OLEH : Susi Yanuarsi, SH, MH.[1]
Abstrak
Merek sebagai tanda pengenal atau tanda
pembeda dapat menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi
barang dan jasa hasil usahanya sewaktu diperdagangkan. Tujuan mengapa adanya
merek tersebut adalah tidak lain untuk melindungi pihak ketiga atau masyarakat
terhadap tipuan atau tiruan merek yang sudah mempunyai nama baik dan melidungi
industrialisasi dan pedagang yang menjadi pemakai pertama pada mereknya, tidak
peduli apakah merek itu sudah terdaftar atau belum.
Kata kunci, Merek terkenal, Konsumen, Perlindungan
Hukum.
A.
Latar Belakang
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI)
merupakan langkah maju bagi Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era
pasar bebas. Salah salah satu implementasi era pasar bebas ialah negara dan
masyarakat Indonesia akan menjadi pasar yang terbuka bagi produk ataupun karya
orang/perusahaan luar negeri (asing), demikian pula masyarakat Indonesia dapat
menjual produk/karya ciptaannya ke luar negeri secara bebas. Oleh karena itu,
sudah selayaknyalah produk-produk ataupun karya-karya lainnya yang merupakan
HKI dan sudah beredar dalam pasar global diperlukan perlindungan hukum yang
efektif dari segala tindak pelanggaran yang tidak sesuai dengan persetujuan
TRIPs serta konvensi-konvensi yang telah disepakati.
Salah satu contoh HKI yang harus dilindungi ialah merek. Merek
merupakan hal yang sangat penting dalam dunia bisnis. Merek produk (baik barang
maupun jasa) tertentu yang sudah menjadi terkenal dan laku di pasar tentu saja
akan cenderung membuat produsen atau pengusaha lainya memacu produknya bersaing
dengan merek terkenal, bahkan dalam hal ini akhirnya muncul persaingan tidak
sehat. Merek dapat dianggap sebagai “roh” bagi suatu produk barang atau jasa.[2]
Tujuan mengapa adanya merek tersebut adalah tidak lain untuk melindungi
pihak ketiga atau masyarakat terhadap tipuan atau tiruan merek yang sudah
mempunyai nama baik dan melidungi industrialisasi dan pedagang yang menjadi
pemakai pertama pada mereknya, tidak peduli apakah merek itu sudah terdaftar
atau belum.[3]
Merek sebagai tanda pengenal atau tanda pembeda dapat menggambarkan
jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya
sewaktu diperdagangkan. Apabila dilihat dari sudut produsen, merek digunakan
sebagai jaminan hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, di samping
untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar.
Selanjutnya, dari sisi konsumen, merek diperlukan untuk melakukan
pilihan-pilihan barang yang akan dibeli.[4]
. Apabila suatu produk tidak mempunyai merek maka tentu saja produk yang
bersangkutan tidak akan dikenal oleh konsumen. Oleh karena itu, suatu produk
(produk yang baik atau tidak) tentu memiliki merek. Bahkan tidak mustahil,
merek yang telah dikenal luas oleh konsumen karena mutu dan harganya akan
selalu diikuti, ditiru, “dibajak”, bahkan mungkin dipalsukan oleh produsen lain
yang melakukan persaingan curang.[5]
Perlindungan merek secara khusus diperlukan mengingat merek sebagai sarana
identifikasi individual terhadap barang dan jasa merupakan pusat “jiwa” suatu
bisnis, sangat bernilai dilihat dari berbagai aspek.[6]
Dengan demikian, merek merupakan hal yang sangat penting dalam dunia
bisnis. Merek sangat erat kaitannya dengan dunia perdagangan baik berupa
perdagangan barang maupun jasa. Fungsi merek dalam dunia perdagangan ialah agar
konsumen dapat membedakan hasil suatu produk tertentu dengan produk lainnya
untuk barang atau jasa yang sejenis. Merek merupakan identifikasi suatu produk
atau hasil perusahaan yang dijual di pasaran. Fungsi merek tersebut berkembang
seiring perkembangan perekonomian nasional dan internasional.
Pemanfaatan merek-merek terkenal pada saat sekarang
sudah mulai marak, hal tersebut tidak lain karena menjanjikan keuntungan besar
yang akan didapat apabila mempergunakan merek terkenal dari pada menggunakan
mereknya sendiri. Apalagi pada saat krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti
saat sekarang ini, banyak produsen yang mensiasati dengan cara mengkombinasikan
barang-barang bermerek yang asli dengan yang bajakan, karena bajakan tersebut
secara fisik benar-benar mirip dengan yang asli.
Banyak alasan mengapa banyak industri memanfaatkan
merek merek terkenal untuk produk-produknya, salah satunya adalah agar mudah
dijual, selain itu merek tak perlu repot-repot mengurus nomor pendaftaran ke
Dirjen HaKI atau mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membangun citra
produknya (brand image). Mereka tidak perlu repot repot membuat divisi
riset dan pengembangan untuk dapat menghasilkan produk yang selalu up to
date, karena mereka tinggal menjiplak produk orang lain dan untuk
pemasarannya biasanya “bandar” yang siap untuk menerima produk jiplak tersebut.
Secara ekonomi memang memanfaatkan merek terkenal mendatangkan keuntungan yang
cukup besar dan fakta dilapangan membuktikan hal tersebut, selain itu juga
didukung oleh daya beli konsumen yang pas-pasan tetapi ingin tampil trendi.
Produk-produk bermerek (luxrury good) asli tapi palsu (aspal) seperti baju, celana, jaket
dan berbagai asesoris lainnya sangat mudah didapat dan ditemukan di kota-kota
besar, peredarannyapun meluas mulai dari kaki lima sampai pusat pertokoan
bergengsi. Salah satu daya tarik dari produk bermerek palsu memang terletak
pada harganya yang sangat murah
B.
Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas maka penulis melakuan
identifikasi masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana perlindungan terhadap merek terkenal ?.
2.
Bagaimanakah perlindungan bagi konsumen terhadap
penggunaan merek terkenal ?
C. Pembahasan
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001,
dinyatakan bahwa Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, ataupun kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau
jasa.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa unsur merek,
yaitu:
1.
Syarat utama merek adalah tanda
yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam perdagangan barang atau jasa.
2.
Tanda yang dapat menjadi simbol
merek terdiri dari unsur-unsur, gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,
susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.
Dalam merek dikenal adanya hak eksklusif sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu hak eksklusif yang
diberikan negara kepada pemilik merek. Secara umum hak eksklusif dapat
didefinisikan sebagai ‘hak yang memberi jaminan perlindungan hukum kepada
pemilik merek, dan merupakan pemilik satu-satunya yang berhak memakai dan
mempergunakan serta melarang siapa saja untuk memiliki dan mempergunakannya’.
Dengan demikian, hak eksklusif memuat dua hal, yaitu, pertama,menggunakan
sendiri merek tersebut, dan kedua, memberi ijin kepada pihak lain menggunakan
merek tersebut.
Hak eksklusif bukan merupakan monopoli yang dilarang sebagai persaingan
tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, tetapi justru merupakan hak yang bersifat
khusus dalam rangka memberi penghormatan dan insentif pengembangan daya
intelektual untuk sebuah persaingan sehat dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 disebutkan, hak merek
diberikan kepada pemilik merek terdaftar, dengan demikian jelas bahwa sistem
merek yang dipakai di Indonesia adalah sistem konstitutif (aktif) sehingga
pemilik merek terdaftar adalah sebagai pemegang hak merek. Pemilik merek
terdaftar sebagai pemegang merek menggunakan merek itu sendiri atau memberi
ijin pihak lain menggunakannya. Lebih lanjut dalam pasal 40 Undang-Undang Merek
Nomor 15 Tahun 2001 dinyatakan bahwa hak merek dapat dialihkan haknya menurut
ketentuan Undang-Undang.
Perlindungan hukum berdasarkan sistem first to file principle diberikan kepada pemegang hak merek
terdaftar yang ‘beritikad baik’ bersifat preventif maupun represif.
Perlindungan hukum preventif dilakukan melalui pendaftaran merek, dan
perlindungan hukum represif diberikan jika terjadi pelanggaran merek melalui gugatan
perdata maupun tuntutan pidana dengan mengurangi kemungkinan penyelesaian
alternatif diluar pengadilan.
Merek Terkenal
Persoalan merek terkenal di Indonesia mempunyai keunikan tersendiri,
karena pemilik merek terkenal yang sebenarnya justru digugat oleh pihak lokal,
misalnya dalam kasus Piere Cardin dan Levi’s dan sebagainya Penggunaan merek
terkenal secara melawan hukum yang marak di Indonesia tidak dapat dipisahkan
dari mental pengusaha lokal yang “potong kompas” dan tanpa usaha yang cukup
untuk mengembangkan merek yang mereka buat sendiri. Idealnya pengusaha lokal
memang harus memiliki merek sendiri dan mengembangkannya sehingga memiliki
reputasi tinggi dan menjadi merek terkenal. Akan tetapi, hal tersebut tentu
akan memakan waktu yang cukup lama.[7]
Sampai saat ini, sebenarnya tidak ada definisi merek terkenal yang
dapat diterima secara luas. Upaya-upaya untuk mengiventarisasi unsur-unsur yang
membentuk pengertian tersebut sampai saat ini belum memperoleh kesepakatan.
Oleh karena itu, jika ada pihak yang selalu mendesakkan pengertian yang
dimilikinya atau diakuinya terhadap pihak lain, hal itu hanyalah semata-mata
karena adanya kepentingan pemilik merek yang bersangkutan. Selama perundingan
Putaran Uruguay di bidang TRIPs berlangsung sampai berakhir dan
ditandatanganinya Persetujuan Pembentukan WTO, tidak satu negarapun mampu
membuat dan mengusulkan definisi merek terkenal tersebut.[8]
Di Indonesia ketentuan merek terkenal dapat dijumpai antara lain dalam
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M-02-HC.01.01 Tahun 1987.
Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor:
M-02-HC.01.01 Tahun 1987 merek terkenal didefinisikan sebagai merek dagang yang
telah lama dikenal dan dipakai di wilayah Indonesia oleh seseorang atau badan
untuk jenis barang tertentu. Keputusan Menteri Kehakiman tersebut pada Tahun
1991 diperbaharui dengan dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor:
M.03-HC.02.01 Tahun 1991 Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman tersebut
mendefinisikan merek terkenal sebagai ‘merek’ dagang yang secara umum telah
dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau
badan/baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri. Selanjutnya dalam UU
Nomor 15 tahun 2001 tidak dapat diketemukan definisi merek terkenal (tidak ada
definisi merek terkenal). Penjelasan Pasal 6 UU Merek tersebut hanya memberikan
kriteria merek terkenal.
Perlindungan merek dan merek terkenal di indonesia
a.
Perlindungan preventif
Perlindungan hukum preventif di sini ialah perlindungan sebelum terjadi
tindak pidana atau pelanggaran hukum terhadap merek dan merek terkenal. Pasal
28 UU Merek menyatakan bahwa merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan
pendaftaran merek (filling date) yang bersangkutan dan dapat diperpanjang.
Dengan demikian, apabila seseorang/badan hukum ingin agar mereknya mendapatkan
perlindungan hukum berdasarkan hukum merek, maka merek yang bersangkutan harus
terdaftar terlebih dahulu. Suatu permohonan pendaftaran merek akan diterima
pendaftarannya apabila telah memenuhi persyaratan baik yang bersifat formalitas
maupun substantif yang telah ditentukan UU Merek. Syarat penting yang sekaligus
menjadi ciri utama suatu merek ialah adanya daya pembeda (distinctiveness) yang
cukup. Merek yang dipakai haruslah sedemikian rupa sehingga mempunyai cukup
kekuatan untuk membedakan barang atau jasa suatu perusahaan dengan barang atau
jasa produksi perusahaan lainnya. Oleh karena itu, Pasal 5 UU Merek menentukan
bahwa merek tidak dapat didaftar apabila mengandung salah satu unsur di bawah
ini:
a)
Bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, moralitas, agama, kesusilaan atau ketertiban
umum atau kesusilaan
b)
tidak memiliki daya pembeda;
c)
telah menjadi milik umum; atau
d)
merupakan keterangan atau
berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkankan pendaftaran.
Persyaratan yang ditentukan Pasal 5 tersebut harus ditambah persyaratan
yang ditentukan Pasal 6. Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa permohonan pendaftaran
merek harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
a)
mempunya ipersamaan pada pokoknya
atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar terlebih
dahulu.
b)
mempunyai persamaan pada pokoknya
atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal pihak lain untuk barang
dan/atau jasa yang sejenis;
c)
mempunyai persamaan pada pokoknya
atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal.
Selanjutnya, Pasal 6 ayat (3)
UU Merek menambahkan lagi bahwa pendaftaran merek juga harus ditolak oleh
Direktorat Jenderak Merek (Kantor Merek) apabila merek tersebut:
a)
merupakan atau menyerupai nama
orang terkenal, foto dan nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali
atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
b)
merupakan tiruan atau menyerupai
nama, singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem dari negara atau
lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulisd ari
pihak yang berwenang;
c)
merupakan tiruan atau menyerupai
tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan negara atau lembaga
pemerintah, kecuali atas persetujuan dari pihak yang berwenang.
Unsur paling penting dalam Pasal 6 ayat (1) huruf 9a UU Merek tersebut
di muka ialah persamaan pada keseluruhan., persamaan pada pokoknya dan merek
pihak lain yang telah terdaftar lebih dahulu, serta merek terkenal.
Persamaan pada keseluruhannya yaitu persamaan keseluruhan elemen.
Persamaan yang demikian sesuai dengan ajaran doktrin entires similar atau sama
keseluruhan elemen. Dengan perkataan lain, merek yang dimintakan pendaftarannya
copy atau reproduksi merek orang lain.[9]
Agar suatu merek dapat disebut sebagai
copy atau reproduksi merek orang lain sehingga dikualifikasi mengandung
persamaan secara keseluruhan, paling tidak harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.[10]
1) ada persamaan elemen
secara keseluruhan;
2) persamaan jenis atau
produksi kelas barang atau jasa;
3) persamaan wilayah dan
segmen pasar;
4) persamaan cara dan
perilaku pemakaian; dan
5) persamaan cara
pemeliharaan.
Suatu merek dianggap mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek
pihak lain ditentukan berdasarkan patokan yang lebih lentur dibanding dengan
doktrin entire similar. Persamaan ini pada pokoknya dianggap berwujud apabila
merek tersebut memiliki kemiripan atau serupa (identical), hampir mirip (nearly
resembles) dengan merek orang lain. Kemiripan tersebut dapat didasarkan pada.[11]
a)
Kemiripan persamaan gambar
b)
hampir mirip atau hampir sama susunan kata,
warna, atau bunyi;
c)
faktor yang paling penting dalam
doktrin ini, pemakaian merek menimbulkan kebingungan (actual confusion) atau
menyesatkan (device) masyarakat/ konsumen. Seolah-olah merek tersebut dianggap
sama sumber produksi dari sumber asal geografis dengan barang milik orang lain
(likelyhood confusion).
Selanjutnya, menurut penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU Merek yang dimaksud
‘sama pada pokoknya’ dengan merek terdaftar orang lain ialah adanya kesan yang
sama, antara lain, mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau
kombinasi antara unsur-unsur maupun bunyi ucapan yang terdapat di dalam merek
yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6
ayat (1) huruf (b) (merek terkenal) dapat pula diberlakukan terhadap barang
atau jasa yang tidak sejenis sepanjang dipenuhi persyaratan tertentu yang
ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Namun, sampai saat ini
Peraturan Pemerintah yang dimaksud Pasal 6 ayat (2) tersebut belum ada. Apabila
permohonan pendaftaran merek sudah memenuhi persyaratan formalitas, persyaratan
substantif, masa pengumuman, maka dapat diberikan sertifikat merek dan kemudian
didaftarkan dalam daftar umum merek. Setelah diterimanya Sertifikat Merek dan
didaftarkannya merek yang bersangkutan di dalam Daftar Umum Merek maka pemilik
merek terdaftar tersebut memiliki hak eksklusif tersebut dapat berupa hak
menikmati secara eksklusif untuk mengeksploitasi keuntungan (exclusive
financial exploitation).
Dengan demikian, perlindungan merek diberikan kepada pemelik merek
terdaftar. Namun demikian, dimungkinkan pula perlindungan terhadap merek tidak
terdaftar dengan syarat bahwa merek tersebut termasuk dalam kategori merek
terkenal. Berdasarkan uraian di muka, maka jelaslah bahwa pemilik merek
terkenal akan memperoleh perlindungan hukum secara preventif dengan adanya
berbagai persyaratan permohonan pendaftaran merek tersebut.. Mekanisme
perlindungan merek terkenal selain melalui inisiatif pemilik merek tersebut
dapat juga ditempuh melalui penolakan oleh kantor merek terhadap permintaan
pendaftaran merek yang sama pada pokoknya dengan merek terkenal. Dalam UU
Undang-Undang Merek mekanisme perlindungan merek atas inisiatif pemilik merek
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 68 ayat (2) yang apabila disimpulkan
menyatakan bahwa pemilik merek tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan
pembatalan pendaftaran merek berdasarkan alasan dalam Pasal 4, 5, dan 6 setelah
mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal.[12]
b.
Perlindungan
Represif
Perlindungan hukum represif yang dimaksud di sini ialah perlindungan
hukum terhadap merek manakala ada tindak pidana merek atau pelanggaran hak atas
merek. Perlindungan hukum yang refresif ini diberikan apabila telah terjadi
pelanggaran hak merek (termasuk merek terkenal) .Dalam hal ini peran lembaga
peradilan dan aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian, penyidik pegawai
negeri sipil (PPNS), dan kejaksaan sangat diperlukan. Pemilik merek terdaftar
mendapat perlindungan hukum atas pelanggaran hak atas merek baik dalam wujud
gugatan ganti rugi maupun berdasarkan tuntutan hukum pidana melalui aparat
penegak hukum.
Pasal 76 ayat (1) UU Merek memberikan hak kepada pemilik merek
terdaftar untuk mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak
menggunakan merek barang dan atau jasa yang mempunyai persamaan pada pokoknya
atau keseluruhan untuk barang atau jasa sejenis berupa: (a) gugatam ganti rugi,
dan atau (b) penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek
tersebut.
Dengan demikian, Pasal 27 tersebut membatasi pelanggaran merek hanya
terhadap barang atau jasa sejenis saja. Gugatan tersebut menurut Pasal 76 ayat
(2) harus diajukan melalui Pengadilan Niaga. Selanjutnya, menurut Pasal 78 UU
Merek, atas permintaan pemilik merek atau penerima lisensi merek terdaftar
selaku penggugat, selama masih dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan
perdagangan barang atau jasa yang menggunakan merek secara tanpa hak tersebut.
Disamping itu, Pasal 78 ayat (2) UU Merek menentukan, dalam hal tergugat
dituntut pula menyarahkan barang yang menggunakan merek tanpa hak, hakim dapat memerintahkan
bahwa penyerahan barang atau nilai barang tersebut dilaksanakan setelah putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Pemilik merek selain mempunyai hak
melakukan gugatan perdata juga dapat pula menyelesaikan sengketanya melalui
Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. Perlindungan hukum lainnya
ialah berdasarkan ketentuan hukum pidana.
Perlindungan hukum lainnya ialah berdasarkan ketentuan pidana UU Merek.
Perlindungan hukum kepada pemilik berdasar ketentuan pidana UU Merek terdapat dalam
Pasai 90 s/d 95. UU No. 15 Tahun 2001
Pasal 90 UU Merek menegaskan barang siapa yang dengan sengaja dan tanpa
hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannyanya dengan merek terdaftar
pihak lain untuk barang dan/atau atau jasa yang sejenis yang diproduksi dan
atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) .
Selanjutnya, Pasal 91 memberikan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800,000.000,00 (delapan ratus puluh juta)
bagi barang siapa yang sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada
pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau atau
jasa yang sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan jjatau badan hukum
lain. Dengan demikian, sanksi pidananya juga didasarkan pada pelanggaran
pidananya dan pelanggaran merek untuk barang atau jasa yang sejenis.
Perlindungan Konsumen
terhadap pemanfaatan merek terkenal
Sebagaimana diketahui bahwa dalam dunia usaha tujuan utama adalah untuk
mencari keuntungan, maka banyak sekali industri yang kurang memahami arti
penting hubungan antara pengusaha, konsumen dan masyarakat akan berperilaku
“profit oriented” semata tanpa memperhatikan aspek-aspek yang lain tetapi lebih
mementingkan kepentingan sendiri tanpa menghiraukan kepentingan pihak-pihak
yang lain dan yang lebih mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut adalah
tersedianya konsumen yang menggunakan produk mereka.
Pengusaha yang melihat hal itu sebagai salah satu peluang bisnis maka
akan berusaha memperoleh keuntungan melalui jalan pintas yang tidak layak
dengan cara membuat atau memasarkan barang atau produk dengan memalsukan atau
meniru merek-merek terkenal dan bagi konsumen adalah suatu gengsi tersendiri
bila menggunakan merek terkenal tersebut.
Faktor gengsi semu dari konsumen yang merasa bangga menggunakan merek
terkenal terutama produk dari luar negeri (label
minded) juga sangat mempengaruhi dan sekaligus menguntungkan pemalsuan
merek, karena mendapatkan kesempatan untuk memuaskan hasrat mesyarakat melalui
merek-merek asli tapi palsu (aspal) atau merek yang mirip dengan merek
terkenal, dengan menghasilkan produk yang kerapkali sengaja disesuaikan dengan
kemampuan kantong kosong konsumen yang ingin mengenakan merek terkenal tetapi
tidak mempunyai kemampuan untuk membelinya sehingga mereka membeli merek-merek
asli tapi palsu asalkan tetap bisa gengsi.
Pemakaian merek terkenal atau pemakaian merek yang mirip dengan merek
terkenal milik orang lain secara tidak berhak dapat menyesatkan konsumen
terhadap asal-usul, dan atau kualitas barang. Pemakaian merek terkenal secara
tidak sah dikualifikasi sebagai pemakaian merek yang beritikad tidak baik. Di
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
disebutkan Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menajamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan bagi konsumen.. selanjutnya di dalam
Pasal 2 Perlindungan Konsumen berazaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Perlindungan Konsumen
bertujuan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen seingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.[13]
Penggunaan produk dengan merek-merek tertentu disamping good will yang
dimiliki oleh mereknya sendiri selain itu juga sifat fanatik dari konsumen
terhadap merek tersebut yang dianggap mempunyai kelebihan atau keunggulan dari
merek yang lain. Sifat fanatik yang dimiliki oleh konsumen tidak semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan saja, tetapi ada juga mengutamakan prestise dan
memberikan kesan tersendiri dari pemakainya sehingga dengan memakai persepsi
mereka adalah suatu “simbol” yang akan menimbulkan gaya hidup baru (life
style).[14]
Adanya perbedaan persepsi didalam masyarakat mengenai merek menimbulkan
berbagai penafsiran, tetapi meskipun begitu berarti bahwa tindakan orang-orang
yang memproduksi suatu barang dengan mendompleng ketenaran milik orang lain
tidak bisa dibenarkan begitu saja, karena dengan membiarkan tindakan yang tidak
bertanggung jawab maka secara tidak langsung menghasilkan dan membenarkan
seseorang untuk menipu dan memperkaya diri secara tidak jujur. Tindakan
mempergunakan merek terkenal milik orang lain, secara keseluruhan tidak hanya
merugikan pemilik atau pemegang merek itu sendiri dan juga para konsumen tetapi
dampak yang lebih luas adalah merugikan perekonomian nasional dan yang lebih
luas lagi juga merugikan hubungan perekonomian internasional..
D.
Kesimpulan
1.
Perlindungan hukum merek dan merek
terkenal yang diberikan UU Merek yang bersifat preventif dan represif
sebagaimana ditentukan Pasal 6 ayat (3) dan (4) sudah selaras dengan ketentuan
TRIPS, mencakup perlindungan terhadap barang atau jasa baik yang sejenis maupun
bukan. yaitu dengan pendaftaran merek Di samping itu, diatur pula hal yang
berkaitan perlindungan merek bersifat refresif.
2.
Untuk menghindari praktek-praktek
yang tidak jujur dan memberikan perlindungan hukum kepada pemilik atau pemegang
merek serta konsumen maka Negara mengatur perlindungan merek dalam suatu hukum
merek dan undang-undang perlindungan konsumen
dan selalu disesuaikan dengan perkembangan perkembangan yang terjadi di
dunia perdagangan internasional yang tujuannya adalah mengakomodasikan semua
kepentingan-kepentingan yang ada guna menciptakan suatu perlindungan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang
Kesowo. 1988. “Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia”. Makalah . Disampaikan
dalam sambutan arahan Seminar Nasional Perlindungan Merek Terkenal di
Indonesia, Fakultas Hukum Umeversitas Parahiyangan – Perhimpunan Masyarakat
HAKI Indonesia – United States Information Service, di Bandung pada tanggal 26
September 1998. Bandung: Fakultas Hukum UNPAR.
Budi
Agus Riswandi dan M. Syamsudin. 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Erma
Wahyuni,et.al.2004. Kebijakan dan Manajemen Hukum Merek. Yogyakarta: YPAPI.
Joni
Emirzon, Hukum Bisnis Indonesia. Literata Lintas Media, jakarta, 2003
Imam
Syahputra, et.al.. 1997. Hukum Merek Baru Indonesia : Seluk Beluk Tanya Jawab.
Jakarta: Harvarindo.
Insan
Budi Maulana., 1997. Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten, dan Hak Cipta,
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Murawi
Effendi. 1999. “Pengalaman Kepolisian dalam Penyidikan Pelanggaran Hak Merek”.
Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Perlindungan Hukum Merek dalam Era
Persaingan Global, kerjasama Fakultas Hukum UII, Yayasan Klinik HaKI Jakarta,
dan JETRO, 3 Maret 1999. Yogyakarta: Faklutas Hukum UII.
M.
Yahya Harahap. 1996. Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 Bandung: Citra Aditya Bakti.
Prasetyo
Hadi Purwandoko. 1999. Implikasi Ketentuan Agreement on TRIPs bagi Indonesia..
Yustisia No 47 Tahun XIII September – Nopember. Surakarta: Fak. Hukum UNS.
———–.2003.
Perlindungan Merek Terkenal dan Perlindungan Hukumnya di Indonesia Yustisia No
62 Tahun XIII Juli – September 2003. Surakarta: Fak.
Hukum UNS.
Ridwan
Khairandi. 1999. “Perlindungan Hukum Merek Terkenal di Indonesia”. Makalah.
Disampaikan dalam Seminar Nasional Perlindungan Hukum Merek dalam Era
Persaingan Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata. 1987. Himpunan Keputusan Merek
Dagang. Bandung: Alumni.
Wiratmo
Dianggoro. 1997. “Pembaharuan UU Merek dan Dampaknya bagi Dunia Bisnis” .
Artikel pada Jurnal Bisnis, Vol2, 1997.
Undang-Undang
No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/perlindungan-hukum-terhadap-pemanfaatan-merek-terkenal/
[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Palembang
[2] Insan Budi Maulana,
Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten, dan Hak Cipta, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997. Hlm, 43
[4] Wiratmo Dianggoro,
Pembaharuan UU Merek dam Dampaknya Bagi Dunia Bisnis, Artikel Pada Jurnal
Bisnis, Vol. 2 Tahun 1997, hlm, 34
[6] Ibid.
[7] Ridwan Kharandy,
Perlindungan Hukum Merek Terkenal di Indonesia”. Makalah. Disampaikan dalam
Seminar Nasional Perlindungan Hukum Merek dalam Era Persaingan Global,
kerjasama Fakultas Hukum UII, Yayasan Klinik HaKI Jakarta, dan JETRO, 3 Maret
1999. Yogyakarta: Faklutas Hukum UII. Hlm 2
[8] Bambang Kesowo, Perlindungan Merek
Terkenal di Indonesia”. Makalah . Disampaikan dalam sambutan arahan Seminar
Nasional Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, Fakultas Hukum Umeversitas
Parahiyangan – Perhimpunan Masyarakat HAKI Indonesia – United States
Information Service, di Bandung pada tanggal 26 September 1998. Bandung:
Fakultas Hukum UNPAR. Hlm, 1-2
[9] Yahya Harahap, Op, Cit,
hlm, 416
[10] ibid
[11] Ibid, lm 417
[12] Prasetyo Hadi
Perwandoko, . Perlindungan Merek Terkenal dan Perlindungan Hukumnya di
Indonesia Yustisia No 62 Tahun XIII Juli – September 2003. Surakarta: Fak.
Hukum UNS.
[13] Lihat pasal 3 huruf e
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[14]
http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/perlindungan-hukum-terhadap-pemanfaatan-merek-terkenal/