Oleh : Marsidah
Fakultas Hukum
Universitas Palembang
Email : marsidahelan@gmail.com
ABSTRACT
Communities that are still very
dependent on public transport are not matched by the provision of adequate
public transport. This causes passengers to use public transport services,
sometimes less comfortable, so that the quality of transportation services is
needed. In addition, the legal protection for all parties related to the
transportation system, especially the users of transportation services is very
important given the importance of the role of traffic and road transport for
the whole community. The problem in this research is how the legal consequences
arising in the implementation of the transport agreement according to Law
Number 22 Year 2009 on Traffic and Road Transport. The type of research used in
this writing is normative juridical. Legal consequences for transport service
managers in the event of defaults on passengers in the operation of
transportation which is their obligation so as to provide passengers with loss
of goods that are legally registered and physically disabled for transportation
service providers, the legal consequences for transport service managers must
be responsible for paying obligations or compensation in accordance with
applicable regulations. Legal protection for public transport passengers from
public transport companies is responsible for all losses caused by the actions
of people employed in transport activities such as the provisions of Article
191 and Article 192 paragraph (1) of Law Number 22 of 2009.
ABSTRAK
Masyarakat yang masih sangat
tergantung dengan angkutan umum tidak diimbangi dengan penyediaan angkutan umum
yang memadai. Hal ini menyebabkan para penumpang dalam memakai jasa angkutan
umum terkadang kurang nyaman sehingga perlu peningkatan kualitas pelayanan
transportasi. Selain itu perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait
dengan sistem transportasi terutama pengguna jasa transportasi sangat penting
mengingat pentingnya peran lalu lintas dan angkutan jalan bagi seluruh
masyarakat. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah akibat
hukum yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jenis
penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif. Akibat
hukum bagi pengelola jasa angkutan apabila terjadi wanprestasi terhadap
penumpang dalam penyelenggaraan pengangkutan yang menjadi kewajibannya sehingga
memberikan kerugian bagi penumpang terhadap barang-barang yang sah terdaftar
serta cacat fisik bagi pengelola jasa angkutan, maka akibat hukumnya bagi pengelola
jasa angkutan harus bertanggung jawab membayar kewajiban atau ganti rugi sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Perlindungan hukum bagi penumpang angkutan umum
dari perusahaan angkutan umum adalah bertanggung jawab terhadap segala kerugian
yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan
penyelenggaraan angkutan seperti ketentuan Pasal 191 dan Pasal 192 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Angkutan
umum merupakan sarana untuk memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke
tempat lain, tujuan atau mengirim barang dari tempat asal ke tempat tujuan.
Angkutan juga terdiri dari angkutan orang dengan kendaraan bermotor seperti
sepeda motor, mobil penumpang maupun tak bermotor dan angkutan barang.
Angkutan penumpang memegang
peranan yang sangat vital karena tidak hanya sebagai alat fisik, alat yang
harus membawa barang-barang yang diperdagangkan dari produsen ke konsumen
tetapi juga sebagai alat penentu harga dari barang tersebut.[1]
Masyarakat
yang masih tergantung dengan angkutan umum tidak di imbangi dengan penyediaan
angkutan umum yang memadai. Hal ini menyebabkan para penumpang dalam memakai
jasa angkutan umum terkadang kurang nyaman, sehingga perlu peningkatan kualitas
pelayanan transportasi.
Selain
itu perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait dengan sistem transportasi
terutama pengguna jasa transportasi sangat penting mengingat pentingnya peran
lalu lintas dan angkutan jalan bagi seluruh masyarakat, maka pembangunan dan
pengembangan sarana pengangkutan perlu dikembangkan serta kepentingan
masyarakat umum sebagai pengguna jasa transportasi perlu mendapat prioritas dan
pelayanan yang baik dari pemerintah maupun penyedia jasa transportasi dan juga
perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat sebagai konsumen transportasi juga
mendapat kepastian.
Dalam
hal pengangkutan ini, peraturan mengenai pengangkutan di Indonesia tidak diatur
secara lengkap dalam KUHD. Untuk pengangkutan melalui darat berlaku ketentuan
umum yang tercantum dalam KUHD Bagian Ketiga Buku I Titel V, sehingga
ketentuan-ketentuan mengenai :
a.
Surat
angkutan;
b.
Kewajiban-kewajiban
pihak pengangkut;
c.
Ganti
rugi;
d.
Penolakan
barang-barang;
e.
Kadaluarsa
gugatan;
f.
Kedudukan
pengusaha angkutan umum.
Dalam
KUHD tidak ada sama sekali peraturan mengenai pengangkutan orang di darat,
sungai-sungai, dan perairan pedalaman, juga di dalam KUH Perdata tidak ada
suatu peraturan umum mengenai pengangkutan orang.[2]
Dalam KUHPerdata pengangkutan diatur dalam KUHPerdata Buku Ketiga tentang
Perikatan.
Selain
itu Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan kebijakan di bidang
transportasi darat yaitu dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai penganti Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1992.
Pengangkutan
darat khususnya dengan menggunakan kendaraan roda empat (mobil) merupakan
sarana yang banyak dipergunakan dalam masyarakat karena selain biaya angkutan
yang lebih murah dibandingkan dengan pengangkutan lain, juga dapat menjangkau
daerah-daerah yang terpencil.
Pengangkutan
dapat juga dikatakan sebagai perjanjian timbal balik dengan mana pengangkut
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari
suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan
diri untuk membayar biaya pengangkutan.
Dalam
melaksanakan pengangkutan para pihak antara pengangkut, pengirim dan penumpang,
baik secara tertulis maupun tidak tertulis mengikatkan diri dalam suatu
perjanjian timbal balik untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau
orang, terutama pengangkutan barang sering kali mengalami cacat ataupun
berkurang sehingga menimbulkan kerugian material maupun moril bagi pengguna
jasa angkutan tersebut.
Dilema-dilema
yang sering terjadi menimbulkan opini bagi masyarakat yang menggunakan jasa
angkutan yaitu sampai sejauh mana angkutan yang diberikan pada pengguna
angkutan sesuai dengan yang diinginkan atau diharapkan antara lain pengangkut
wajib menyelenggarakan pengangkutan tersebut dengan selamat, mulai dari saat
keberangkatan sampai ke tempat tujuan dan pengangkut juga diwajibkan untuk
memberikan ganti kerugian yang disebabkan atau berhubungan dengan pengangkutan
tersebut.
Selain
itu dalam pelaksanaan angkutan, keselamatan orang dan barang yang diangkut pada
dasarnya berada dalam tanggung jawab pengusaha angkutan, dengan demikian sudah
sepatutnya apabila kepada pengusaha angkutan dibebankan tanggung jawab terhadap
setiap kerugian yang diderita oleh penumpang, atau pengirim barang yang
ditimbulkan karena pelaksanaan pengangkutan yang dilakukannya.
Besarnya
ganti rugi yang harus ditanggung oleh pengusaha angkutan yang harus dibayar
kepada pengguna jasa adalah sebesar kerugian yang secara nyata diderita oleh
penumpang atau pengirim barang, dengan perkataan lain setiap kerugian atau
kerugian pada orang dan/atau barang yang ditimbulkan dalam pengangkutan oleh
undang-undang dianggap sebagai akibat dari kelalaian pihak pengangkut yang
memberikan hak kepada penumpang atau pengirim barang untuk menuntut penggantian
kerugian, sehingga penumpang dalam hal ini mendapatkan perlindungan hukum dari
jasa angkutan umum tersebut.
Berdasarkan
hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
secara lebih lanjut dan menerangkan dalam bentuk tulisan yang berjudul : “PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN
PENUMPANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009”.
B. PERMASALAHAN
Dari
uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut : Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian
pengangkutan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan ?
C. METODE PENELITIAN
Penelitian
ini merupakan penelitian hukum normatif dan sumber data yaitu penelitian ini
adalah sumber data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah
ada. Penelitian ini data sekundernya berupa dokumentasi serta sumber tertulis
yaitu berupa sumber buku tertulis yang bersumber dari buku-buku atau literatur
yang berkaitan dengan judul dan tema dari penelitian ini. Pengertian lain
mengenai data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh dari
hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau
bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering
disebut sebagai bahan hukum.[3]
Baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian dilakukan analisis dengan kegiatan
memberikan telaah, yang dapat berarti mendukung, menambah, atau memberi
komentar dan kemudian menarik suatu kesimpulan.
II. PEMBAHASAN
Perjanjian
pengangkutan orang di darat pada dasarnya sama dengan perjanjian pada umumnya,
dan dengan sendirinya tunduk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk suatu
perjanjian, selama tidak ada pengaturan secara khusus.
Dalam
pengangkutan orang di darat berlakulah prinsip umum, yaitu perpindahan orang
dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Beberapa
pengertian perjanjian pengangkutan menurut beberapa sarjana, antara lain :
1.
R.
Soekardono
Perjanjian
pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut
mengikat diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke
tempat tujuan tertentu sedangkan pihak lainnya (pengirim-penerima, pengirim
atau penerima, penumpang) berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya
tertentu untuk pengangkutan.[4]
2.
H.M.N.
Purwosutjipto
Perjanjian
pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim,
dimana pengangkut barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan
tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar
uang angkutan.[5]
3.
Abdulkadir
Muhammad
Perjanjian
pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pihak pengangkut mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau penumpang dari suatu tempat
ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim atau penumpang
mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.[6]
4.
Sution
Usman Adji, Djoko Prakoso, Hari Pramono
Perjanjian
pengangkutan tidak lain adalah sebuah perjanjian timbal balik, pada mana pihak
pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau
orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (pengirim atau
penerima, pengirim-pengirim, penumpang) berkeharusan menunaikan pembayaran
biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.[7]
Sedangkan
pengertian pengangkutan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari suatu
tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas.
Dari
beberapa pengertian perjanjian pengangkutan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana suatu pihak menyanggupi
untuk membawa dan memindahkan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat
lain dengan aman, sedangkan pihak lainnya bersedia membayar ongkos.
Dari
beberapa pengertian perjanjian pengangkutan tersebut di atas, dapatlah
diketahui unsur-unsur dalam pengangkutan, yaitu :
1.
Pelaku,
yaitu orang-orang yang melakukan pengangkutan;
2.
Alat
pengangkutan yaitu : alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan;
3.
Barang/penumpang,
yaitu muatan yang diangkut;
4.
Perbuatan,
yaitu kegiatan mengangkut barang dan/atau penumpang sejak pemuatan sampai
dengan penurunan di tempat tujuan yang ditentukan;
5.
Fungsi
pengangkutan, yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai barang atau penumpang;
6.
Tujuan
pengangkutan, yaitu sampai atau tiba di tempat tujuan yang ditentukan dengan
selamat, biaya pengangkutan lunas.[8]
Perjanjian
pengangkutan dapat digolongkan perjanjian tak bernama yang diatur dalam Buku
III Bab I sampai dengan Bab IV yang menganut asas kebebasan berkontrak. Asas
ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Dari
pengertian tersebut di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa orang
dapat dengan leluasa untuk membuat perjanjian apa saja dengan tidak melanggar
ketertiban umum atau kesusilaan. Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam
Buku III KUH Perdata pada umumnya hanya merupakan hukum pelengkap bukan hukum
pemaksa.
Selain
itu menurut H.M.N. Purwosutjipto bahwa perjanjian pengangkutan adalah
perjanjian yang mempunyai unsur :
1.
Pelayanan
berkala (Pasal 1601 KUH Perdata).
2.
Unsur
penyimpanan, terbukti dengan adanya ketentuan dalam Pasal 468 ayat (1) KUHD
yang menentukan bahwa
perjanjian
pengangkutan mewajibkan
pengangkut
untuk menjaga keselamatan barang yang diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga diserahkan barang tersebut.
3.
Unsur
pemberian kuasa, terbukti dengan adanya ketentuan Pasal 371 KUHD yang
menentukan bahwa nahkoda diwajibkan selama dalam perjalanan menjaga
kepentingan-kepentingan yang berhak atas muatannya, mengambil tindakan yang
diperlukan untuk itu, dan jika perlu untuk itu menghadap di muka hakim.[9]
Dalam
perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak adalah sama tinggi (kedudukan
koordinasi/ gecoordenerd), tidak
seperti dalam perjanjian perburuhan dimana kedudukan majikan lebih tinggi
daripada buruh (kedudukan subordinasi/gesubodenrd).[10]
Hubungan
antara penumpang dengan pengangkut dalam perjanjian pengangkutan bersifat tidak
tetap. Hubungan ini disebut juga pelayanan jasa. Perjanjian yang bersifat
pelayanan jasa ini ditentukan dalam Pasal 1601 KUH Perdata yang merumuskan :
Selain
persetujuan-persetujuan untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang diatur oleh
ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang
diperjanjikan, dan jika itu tidak ada, oleh kebiasaan maka ada dua macam
persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan
pekerjaan bagi pihak lainnya dengan menerima upah persetujuan perburuhan dan
pemborongan kerja.
Dari
ketentuan tersebut di atas, dapatlah diketahui bahwa ada tiga bentuk perjanjian
untuk melakukan pekerjaan, yang dapat berupa :
1.
Perjanjian
untuk melakukan jasa-jasa atau bisa juga disebut sebagai pelayanan berkala.
2.
Perjanjian
perburuhan.
3.
Perjanjian
pemborongan pekerjaan.
Untuk
dapat membedakan antara ketiga bentuk perjanjian tersebut, dapatlah penulis
mengutip pendapat yang diberikan oleh Mr. C. Asser yang mengatakan bahwa :[11]
a.
Kalau
hubungan perjanjian itu ada gezag
(kekuasaan) dari salah satu pihak (ada subordinasi) maka disitu terjadi adanya
perjanjian perburuhan.
b.
Kalau
hubungan gezag (kekuasaan) sebagai
demikian itu tidak ada, tetapi mempunyai tujuan untuk membuat atau menciptakan
sesuatu benda materiil, perjanjian itu merupakan perjanjian pemborongan.
c.
Kalau
hubungan gezag (kekuasaan) itu tidak
ada dan membuat atau menciptakan benda materil itu juga tidak ada, maka
perjanjian itu termasuk perjanjian untuk melaksanakan pelayanan berkala.
Melihat
ketiga bentuk perjanjian untuk melakukan pekerjaan di atas, dapatlah dikatakan
bahwa bentuk dari perjanjian pengangkutan orang di darat termasuk dalam
kategori perjanjian untuk melakukan jasa-jasa (pelayanan berkala) sebab
kedudukan para pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah sama dan tidak
mempunyai tujuan untuk menciptakan sesuatu benda materil, pekerjaan yang
dilakukan oleh pengangkut itu adalah suatu jasa dan hubungan kerja antara
penumpang dengan pengangkut hanya terjadi kalau penumpang membutuhkan pengangkutan.
Dalam
hal kapan saat timbulnya suatu perjanjian pengangkutan, dapatlah dikatakan
bahwa perjanjian pengangkutan itu terjadi saat penawaran secara umum itu
diterima oleh penumpang.
Akibat
hukum dari perjanjian pengangkutan penumpang menimbulkan suatu hak dan
kewajiban bagi para pihak sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang sudah
disepakati.
III. PENUTUP
Akibat
hukum bagi pengelola jasa angkutan apabila terjadi wanprestasi terhadap
penumpang dalam penyelenggaraan pengangkutan yang menjadi kewajibannya sehingga
memberikan kerugian bagi penumpang terhadap barang-barang yang sah terdaftar
serta cacat fisik bagi pengelola jasa angkutan, maka akibat hukumnya bagi
pengelola jasa angkutan harus bertanggung jawab membayar kewajiban atau ganti
rugi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perlindungan hukum bagi penumpang
angkutan umum dari perusahaan angkutan umum adalah bertanggung jawab terhadap
segala kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan
dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan seperti ketentuan Pasal 191 dan Pasal
192 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-Buku
Abdulkadir
Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut
dan Udara, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994.
Achmad
Ichsan, Hukum Dagang, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1981.
H.M.N.
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum
Dagang Indonesia, Jilid II, Djambatan, 1984.
Hardijan
Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan
Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992.
Mariam
Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum
Nasional, Kumpulan Karangan, Bandung, 1981.
Radika
Purba, Asuransi Angkutan Laut, PT.
Rineka Cipta, Jakarta, 1998.
R.
Soekardono, Hukum Dagang Indonesia,
Jilid II, Rajawali, Jakarta, 1981.
Subekti,
Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta,
1991.
Sution
Usman Adji, Djoko Prakoso, Hari Pramono, Hukum
Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Perundangan-Undangan
Undang-Undang
Dasar 1945.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang.
Undang-Undang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
[1]
Achmad Ichsan, Hukum Dagang, Pradnya Paramita, Jakarta,
1981, hlm. 404
[2]
Ibid, hlm. 405
[3] Mukti Fajar dan Yulianto Achmad,
Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan
Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 156
[4]
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Rajawali, Jilid
II, Jakarta, 1981, hlm. 14
[5]
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Jilid II, Djambatan, 1984, hlm. 2
[6]
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara,
Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994, hlm. 20
[7]
Sution Usman Adji, Djoko
Prakoso, Hari Pramono, Hukum Pengangkutan
di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 6
[8]
Abdulkadir Muhammad,
Op.Cit, hlm. 19-20
[9]
H.M.N. Purwosutjipto,
Loc.Cit.
[10]
Ibid, hlm. 4
[11]
Wiwoho Soedjono, Hukum Dagang, Bina Aksara, Jakarta, hlm.
26, dikutip dari C. Asser, Byzondere Evereenkomsten, 1982.
Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
BalasHapusmampir di website ternama I O N Q Q
paling diminati di Indonesia