Jumat, 31 Agustus 2018

TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF DELIK POLITIK DI INDONESIA


Oleh: Hotman Siahaan
      Dosen Fakultas Hukum Universitas Palembang
       Email: Siahaan38@gmail.com

ABSTRACT
In determining an actor crime as a political offense we have to look at the background of these actions. The problem, however, related with the codification such as the Criminal Code. It does not expressly provide the identification the action in the field of politics. In the Criminal Code, for example, the murder of president or vice president, did not be regarded as the murder. That is, evidence about the political background is not necessary to have the trial court. While the law relating to this problem such Act. 11/PNPS/1963 on Combating Subversive Activities that have been revoked, have two opinions. First, states have no political background. Second, there should be no political background. The fundamental difference of these two opinions is about an act as a political offense,one side assumes the other party would destroy the existing system, on the other hand is considered an act of rescue (hero).
Keywords : national security

ABSTRAK
Dalam menentukan suatu kejahatan sebagai kejahatan politik tentu harus dilihat latar belakang tindakan yang bersangkutan. Akan tetapi problemnya adalah bahwa kodifikasi hukum pidana tidak secara eksplisit mengatur bilamana suatu kejahatan disebut sebagai kejahatan pofitik. Dalam ketentuan hukum pidana, misalnya, terkait dengan pembunuhan seorang Presiden atau Wakil Presiden. Oleh karenanya kejahatan politik tidak harus diajukan ke Pengadilan. Dalam pada itu ketentuan hukum terkait dengan hal-hal tersebut seperti UU Nomor 11/PNPS/1963 telah dibekukan. Kenyataan ini menimbulkan dua opini : Pertama, negara tidak memiliki latar belakang ideologi politik. Kedua, tidak akan ada latar belakang politik. Perbedaan mendasar dari dua opini terkait dengan pemahaman suatu tindakan sebagai kejahatan politik. Disatu sisi tindakan tersebut akan diberantas oleh sistem politik yang ada, di sisi lain tindakan itu dipandang sebagai bersifat pahlawan.
Kata Kunci: keamanan negara.



I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam naskah pembukaan UUD 1945 pada alenia keempat mengandung tujuan nasional yang salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan ini mengandung makna bahwa negara atau Pemerintah memiliki tanggungjawab terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari segala ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri seperti pemberontakan, makar, terorisme dan menganut paham komunisme. Bertolak dari hal ini, keluarlah konsep keamanan negara yang menjadi sarana preventif maupun represif terhadap segala bentuk upaya yang dapat mengganggu dan mengancam stabilitas nasional.
Dimasa orde baru, konsep ini dijadikan sebagai alat bagi penguasa untuk membungkam dan menyingkirkan pihak-pihak yang melakukan demostrasi, menulis puisi, lagu, artikel atau buku dan lain-lain. yang bersifat mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat. Jelasnya konsepsi keamanan negara adalah sebentuk pendekatan keamanan (security approach) yang diberlakukan penguasa negara terhadap masyarakat secara umum.[1] Disini ada kecurigaan negara yang besar terhadap warganya sendiri, baik itu terjadi karena aspirasi lokal maupun ilfiltrasi dari unsur asing ke dalam negeri.
Indonesia telah memiliki beberapa konsep keamanan negara yang tersebar dalam beberapa produk hukum seperti dalam KUHP, RUU KUHP, Ketetapan MPR, Undang-undang Subversi, Undang­ undang Pertahanan Keamanan dan lain-lain. Namun pada tahap aplikasi dari semua produk hukum tentang konsep keamanan negara ini, oleh elit penguasa disalahgunakan untuk melindungi kepentingannya sendiri. Salah satu penyebabnya adalah adanya kekaburan tentang perumusan kejahatan terhadap keamanan negara yang dikategorikan sebagai kejahatan politik. Sehingga penguasa dapat memilih penafsirannya sendiri untuk menangkap, mengadili dan memvonis penjara seumur hidup bahkan dihukum mati setiap orang atau kelompok yang tidak sepaham dengan penguasa untuk melindungi kekuasaan atau kesalahannya.
Perumusan tentang kejahatan atau delik politik memang belum ada kejelasan dan kesamaan pendapat dikalangan publik dan kalangan ilmiah. Hal ini disebabkan adanya kesulitan dalam merumuskan definisi yang universal tentang politik. Delik politik merupakan istilah sosiologis, bukan istilah yuridis. Di kalangan hukum lebih terkenal dengan Delik Keamanan Negara.[2] Maka perlu ada kajian yang mendalam dari berbagai aspek tentang delik politik yang berkaitan dengan keamanan negara ini, khususnya kajian politik, yuridis dan sosiologis. Sehingga delik keamanan negara sebagai delik politik dapat terumus dengan jelas guna menghindari penggunaan konsep keamanan negara yang represif oleh penguasa.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pendahuluan diatas, konsep keamanan negara mengandung beberapa permasalahan, baik pada tahap kebijakan maupun tahap implementasinya. Pada tahap kebijakan, belum ada definisi yang jelas dan universal tentang kejahatan terhadap keamanan negara sebagai delik politik. Akibatnya, pada tahap implementasi, konsep keamanan negara justru menjadi alat bagi penguasa untuk meredam dan melenyapkan berbagai suara aspirasi yang tidak sependapat dengannya. Maka rumusan masalah adalah Bagaimana konsep kejahatan terhadap keselamatan dan keamanan negara di Indonesia sebagai delik politik ?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep kejahatan terhadap keselamatan dan keamanan negara di Indonesia sebagai delik politik.
a.       Metode pendekatan yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
b.      Jenis dan sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder
c.       Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (Library Research).
d.      Analisa data dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif.

II. PEMBAHASAN
A.    Delik Politik
Dalam upaya penanggulangan kejahatan, ada dua sarana yang digunakan, yaitu melalui penal dan non penal. Sarana penal menggunakan pendekatan kebijakan hukum pidana. Menurut Marc Ancel, politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan (the rational organization of the control of crime by society).[3] Artinya pendekatan rasional merupakan bagian yang harus selalu ada dalam setiap kebijakan yang akan dikeluarkan, termasuk dalam kebijakan hukum pidana.
Kebijakan hukum pidana yang digunakan dalam upaya penanggulangan tindak pidana politik tentunya harus melewati tahap kriminalisasi yang angat membutuhkan definisi, konsep atau kriteria dari tindak pidana atau delik politik itu sendiri. Dalam analisa tentang delik politik, bukanlah hal yang mudah. Karena sampai dengan saat ini sulit mencari definisi yang universal tentang politik sehingga masih ada multitafsir tentang definisi politik. Dalam kebijakan legislatif/formulasi selama ini, tidak ada suatu perbuatan yang secara formal dikualifikasikan sebagai kejahatan/tindak pidana politik. oleh karena itu, dapat dikatakan, bahwa istilah delik politik bukanlah istilah yuridis, melainkan istilah umum dan istilah ilmiah.[4] Dikalangan hukum delik politik lebih dikenal sebagai delik keamanan negara. Sehingga permasalahannya sampai pada keanalisis terhadap kepentingan negara yang harus dilindungi.
Sebelum masuk lebih jauh dalam pembahasan tentang delik politik, perlu kiranya kita membahas apa sebenarnya politik itu. Sehingga akanjelas kejahatan mana yang bersifat politik. Politik tidak hidup diruang hampa. Ia hidup dalam kehidupan bersama manusia dan berkaitan erat dengan penggunaan kekuasaan dalam kehidupan bersama.[5]
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian politik, yaitu :
1.      Willem Zevenbergen
Politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan negara. Orang Yunani zaman dahulu menerapkan arti kata politik pada tiga hal, yaitu sebagai seni, ilmu dan perbuatan
2.      Miriam Budiarjo
Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem polilik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.[6]
Hazewinkel Suringa mengutarakan empat teori dalam menentukan delik politik. Keempat teori itu adalah:[7]
1.      Teori Obyektif (teori Absolut), bahwa delik politik ditujukan terhadap negara dan berfungsinya lembaga-lembaga negara;
2.      Teori Subyektif (teori relatif), Pada azasnya semua delik umum dilakukan dengan suatu tujuan, latar belakang serta tujuan politik, merupakan suatu delik politik;
3.      Teori Predominan, teori ini membatasi teori obyektif dan teori subyektif. Dalam hal ini diperhatikan apa yang dominan dari suatu perbuatan. Apabila yang dominan merupakan suatu kejahatan umum, maka perbuatan tersebut tidak disebutkansebagai delik politik; atau
4.      Teori Political Incidence, teori ini melihat perbuatan yang dianggap sebagai bagian dari suatu kegiatan politik.

B.     Konsep Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Di Indonesia Sebagai Delik Politik
Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan tentang delik politik. Pada prinsipnya, kejahatan terhadap  keamanan  dan keselamatan negara merupakan delik politik, walaupun belum ada kejelasan dan kesamaan definisi atau penafsiran tentang delik politik itu sendiri. Perbedaan ini adalah suatu hal yang wajar, karena setiap orang atau kelompok dapat memberikan pengertian tentang kejahatan politik seperti kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap Hak asasi manusia, kejahatan bermotif politik, penjatuhan kekuasaan, kejahatan penyalahgunaan kekuasaan dan lain-lain.
Dari berbagai identifikasi pengertian di atas, dapatlah secara garis besar kejahatan politik dikategorikan dalam 2 kelompok, yaitu :
a)      Kejahatan oleh pemegang kekuasaan
b)      Kejahatan terhadap sistem kekuasaan[8]
Kualifikasi dua kelompok ini apabila dilihat dari konsep keselamatan dan keamanan negara, maka masuk dalam kategori kejahatan terhadap sistem kekuasaan yang dilakukan oleh warga masyarakat maupun oleh pejabat penguasa/politisi yang berada didalam lingkaran kekuasaaan. Walaupun selama ini yang sering dijadikan pelaku dalam tindak pidana politik adalah warga masyarakat seperti anggota LSM, mahasiswa dan lain-lain. Misalnya yang dialami oleh Hendra Syafri, Am Fatwa, Abdul Qadir Djaelani, Oesmany Al Hamidy dan terakhir adalah konspirasi pembunuhan dipesawat terhadap pejuang HAM yaitu Munir, dalam perjalanannya ke Belanda. Sementara dari kalangan penguasa, bisa saja terjadi seperti penggulingan saingan politiknya yang sedang berkuasa. Namun hal ini jarang terjadi karena kuatnya kekuasaan dari penguasa. Walaupun terjadi, biasanya ada kompromi politik sehingga tidak sampai pada tuntutan dipengadilan, apalagi sampai dipenjara. Berbeda dengan warga masyarakat yang bisa langsung ditangkap, diadili dan dipenjara sebagai tahanan politik dan narapidana politik.
Konsep kejahatan terhadap keamanan dan keselamatan negara sejak orde baru sampai dengan era reformasi ini telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah dalam Undang-undang No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi dan KUHP dan RUUKUHP.

a.       Undang-undang No. 11/PNPS/ 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
Undang-undang subversi ini telah dicabut dan tidak berlaku lagi karena digunakan  hanya untuk mengancam orang-orang yang terlibat dalam mengkritisi kebijakan pemerintahan orde lama. Namun perlu kiranya kita mengkaji kebijakan kriminalisasi, khususnya tentang perbuatan­perbuatan subversi sebagai delik politik yang diatur dalam Pasal 1s/d Pasal 3, antara lain yaitu :
1.      memutarbalikan ideologi negara
2.      menggulingkan kekuasaan negara dan menyebarkan rasa permusuhan dimasyarakat
3.      mengganggu dan menghambat kegiatan ekonomi, militer dan instalasi-instalasi pemerintahan.
4.      melakukan kegiatan mata-mata, sabotase dan propaganda untuk negara musuh
Ancaman pidana untuk kejahatan diatas adalah dari pidana mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun dan denda maksimal 30 juta rupiah (pasal 13). Pada masa orde baru, Undang-undang subversi ini tetap dipertahankan berdasarkan Undang-undang No 5 tahun 1969, dimana Pemerintah orde baru mengukuhkan undang-undang subversi sebagai salah satu perangkat kenegaraan yang dibutuhkan pemeritahan baru saat itu untuk melindungi kepentingan negara. Padahal perangkat hukum ini hanya untuk melegitimasi kewenangannya untuk melindungi kepentingan penguasa itu sendiri. Bahkan di masa orde baru terjadi perluasan tentang siapa­ siapa yang dianggap musuh negara. Pada masa orde lama, orang yang mengangkat senjata dikategorikan sebagai pengganggu keamanan negara, namun di era orde baru berbeda pendapat saja sudah dikategorikan sebagai musuh negara.

b.      Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam KUHP Indonesia yang berlaku saat ini, ada beberapa tindak pidana politik yang berkaitan dengan perlindungan keamanan negara atau kepentingan negara yang diatur dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 129, antara lain yaitu :
1.      makar terhadap Presiden dan Wakil presiden
2.      makar terhadap wilayah negara
3.      makar untuk menggulingkan kekuasaan
4.      pemberontakan
5.      permufakatan jahat untuk melakukan Point 1s/d 4 diatas
6.      kontak dengan negara asing untuk bermusuhan/perang
7.      kontak dengan orang/badan di luar Indonesia untuk penggulingan pemerintahan
8.      mengumumkan/menyerahkan rahasia negara
9.      memasuki bangunan/wilayah militer terlarang
10.  membuat/mengumpulkan dan sebagainya gambar-gambar atau petunjuk yang berhubungan dengan kepentingan militer
11.  membahayakan kenetralan negara
12.  membantu musuh (menjadi mata-mata, menjadi tentara asing, huru-hara dan pemberontakan dikalangan militer)

c.       Rancangan Undang-undang  KUHP
Dalam RUU KUHP, pada Buku II bab II diatur tentang Tindak Pidana terhadap Keamanan negara yang terbagi dalam beberapa bagian (Pasal 50 s/d Pasal 61),yaitu :
1.      Tindak pidana terhadap ideologi negara
-          Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme­Leninisme
-          Peniadaan dan Penggantian ideologi Pancasila
2.      Tindak Pidana Makar
-          Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden
-          Makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia
-          Makar terhadap Pemerintah yang Sah
3.      Tindak Pidana terhadap Pertahanan dan Keamanan Negara
-          Pertahanan Negara
-          Pengkhianatan terhadap Negara dan Pembocoran Rahasia Negara
-          Tindak Pidana Sabotase dan Pada Waktu Perang
4.      Tindak Pidana Terorisme
-          Terorisme
-          Terorisme dengan menggunakan bahan- bahan kimia
-          Pendanaan untuk Terorisme
-          Penggerakan, Pemberian Bantuan dan Kemudahan untuk Terorisme
-          Perluasan Pidana Terorisme
5.      Tindak Pidana Terhadap Penerbangan dan Sarana Penerbangan
-          Perusakan Sarana Penerbangan Perusakan Pesawat Udara
-          Pembajakan Udara
-          Perbuatan  yang  Membahayakan Keselamatan Penerbangan
Apabila melihat beberapa teori yang telah dikemukakan oleh Hazewinkel Suringa di atas, ternyata KUHP kita menganut teori obyektif, sedang dalam undang-undang subversi menganut teori subyektif. Adanya perbedaan prinsip ini, akan menambah permasalahan dalam upaya penanggulangan tindak pidana politik. Selain itu kurang jelasnya beberapa ketentuan seperti penyebaran rasa benci terhadap negara yang menjatuhkan wibawa pemerintah dan ukuran keamanan negara. Dalam hal keamanan negara mana yang harus dilindungi. Tentunya tidak pada keamanan suatu daerah atau kota, apalagi bila lingkupnya sangat kecil. Apakah kejahatan biasa seperti pencopetan yang meresahkan masyarakat termasuk mengancam keamanan negara. Jadi keamanan negara yang dimaksud haruslah pada keamanan kelangsungan ketatanegaraan. Dalam hal ini perlu dibedakan pula antara pelaku perbuatan politik dengan pelaku delik politik. Setiap orang yang ingin mengkritik kebijakan pemerintah, tentunya bukanlah berusaha melakukan kekacauan terhadap sistem ketatanegaraan tetapi merupakan kontrol sosial. Pembedaan inilah yang tidak ada dalam UU subversi. Sehingga delik politik ditentukan hanya berdasarkan persepsi pemerintah saja.
Pada dasarnya konsep keamanan negara sangatlah penting dan dibutuhkan. Namun harus ada suatu perumusan yang jelas dan eksplisit, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana terhadap keamanan negara sebagai delik politik. Sehingga tidak ada multitafsir dan penyalahgunaannya oleh penguasa untuk membungkam aspirasi rakyat.

III. PENUTUP
Konsepsi tentang keamanan dan keselamatan negara merupakan suatu instrumen yang sangat penting dan sangat dibutuhkan demi menjaga stabilitas nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Maka perluadasuatu perumusan tentang kejahatan atau tindak pidana terhadap keamanan dan keselamatan negara. Kejatahan ini sangat erat kaitannya dengan aspek politik, sehingga dikualifikasikan sebagai kejahatan atau delik politik. Karena menyangkut kepentingan dan perlindungan negara.
Pada prinsipnya telah ada beberapa produk hukum tentang delik keamanan negara, seperti dalam UU subversi, KUHP dan RUU KUHP.Namun adanya ketidakjelasan dan multitafsir terhadap delik politik ini, disalahgunakan oleh penguasa yang dengan persepsinya sendiri untuk membungkam atau menangkap pihak-pihak yang mengkritisi kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat dengan legitimasi dalam rangka menjaga keamanan negara. Maka harus ada kajian yang lebih mendalam lagi tentang jenis-jenis tindak pidana terhadap keamanan negara, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan menutup akses aspirasi rakyat. Perlu adanya pembedaan antara kejahatan politik dengan perbuatan politik agar konsep keamanan negara memang bertujuan untuk menjaga stabilitas nasional dan bukan sebagai alat dari pemerintah atau penguasa untuk melindungi kepentinganya sendiri yang tidak demokratis.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Bandung: Refika Aditama
A. Mansyur,1993, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan lnternasional, Jakarta: Ghalia Indonesia
Barda Nawawi Arif, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
--------------------, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Barda Nawawi Arief, 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta
Chainur Arrasid. 2000. Dasar-Dasar llmu Hukum. PT. Sinar Grafika. Jakarta.
Ignatius Haryanto, 1999, Kejahatan Negara "Telaah Tentang Penerapan Delik Keamanan Negara", Jakarta: ELSAM
Haryatmoko, 2003, Etika Politik Dan Kekuasaan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
lskandar Siahaan, 1984, Politik dalam Perspektif Hukum, Jakarta:IND-HILL.CO
Loebby loqman, 1993, Delik Politik Di Indonesia, Jakarta:IND-HILL-CO
Lilik Mulyadi, 1997, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi & Viktimologi, Jakarta: Djambatan
Mahmud Mulyadi. 2007. Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana, Fakultas Hukum-USU.
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
-----------, 1980, Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung:Alumni
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni
Undang-undang No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Revisi September 2005)



[1] Ignatius Haryanto, 1999, Telaah Tentang Penerapan Delik Keamanan Negara, Jakarta, Elsam, hlm. 2
[2] Loebby loqman, 1993, Delik Politik di Indonesia, Jakarta, IND-HILL-CO, hlm.60
[3] Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 2
[4] Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 184
[5] Iskandar Siahaan, 1984, Politik dalam Perspektif Hukum, IND-HILL.CO, Jakarta, hlm. 14
[6] Loebby Loeqman, Op.Cit, hlm.42-43
[7] Loebby Loeqman, Op.Cit, hlm. 46
[8] Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 185