Oleh: Marsitiningsih
Fakultas Hukum Universitas Palembang
ABSTRACT
The legal relationship between the bank and the customer
exists because of the depositary agreement. The law creates rights and
obligations. Business activities carried out by banks authority so greater the
supervision. To overcome this, then the arrangement and other financial
institutions so one becomes the financial services authority (OJK) in Law
number 21 of 2011. There are two different functions in one bank institution of
Indonesia Bank that is regulation and supervision function, fuction of monetary
authority, so the bank Indonesia prioritizes monetary policy instruments rather
than strengthening the regulatory and supervisory fuctions. Bank supervision in
the financial services authority is supervision on the health of banks,
determination of bank status and prudential principles. The right of customers
to get protection of their rights, especially customer education and dispute
resolution. Law number 21 of 2011 regulates OJK authorized to undertake
consumer and community harm prevention measures, perform customer complaint
services and safeguard measures by defending and fiing a lawsuit to obtain a
change.
ABSTRAK
Hubungan hukum antara Bank dengan
nasabah penyimpan dana lahir karena perjanjian penyimpanan dana. Adanya
hubungan hukum lahirlah hak dan kewajiban.Meluasnya kegiatan usaha yang
dilakukan bank berakibat besarnya pengaturan untuk bank yang pada giliranya
semakin besar pula biaya pengawasannya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka
pengaturan dan pengawasan bank dan lembaga keuangan lainnya menjadi satu atap
dengan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011. Adanya dua
fungsi yang berbeda dalam satu lembaga Bank Indonesia yaitu fungsi pengaturan
dan pengawasan sekaligus fungsi otoritas moneter menyebabkan Bank Indonesia
cenderung lebih menggunakan instrument kebijakan moneter dari pada memperkuat
fungsi pengaturan dan pengawasan. Fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia
kepada Otoritas Jasa Keuangan meliputi pengawasan terhadap tingkat kesehatan
bank, penetapan status bank dan prinsip kehati-hatian. Terkait dengan hak-hak
nasabah, nasabah memperoleh perlindungan hak-haknya khususnya pendidikan
nasabah dan penyelesaian sengketa. Dalam Undang-Undang Nomor 21
tahun 2011, OJK diberi kewenangan untuk melakukan tindakan pencegahan kerugian
konsumen dan masyarakat, melakukan pelayanan pengaduan konsumen dan tindakan
perlindungan dengan
melakukan pembelaan dan mengajukan gugatan untuk memperoleh ganti.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Globalisasi dewasa ini, telah
mendorong terjadinya peningkatan interaksi dan transaksi antara konsumen dan
pelaku usaha, ditandai dengan semakin banyaknya para pelaku usaha yang
beroperasi di pasar internasional dan pasar domestic ( local ). Obyek dan bidang
yang dijadikan transaksi bisnis antara konsumen dan pelaku usaha berkenaan dan
berkaitan dengan berbagai aspek yaitu aspek ekonomi, sosial budaya, politik,
hukum dan teknologi.[1] Korelasi antara kepentingan konsumen dan
pelaku usaha yang relevan dengan aspek – aspek tersebut menunjukan pentingnya
konsumen diberikan perlindungan hukum secara khusus dalam bentuk Undang-
Undang.
Perkembangan pasar keuangan yang pesat
di era globalisasi dan berkembangnya dinamika produk keuangan di pasar keuangan
domestic maupun internasional membawa implikasi pada perubahan struktur pasar
keuangan yang semakin kompleks, sehingga dalam operasionalnya memerlukan
pengawasan oleh lembaga yang memiliki tugas utama sebagai lembaga pengawas
jasa-jasa di sektor keuangan. Institusi pengawasan terpadu dibentuk dengan
maksud untuk menciptakan lembaga pengawas yang terintegrasi bagi perbankan,
pasar modal, dana pensiun, asuransi serta lembaga keuangan lainnya dalam rangka
mengurangi tingkat risiko di sektor keuangan dan mengantisipasi berkembangnya universal
product, meningkatkan kepercayaan pasar, perlindungan konsumen,
transparansi, standar praktek bisnis keuangan, dan mengurangi kejahatan di
bidang keuangan .
Selain lembaga keuangan bank,
terdapat juga lembaga keuangan non bank, yaitu dana pensiun, lembaga pembiayaan,
lembaga penjaminan, pagadaian, perusahaan perasuransian, lembaga yang
menyelenggarakan program jaminan social dan kesejahteraan yang bersifat wajib,
serta industry keuangan non bank lainnya.
Untuk mewujudkan perekonomian nasional
yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem
keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat.
Dalam pasal 4 Undang – Undang Otoritas
jasa keuangan ( UU OJK ) menyebutkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan dibentuk
dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan
jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil,
dan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat[2] .
Globalisasi dalam sistem keuangan dan
pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi financial telah
menciptakan sistem keuangan yang sangat komplek, dinamis, dan saling terkait
antar- subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Beberapa
hal yang menjadi perhatian Otoritas jasa Keuangan diantaranya pengawasan sektor
jasa keuangan yang terintegrasi ( konglomerasi ), praktek perlindungan konsumen
yang sama di semua sektor jasa keuangan, tindakan yang mencerminkan moral
hazard dan belum optimalnya perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
Perlindungan konsumen di sektor jasa
keuangan bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang andal,
meningkatkan pemberdayaan konsumen, dan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha jasa
keuangan mengenai pentingnya perlindungan sehingga mampu meningkatkan
kepercayaan masyarakat pada sektor jasa keuangan.
Hal nyata yang diharapkan antara lain
Pelaku usaha jasa keuangan memperhatikan aspek kewajaran dalam menetapkan biaya
atau harga produk dan/ atau layanan, fee-based pricing minimum yang
tidak merugikan konsumen, serta kesesuaian produk dan / atau layanan yang ditawarkan dengan kebutuhan dan
kemampuan konsumen.
Penerapan market conduct
diterapkan secara seimbang antara menumbuh kembangkan sektor jasa keuangan dengan
pemenuhan hak dan kewajiban konsumen untuk meningkatkan kepercayaan konsumen. Market
conduct adalah perilaku Pelaku Usaha jasa keuangan dalam mendesain,
menyusun dan menyampaikan informasi, menawarkan, membuat perjanjian atas produk
dan / atau layanan serta penyelesaian sengketa
dan penanganan pengaduan.
Sehubungan dengan hal tersebut, upaya
perlindungan konsumen dan / atau masyarakat diarahkan untuk mencapai dua tujuan
utama , yaitu meningkatkan kepercayaan dari investor dan konsumen dalam setiap
aktifitas dan kegiatan usaha di sektor
jasa keuangan ( Market confidence ), dan memberikan kesempatan
untuk perkembangan bagi Pelaku Usaha jasa keuangan secara adil, efisien dan
transparan dan di sisi lain Konsumen memiliki pemahaman hak dan kewajiban dalam
berhubungan dengan Pelaku Usaha jasa keuangan mengenai karakteristik, layanan,
dan produk ( Level Playing Field ).
Dalam jangka panjang, industry jasa
keuangan sendiri juga akan mendapat manfaat yang positif untuk memacu peningkatan
efisiensi sebagai respon dari tuntutan pelayanan yang lebih prima terhadap
pelayanan jasa keuangan.
Konsumen adalah pihak – pihak yang
menempatkan dananya dan / atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di lembaga
jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di Pasar Modal,
pemegang Polis pada perasuransian, dan peserta pada Danapensiun, berdasarkan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan [3].
Kabar soal bocornya data yang berujung
raibnya uang di rekening nasabah bank kembali terjadi. Terkait hai itu Otoritas
jasa Keuangan ( OJK ) akan melihat kasus per kasus. Dewan Komisioner Bidang
Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Tirta Segara menyebut kasus kebocoran
dana nasabah bisa disebabkan oleh berbagai hal, yaitu dari sisi industry dan
dari sisi konsumen.[4]
Faktor utama yang menjadi kelemahan
konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak – haknya masih rendah. Hal
ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.
B.
PERMASALAHAN
Sistem
perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang perlindungan Konsumen (
Undang – Undang nomor 8 tahun 1999 ) melibatkan tiga pihak yaitu ; konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah. Hal ini dapat dipahami karena sebagaimana diatur
dalam konstitusi Undang – Undang Dasar 1945
ditegaskan bahwa Negara Republik Indonesia didirikan bukan hanya untuk
melindungi rakyatnya, tetapi juga harus dapat menciptakan Negara kesejahteraan
( welfare state ). Untuk itu , maka Negara melalui pemerintah harus aktif memberikan
pelayanan kepada masyarakat di berbagai bidang dan sektor, termasuk
penyelenggaraan perlindungan konsumen. Bertolak dari hal tersebut maka
permasalah dalam artikel ilmiah ini adalah bagaimanakah perlindungan hukum bagi
konsumen bank menurut Undang – Undang nomor
21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ?
II.
PEMBAHASAN
Pada dasarnya konsumen adalah rakyat
Indonesia yang posisinya lemah di hadapan pelaku usaha. Melalui perlindungan
konsumen, kepentingan dan hak – hak konsumen dapat terlindungi, sehingga akan
berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat..Dengan keterlibatan pemerintah, maka
ada hubungan segitiga antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah . Diharapkan
pemerintah dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, sekaligus menjaga
hubungan yang seimbang antara konsumen dan pelaku usaha.[5]
Negara sesungguhnya adalah penyelenggara
perlindungan konsumen. Melalui pemerintah peraturan perundang – undangan
perlindungan konsumen dirancang dan dibuat sekaligus dilakukan pengawasan
terhadap peleksanaan penyelenggaraan. Peran pemerintah dalam perlindungan
konsumen selain bertindak sebagai regulator juga melakukan pengawasan dan
penegakan atas regulaasi yang diberlakukan itu . jika ada yang mengganggu
kepentingan dan hak – hak konsumen, maka pemerintah dapat menyelenggarakan
pemeriksaan dan persidangan .
Dalam pasal 1 angka 1 Undang – Undang
nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa Perlindungan
Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Sedangkan Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan / atau jasa yang tersedia dalam masyarakat , baik untuk kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan ( pasal 1 angka 2 UU no.8 tahun 1999 )…
Perlindungan konsumen bertujuan :
a.
Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk meningkatkan diri,
b.
Mengangkat
harkat dan martabat konsumen Dengan cara menghindarkannya dari ekses negative
pemakaian barang dan / jasa,
c.
Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen,
d.
Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan
keterbuaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
e.
Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha,
f.
Meningkatkan
kualitas barang dan / atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan / atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen [6]
Dalam
pasal 4 UU Perlindungan Konsumen
disebutkan bahwa hak konsumen adalah sbb:
1.
Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan / atau
jasa;
2.
Hak
untuk memilih barang dan / atau jasa serta mendapatkan barang dan / atau jasa
tersebut sesuai Dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.
Hak
atas informasi yang benar,jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan / ataujasa;
4.
Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang
digunakan;
5.
Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6.
Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8.
Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan / atau penggantian, apabila barang
dan/ atau jasa yang diteima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9.
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya [7]
Sedangkan kewajiban pelaku usha meliputi
: beritikad baik dalama melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dana pemeliharaan; memperlakukan atau
melayanai konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku; memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi
atas barang-barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; memberi kompensasi,
ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti
rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perjanjian antara lembaga perbankan dengan
nasabah penyimpan dana akan melahirkan hubungan hukum antara kedua belah pihak,
terciptanya hubungan hukum akan melahirkan hak dan kewajiban baik dari pihak
bank maupun nasabah penyimpan dana . Hak ternyata tidak hanya mengandung unsur
perlindungan dan kepentingan, melainkan juga kehendak. Hal ini tampak apabila
seseorang mempunyai simpanan di sebuah bank, maka hukum akan memberikan hak
kepada orang yang menyimpan dana, dalam arti bahwa kepentingan nasabah
penyimpan dana mendapatkan perlindungan hukum.[8]
Akan tetapi perlindungan itu tidak hanya
ditujukan terhadap kepentingan penyimpan dana saja, melainkan juga kehendak
dari penyimpan dana terhadap simpanan yang ada pada bank. Atas dasar hal
tersebut maka pemilik simpanan berhak dan dapat melakukan penarikan dana
simpanannya atau memberi kuasa kepada orang lain untuk melakukan penarikan dana
dalam hubungannya dengan perlindungan hukum itu. Prof.DR.Satjipto Rahardjo,SH
berpendapat bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara
mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut.[9]
Lembaga perbankan adalah suatu lembaga
yang kelangsungan usahanya tergantung kepada kepercayaan dari masyarakat,
sehingga dunia perbankan harus menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan
memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama
kepentingan dari nasabah bank yang bersangkutan.
Hakekat perlindungan hukum nasabah
adalah melindungi kepentingan dari nasabah penyimpan dan simpanannya yang
disimpan di suatu bank tertentu terhadap suatu kerugian. Risiko menderita
kerugian dari nasabah penyimpan dana ini akan terjadi apabila bank dilikuidasi,
bank beku operasi, bank take over.[10] Perlindungan hukum ini juga merupakan upaya
untuk mempertahankan dan memelihara kepercayaan masyarakat khususnya nasabah.
Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai
perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana dapat dilakukan melalui 2 ( dua)
cara yaitu :
a.
Perlindungan
secara implicit ( implicit deposit protection), yaitu perlindungan yang
dihasilkan oleh pengawasan, dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat
menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank, yang diperoleh melalui antara lain
; peraturan perundangan di bidang perbankan,
memelihara tingkat kesehatan bank, melakukan usaha sesuai dengan prinsip
kehati-hatian, cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah serta menyediakan informasi risiko pada nasabah. Dalam rangka
memberikan perlindungan kepada nasabah penyimpan dana, dalam pasal 29 ayat (5)
UU no. 10 tahun1998 ditentukan bahwa untuk kepentingan nasabah, bank wajib
menyediakan informasi mengenai kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan
dengan transaksi nasabah yang dilakukan oleh bank.
b.
Perlindungan
secara eksplisit ( explicit deposit protection ), yaitu perlindungan
melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga
apabila bank mengalami kegagalan, maka lembaga tersebut akan mengganti dana
masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut.
Perlindungan hukum terhadap nasabah
penyimpan dana di bank, telah ada political will dari pemerintah,
terbukti dengan telah diundangkannya Undang-Undang nomer 24 tahun 2004 tentang
Lembaga Penjaminan simpanan, disamping perlindungan hukum yang diatur dalam
Undang-Undang no.10 tahun 1998 tentang perbankan.
Meluasnya kegiatan usaha yang dilakukan
bank berakibat besarnya pengaturan untuk bank yang pada gilirannya semakin
besar pula biaya untuk pengawasannya. Untuk mengatasi hal tersebut menjadikan pengaturan dan pengawasan bank, perusahaan sekuritas,
perusahaan asuransi dan perusahaan jasa lainnya dalam satu atap dengan
dibentuknya Otoritas jasa Keuangan ( OJK ) melalui Undang-Undang nomor 21 tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, karena selama ini Bank Indonesia memiliki
banyak kendala dalam menjalankan kewenangannya. Diharapkan dengan adanya OJK
mampu untuk mengurangi kendala-kendala yang dimiliki oleh Bank Indonesia karena
nyatanya Bank Indonesia tidak mampu sepenuhnya untuk mengontrol perbankan.
Kelahiran Otoritas Jasa Keuangan sebagai
otoritas tunggal dalam pengaturan dan pengawasan jasa keuangan termasuk
perbankan, menimbulkan diskursus. Argumentasi bagi yang setuju harus
dipisahkannya pengawasan perbankan dari Bank Indonesia adalah untuk menghindari
konflik kepentingan.[11].
Adanya dua fungsi yang berbeda dalam satu lembaga Bank Indonesia yaitu fungsi
pengaturan dan pengawasan sekaligus fungsi otoritas moneter akan menyebabkan
Bank Indonesia cenderung lebih memilih menggunakan instrument kebijakan moneter
berupa bantuan likuiditas untuk menyehatkan kondisi keuangan dari bank-bank
yang diawasinya dari pada memperkuat fungsi pengaturan dan pengawasannya dengan
mengedepankan pendekatan prudensial ( peraturan kehati-hatian )[12]
Menurut Darwin Nasution, pembentukan Otoritas
Jasa Keuangan merupakaan upaya untuk mereformasi dan mengintegrasikan sistem
pengaturan dan pengawasan bagi semua sektor jasa keuangan secara keseluruhan
agar lebih kredibel dalam rangka mewujudkan pertumbuhan sektor keuangan yang
kuat dan sehat sehingga mampu mengantisipasi setiap perkembangan sektor
keuangan baik secara domestik atau global.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6 angka a, Otoritas Jasa
Keuangan mempunyai wewenang pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan
bank, kesehatan bank, aspek kehati-hatian bank, dan pemeriksaan bank.
Fungsi pengawasan bank dari Bank
Indonesia kepada Otoritas Jasa Keugan meliputi pengawasan terhadap tingkat
kesehatan bank, penetapan status bank, penerapan Good Corporate Governance pada
suatu bank, penyelenggaraan kegiatan usaha bank, perizinan dan pencabutan izin
usaha bank, merger, konsolidasi, dan akuisisi bank, pemeriksaan bank secara
berkala, penerapan manajemen risiko dan prinsip kehati-hatian. Terkait dengan
hak-hak nasabah, nasabah memperoleh perlindungan hak-haknya khususnya tentang
pendidikan nasabah dan penyelesaian sengketa. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat, [13]
baik di sektor perbankan, pasar modal, pengasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya, dengan tugas melakukan pengaturan
dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan tersebut.[14]
Untuk perlindungan Konsumen dan
masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan diberi kewenangan untuk melakukan tindakan
pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, melakukan pelayanan pengaduan konsumen,
tindakan perlindungan dengan melakukan pembelaan dan mengajukan gugatan untuk
memperoleh ganti rugi.
Tindakan pencegahan kerugian konsumen
dan masyarakat, meliputi :[15]
a.
Memberikan
informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa
keuangan, layanan, dan produksinya;
b.
Meminta
lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut
berpotensi merugikan masyarakat, dan
c.
Tindakan
lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di sektor jasa keuangan.
Yang
termasuk tindakan pelayanan pengaduan konsumen meliputi: [16]
a.
Menyiapkan
perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh
pelaku usaha di Lembaga Jasa Keuangan;
b.
Membuat
mekanisme pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha di Lembaga Jasa
Keuangan, dan
c.
Memfasilitasi
penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha di Lembaga di
lembaga jasa keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
Adapun
tindakan pembelaan hukum meliputi : [17]
a.
Memerintahkan
atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk
menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan;
b.
Mengajukan
gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dan
pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak
yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain Dengan
itikad tidak baik dan untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang
menyebabkan kerugian pada konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai
akibat dari pelanggaran atas peraturanperundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
Pasal
31 UU OJK menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan
konsumen dan masyarakat diatur dengan Peraturan OJK. Peraturan dimaksud adalah
Peraturan Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan. Peraturan OJK Perlindungan konsumen pasal 3-12 menentukan
bahwa informasi dan edukasi yang diberikan harus memuat karakteristik,layanan,
dan produk institusi keuangan . Melalui upaya ini, informasi akan hak-hak
konsumen dapat diperoleh konsumen, sehingga diketahui apa saja yang menjadi
hak-hak nasabah.[18]Akibatnya
keputusan yang diambil oleh konsumen menjadi tepat dan sesuai dengan tingkat
kemampuan dana kebutuhannya. Selanjutnya, pasal 14 ayat (1) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan menentukan bahwa pemberian informasi dan penyelenggaraan edukasi
kepada konsumen merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh lembaga jasa
keuangan dalam rangka meningkatkan literasi kuangan konsumen.
Tindakan pencegahan kerugian oleh OJK
juga dapat dilakukan dengan meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan
kegiatan usahanya apabila kegiatan usaha yang dilakukan lembaga jasa keuangan
tersebut berpotensi merugikan masyarakat.. Di samping itu, OJK juga dapat melakukan
tindakan lain berkaitan dengan tindakan pencegahan kerugian, selama tindakan
tersebut diperlukan sebagai tujuan pencegahan kerugian konsumen serta tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
Dengan demikian, Otoritas Jasa Keuangan telah
mengatur bahwa tindakan pencegahan kerugian konsumen merupakan tindakan pertama
yang harus dilakukan oleh lembaga jasa keuangan untuk mencegah terjadinya
kerugian konsumen, sehingga sengketa antara jasa keuangan dengan konsumen dapat
dihindari. Tindakan pencegahan kerugian tersebut dilakukan dengan cara
pemberian informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor
jasa keuangan,layanan, dan produknya dapat diartikan sebagai pemberian hak atas
pendidikan nasabah yang diadopsi oleh Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan untuk memberikan perlindungan hak nasabah
atas pendidikan terkait dengan perbankan.[19]
Hak
nasabah atas informaasi dan edukasi tersebut juga sebagai landasan dasar
masyarakat sebelum melakukan transaksi dan menggunakan jasa-jasa yang telah
disediakan oleh bank agar masyarakat
tidak salah dalam memilih jasa yang ditawarkan oleh bank sesuai dengan yang
dibutuhkan.
Di dalam POJK tentang Perlindungan
Konsumen disebutkan bahwa pemberian informasi kepada nasabah dan masyarakat
merupakan sebuah kewajiban dari pihak bank. Informasi tersebut mulai dari
informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, dan tidak
menyesatkan, informasi yang terkini dan mudah diakses, informasi tentang
penerimaan, penundaan atau penolakan permohonan produk dan/atau layanan,
ringkasan informasi, informasi mengenai biaya yang harus ditanggung, sampai
informasi tentang perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat dan ketentuan yang
tercantum dalam dokumen dan/atau perjanjian mengenai produk dan/atau layanan
lembaga jasa keuangan.
Penyelenggaraan
edukasi juga merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh bank terhadap
masyarakat dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada konsumen dan/atau
masyarakat. Dengan adanya pendidikan dan informasi secara benar dan jelas
menjadi faktor pencegah terjadinya suatu sengketa antara para pihak yang melakukan
transaksi / perjanjian, yaitu antara pihak bank dengan konsumen pengguna jasa
keuangan. Apabila informasi yang diberikan pihak bank terhadap masyarakat
secara benar dan jelas, maka kesepakatan dalam perjanjian yang dilakukan antara
bank dengan nasabah tersebut akan menjadi lebih mudah. Namun apabila informasi
yang diberikan oleh pihak bank terhadap masyarakat tidak benar, maka
kesepakatan itu tidak sah.
Ketika upaya pencegahan kerugian konsumen ini
tidak berhasil dan konsumen merasa dirugikan oleh lembaga jasa keuangan, maka
tindakan yang dilakukan oleh konsumen adalah melakukan pengaduan. Tugas Otoritas
Jasa Keuangan dalam bidang pelayanan pengaduan konsumen dilakukan dengan cara
menyiapkan perangkat-perangkat yang memadai dan mekanisme-mekanisme dalam
pelaksanaan pelayanan pengaduan oleh nasabah yang dirugikan oleh pihak bank serta memfasilitasi penyelesaian pengaduan
konsumen yang dirugikan.
Pengertian pengaduan menurut pasal 1
angka 12 POJK nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga alternative Penyelesaian
sengketa di sektor Jasa Keuangan ( POJK PAPS ) adalah penyampaian ungkapan
ketidakpuasan konsumen yang disebabkan oleh adanya kerugian atau potensi
kerugian financial pada konsumen yang diduga terjadi karena kesalahan atau
kelalaian lembaga jasa keuangan dalam kegiatan pemanfaatan pelayanan dan/atau
produk.
Tujuan dilakukannya tindakan pengaduan
konsumen adalah untuk dilakukannya penyelesaian pengaduan konsumen oleh pihak
lembaga jasa keuangan.Hal itu disebabkan karena mekanisme pelayanan dan penyelesaian
pengaduan terhadap konsumen merupakan kewajiban yang harus dimiliki dan
dilaksanakan oleh lembaga jasa keuangan.[20]
Setelah menerima pengaduan konsumen, Pelaku Usaha jasa keuangan wajib melakukan
: [21] Pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten,
benar, dan objektif; melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan
dan menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi atau perbaikan
produk dan/atau layanan, jika pengaduan konsumen benar.
Dalam hal tidak mencapai kesepakatan penyelesaian
pengaduan, konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan
atau melalui pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dilakukan melalui
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). Dalam penyelesaian sengketa
tidak dilakukan melalui LAPS, konsumen dapat menyampaikan permohonan kepada
Otoritas Jasa Keuangan untuk memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang
dirugikan oleh Pelaku usaha jasa Keuangan.
Di dalam pasal 40 POJK Perlindungan
Konsumen mengatur mengenai pengaduan konsumen dan pemberian fasilitas
penyelesaian pengaduan oleh Otoritas Jasa keuangan antara lain : (1) Konsumen
dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa antara pelaku usaha jasa
keuangan dengan konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan; (2) Konsumen dan/atau
masyarakat dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi pelanggaran atas
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan kepada Otoritas Jasa
Keuangan; (3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal ini Anggota Dewan
Komisioner yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen.
Pemberian fasilitas penyelesaian
pengaduan konsumen oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan terhadap pengaduan yang
berindikasi sengketa di sektor jasa keuangan dengan ketentuan harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut : [22] (!)
Konsumen mengalami kerugian financial yang ditimbulkan oleh pelaku usaha di
bidang perbankan, pasar modal, dana pension, asuransi jiwa, pembiayaan,
perusahaan gadai, atau penjaminan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah); Pelaku usaha jasa keuangan di bidang asuransi umum paling banyak
sebesar Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);(2) konsumen
mengajukan permohonan secara tertulis disertai Dengan dokumen pendukung yang
berkaitan dengan pengaduan; (3) Pelaku usaha jasa keuangan telah melakukan
upaya penyelesaian pengaduan namun konsumen tidak dapat menerima penyelesaian
tersebut atau telah melewati batas waktu sebagaimana ditetapkan dalam POJK ini;
(4) Pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa sedang dalam proses atau pernah diputus oleh
lembaga arbitrase atau peradilan, ataulembaga mediasi lainnya; (5) Pengaduan
yang diajukan bersifat keperdataan; (6) Pengaduan yang diajukan belum pernah
difasilitasi oleh OJK dan (7) Pengajuab penyelesaian pengaduan tidak melebihi
60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan
yang disampaikan pelaku jasa keuangan kepada konsumen.
Pemberian fasilitas penyelesaian
pengaduan yang dilaksanakn oleh Otoritas Jasa Keuangan merupakan upaya
mempertemukan konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan untuk mengkaji ulang
permaslahan secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian .
Otoritas Jasa Keuangan menunjuk fasilitator untuk pelaksanan fungsi
penyelesaian pengaduan. Otoritas Jasa Keuangan memulai proses fasilitas setelah
konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan sepakat untuk difasilitasi oleh Otoritas
Jasa Keuangan yang dituangkan dalam perjanjian yang memuat : kesepakatan untuk
memilih penyelesaian pengaduan yang difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan
dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan fasilitasi yang ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pelaksanaan proses fasilitasi sampai
denngan ditandatannganinya Akta Kesepakatan dilakukan dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kerja sejak konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan
menandatangani perjanjian fasilitas. Jangka waktu fasilitas dapat diperpanjang
sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan Akta
kesepakatan Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa keuangan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan
antara konsumen dengan pelaku usaha jasa keuangan, maka ketidaksepakatan
tersebut dituangkan dalam berita acara hasil fasilitas Otoritas Jasa Keuangan
yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan.
Pasal 30 Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan (UU OJK) menentukan bahwa untuk perlindungan konsumen dan masyarakat
Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pembelaan hukum yang meliputi : memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu
kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaiakan pengaduan konsumen yang
dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud ; mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik
pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian baik yang berada di
bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah
penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik, dan atau ; untuk memperoleh
ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen dan/atau
Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan
perundang-undanngan di sektor jasa keuanngan. Ganti kerugian sebagaimana dimaksud
ayat (1) huruf b angka 2 hanya digunakan untuk pembayaran ganti kerugian kepada
pihak yang dirugikan.
III. PENUTUP
Perlindungan konsumen di sektor
jasa keuanngan bertujuan untuk menciptakan sitem perlindungan konsumen yang
andal, meningkatkan pemberdayaan konsumen, dan menumbuhkan kesadaran pelaku
usaha jasa keuangan mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga mampu
meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sektor jasa keuangan.
Untuk
perlindungan konsumen dan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan diberi kewenangan
untuk :
1.
Melakukan
tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat,
2.
Melakukan
pelayanan pengaduan konsumen,
3.
Tindakan
perlindungan Dengan melakukan pembelaan dan mengajukan gugatan untuk memperoleh
ganti rugi.
Dalam pasal 31 Undang-Undang Otoritas
Jasa Keuangan menyebutkan bahwa ketentuan mengenai perlindungan konsumen dan
masyarakat diatur Dengan Peraturan Otoritas Jasa keuangan yang dituangkan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1 /POJK.07/2013, di dalam pasal 3 – 12
menetukan bahwa informasi dan edukasi yang diberikan harus memuat
karakteristik, layanan, dan produk institusi keuangan. Melalui upaya ini,
informasi akan hak-hak konsumen dapat diperoleh konsumen sehingga diketahui apa
saja yang menjadi hak-hak nasabah. Akibatnya, keputusan yang diambil oleh konsumen
menjadi tepat dan sesuai dengan tingkat kemampuan dan kebutuhanya. Hal itu
sesuai dengan hak-hak konsumen yang diatur dalam pasal 4 Undang-Undang nomor 8 tahun 1998 tentang
Perlindungan konsumen yang menyebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas
edukasi, pendidikan konsumen dan penyelesaian sengketa konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi
Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan hukum bagi Konsumen di Indonesia, 2011, Raja
Grafika Persada, Jakarta.
Uswatun
Hasanah, Hukum Perbankan, 2017, Setara Press, Malang
Wahyu
sasongko, Ketentuan-ketentuan Pokok hukum Perlindungan konsumen, 2007, UNILA
Lampung
Zulham,
Hukum Perlindungan Konsumen, 2013, Kencana Presada Media Grup, Jakarta
Simbur
Cahaya, Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2010, Palembang
Undang-Undang
nomor 8 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang
nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Konsumen
Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan.
[1] Wahyu sasongko,
ketentuan-ketentuan pokok hukum perlindungan konsumen, Universitas
lampung,2007,hlm1
[2] Penjelasan atas Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan no.1/POJK.07/2013
[3] Pasal 1 angka 15 Undang-Undang
no.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
[4] Tirta Segara, Tribun Sumsel, 16
maret 2018 , hlm 2
[5] Wahyu sasongko, Op cit,hlm 117
[6] Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip
perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia,2011,Raja Grafindo
Persada,jkt,hlm, 12
[7] Zulham, Hukum perlindungan
konsumen, 2013, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlmn 34
[8] Hermansyah dalam Atonius Suhadi
AR :Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana pada lembaga perbankan,
Simur Cahaya Majalah Ilmiah FH Univ.Sriwijaya no 42 tahun xv mei 2010, hlm 1963
[9] Ibid, hlm 1964
[10] Yunus Husein dalam Antonius
Suhadi AR, ibid hlm 1965
[11] Andika Hendra Mustaqim dalam
Uswatun Hasanah, Hukum Perbankan , Setara Press,2017,halm 111
[12] Uswatun Hasanah, Hukum
Perbankan, Setara Press,2017, hlm 111
[13] Pasal 4 UU OJK
[14] Pasal 6 UU OJK
[15] Pasal 28 UU OJK
[16] Pasal 29 UU OJK
[17] Pasal 30 UU OJK
[18] Uswatun Hasanah, op cit,
hlm 115
[19] Uswatun Hasanah, ibid,
hlm 116
[20] Pasal 31 ayat (1) POJK
Perlindungan konsumen
[21] Pasal 38 POJK Perlindungan
Konsumen
[22] Pasal 41 POJKPerlindungan
Konsumen
0 komentar:
Posting Komentar