebagai kelompok ahli waris yang berhak menerima harta warisan setelah diangkat untuk menempati kedudukan orang tuanya yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris. Namun ketentuan tersebut tidak secara rinci menetapkan suatu bagian tertentu yang akan diperoleh bagi seorang ahli waris pengganti serta tidak pula menentukan apakah segala atribut yang disandang oleh ahli waris yang diganti itu diturunkan pula pada ahli waris yang menggantikannya, misalnya dalam hal hijab mahjub (dinding mendinding). Selain itu, Pasal tersebut juga tidak menegaskan apakah ketentuan itu berlaku hanya pada ahli waris garis lurus ke bawah (nubuwwah), atau berlaku pula pada ahli waris garis lurus ke atas (ubuwwah), atau berlaku juga pada ahli waris garis ke samping (ukhuwwah). Oleh karena itu, hal tersebut dapat menimbulkan interpertasi yang berbeda tentang ahli waris pengganti ini. Bahkan ahli waris yang sebelumnya telah memperoleh bahagian berdasarkan ketentuan yang sudah baku pun dianggap sebagai ahli waris pengganti dengan berdasar pada ketentuan Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
B. Perumusan Masalah
            Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana kedudukan ahli waris pengganti dalam hukum kompilasi Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum untuk mengetahui sejauh mana penggantian tempat ahli waris dalam kompilasi hukum Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat  dalam penelitian ini adalah : Sebagai sumbangan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum waris yang membahas tentang ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam.
a.    Memperluas pola fikir dan mengembangkan pengetahuan dibidang hukum kewarisan.
c. sumbangan ilmu pengetahuan agar dapat menciptakan unifikasi dibidang hukum waris untuk menuju kodifikasi hukum hingga dapat mewujudkan hukum waris nasional.
D. Metode Penelitian
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan permasalahan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodelogi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.[2] Metode penelitian yang tepat diperlukan untuk memberikan pedoman serta arah dalam mempelajari serta memahami tentang objek yang diteliti. Dengan demikian panelitian yang dilakukan akan berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan.[3]
Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.[4] Oleh karena jenis penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum normatif. ( yuridis normatif), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan mengutamakan meneliti bahan pustaka atau dokumen yang disebut data sekunder, berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Bahan hukum  diperoleh melalui studi pustaka atau literatur, Data sekunder tersebut meliputi:
a. Bahan Hukum Primer, yang merupakan bahan hukum yang mengikat berupa peraturan     perundang-undangan yang antara lain dari: Al-Qur’an dan Hadist; Kompilasi Hukum Islam.
b.                   Bahan Hukum Sekunder yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa: Buku-buku; Jurnal-jurnal; Majalah-majalah; Artikel-artikel media; dan berbagai tulisan lainnya.
c.                   Bahan Hukum Tersier yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, serperti :Kamus Inggris-Indonesia; Kamus Hukum Arab-Indonesia; Kamus Besar Bahasa Indonesia; Ensiklopedi Hukum Islam.
Metode yang digunakan dalam menganalisis dan mengolah data-data yang terkumpul adalah analisis kualitatif. Maksud dari penggunaan metode tersebut adalah memberikan gambaran terhadap permasalahan berdasarkan pada pendekatan yuridis normatif.[5] Pada metode ini bahan-bahan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan yaitu data sekunder, terhadap data tersebut dilakukan hal sebagai berikut : Memilih pasal-pasal dan ayat-ayat serta pendapat  para ahli hukum yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang masalah ahli waris pengganti tersebut agar dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh dianalisis dengan objektif, serta menghubungkannya dengan pendapat pakar hukum dan penulis-penulis, lalu hasilnya ditafsirkan untuk dirumuskan menjadi penemuan dan kesimpulan penelitian.
II PEMBAHASAN
A. Sistem Pembagian Harta Waris Menurut Islam
1. Pengertian Harta Waris
Dalam literatur fiqh Islam, kewarisan (al-mawarits kata tunggalnya al-mirats) lazim juga disebut dengan fara‟idh, yaitu jamak dari kata faridhah diambil dari kata fardh yang bermakna “ketentuan atau takdir”. Al-fardh dalam terminologi syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.[6]
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.[7]
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 (a) dinyatakan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.
2. Syarat dan Rukun Waris
Pada dasarnya pesoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya. Dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan berpindah dengan sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris.[8] Pengertian tersebut akan terpenuhi apabila syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi.
Dalam pembagian harta warisan terdapat tiga  syarat pokok yang telah disepakati oleh ulama, ketiga  syarat tersebut adalah:[9]
a. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki hukumnya (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
b. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
c. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.
Disamping syarat diatas, juga rukun waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan. Menurut Fachtur Rahman, bahwa rukun waris dalam hukum kewarisan Islam diketahui ada tiga  yaitu:[10]
 a. Muwaris yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan     hartanya. Syaratnya adalah muwaris harus benar-benar telah meninggal dunia, baik mati hakiki maupun mati hukmy yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati.
b. Waris (ahli waris) yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau hubungan perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml) terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
c. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.[11]
3. Bagian-bagian Ahli Waris
Harta waris dibagikan jika memang orang yang telah mati itu meninggalkan harta yang berguna bagi orang lain. Namun sebelum harta warisan itu diberikan kepada ahli waris, ada tiga hal yang terdahulu mesti dikeluarkan, yaitu:[12]
a. Segala biaya yang berkaitan dengan proses pemakaman jenazah
b. Wasiat dari orang yang meninggal
c. Hutang piutang sang mayit.
Ketika tiga hal di atas telah terpenuhi barulah pembagian harta waris diberikan kepada keluarga dan juga para kerabat yang berhak.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf c, yang berbunyi “Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum utnuk menjadi ahli waris”.[13]
Hukum waris Islam membagi ahli waris menjadi dua macam yaitu:
a. Ahli waris Nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena ada hubungan darah. Maka sebab nasab menunjukkan hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan ahli waris.
b. Ahli waris sababiyah yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena sebab tertentu.
1) Perkawinan yang sah
2) Memerdekakan  hamba  sahaya  atau  karena  perjanjian  tolong menolong.
Macam-macam ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan yang ditinjau dari jenis kelaminnya, dan dari segi haknya atas harta warisan. Jika ditinjau dari jenis kelaminnya, maka ahli waris terdiri dari dua golongan yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Sedangkan jika ditinjau dari segi hak atas harta warisan maka ahli waris terdiri dari 3 golongan yaitu al-dzawil furudl, „ashabah, dan dzawil arham.[14]
Adapun besar kecilnya bagian yang diterima bagi masing-masing ahli waris dapat dijabarkan sebagai berikut. Pembagian harta waris dalam Islam telah ditentukan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ secara tegas dan jelas yaitu ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).[15]
a. Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan warisan separuh (1/2)
1. Seorang suami yang ditinggalkan istri dengan syarat ia tidak memiliki keturunan anak laki-laki maupun perempuan, walaupun keturunan tersebut tidak berasal dari suaminya kini (anak tiri).
2. Seorang anak kandung perempuan dengan 2 syarat yaitu pewaris tidak memiliki anak laki-laki, dan anak tersebut merupakan anak tunggal.
3.  Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan 3 syarat yaitu apabila cucu tersebut tidak memiliki anak laki-laki, dia merupakan cucu tunggal, dan apabila pewaris tidak lagi mempunyai anak perempuan.
4.  Saudara kandung perempuan dengan syarat: ia hanya seorang diri (tidak memiliki saudara lain) baik perempuan ataupun laki-laki, dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek ataupun keturunan baik laki-laki maupun perempuan.
5. Saudara perempuan se-ayah dengan syarat: apabila ia tidak mempunyai saudara (hanya seorang diri), pewaris tidak memiliki saudara kandung naik perempuan maupun laki-laki dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek dan keturunan.[16]
b. Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan warisan seperempat (1/4) yaitu seorang suami yang ditinggal oleh istrinya dan begitu pula sebaliknya.
1. Seorang suami yang ditinggalkan dengan syarat, istri memiliki anak atau cucu dari keturunan laki-lakinya, tidak peduli apakah cucu tersebut darah dagingnya atau bukan.
2. Seorang istri yang ditinggalkan dengan syarat, suami tidak memiliki anak atau cucu, tidak peduli apakah anak tersebut merupakan anak kandung dari istri tersebut atau bukan.[17]
c. Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris seperdelapan (1/8) yaitu istri yang ditinggalkan suaminya yang mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut berasal dari rahimnya atau bukan.[18]
d. Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris dua pertiga (2/3).
1. Dua orang anak kandung perempuan atau lebih, dimana dia tidak memiliki saudara laki-laki (anak laki-laki dari pewaris).
2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan syarat pewaris tidak memiliki anak kandung, dan dua cuc tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.
3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak memiliki anak, baik laki-laki maupun perempuan, pewaris juga tidak memiliki ayah atau kakek, dan dua saudara perempuan kandung tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.
4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak mempunyaun anak, ayah atau kakek ahli waris yang dimaksud tidak memiliki saudara kandung.[19]
e. Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris sepertiga (1/3)
1. Seorang ibu dengan syarat pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dan keturunan anak laki-laki. Pewaris tidak memiliki dua atau lebih saudara (kandung atau bukan).
2. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih dengan syarat pewaris tidak memiliki anak, ayah atau kakek dan jumlah saudara seibu tersebut dua orang atau lebih.[20]
4. Sebab-sebab Seseorang Mendapatkan Warisan
Seseorang berhak mendapatkan sejumlah harta warisan apabila terdapat salah satu sebab di bawah ini yaitu:
a. Kekeluargaan
b. Perkawinan
c. Karena memerdekakan budak
d. Hubungan Islam orang yang meninggal dunia apabila tidak mempunyai ahli waris, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk umat Islam dengan jalan pusaka.[21]
5. Sebab-sebab Seseorang Tidak Berhak Mendapatkan Warisan
a. Hamba. Seorang hamba tindakan mendapat warisan dari semua keluarganya yang meninggal dunia selama ia masih berstatus hamba.
b. Pembunuh. Seorang pembunuh tidak memperoleh warisan dari orang yang dibunuhnya. Rasulullah Saw bersabda : “Yang membunuh tidak mewarisi sesuatupun dari yang dibunuhnya” (HR Nasai).
c. Murtad. Orang yang murtad tidak mendapat warisan dari keluarganya yang masih beragama Islami.
d. Orang non muslim. Orang non muslim tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang beragama Islam dan begitu pula sebaliknya, orang muslim tidak berhak menerima harta warisan dari orang non muslim (kafir).[22]
6. Pewaris Pengganti
Perihal pewaris pengganti, KHI mengaturnya dalam pasal 185 sebagai berikut:
a. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
b. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari ahli waris yang sederajat dan yang diganti.[23]
Hukum waris adalah semua aturan yang mengatur tentang pemindahan hak atas kekayaan seseorang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya dan atau yang ditunjuk berdasarkan wasiat si pewaris. Hal-hal yang menyangkut hukum waris adalah:[24]
Pewaris adalah orang yang meninggal yang meninggalkan hartanya untuk diwariskan. Dalam Pasal 830 KUHPdt dinyatakan “Pewarisan hanya terjadi karena kematian”.
Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama serta perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kakuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Adapun tugas dan wewenang pengadilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat, infaq, wakaf dan sadaqah serta ekonomi syari‟ah.
Dalam Hukum Acara Perdata, selain perkara gugatan dimana terdapat pihak penggugat dan tergugat, ada perkara-perkara yang disebut permohonan yang diajukan oleh seorang pemohon atau lebih secara bersama-sama. Perbedaan gugatan dengan permohonan adalah bahwa perkara gugatan merupakan sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam hal permohonan tidak ada sengketa. Dalam hal ini hakim sekedar memberi jasa-jasanya sebagai seorang tata usaha negara. Hakim kemudian mengeluarkan suatu penetapan atau biasa disebut putusan declaratoir, yaitu putusan yang bersifat menetapkan atau menerangkan saja. Dalam persoalan ini hakim tidak memutuskan suatu konflik seperti halnya dalam perkara gugatan. Terhadap putusan declaratoir atau penetapan upaya hukum yang dapat dilakukan adalah kasasi.
Dalam hukum waris Islam, ahli waris laki-laki berkedudukan seimbang dengan ahli waris wanita sesuai dengan kedudukan dan fungsinya dalam keluarga dimana ahli waris laki-laki dan wanita memperoleh hak dengan perbadingan 2 : 1 (dua banding satu). Perbandingan tersebut didasarkan bahwa laki-laki mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan wanita, misalnya akan menjadi kepala rumah tangga keluarga. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 34 bahwa: yang kepadanya dibebankan untuk memberikan nafkah kepada keluarganya dan anak laki-laki itu setelah meninggal orang tuanya (bapaknya), maka ia langsung mengambilalih tanggung jawab tersebut seperti memberikan nafkah kepada saudara-saudaranya, termasuk jika ada saudaranya yang wanita ditinggal mati oleh suaminya.
Pembagian harta warisan antara laki-laki dan wanita tersebut dijelaskan dalam surah An Nisa ayat 11 dan 176 yang terjemahannya  adalah sebagai berikut:
Ayat 11 : Allah telah menetapkan pembagian harta warisan anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak wanita.
Ayat 176 : Jika mereka ada beberapa orang saudara laki-laki dan wanita, maka bagian untuk seorang anak laki-laki sebanyak bagian dua orang wanita.
Anak-anak pewaris masing-masing ditetapkan  sebagai ahli waris dzawwul furudh dengan perbandingan 2 : 1 (dua banding satu) antara anak laki-laki dan anak wanita.
Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa:
Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
1.      Menurut hubungan darah: golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek dan golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
2.      Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Kemudian Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa: Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Apabila  melihat  Pasal  185  Ayat  (1)  Kompilasi  Hukum  Islam, maka      ketentuan yang berlaku            bahwa  harus si ahli waris yang meninggal terlebih dahulu untuk kemudian dapat digantikan posisinya oleh ahli waris pengganti (anak-anak ahli waris/cucu pewaris). Hadis yang dimaksud antara lain yang diriwayatkan oleh Bukhari (t.th., (VIII) :7) dari Ibnu „Abbas sebagai berikut: Berikanlah bagian yang telah ditentukan dalam Alquran kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah kepada keluarga laki-laki yang terdekat.
Hadis ini menegaskan bahwa harta warisan harus diserahkan kepada ahli warisnya yang dalam hal ini dibagikan terlebih dahulu kepada kelompok dzawwul furudh dan setelah itu, sisanya diserahkan kepada kelompok „asabah. Ahli waris asabah adalah ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ahli waris dzawwul furudh.
Hadis berikutnya adalah dari Zaid bin Tsabit yang diriwayatkan oleh Bukhari, (t.th.,: VIII: 6) sebagai berikut: Cucu laki-laki dan cucu wanita dari keturunan laki-laki, sederajat dengan anak jika tidak ada anak laki-laki yang masih hidup, maka bagian cucu laki-laki tersebut seperti dengan anak laki-laki. Sedangkan cucu wanita seperti halnya dengan anak wanita. Mereka menghijab seperti halnya anak. Hadist ini menegaskan bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki adalah sederajat dengan anak laki-laki. Demikian halnya dengan cucu perempuan setara pula dengan anak perempuan, mereka mewaris dan mendinding sebagaimana halnya dengan anak.
Jika melihat Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam dimana dijelaskan bahwa “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Dalam konteks ini, Sarwoedy tidak masuk dalam kategori ahli waris. Walaupun dalam Pasal 171 huruf c ditentukan bahwa ahli waris adalah yang mempunyai hubungan perkawinan,  namun hubungan perkawinan yang dimaksud adalah kedudukannya sebagai suami/isteri.
Jika dikaji dengan teliti redaksi Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, khususnya pada Ayat (1) tersebut, maka secara tekstual dapat dipahami bahwa tidak ada kewajiban hukum untuk menerapkan pasal tersebut terhadap semua kasus penggantian ahli waris. Pasal itu hanya bersifat fakultatif. Hal tersebut dapat dipahami dari redaksi “… dapat digantikan…”, kata ini mengisyaratkan bahwa pasal tersebut bukanlah suatu keharusan yang bersifat imperatif.
Dengan demikian, berarti bahwa Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam boleh digunakan dalam hal tertentu saja, yakni apabila ada ahli waris yang dipandang tidak bisa memperoleh harta warisan atau belum berhak memperoleh harta warisan, sementara yang bersangkutan sangat dekat hubungan kekerabataanya (hubungan darah) dengan pewaris, misalnya cucu dari si pewaris. Dalam kasus seperti ini timbul 2 (dua) pendapat, ada yang mengatakan mereka dapat menggantikan ahli waris dan ada pula yang mengatakan mereka tidak dapat menggantikan ahli waris. Pandangan yang mengatakan bahwa cucu pewaris dipandang tidak berhak mendapatkan harta warisan karena masih ada kelompok ahli waris dzawwul furudh yang menutupinya. Namun demikian, ketentuan yang terpenting adalah bahwa ahli waris pengganti dapat menggantikan kedudukan ahli waris dzawwul furudh sepanjang ahli waris dzawwul furudh yang lebih dulu meninggal dunia dari pada si pewaris.
Jika Pasal 185 tersebut dijadikan sebagai dasar dalam pertimbangan hukum, maka bagian ahli waris tersebut dapat saja memperoleh bagian maksimal, yakni seperti sedianya akan diterima orang tuanya selama yang bersangkutan tidak terhalang untuk tampil menjadi ahli waris sebagaimana disebutkan dalam Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal tersebut yang terhalang menjadi ahli waris adalah ahli waris yang telah dipersalahkan oleh pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap karena alasan pembunuhan, atau mencoba melakukan pembunuhan, atau menganiaya berat pewaris, atau pun memfitnah pewaris.
Bahwa anak-anak si pewaris dianggap tidak efektif lagi untuk mendinding atau menutupi ahli waris lainnya, dalam hal ini cucu laki-laki dan wanita dari anak perempuan si pewaris yang telah meninggal terlebih dahulu sehingga mereka ditetapkan memperoleh bagian yang berasal dari bagian orang tuanya. Cucu dari pewaris masing-masing diangkat posisinya sebagai ahli waris efektif untuk mengganti kedudukan orang tuanya yang sudah meninggal lebih dahulu dari pewaris. Setelah penempatan tersebut, posisi cucu tersebut kedudukannya tidak disejajarkan dengan posisi anak-anak si pewaris sehingga ahli waris pengganti hanya memperoleh bagian dari bagian yang diterima oleh orang tuanya. Bagian orang tuanya inilah yang kemudian dibagi oleh si cucu berdasarkan porsinya masing-masing.
Dalam Hukum Waris Perdata Barat dikenal 2 (dua) cara mewarisi, yakni mewaris secara langsung dan mewaris secara tidak langsung. Mewaris secara langsung yaitu mewaris karena dirinya sendiri (uit eigen hoofde), sedangkan mewaris secara tidak langsung atau mewaris dengan cara mengganti (bij plaatsvervulling) ialah mewaris untuk orang yang telah meninggal terlebih dahulu daripada si pewaris, ia menggantikan kedudukan ahli waris yang telah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris.[25]
Mewaris karena dirinya sendiri (uit eigen hoofde) dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 852 dimana haknya adalah haknya ia sendiri dimana tiap-tiap ahli waris menerima bagian yang sama besarnya. Mewaris dengan cara mengganti (bij plaatsvervulling) dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 841-848 penggantian disini bukan hanya menggantikan dalam hal mewaris, tetapi juga menggantikan hak seperti hidupnya orang yang digantikan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kedudukan ahli waris pengganti pada prinsipnya adalah menggantikan hak hidupnya orang yang digantikannya itu, bukan terbatas dalam hal mewaris. Menurut penulis, penggantian tempat dalam Kompilasi Hukum Islam pada prinsipnya sama dengan penggantian tempat dalam hukum waris perdata barat sebagaimana diuaraikan di atas. Prinsipnya adalah penggantian tempat bukan hanya dalam hal mewaris, tetapi juga hak hidupnya orang yang digantikannya itu.
Cucu adalah keturunan garis lurus ke bawah yang dimana kedudukannya itu disamakan dengan anak, ia berhak menjadi ahli waris dan bahkan dalam hal tertentu ia menjadi ahli waris bersamaan dengan anak si pewaris. Namun demikian, kedudukan cucu sebagai ahli waris tidak diatur secara rinci dalam Al-Quran sehingga terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli mengenai kedudukan cucu sebagai ahli waris, apakah hanya cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki atau termasuk pula cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan.
Menurut Mazhab Syafi‟i, ada 3 macam ahli waris, yakni
Dzawwil Furudh, yakni ahli waris yang mempunyai bagian tertentu.
‘Ashabah, yakni ahli waris yang mempunyai bagian, tetapi jika tidak ada ahli waris dzawwil furudh sama sekali, maka mereka menerima seluruh harta warisan. Jika ada ahli waris dzawwil furudh maka ahli waris „ashabah menerima sisanya.
Dzawwil Arham, yakni ahli waris yang mempunyai hubungan keluarga dengan pewaris tetapi tidak masuk ahli waris dzawwil furuhl dan ‘ashabah. Ahli waris dzawwil arham baru mendapat bagian warisan sesudah ahli waris dzawwil furudh dan ‘ashabah tidak ada.
Jika melihat konsep Mazhab Syafi‟i ini bisa dikatakan bahwa sistem kewarisan yang dianut adalah bersifat partilineal karena hukum kekeluargaannya menarik garis keturunan dari garis laki-laki atau garis bapak sehingga hanya anak laki-laki yang dapat menjadi penghubung. Menurut ajaran kewarisan Sunni, dalam hal pergantian tempat, cucu yang berhak mewaris hanyalah cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki pewaris, sedangkan cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan pewaris tidak dapat mewaris. Sayuti Thalib mengartikan ajaran ini ke dalam garis hukum sebagai berikut:[26]
a.       Cucu laki-laki melalui anak laki-laki menempati tempat anak laki-laki kalau tidak ada anak laki-laki dan tidak ada anak perempuan. Cucu laki-laki ini mewaris dan menghijab sama seperti anak lak-laki.
b.      Cucu perempuan melalui anak laki-laki menempati tempat anak perempuan kalau tidak ada anak laki-laki dan tidak ada anak perempuan. Cucu perempuan ini mewaris dan menghijab sama seperti anak perempuan.
c.       Cucu laki-laki melalui anak laki-laki tidak mewaris jika ada anak laki-laki.
Jika ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan dan seorang cucu laki-laki, maka anak perempuan itu mendapat ½ harta peninggalan sedangkan cucu laki-laki melalui anak laki-laki itu mendapat sisa.
            Cucu melalui anak perempuan, baik laki-laki maupun perempuan baru berhak tampil sebagai ahli waris jika: Sudah tidak ada ashabul furudh (orang yang berhak mewaris) atau „ashabah sama sekali. Ashabul furudh yang mewarisi bersama-sama dengan dzawwil arham itu salah seorang suami isteri, maka salah seorang suami isteri mengambil bagiannya lebih dahulu, baru kemudian sisanya diterimakan kepada mereka. Sisa itu tidak boleh di-radd-kan kepada salah seorang suami isteri selama masih ada dzawwil arham. Sebab me-radd-kan sisa lebih kepada salah seorang suami isteri dikemudiankan daripada menerimakan kepada dzawwil arham.[27]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hukum kewarisan Sunni dalam kaitannya dengan ahli waris pengganti sifatnya diskriminatif dan terbatas. Diskriminatif yang dimaksud disini adalah bahwa dalam hukum kewarisan ini yang dapat menjadi ahli waris pengganti hanyalah cucu yang melalui garis laki-laki/anak laki-laki, sedangkan cucu dari garis perempuan tidak berhak menerima warisan karena ia adalah dzawwil arham. Terbatas maksudnya adalah bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki hanya akan menerima warisannya jika pewaris tidak mempunyai anak laki-laki lain yang masih hidup, sedang cucu perempuan baru akan menerima warisan jika perwaris tidak mempunyai anak laki-laki atau dua anak perempuan yang masih hidup.
Selain ajaran Sunni atau ajaran Mazhab Syafi‟i, Hazairin juga memiliki ajaran tentang ahli waris pengganti. Penggantian kedudukan menurut Hazairin sebenarnya sudah termakub dalam Surat An Nisa ayat 33 yang artinya “dan bagi tiap-tiap orang kami membuat mawali (waris pengganti) dari apa yang telah ditinggalkan oleh ibu bapaknya dan kerabat dekatnya dan orang yang mengikat janji denganmu maka berilah mereka bagiannya”. Menurut Hazairin, maksud mengadakan ahli waris untuk si fulan adalah bahwa bagian si fulan yang akan diperolehnya seandainya dia hidup dari harta peninggalan itu, dibagi-bagikan kepada mawalinya itu, bukan sebagai ahli warisnya tetapi sebagai ahli waris-ahli waris ibu atau bapaknya yang meninggalkan harta itu.[28]
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas dapat dipahami bahwa kedudukan cucu dapat menggantikan posisi orang tuanya secara penuh sebagai ahli waris. Selain itu, kedudukan kakek dan nenek, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu dapat pula menggantikan posisi anaknya sebagai ahli waris pengganti. Cucu dapat menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal dunia lebih dahulu meskipun pewaris mempunyai anak laki-laki lain yang masih hidup. Cucu tersebut tidak dibedakan apakah ia laki-laki ataupun perempuan, baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan.
Ajaran kewarisan seperti yang dikemukakan oleh Hazairin ini adalah untuk memperjuangkan hak warisan bagi ahli waris yang ditinggal mati lebih dulu oleh orang tuanya atau ahli waris yang menghubungkannya. Ajaran ini berbeda dengan ajaran Sunni yang menempatkan cucu sebagai dzawwil arham seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Dengan ajaran seperti yang diikemukakan oleh Hazairin ini, maka seorang anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya dapat memperoleh bagian warisan sesuai dengan bagian yang sedianya akan diterima oleh orang tuanya apabila orang tuanya tersebut masih hidup.
Teori ahli waris pengganti Hazairin juga dapat dipandang sebagai pemecahan masalah keadilan dan menghindari diskriminatif terhadap kelompok ahli waris tertentu yang berjenis kelamin perempuan, sehingga dengan demikian kelompok ahli waris yang dinamakan dzawwil arham dapat diangkat sebagai ahli waris yang sesungguhnya, selama mereka memungkinkan dapat ditampilkan sebagai ahli waris, karena tidak sama-sama mewarisi dengan orang-orang yang berada di atasnya atau tidak terdapat larangan syara‟ yang menghalangi penerimaan hak kewarisan.
Dalam perkara perdata, yang diutamakan adalah bagaimana kemudian para pihak yang bersengketa dapat berdamai. Hakim selalu mengupayakan perdamaian di antara ke dua belah pihak yang bersengketa dan kalau pun perkara tersebut tetap berlanjut, maka hakim mengupayakan putusan yang sifatnya win-win solution sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Hal yang demikian itu tidak terkecuali dalam perkara pewarisan.
Ketentuan mengenai ahli waris pengganti dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam harus dapat diterapkan secara optimal untuk mewujudkan keadilan sebagai salah satu tujuan hukum. Dengan memberikan harta warisan kepada ahli waris yang sebelumnya dipandang tidak berhak untuk kemudian menggantikan kedudukan orang tuanya adalah perbuatan yang sangat terpuji di sisi Allah SWT sekaligus sebagai perekat dalam keluarga untuk memelihara hubungan silaturahmi sehingga keakraban tetap utuh. Di samping itu, hal tersebut juga dimaksudkan sebagai ungkapan rasa kemanusiaan, apalagi hal tersebut sudah menjadi ijma’ ulama se Indonesia.
Dalam Alquran surat al-Nisa ayat 8 sebagai berikut: Dan apabila waktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah harta dari mereka itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Sedikit banyaknya bagian yang akan  diterima ahli waris pengganti ditentukan dari jenis kelamin ahli waris yang diganti yang sedianya menerima harta warisan dari pewaris. Jika sekiranya ahli waris yang diganti itu wanita (misalnya anak wanita yang meninggal lebih dahulu dari pewaris), maka bagian yang diberikan kepada ahli waris yang menggantikannya itu sesuai dengan jumlah yang sedianya akan diterima anak wanita pewaris tersebut walaupun ahli waris pengganti itu laki-laki. Dengan cara seperti itu, maka ahli waris efektif lainnya tidak merasa dirugikan haknya.
Ahli waris pengganti pada dasarnya adalah ahli waris karena penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak mendapat warisan mati lebih dulu dari pada pewaris sehingga kedudukan orang tuanya digantikan olehnya. Jadi, Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam bermakna selain penggantian tempat, juga bermakna derajat dan hak-hak tanpa membedakan dari garis keturunan laki-laki atau perempuan. Derajat yang dimaksud disini adalah bahwa ahli waris yang menggantikan kedudukan anak lak-laki memperoleh derajat yang sama dengan anak laki-laki, ahli waris yang menggantikan anak perempuan maka ia akan memperoleh derajat yang sama dengan anak perempuan yang digantikannya. Sedangkan hak yang dimaksud adalah bahwa apabila orang yang digantikan oleh ahli waris pengganti tersebut memperoleh warisan maka ahli waris pengganti juga berhak menerima warisan. Jika ia menggantikan kedudukan anak laki-laki, maka ia akan mendapat bagian warisan sebesar bagian anak laki-laki, jika perempuan maka ia akan mendapat bagian sebesar bagian perempuan yang ia ganti tersebut. Jika ahli waris pengganti tersebut ada dua orang atau lebih maka mereka akan berbagi sama rata atas bagian harta yang diperoleh oleh ahli waris yang ia gantikan dengan ketentuan laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan seperti yang diatur dalam Surat An Nisa ayat 11.
Kompilasi Hukum Islam memberikan batasan mengenai bagian yang diterima oleh ahli waris pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (2) ompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Berdasarkan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, bahwa kedudukan cucu pada kasus ini dapat menggantikan kedudukan orang tuanya sebagai ahli waris. Berdasarkan Pasal 185 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, seseorang dapat mewaris karena penggantian tempat adalah:
a.       Orang yang digantikan oleh anaknya tersebut harus sudah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.
b.      Orang yang digantikan oleh anaknya tersebut merupakan ahli waris andaikata ia masih hidup.
Syarat pertama sudah sangat jelas bunyinya, sedangkan untuk syarat kedua harus dilihat bunyi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila terdapat putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris. Dipersalahkan  secara  memfitnah  telah  mengajukan  pengaduan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diacam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Syarat lain yang meskipun tidak tersurat secara tegas dalam Kompilasi Hukum Islam tetapi harus dianggap ada adalah bahwa yang digantikan itu harus beragama Islam karena seorang cucu yang orang tuanya beragama selain agama Islam dan telah meninggal lebih dahulu daripada pewaris (kakek atau nenek si cucu) meskipun cucu tersebut beragama Islam, maka ia tidak dapat mewaris secara penggantian tempat oleh karena seandainya si orang tua tersebut masih hidup sesungguhnya ia tidak dapat menjadi ahli waris. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya “Orang-orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam”. (HR. Muttafaq Alaih)
Menurut hukum kewarisan Islam berdasarkan pendapat ahl al-sunnah, bahwa anak yang menggantikan kedudukan ayahnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan dari garis keturunan laki-laki yang ayahnya sudah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, sedangkan anak laki-laki dan anak perempuan dari garis keturunan perempuan tidak berhak sama sekali menggantikan kedudukan ibunya untuk memperoleh harta dari kakeknya (pewaris).[29]
Menurut hukum kewarisan Islam berdasarkan pendapat ahl al-sunnah bahwa cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan kedudukan orang tuanya apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang lain yang masih hidup. Kalau syarat ini tidak terpenuhi maka cucu tersebut terhijab oleh saudara ayahnya itu dan tidak akan memperoleh bagian dari harta warisan kakeknya. Namun demikian ada wasiat wajibah yang memberi peluang kepada cucu dari anak laki-laki yang terhijab untuk mendapatkan warisan dari kakeknya.
Menurut hukum kewarisan Islam pendapat dari ahl al-sunnah  hak yang diperoleh ahli waris pengganti itu belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan, dan juga tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, tetapi mungkin berkurang.
Berdasarkan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tersebut, cucu dapat menjadi ahli waris pengganti dan menggantikan kedudukan orang tuanya. Bila orang tuanya berkedudukan sebagai dzawil furudl maka ia akan menjadi dzawwil furudh juga, begitupun jika orang tuanya berkedudukan sebagai ‘ashabah maka ia pun menjadi ‘ashabah. Cucu akan mendapat bagian warisan sebesar bagian yang diperoleh orang tuanya seandainya ia masih hidup.
Ahli waris pengganti bertujuan untuk menjaga hak dari ahli waris yang seharusnya menerima bagian dari pewaris yang dioper kepada penggantinya yaitu anaknya agar kelangsungan hidup keluarga berjalan terus juga mempererat tali persaudaraan antara pewaris dengan ahli waris pengganti. Hukum kewarisan  telah melembagakan ahli waris pengganti ke dalam dan telah melaksanakannya walaupun belum dalam bentuk undang-undang, tapi  dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam.
Secara normatif, pembagian warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tertera secara konkrit dalam Al Qur‟an dan Al Sunnah. Namun dalam kenyataannya, masyarakat sering melakukan pembagian warisan secara damai. Hal ini terjadi bisa saja karena dalam kenyataannya ahli waris yang menerima bagian besar secara ekonomi telah berkecukupan sementara ahli waris yang menerima bagian sedikit masih kekurangan. Kompilasi Hukum Islam mengakomodir pembagian warisan secara damai di mana dalam Pasal 183 dijelaskan bahwa “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dengan pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”. Kompilasi Hukum Islam menghendaki agar pembagian warisan dengan cara damai ini, para ahli waris mengerti hak dan bagiannya masing-masing. Apabila ada ahli waris yang secara ekonomi kekurangan dan mendapat bagian sedikit, kemudian ada pula ahli waris yang menerima bagian banyak ikhlas untuk memberikan kepada yang lain, maka hal itu dapat dibenarkan untuk dilakukan.
II. PENUTUP
Hukum kewarisan Islam menentukan, bahwa anak dapat menggantikan kedudukan ayahnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan dari garis keturunan laki-laki yang ayahnya sudah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, sedangkan anak laki-laki dan anak perempuan dari garis keturunan perempuan tidak berhak sama sekali menggantikan kedudukan ibunya untuk memperoleh harta dari kakeknya (pewaris). Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan kedudukan orang tuanya apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang lain yang masih hidup. Dan hak yang diperoleh ahli waris pengganti itu belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan, dan juga tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, tetapi mungkin berkurang. Demikian juga berdasarkan Pasal 185 Kompilasi Hukum      Islam tersebut, cucu dapat menjadi ahli waris pengganti dan menggantikan kedudukan orang tuanya. Bila orang tuanya berkedudukan sebagai dzawil furudl maka ia akan menjadi dzawwil furudh juga, begitupun jika orang tuanya berkedudukan sebagai ‘ashabah maka ia pun menjadi ‘ashabah. Cucu akan mendapat bagian warisan sebesar bagian yang diperoleh orang tuanya seandainya ia masih hidup. Ahli waris pengganti bertujuan untuk menjaga hak dari ahli waris yang seharusnya menerima bagian dari pewaris yang dioper kepada penggantinya yaitu anaknya agar kelangsungan hidup keluarga berjalan terus juga mempererat tali persaudaraan antara pewaris dengan ahli waris pengganti. Hukum kewarisan  telah melembagakan ahli waris pengganti ke dalam dan telah melaksanakannya walaupun belum dalam bentuk undang-undang, tapi  dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam mengakomodir pembagian warisan secara damai di mana dalam Pasal 183 dijelaskan bahwa “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dengan pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”. Kompilasi Hukum Islam menghendaki agar pembagian warisan dengan cara damai ini, para ahli waris mengerti hak dan bagiannya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
R.Subekti,  1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata, .Intermasa, Jakarta.
Ronny Hanintijo Soemitro, 1998. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri,  Ghalia Indonesia, Jakarta.
Komarudin, 1979, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Ade Saptomo, 2007. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum, Unesa University Press, Surabaya.
Muhammad Ali Ash-Sahabuni, 1995, Terj. A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta.
_____________ ,1995. Hukum Waris Dalam Syariat Islam,  CV Diponegoro, Bandung, Amir Syarifudin, 2000. .Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana.
Muhammad Daud Ali, 1990.Asas Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta.
Abdul Ghofur Anshori, 2005. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ekonisia, Yogyakarta.
 Ahmad Azhar Basyir, 2001. Hukum Waris Islam, ed. revisi, UII Press, Yogyakarta.
 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, 2008. Hukum Waris Islam,: Sinar Grafika, Jakarta,
 Ali Parman, 1995.Kewarisan Dalam Al-Qur‟an, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
 Habiburrahman, 2011, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, t.t.p.: Kementrian Agama RI , Soesilo dan Pramuji R, 2007. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, t.t.p:  Wipress, Effendi Perangin, 2008, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sajuti Thalib, 1982, Hukum Kewarisan Islam di Indonesi, Bina Aksara, Jakarta.
Fatchur Rahman, 1981, Ilmu Waris, .Alma’arif, Bandung. .
Hazairin, 1964, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadith, Tintamas Indonesia, Jakarta.
Ahmad Mujahidin, 2012, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Ali Parman, 1995, Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Abdul Aziz, 1997, Ensiklopedi Hukum Islam, . Icthiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Abdul Ghofur Anshori, 2005, Hukum kewarisan Di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas, Ekonisia, Yogyakarta.
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, .RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ahmad Azhar Basyir, 2001, Hukum Waris Islam, UII Press, Yogyakarta. Ahmad Rafiq, 1993, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Cik Hasan Bisri, 1999, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, , Logos, Jakarta.
Departemen Agama Republik Indonesia, 1989, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, .Jaya Sakti, Surabaya.
Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Waris Adat, . Citra Aditya Bakti, Bandung.
M. Idris Ramulyo, 2004, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
___________, 2000, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Sinar Grafika, Jakarta.
___________, 2006, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, Sinar Grafika, Jakarta.
___________, 1993, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek), Sinar Grafika, Jakarta.
___________ ,1987, Hukum Kewarisan Islam (Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafe’i/Patrilinial) Hazairin (Bilateral) dan Praktek Di Pengadilan Agama, Ind.Hilco, Jakarta.
Sajuti Thalib, 1982, Hukum Kewarisan Islam di Indonesi, Bina Aksara, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres, Jakarta.
___________,Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada Jakarta.
Sudarsono, 1991, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, .Rineka Cipta, Jakarta.
Zainuddin Ali, 2008, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Hazairin, 1982, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an dan Al Hadits, Tintamas, Jakarta.
Juhaya S. Praja, 1993, Filsafat Hukum Islam, Yayasan Piara, Bandung.
Mohammad Daud Ali, 2000, Asas-asas Hukum Islam –Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , Rajawali Press, Jakarta .
Mukti Arto, 2009, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Balqis Queen, Solo.
Roihan  A. Rasyid, 1990, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika; Bandung.


[1] R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, .Intermasa, Jakarta. 1995, hal. 10
[2] Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri,  Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal 9
[3] Komarudin, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1979, hal 27
[4] Ronny Hanintijo Soemitro, Op.Cit.  hal 9
[5] Ade Saptomo, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum, Unesa University Press, Surabaya, 2007, hal 30
[6] Muhammad Ali Ash-Sahabuni,  Terj. A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hal. 33.
[7] Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2000, hal. 4.
[8] Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1990 , hal. 129.
[9] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ekonisia, Yogyakarta, 2005 , hal. 24-25.
[10]Fatchur Rahman, Ilmu Waris, .Alma’arif, Bandung. . 1981, hal. 36.
[11] Ibid.,hal. 26.
[12] Ibid., hal. 26.
[13] Muhammad Ali As Sahbuni, Hukum Waris., hal. 49.
[14] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, ed. revisi, UII Press, Yogyakarta, 2001, hal.34.
[15]  Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam,: Sinar Grafika, Jakarta,  2008, hal. 24.
[16] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam..., hal. 52.
[17] Ibid., hal. 52.
[18] Ibid.,hal. 53.
[19] Ibid., hal. 54.
[20] Ibid., hal. 54.
[21] Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur‟an, Raja Grafindo Persada, Jakarta,  1995, hal. 62.
[22] Ibid., hal. 63.
[23] Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, t.t.p.: Kementrian Agama RI , 2011, hal. 66-82.
[24] Soesilo dan Pramuji R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, t.t.p:  Wipress, 2007,hal. 194.
[25] Effendi Perangin, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2008, hal.11
[26] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesi, Bina Aksara, Jakarta. 1982, hal. 145-146.
[27] Fatchur Rahman,  Ilmu Waris, .Alma’arif, Bandung. 1981, hal. 357.
[28] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadith, Tintamas Indonesia, Jakarta. 1982.,  hal. 29
[29] Fatchur Rahman, Op. Cit. hal. 60-64

1 komentar:

  1. ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
    ayo segera bergabung dengan kami di ionqq**
    add pin black.berry 58ab14f5 || ditunggu ya**

    BalasHapus