Jumat, 31 Agustus 2018

PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN PENUMPANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009


Oleh : Marsidah
Fakultas Hukum Universitas Palembang

ABSTRACT
Communities that are still very dependent on public transport are not matched by the provision of adequate public transport. This causes passengers to use public transport services, sometimes less comfortable, so that the quality of transportation services is needed. In addition, the legal protection for all parties related to the transportation system, especially the users of transportation services is very important given the importance of the role of traffic and road transport for the whole community. The problem in this research is how the legal consequences arising in the implementation of the transport agreement according to Law Number 22 Year 2009 on Traffic and Road Transport. The type of research used in this writing is normative juridical. Legal consequences for transport service managers in the event of defaults on passengers in the operation of transportation which is their obligation so as to provide passengers with loss of goods that are legally registered and physically disabled for transportation service providers, the legal consequences for transport service managers must be responsible for paying obligations or compensation in accordance with applicable regulations. Legal protection for public transport passengers from public transport companies is responsible for all losses caused by the actions of people employed in transport activities such as the provisions of Article 191 and Article 192 paragraph (1) of Law Number 22 of 2009.

ABSTRAK
            Masyarakat yang masih sangat tergantung dengan angkutan umum tidak diimbangi dengan penyediaan angkutan umum yang memadai. Hal ini menyebabkan para penumpang dalam memakai jasa angkutan umum terkadang kurang nyaman sehingga perlu peningkatan kualitas pelayanan transportasi. Selain itu perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait dengan sistem transportasi terutama pengguna jasa transportasi sangat penting mengingat pentingnya peran lalu lintas dan angkutan jalan bagi seluruh masyarakat. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif. Akibat hukum bagi pengelola jasa angkutan apabila terjadi wanprestasi terhadap penumpang dalam penyelenggaraan pengangkutan yang menjadi kewajibannya sehingga memberikan kerugian bagi penumpang terhadap barang-barang yang sah terdaftar serta cacat fisik bagi pengelola jasa angkutan, maka akibat hukumnya bagi pengelola jasa angkutan harus bertanggung jawab membayar kewajiban atau ganti rugi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perlindungan hukum bagi penumpang angkutan umum dari perusahaan angkutan umum adalah bertanggung jawab terhadap segala kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan seperti ketentuan Pasal 191 dan Pasal 192 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.




I.     PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Angkutan umum merupakan sarana untuk memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain, tujuan atau mengirim barang dari tempat asal ke tempat tujuan. Angkutan juga terdiri dari angkutan orang dengan kendaraan bermotor seperti sepeda motor, mobil penumpang maupun tak bermotor dan angkutan barang.
Angkutan penumpang memegang peranan yang sangat vital karena tidak hanya sebagai alat fisik, alat yang harus membawa barang-barang yang diperdagangkan dari produsen ke konsumen tetapi juga sebagai alat penentu harga dari barang tersebut.[1]
Masyarakat yang masih tergantung dengan angkutan umum tidak di imbangi dengan penyediaan angkutan umum yang memadai. Hal ini menyebabkan para penumpang dalam memakai jasa angkutan umum terkadang kurang nyaman, sehingga perlu peningkatan kualitas pelayanan transportasi.
Selain itu perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait dengan sistem transportasi terutama pengguna jasa transportasi sangat penting mengingat pentingnya peran lalu lintas dan angkutan jalan bagi seluruh masyarakat, maka pembangunan dan pengembangan sarana pengangkutan perlu dikembangkan serta kepentingan masyarakat umum sebagai pengguna jasa transportasi perlu mendapat prioritas dan pelayanan yang baik dari pemerintah maupun penyedia jasa transportasi dan juga perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat sebagai konsumen transportasi juga mendapat kepastian.
Dalam hal pengangkutan ini, peraturan mengenai pengangkutan di Indonesia tidak diatur secara lengkap dalam KUHD. Untuk pengangkutan melalui darat berlaku ketentuan umum yang tercantum dalam KUHD Bagian Ketiga Buku I Titel V, sehingga ketentuan-ketentuan mengenai :
a.    Surat angkutan;
b.    Kewajiban-kewajiban pihak pengangkut;
c.    Ganti rugi;
d.   Penolakan barang-barang;
e.    Kadaluarsa gugatan;
f.     Kedudukan pengusaha angkutan umum.
Dalam KUHD tidak ada sama sekali peraturan mengenai pengangkutan orang di darat, sungai-sungai, dan perairan pedalaman, juga di dalam KUH Perdata tidak ada suatu peraturan umum mengenai pengangkutan orang.[2] Dalam KUHPerdata pengangkutan diatur dalam KUHPerdata Buku Ketiga tentang Perikatan.
Selain itu Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan kebijakan di bidang transportasi darat yaitu dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai penganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992.
Pengangkutan darat khususnya dengan menggunakan kendaraan roda empat (mobil) merupakan sarana yang banyak dipergunakan dalam masyarakat karena selain biaya angkutan yang lebih murah dibandingkan dengan pengangkutan lain, juga dapat menjangkau daerah-daerah yang terpencil.
Pengangkutan dapat juga dikatakan sebagai perjanjian timbal balik dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.
Dalam melaksanakan pengangkutan para pihak antara pengangkut, pengirim dan penumpang, baik secara tertulis maupun tidak tertulis mengikatkan diri dalam suatu perjanjian timbal balik untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang, terutama pengangkutan barang sering kali mengalami cacat ataupun berkurang sehingga menimbulkan kerugian material maupun moril bagi pengguna jasa angkutan tersebut.
Dilema-dilema yang sering terjadi menimbulkan opini bagi masyarakat yang menggunakan jasa angkutan yaitu sampai sejauh mana angkutan yang diberikan pada pengguna angkutan sesuai dengan yang diinginkan atau diharapkan antara lain pengangkut wajib menyelenggarakan pengangkutan tersebut dengan selamat, mulai dari saat keberangkatan sampai ke tempat tujuan dan pengangkut juga diwajibkan untuk memberikan ganti kerugian yang disebabkan atau berhubungan dengan pengangkutan tersebut.
Selain itu dalam pelaksanaan angkutan, keselamatan orang dan barang yang diangkut pada dasarnya berada dalam tanggung jawab pengusaha angkutan, dengan demikian sudah sepatutnya apabila kepada pengusaha angkutan dibebankan tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang diderita oleh penumpang, atau pengirim barang yang ditimbulkan karena pelaksanaan pengangkutan yang dilakukannya.
Besarnya ganti rugi yang harus ditanggung oleh pengusaha angkutan yang harus dibayar kepada pengguna jasa adalah sebesar kerugian yang secara nyata diderita oleh penumpang atau pengirim barang, dengan perkataan lain setiap kerugian atau kerugian pada orang dan/atau barang yang ditimbulkan dalam pengangkutan oleh undang-undang dianggap sebagai akibat dari kelalaian pihak pengangkut yang memberikan hak kepada penumpang atau pengirim barang untuk menuntut penggantian kerugian, sehingga penumpang dalam hal ini mendapatkan perlindungan hukum dari jasa angkutan umum tersebut.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti secara lebih lanjut dan menerangkan dalam bentuk tulisan yang berjudul : “PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN PENUMPANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009”.

B.  PERMASALAHAN
Dari uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ?
C.  METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan sumber data yaitu penelitian ini adalah sumber data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Penelitian ini data sekundernya berupa dokumentasi serta sumber tertulis yaitu berupa sumber buku tertulis yang bersumber dari buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan judul dan tema dari penelitian ini. Pengertian lain mengenai data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.[3] Baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian dilakukan analisis dengan kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti mendukung, menambah, atau memberi komentar dan kemudian menarik suatu kesimpulan.
II.  PEMBAHASAN
Perjanjian pengangkutan orang di darat pada dasarnya sama dengan perjanjian pada umumnya, dan dengan sendirinya tunduk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk suatu perjanjian, selama tidak ada pengaturan secara khusus.
Dalam pengangkutan orang di darat berlakulah prinsip umum, yaitu perpindahan orang dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Beberapa pengertian perjanjian pengangkutan menurut beberapa sarjana, antara lain :
1.    R. Soekardono
Perjanjian pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikat diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke tempat tujuan tertentu sedangkan pihak lainnya (pengirim-penerima, pengirim atau penerima, penumpang) berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan.[4]
2.    H.M.N. Purwosutjipto
Perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.[5]
3.    Abdulkadir Muhammad
Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.[6]

4.    Sution Usman Adji, Djoko Prakoso, Hari Pramono
Perjanjian pengangkutan tidak lain adalah sebuah perjanjian timbal balik, pada mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (pengirim atau penerima, pengirim-pengirim, penumpang) berkeharusan menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.[7]
Sedangkan pengertian pengangkutan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas.
Dari beberapa pengertian perjanjian pengangkutan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana suatu pihak menyanggupi untuk membawa dan memindahkan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan aman, sedangkan pihak lainnya bersedia membayar ongkos.
Dari beberapa pengertian perjanjian pengangkutan tersebut di atas, dapatlah diketahui unsur-unsur dalam pengangkutan, yaitu :
1.    Pelaku, yaitu orang-orang yang melakukan pengangkutan;
2.    Alat pengangkutan yaitu : alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan;
3.    Barang/penumpang, yaitu muatan yang diangkut;
4.    Perbuatan, yaitu kegiatan mengangkut barang dan/atau penumpang sejak pemuatan sampai dengan penurunan di tempat tujuan yang ditentukan;
5.    Fungsi pengangkutan, yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai barang atau penumpang;
6.    Tujuan pengangkutan, yaitu sampai atau tiba di tempat tujuan yang ditentukan dengan selamat, biaya pengangkutan lunas.[8]
Perjanjian pengangkutan dapat digolongkan perjanjian tak bernama yang diatur dalam Buku III Bab I sampai dengan Bab IV yang menganut asas kebebasan berkontrak. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dari pengertian tersebut di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa orang dapat dengan leluasa untuk membuat perjanjian apa saja dengan tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam Buku III KUH Perdata pada umumnya hanya merupakan hukum pelengkap bukan hukum pemaksa.
Selain itu menurut H.M.N. Purwosutjipto bahwa perjanjian pengangkutan adalah perjanjian yang mempunyai unsur :
1.    Pelayanan berkala (Pasal 1601 KUH Perdata).
2.    Unsur penyimpanan, terbukti dengan adanya ketentuan dalam Pasal 468 ayat (1) KUHD yang menentukan bahwa perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang diangkutnya,  mulai saat diterimanya hingga diserahkan barang tersebut.
3.    Unsur pemberian kuasa, terbukti dengan adanya ketentuan Pasal 371 KUHD yang menentukan bahwa nahkoda diwajibkan selama dalam perjalanan menjaga kepentingan-kepentingan yang berhak atas muatannya, mengambil tindakan yang diperlukan untuk itu, dan jika perlu untuk itu menghadap di muka hakim.[9]
Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak adalah sama tinggi (kedudukan koordinasi/ gecoordenerd), tidak seperti dalam perjanjian perburuhan dimana kedudukan majikan lebih tinggi daripada buruh (kedudukan subordinasi/gesubodenrd).[10]
Hubungan antara penumpang dengan pengangkut dalam perjanjian pengangkutan bersifat tidak tetap. Hubungan ini disebut juga pelayanan jasa. Perjanjian yang bersifat pelayanan jasa ini ditentukan dalam Pasal 1601 KUH Perdata yang merumuskan :
Selain persetujuan-persetujuan untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada, oleh kebiasaan maka ada dua macam persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak lainnya dengan menerima upah persetujuan perburuhan dan pemborongan kerja.
Dari ketentuan tersebut di atas, dapatlah diketahui bahwa ada tiga bentuk perjanjian untuk melakukan pekerjaan, yang dapat berupa :
1.    Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa atau bisa juga disebut sebagai pelayanan berkala.
2.    Perjanjian perburuhan.
3.    Perjanjian pemborongan pekerjaan.
Untuk dapat membedakan antara ketiga bentuk perjanjian tersebut, dapatlah penulis mengutip pendapat yang diberikan oleh Mr. C. Asser yang mengatakan bahwa :[11]
a.    Kalau hubungan perjanjian itu ada gezag (kekuasaan) dari salah satu pihak (ada subordinasi) maka disitu terjadi adanya perjanjian perburuhan.
b.    Kalau hubungan gezag (kekuasaan) sebagai demikian itu tidak ada, tetapi mempunyai tujuan untuk membuat atau menciptakan sesuatu benda materiil, perjanjian itu merupakan perjanjian pemborongan.
c.    Kalau hubungan gezag (kekuasaan) itu tidak ada dan membuat atau menciptakan benda materil itu juga tidak ada, maka perjanjian itu termasuk perjanjian untuk melaksanakan pelayanan berkala.
Melihat ketiga bentuk perjanjian untuk melakukan pekerjaan di atas, dapatlah dikatakan bahwa bentuk dari perjanjian pengangkutan orang di darat termasuk dalam kategori perjanjian untuk melakukan jasa-jasa (pelayanan berkala) sebab kedudukan para pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah sama dan tidak mempunyai tujuan untuk menciptakan sesuatu benda materil, pekerjaan yang dilakukan oleh pengangkut itu adalah suatu jasa dan hubungan kerja antara penumpang dengan pengangkut hanya terjadi kalau penumpang membutuhkan pengangkutan.
Dalam hal kapan saat timbulnya suatu perjanjian pengangkutan, dapatlah dikatakan bahwa perjanjian pengangkutan itu terjadi saat penawaran secara umum itu diterima oleh penumpang.
Akibat hukum dari perjanjian pengangkutan penumpang menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi para pihak sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang sudah disepakati.
III.   PENUTUP
Akibat hukum bagi pengelola jasa angkutan apabila terjadi wanprestasi terhadap penumpang dalam penyelenggaraan pengangkutan yang menjadi kewajibannya sehingga memberikan kerugian bagi penumpang terhadap barang-barang yang sah terdaftar serta cacat fisik bagi pengelola jasa angkutan, maka akibat hukumnya bagi pengelola jasa angkutan harus bertanggung jawab membayar kewajiban atau ganti rugi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perlindungan hukum bagi penumpang angkutan umum dari perusahaan angkutan umum adalah bertanggung jawab terhadap segala kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan seperti ketentuan Pasal 191 dan Pasal 192 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994.
Achmad Ichsan, Hukum Dagang, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981.
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid II, Djambatan, 1984.
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992.
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional, Kumpulan Karangan, Bandung, 1981.
Radika Purba, Asuransi Angkutan Laut, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1998.
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid II, Rajawali, Jakarta, 1981.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991.
Sution Usman Adji, Djoko Prakoso, Hari Pramono, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Perundangan-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.





[1] Achmad Ichsan, Hukum Dagang, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hlm. 404
[2] Ibid, hlm. 405
[3] Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 156
[4] R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Rajawali, Jilid II, Jakarta, 1981, hlm. 14
[5] H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid II, Djambatan, 1984, hlm. 2
[6] Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994, hlm. 20
[7] Sution Usman Adji, Djoko Prakoso, Hari Pramono, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 6
[8] Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 19-20
[9] H.M.N. Purwosutjipto, Loc.Cit.
[10] Ibid, hlm. 4
[11] Wiwoho Soedjono, Hukum Dagang, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 26, dikutip dari C. Asser, Byzondere Evereenkomsten, 1982.

1 komentar:

  1. Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
    mampir di website ternama I O N Q Q
    paling diminati di Indonesia

    BalasHapus