Jumat, 31 Agustus 2018

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BANK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)


Oleh: Marsitiningsih
Fakultas Hukum Universitas Palembang

ABSTRACT
The legal relationship between the bank and the customer exists because of the depositary agreement. The law creates rights and obligations. Business activities carried out by banks authority so greater the supervision. To overcome this, then the arrangement and other financial institutions so one becomes the financial services authority (OJK) in Law number 21 of 2011. There are two different functions in one bank institution of Indonesia Bank that is regulation and supervision function, fuction of monetary authority, so the bank Indonesia prioritizes monetary policy instruments rather than strengthening the regulatory and supervisory fuctions. Bank supervision in the financial services authority is supervision on the health of banks, determination of bank status and prudential principles. The right of customers to get protection of their rights, especially customer education and dispute resolution. Law number 21 of 2011 regulates OJK authorized to undertake consumer and community harm prevention measures, perform customer complaint services and safeguard measures by defending and fiing a lawsuit to obtain a change.


ABSTRAK
Hubungan hukum antara Bank dengan nasabah penyimpan dana lahir karena perjanjian penyimpanan dana. Adanya hubungan hukum lahirlah hak dan kewajiban.Meluasnya kegiatan usaha yang dilakukan bank berakibat besarnya pengaturan untuk bank yang pada giliranya semakin besar pula biaya pengawasannya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pengaturan dan pengawasan bank dan lembaga keuangan lainnya menjadi satu atap dengan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011. Adanya dua fungsi yang berbeda dalam satu lembaga Bank Indonesia yaitu fungsi pengaturan dan pengawasan sekaligus fungsi otoritas moneter menyebabkan Bank Indonesia cenderung lebih menggunakan instrument kebijakan moneter dari pada memperkuat fungsi pengaturan dan pengawasan. Fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan meliputi pengawasan terhadap tingkat kesehatan bank, penetapan status bank dan prinsip kehati-hatian. Terkait dengan hak-hak nasabah, nasabah memperoleh perlindungan hak-haknya khususnya pendidikan nasabah dan penyelesaian sengketa. Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011, OJK diberi kewenangan untuk melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, melakukan pelayanan pengaduan konsumen dan tindakan perlindungan dengan melakukan pembelaan dan mengajukan gugatan untuk memperoleh ganti.


I.     PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
            Globalisasi dewasa ini, telah mendorong terjadinya peningkatan interaksi dan transaksi antara konsumen dan pelaku usaha, ditandai dengan semakin banyaknya para pelaku usaha yang beroperasi di pasar internasional dan pasar domestic ( local ). Obyek dan bidang yang dijadikan transaksi bisnis antara konsumen dan pelaku usaha berkenaan dan berkaitan dengan berbagai aspek yaitu aspek ekonomi, sosial budaya, politik, hukum dan teknologi.[1]   Korelasi antara kepentingan konsumen dan pelaku usaha yang relevan dengan aspek – aspek tersebut menunjukan pentingnya konsumen diberikan perlindungan hukum secara khusus dalam bentuk Undang- Undang.
Perkembangan pasar keuangan yang pesat di era globalisasi dan berkembangnya dinamika produk keuangan di pasar keuangan domestic maupun internasional membawa implikasi pada perubahan struktur pasar keuangan yang semakin kompleks, sehingga dalam operasionalnya memerlukan pengawasan oleh lembaga yang memiliki tugas utama sebagai lembaga pengawas jasa-jasa di sektor keuangan. Institusi pengawasan terpadu dibentuk dengan maksud untuk menciptakan lembaga pengawas yang terintegrasi bagi perbankan, pasar modal, dana pensiun, asuransi serta lembaga keuangan lainnya dalam rangka mengurangi tingkat risiko di sektor keuangan dan mengantisipasi berkembangnya universal product, meningkatkan kepercayaan pasar, perlindungan konsumen, transparansi, standar praktek bisnis keuangan, dan mengurangi kejahatan di bidang keuangan .
            Selain lembaga keuangan bank, terdapat juga lembaga keuangan non bank, yaitu dana pensiun, lembaga pembiayaan, lembaga penjaminan, pagadaian, perusahaan perasuransian, lembaga yang menyelenggarakan program jaminan social dan kesejahteraan yang bersifat wajib, serta industry keuangan non bank lainnya.
Untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur,  adil, transparan, dan  akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil,  dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Dalam pasal 4 Undang – Undang Otoritas jasa keuangan ( UU OJK ) menyebutkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar  keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang  tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan  mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat[2] .
Globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi financial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat komplek, dinamis, dan saling terkait antar- subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Beberapa hal yang menjadi perhatian Otoritas jasa Keuangan diantaranya pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi ( konglomerasi ), praktek perlindungan konsumen yang sama di semua sektor jasa keuangan, tindakan yang mencerminkan moral hazard dan belum optimalnya perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
Perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang andal, meningkatkan pemberdayaan konsumen, dan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha jasa keuangan mengenai pentingnya perlindungan sehingga mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sektor jasa keuangan.
Hal nyata yang diharapkan antara lain Pelaku usaha jasa keuangan memperhatikan aspek kewajaran dalam menetapkan biaya atau harga produk dan/ atau layanan, fee-based pricing minimum yang tidak merugikan konsumen, serta kesesuaian produk dan / atau  layanan yang ditawarkan dengan kebutuhan dan kemampuan konsumen.
Penerapan market conduct diterapkan secara seimbang antara menumbuh kembangkan sektor jasa keuangan dengan pemenuhan hak dan kewajiban konsumen untuk meningkatkan kepercayaan konsumen. Market conduct adalah perilaku Pelaku Usaha jasa keuangan dalam mendesain, menyusun dan menyampaikan informasi, menawarkan, membuat perjanjian atas produk dan / atau layanan serta penyelesaian sengketa  dan penanganan pengaduan.
Sehubungan dengan hal tersebut, upaya perlindungan konsumen dan / atau masyarakat diarahkan untuk mencapai dua tujuan utama , yaitu meningkatkan kepercayaan dari investor dan konsumen dalam setiap aktifitas dan kegiatan usaha di sektor  jasa keuangan ( Market confidence ), dan memberikan kesempatan untuk perkembangan bagi Pelaku Usaha jasa keuangan secara adil, efisien dan transparan dan di sisi lain Konsumen memiliki pemahaman hak dan kewajiban dalam berhubungan dengan Pelaku Usaha jasa keuangan mengenai karakteristik, layanan, dan produk ( Level Playing Field ).
Dalam jangka panjang, industry jasa keuangan sendiri juga akan mendapat manfaat yang positif untuk memacu peningkatan efisiensi sebagai respon dari tuntutan pelayanan yang lebih prima terhadap pelayanan jasa keuangan.
Konsumen adalah pihak – pihak yang menempatkan dananya dan / atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di lembaga jasa keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang Polis pada perasuransian, dan peserta pada Danapensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan [3].
Kabar soal bocornya data yang berujung raibnya uang di rekening nasabah bank kembali terjadi. Terkait hai itu Otoritas jasa Keuangan ( OJK ) akan melihat kasus per kasus. Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Tirta Segara menyebut kasus kebocoran dana nasabah bisa disebabkan oleh berbagai hal, yaitu dari sisi industry dan dari sisi konsumen.[4]
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak – haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.  
B.       PERMASALAHAN
  Sistem perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang perlindungan Konsumen ( Undang – Undang nomor 8 tahun 1999 ) melibatkan tiga pihak yaitu ; konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Hal ini dapat dipahami karena sebagaimana diatur dalam konstitusi Undang – Undang Dasar 1945  ditegaskan bahwa Negara Republik Indonesia didirikan bukan hanya untuk melindungi rakyatnya, tetapi juga harus dapat menciptakan Negara kesejahteraan ( welfare state ). Untuk itu , maka Negara  melalui pemerintah harus aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat di berbagai bidang dan sektor, termasuk penyelenggaraan perlindungan konsumen. Bertolak dari hal tersebut maka permasalah dalam artikel ilmiah ini adalah bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen  bank menurut Undang – Undang nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ?

II.      PEMBAHASAN
Pada dasarnya konsumen adalah rakyat Indonesia yang posisinya lemah di hadapan pelaku usaha. Melalui perlindungan konsumen, kepentingan dan hak – hak konsumen dapat terlindungi, sehingga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat..Dengan keterlibatan pemerintah, maka ada hubungan segitiga antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah . Diharapkan pemerintah dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, sekaligus menjaga hubungan yang seimbang antara konsumen dan pelaku usaha.[5]
Negara sesungguhnya adalah penyelenggara perlindungan konsumen. Melalui pemerintah peraturan perundang – undangan perlindungan konsumen dirancang dan dibuat sekaligus dilakukan pengawasan terhadap peleksanaan penyelenggaraan. Peran pemerintah dalam perlindungan konsumen selain bertindak sebagai regulator juga melakukan pengawasan dan penegakan atas regulaasi yang diberlakukan itu . jika ada yang mengganggu kepentingan dan hak – hak konsumen, maka pemerintah dapat menyelenggarakan pemeriksaan dan persidangan .
Dalam pasal 1 angka 1 Undang – Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan / atau jasa yang tersedia dalam masyarakat , baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan ( pasal 1 angka 2 UU no.8 tahun 1999 )…
Perlindungan konsumen bertujuan :
a.       Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk meningkatkan diri,
b.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen Dengan cara menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang dan / jasa,
c.       Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
d.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbuaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
e.       Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha,
f.       Meningkatkan kualitas barang dan / atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan / atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen [6]
Dalam pasal 4 UU  Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa hak konsumen adalah sbb:
1.      Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan / atau jasa;
2.      Hak untuk memilih barang dan / atau jasa serta mendapatkan barang dan / atau jasa tersebut sesuai Dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.      Hak atas informasi yang benar,jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan / ataujasa;
4.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;
5.      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6.      Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan / atau penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diteima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9.      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya [7]
Sedangkan kewajiban pelaku usha meliputi : beritikad baik dalama melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dana pemeliharaan; memperlakukan atau melayanai konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; menjamin mutu  barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang-barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perjanjian antara lembaga perbankan dengan nasabah penyimpan dana akan melahirkan hubungan hukum antara kedua belah pihak, terciptanya hubungan hukum akan melahirkan hak dan kewajiban baik dari pihak bank maupun nasabah penyimpan dana . Hak ternyata tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan, melainkan juga kehendak. Hal ini tampak apabila seseorang mempunyai simpanan di sebuah bank, maka hukum akan memberikan hak kepada orang yang menyimpan dana, dalam arti bahwa kepentingan nasabah penyimpan dana mendapatkan perlindungan hukum.[8]
Akan tetapi perlindungan itu tidak hanya ditujukan terhadap kepentingan penyimpan dana saja, melainkan juga kehendak dari penyimpan dana terhadap simpanan yang ada pada bank. Atas dasar hal tersebut maka pemilik simpanan berhak dan dapat melakukan penarikan dana simpanannya atau memberi kuasa kepada orang lain untuk melakukan penarikan dana dalam hubungannya dengan perlindungan hukum itu. Prof.DR.Satjipto Rahardjo,SH berpendapat bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.[9]
Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang kelangsungan usahanya tergantung kepada kepercayaan dari masyarakat, sehingga dunia perbankan harus menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan dari nasabah bank yang bersangkutan.
Hakekat perlindungan hukum nasabah adalah melindungi kepentingan dari nasabah penyimpan dan simpanannya yang disimpan di suatu bank tertentu terhadap suatu kerugian. Risiko menderita kerugian dari nasabah penyimpan dana ini akan terjadi apabila bank dilikuidasi, bank beku operasi, bank take over.[10]  Perlindungan hukum ini juga merupakan upaya untuk mempertahankan dan memelihara kepercayaan masyarakat khususnya nasabah. Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana dapat dilakukan melalui 2 ( dua) cara yaitu :
a.       Perlindungan secara implicit ( implicit deposit protection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan, dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank, yang diperoleh melalui antara lain ; peraturan perundangan di bidang perbankan,  memelihara tingkat kesehatan bank, melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah serta menyediakan informasi risiko pada nasabah. Dalam rangka memberikan perlindungan kepada nasabah penyimpan dana, dalam pasal 29 ayat (5) UU no. 10 tahun1998 ditentukan bahwa untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan oleh bank.
b.      Perlindungan secara eksplisit ( explicit deposit protection ), yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, maka lembaga tersebut akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut.
Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana di bank, telah ada political will dari pemerintah, terbukti dengan telah diundangkannya Undang-Undang nomer 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan simpanan, disamping perlindungan hukum yang diatur dalam Undang-Undang no.10 tahun 1998 tentang perbankan.
Meluasnya kegiatan usaha yang dilakukan bank berakibat besarnya pengaturan untuk bank yang pada gilirannya semakin besar pula biaya untuk pengawasannya. Untuk mengatasi hal  tersebut menjadikan pengaturan dan  pengawasan bank, perusahaan sekuritas, perusahaan asuransi dan perusahaan jasa lainnya dalam satu atap dengan dibentuknya Otoritas jasa Keuangan ( OJK ) melalui Undang-Undang nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, karena selama ini Bank Indonesia memiliki banyak kendala dalam menjalankan kewenangannya. Diharapkan dengan adanya OJK mampu untuk mengurangi kendala-kendala yang dimiliki oleh Bank Indonesia karena nyatanya Bank Indonesia tidak mampu sepenuhnya untuk mengontrol perbankan.
Kelahiran Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas tunggal dalam pengaturan dan pengawasan jasa keuangan termasuk perbankan, menimbulkan diskursus. Argumentasi bagi yang setuju harus dipisahkannya pengawasan perbankan dari Bank Indonesia adalah untuk menghindari konflik kepentingan.[11]. Adanya dua fungsi yang berbeda dalam satu lembaga Bank Indonesia yaitu fungsi pengaturan dan pengawasan sekaligus fungsi otoritas moneter akan menyebabkan Bank Indonesia cenderung lebih memilih menggunakan instrument kebijakan moneter berupa bantuan likuiditas untuk menyehatkan kondisi keuangan dari bank-bank yang diawasinya dari pada memperkuat fungsi pengaturan dan pengawasannya dengan mengedepankan pendekatan prudensial ( peraturan kehati-hatian )[12]
Menurut Darwin Nasution, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan merupakaan upaya untuk mereformasi dan mengintegrasikan sistem pengaturan dan pengawasan bagi semua sektor jasa keuangan secara keseluruhan agar lebih kredibel dalam rangka mewujudkan pertumbuhan sektor keuangan yang kuat dan sehat sehingga mampu mengantisipasi setiap perkembangan sektor keuangan baik secara domestik atau global.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan  di sektor perbankan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 angka a,  Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank, kesehatan bank, aspek kehati-hatian bank, dan pemeriksaan bank.
Fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keugan meliputi pengawasan terhadap tingkat kesehatan bank, penetapan status bank, penerapan Good Corporate Governance pada suatu bank, penyelenggaraan kegiatan usaha bank, perizinan dan pencabutan izin usaha bank, merger, konsolidasi, dan akuisisi bank, pemeriksaan bank secara berkala, penerapan manajemen risiko dan prinsip kehati-hatian. Terkait dengan hak-hak nasabah, nasabah memperoleh perlindungan hak-haknya khususnya tentang pendidikan nasabah dan penyelesaian sengketa. Hal tersebut sesuai dengan  tujuan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, [13] baik di sektor perbankan, pasar modal, pengasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya, dengan tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan tersebut.[14]
Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan diberi kewenangan untuk melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, melakukan pelayanan pengaduan konsumen, tindakan perlindungan dengan melakukan pembelaan dan mengajukan gugatan untuk memperoleh ganti rugi.
Tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, meliputi :[15]
a.       Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produksinya;
b.      Meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat, dan
c.       Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Yang termasuk tindakan pelayanan pengaduan konsumen meliputi: [16]
a.       Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha di Lembaga Jasa Keuangan;
b.      Membuat mekanisme pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha di Lembaga Jasa Keuangan, dan
c.       Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha di Lembaga di lembaga jasa keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Adapun tindakan pembelaan hukum meliputi : [17]
a.       Memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan;
b.      Mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dan pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain Dengan itikad tidak baik dan untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturanperundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Pasal 31 UU OJK menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan konsumen dan masyarakat diatur dengan Peraturan OJK. Peraturan dimaksud adalah Peraturan Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Peraturan OJK  Perlindungan konsumen pasal 3-12 menentukan bahwa informasi dan edukasi yang diberikan harus memuat karakteristik,layanan, dan produk institusi keuangan . Melalui upaya ini, informasi akan hak-hak konsumen dapat diperoleh konsumen, sehingga diketahui apa saja yang menjadi hak-hak nasabah.[18]Akibatnya keputusan yang diambil oleh konsumen menjadi tepat dan sesuai dengan tingkat kemampuan dana kebutuhannya. Selanjutnya, pasal 14 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan menentukan bahwa pemberian informasi dan penyelenggaraan edukasi kepada konsumen merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh lembaga jasa keuangan dalam rangka meningkatkan literasi kuangan konsumen.
Tindakan pencegahan kerugian oleh OJK juga dapat dilakukan dengan meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatan usahanya apabila kegiatan usaha yang dilakukan lembaga jasa keuangan tersebut berpotensi merugikan masyarakat.. Di samping itu, OJK juga dapat melakukan tindakan lain berkaitan dengan tindakan pencegahan kerugian, selama tindakan tersebut diperlukan sebagai tujuan pencegahan kerugian konsumen serta tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
 Dengan demikian, Otoritas Jasa Keuangan telah mengatur bahwa tindakan pencegahan kerugian konsumen merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan oleh lembaga jasa keuangan untuk mencegah terjadinya kerugian konsumen, sehingga sengketa antara jasa keuangan dengan konsumen dapat dihindari. Tindakan pencegahan kerugian tersebut dilakukan dengan cara pemberian informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan,layanan, dan produknya dapat diartikan sebagai pemberian hak atas pendidikan nasabah yang diadopsi oleh Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan  untuk memberikan perlindungan hak nasabah atas pendidikan terkait dengan perbankan.[19]
 Hak nasabah atas informaasi dan edukasi tersebut juga sebagai landasan dasar masyarakat sebelum melakukan transaksi dan menggunakan jasa-jasa yang telah disediakan oleh bank  agar masyarakat tidak salah dalam memilih jasa yang ditawarkan oleh bank sesuai dengan yang dibutuhkan.
Di dalam POJK tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pemberian informasi kepada nasabah dan masyarakat merupakan sebuah kewajiban dari pihak bank. Informasi tersebut mulai dari informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, dan tidak menyesatkan, informasi yang terkini dan mudah diakses, informasi tentang penerimaan, penundaan atau penolakan permohonan produk dan/atau layanan, ringkasan informasi, informasi mengenai biaya yang harus ditanggung, sampai informasi tentang perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat dan ketentuan yang tercantum dalam dokumen dan/atau perjanjian mengenai produk dan/atau layanan lembaga jasa keuangan.
 Penyelenggaraan edukasi juga merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh bank terhadap masyarakat dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada konsumen dan/atau masyarakat. Dengan adanya pendidikan dan informasi secara benar dan jelas menjadi faktor pencegah terjadinya suatu sengketa antara para pihak yang melakukan transaksi / perjanjian, yaitu antara pihak bank dengan konsumen pengguna jasa keuangan. Apabila informasi yang diberikan pihak bank terhadap masyarakat secara benar dan jelas, maka kesepakatan dalam perjanjian yang dilakukan antara bank dengan nasabah tersebut akan menjadi lebih mudah. Namun apabila informasi yang diberikan oleh pihak bank terhadap masyarakat tidak benar, maka kesepakatan itu tidak sah.
    Ketika upaya pencegahan kerugian konsumen ini tidak berhasil dan konsumen merasa dirugikan oleh lembaga jasa keuangan, maka tindakan yang dilakukan oleh konsumen adalah melakukan pengaduan. Tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam bidang pelayanan pengaduan konsumen dilakukan dengan cara menyiapkan perangkat-perangkat yang memadai dan mekanisme-mekanisme dalam pelaksanaan pelayanan pengaduan oleh nasabah yang dirugikan oleh pihak bank  serta memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan.
Pengertian pengaduan menurut pasal 1 angka 12 POJK nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga alternative Penyelesaian sengketa di sektor Jasa Keuangan ( POJK PAPS ) adalah penyampaian ungkapan ketidakpuasan konsumen yang disebabkan oleh adanya kerugian atau potensi kerugian financial pada konsumen yang diduga terjadi karena kesalahan atau kelalaian lembaga jasa keuangan dalam kegiatan pemanfaatan pelayanan dan/atau produk.
Tujuan dilakukannya tindakan pengaduan konsumen adalah untuk dilakukannya penyelesaian pengaduan konsumen oleh pihak lembaga jasa keuangan.Hal itu disebabkan karena mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan terhadap konsumen merupakan kewajiban yang harus dimiliki dan dilaksanakan oleh lembaga jasa keuangan.[20] Setelah menerima pengaduan konsumen, Pelaku Usaha jasa keuangan wajib melakukan :  [21]  Pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar, dan objektif; melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan dan menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi atau perbaikan produk dan/atau layanan, jika pengaduan konsumen benar.
Dalam hal tidak mencapai kesepakatan penyelesaian pengaduan, konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). Dalam penyelesaian sengketa tidak dilakukan melalui LAPS, konsumen dapat menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh Pelaku usaha jasa Keuangan.
Di dalam pasal 40 POJK Perlindungan Konsumen mengatur mengenai pengaduan konsumen dan pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan oleh Otoritas Jasa keuangan antara lain : (1) Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa antara pelaku usaha jasa keuangan dengan konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan; (2) Konsumen dan/atau masyarakat dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan; (3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal ini Anggota Dewan Komisioner yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen.
Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan konsumen oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi sengketa di sektor jasa keuangan dengan ketentuan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : [22] (!) Konsumen mengalami kerugian financial yang ditimbulkan oleh pelaku usaha di bidang perbankan, pasar modal, dana pension, asuransi jiwa, pembiayaan, perusahaan gadai, atau penjaminan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); Pelaku usaha jasa keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);(2) konsumen mengajukan permohonan secara tertulis disertai Dengan dokumen pendukung yang berkaitan dengan pengaduan; (3) Pelaku usaha jasa keuangan telah melakukan upaya penyelesaian pengaduan namun konsumen tidak dapat menerima penyelesaian tersebut atau telah melewati batas waktu sebagaimana ditetapkan dalam POJK ini; (4) Pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa  sedang dalam proses atau pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, ataulembaga mediasi lainnya; (5) Pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan; (6) Pengaduan yang diajukan belum pernah difasilitasi oleh OJK dan (7) Pengajuab penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan pelaku jasa keuangan kepada konsumen.
Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan yang dilaksanakn oleh Otoritas Jasa Keuangan merupakan upaya mempertemukan konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan untuk mengkaji ulang permaslahan secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian . Otoritas Jasa Keuangan menunjuk fasilitator untuk pelaksanan fungsi penyelesaian pengaduan. Otoritas Jasa Keuangan memulai proses fasilitas setelah konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan sepakat untuk difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan yang dituangkan dalam perjanjian yang memuat : kesepakatan untuk memilih penyelesaian pengaduan yang difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan fasilitasi yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pelaksanaan proses fasilitasi sampai denngan ditandatannganinya Akta Kesepakatan dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan menandatangani perjanjian fasilitas. Jangka waktu fasilitas dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan Akta kesepakatan Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa keuangan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha jasa keuangan, maka ketidaksepakatan tersebut dituangkan dalam berita acara hasil fasilitas Otoritas Jasa Keuangan yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan.
Pasal 30 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) menentukan bahwa untuk perlindungan konsumen dan masyarakat Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pembelaan hukum yang meliputi :  memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaiakan pengaduan konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud ; mengajukan gugatan  untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik, dan atau ; untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undanngan di sektor jasa keuanngan. Ganti kerugian sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b angka 2 hanya digunakan untuk pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.
III. PENUTUP
Perlindungan konsumen di sektor jasa keuanngan bertujuan untuk menciptakan sitem perlindungan konsumen yang andal, meningkatkan pemberdayaan konsumen, dan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha jasa keuangan mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sektor jasa keuangan.
Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan diberi kewenangan untuk :
1.      Melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat,
2.      Melakukan pelayanan pengaduan konsumen,
3.      Tindakan perlindungan Dengan melakukan pembelaan dan mengajukan gugatan untuk memperoleh ganti rugi.
Dalam pasal 31 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan bahwa ketentuan mengenai perlindungan konsumen dan masyarakat diatur Dengan Peraturan Otoritas Jasa keuangan yang dituangkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1 /POJK.07/2013, di dalam pasal 3 – 12 menetukan bahwa informasi dan edukasi yang diberikan harus memuat karakteristik, layanan, dan produk institusi keuangan. Melalui upaya ini, informasi akan hak-hak konsumen dapat diperoleh konsumen sehingga diketahui apa saja yang menjadi hak-hak nasabah. Akibatnya, keputusan yang diambil oleh konsumen menjadi tepat dan sesuai dengan tingkat kemampuan dan kebutuhanya. Hal itu sesuai dengan hak-hak konsumen yang diatur dalam pasal 4  Undang-Undang nomor 8 tahun 1998 tentang Perlindungan konsumen yang menyebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas edukasi, pendidikan konsumen dan penyelesaian sengketa konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan hukum bagi Konsumen di Indonesia, 2011, Raja Grafika Persada, Jakarta.
Uswatun Hasanah, Hukum Perbankan, 2017, Setara Press, Malang
Wahyu sasongko, Ketentuan-ketentuan Pokok hukum Perlindungan konsumen, 2007, UNILA Lampung
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, 2013, Kencana Presada Media Grup, Jakarta
Simbur Cahaya, Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2010, Palembang
Undang-Undang nomor 8 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Konsumen
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.                 



[1] Wahyu sasongko, ketentuan-ketentuan pokok hukum perlindungan konsumen, Universitas lampung,2007,hlm1
[2] Penjelasan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan no.1/POJK.07/2013
[3] Pasal 1 angka 15 Undang-Undang no.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
[4] Tirta Segara, Tribun Sumsel, 16 maret 2018 , hlm 2
[5] Wahyu sasongko, Op cit,hlm 117
[6] Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia,2011,Raja Grafindo Persada,jkt,hlm, 12
[7] Zulham, Hukum perlindungan konsumen, 2013, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlmn 34
[8] Hermansyah dalam Atonius Suhadi AR :Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana pada lembaga perbankan, Simur Cahaya Majalah Ilmiah FH Univ.Sriwijaya no 42 tahun xv mei 2010, hlm 1963
[9] Ibid, hlm 1964
[10] Yunus Husein dalam Antonius Suhadi AR, ibid hlm 1965
[11] Andika Hendra Mustaqim dalam Uswatun Hasanah, Hukum Perbankan , Setara Press,2017,halm 111
[12] Uswatun Hasanah, Hukum Perbankan, Setara Press,2017, hlm 111
[13] Pasal 4 UU OJK
[14] Pasal 6 UU OJK
[15] Pasal  28 UU OJK
[16] Pasal 29 UU OJK
[17] Pasal 30 UU OJK
[18] Uswatun Hasanah, op cit, hlm 115
[19] Uswatun Hasanah, ibid, hlm 116
[20] Pasal 31 ayat (1) POJK Perlindungan konsumen
[21] Pasal 38 POJK Perlindungan Konsumen
[22] Pasal 41 POJKPerlindungan Konsumen

0 komentar:

Posting Komentar