Jumat, 31 Agustus 2018

Penyelesaian Sengketa Konsumen Akibat Kerugian Karena Tidak Terpenuhinya Hak-Hak Konsumen Atas Informasi Yang Benar Dalam Rahasia Dagang


Oleh : Fitriah
Fakultas Hukum Universitas Palembang

ABSTRACT
                The purpose of doing business is to achieve maximum profit so that business actors try to win the competition even though it is done through ways that are contrary to ethics and law so that not only other business actors are harmed but also consumers. Trade Secret that is part of the Right of Wealth Intellectual property is an exclusive right for the owner or recipient of the right to enjoy the economic benefits of information that is not publicly known in the field of technology and business. The owner of the Trade Secret as an entrepreneur has the right to conceal the information of such economic value to anyone including the consumer. But on the other hand under the Consumer Protection Act (UUPK), the consumer has the right to correct information on the goods it receives. The settlement of the dispute due to the non-fulfillment of the consumer right on the correct information about the goods may occur due to two possibilities, namely: with consumers who violate UURD for seeking the correct information about the product of the goods it receives by committing an act against the law. And disputes related to business actors who violate UUPK because they do not provide the correct information about the goods being produced and marketed. In the case of a dispute due to a business actor who does not provide correct information about the goods produced and marketed, in accordancewith UUPK, any consumer or aggrieved consumer group may by suing a businessactor through an agency in charge of resolving disputes between consumers andbusiness actors.

ABSTRAK
Tujuan berbisnis adalah untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga pelaku usaha berusaha untuk memenangkan persaingan tersebut meskipun dilakukannya melalui cara-cara yang bertentangan dengan etika dan hukum sehingga tidak hanya pelaku usaha lainnya yang dirugikan tetapi juga konsumen.Rahasia Dagang yang merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak ekslusif bagi pemilik atau penerima hak untuk menikmati keuntungan secara ekonomi atas informasi yang tidak diketahui oleh umum dibidang teknologi dan bisnis.. Pemilik Rahasia Dagang sebagai pelaku usaha mempunyai hak untuk merahasiakan informasi yang bernilai ekonomi tersebut terhadap siapapun termasuk konsumen. Namun dilain pihak menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, (UUPK), konsumen mempunyai hak atas informsi yang benar terhadap barang yang diterimanya. Penyelesaian sengketa karena tidak terpenuhinya hak konsumen atas informasi yang benar tentang barang dapat terjadi karena dua kemungkinan, yaitu : Sengketa yang berkaitan dengan konsumen yang melakukan pelanggaran UURD karena mencari informasi yang benar tentang produk barang yang diterimanya dengan melakukan perbuatan melawan hukum. Dan sengketa yang berkaitan dengan pelaku usaha yang melanggar UUPK karena tidak memberikan informasi yang benar tentang barang yang dproduksi dan dipasarkan. Dalam kaitan dengan sengketa karena pelaku usaha yang tidak memberikan informasi yang benar tentang barang yang diproduksi dan dipasarkannya, sesuai UUPK, maka setiap konsumen atau kelompok konsumen yang dirugikan dapat dengan cara menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikansengketa antara konsumen dan pelaku usaha.


I.     PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
       Dengan terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin mutu, jumlah, dan keamanan barang yang diperolehnya di pasar, dan untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab, melalui kesadaran konsumen  dalam menentukan haknya, antara lain atas informasi yang benar tentang produk suatu barang yang diterimanya.
       Ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa “tiap-tiap warga Negara berhak untuk memperoleh kehidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Hal ini berarti perlu penyediaan produk barang yang cukup dengan kualitas baik agar setiap warga Negara dapat hidup yang layak untuk menjamin kesejahteraannya.                
       Persaingan yang ketat dalam dunia usaha /bisnis dapat mengubah perilaku pelaku usaha untuk melakukan persaingan usaha tidak sehat yang berkaitan dengan produk barang yang dihasilkannya. Hal ini mengingat tujuan berbisnis adalah untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga pelaku usaha berusaha untuk memenangkan persaingan tersebut meskipun dilakukannya melalui cara-cara yang bertentangan dengan etika dan hukum sehingga tidak hanya pelaku usaha lainnya yang dirugikan tetapi juga konsumen.
       Berkaitan dengan hal itu, maka konsumen perlu dilindungi secara hukum dari kemungkinan kerugian yang dialaminya karena praktik bisnis tidak sehat tersebut. Untuk itulah perlu ketentuan yang mengatur informasi yang benar tentang produk barang, pengaturan tentang akibat hukumnya apabila konsumen di rugikan terhadap produk barang karena informasi yang tidak benar, dan ketentuan penyelesaian sengketa yang efektif.
       Rahasia Dagang yang merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak ekslusif bagi pemilik atau penerima hak untuk menikmati keuntungan secara ekonomi atas informasi yang tidak diketahui oleh umum dibidang teknologi dan bisnis. Pentingnya Rahasia Dagang adalah untuk memajukan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional, sehingga tercipta iklim yang mendorong kreasi dan inovasi masyarakat.
Pemilik Rahasia Dagang sebagai pelaku usaha mempunyai hak untuk merahasiakan informasi yang bernilai ekonomi tersebut terhadap siapapun termasuk konsumen. Namun dilain pihak menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, (UUPK),konsumen mempunyai hak atas informsi yang benar terhadap barang yang diterimanya berkaitan dengan metode produksi, metode pengolahan, dan metode penjualan melalui perjanjian pengalihan hak dengan pelaku usaha.
B.   Permasalahan
                 Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik megangkat permasalahan Bagaimanakah penyelesaian sengketa akibat kerugian karena tidak terpenuhinya  hak konsumen atas informasi yang benar tentang barang ?



C.    Metodologi
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan serta menganalisis permasalahan. Penelitian tersebut berupa inventarisasi perundang-undangan yang berlaku, yang terdiri dari bahan hukum primer berupa Perundang-undangan yang berhubungan dengan permaslahan serta bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa karya ilmiah yang ada relevansinya dengan masalah-masalah yang akan diteliti.
II. PEMBAHASAN
             Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Terjadinya interaksi antar pelaku ekonomi yang berbeda negara dan system hukumnya membawa konsekuensi antara lain produk barang dan/atau jasa semakin beraneka ragam, baik produk ekspor maupun impor.[1] Konsumen dapat dibedakan dalam tiga batasan yaitu :
1.      Konsumen komersial (commercial consummer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan /atau jasa yang digunakan untuk memproduksi barang dan /jasa lain dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
2.       Konsumen antara (intermediate consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa yang digunakan untuk memperdagangkan kembali juga dengan tujuan mencari keuntungan.
3.       Konsumen akhir (ultimate consummer/end), adalah setiap orang yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan kehidupan pribadi, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali atau menarik keuntungan kembali.
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Pasal 3), disebutkan bahwa tujuan  perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
1.     Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2.     Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3.     Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut   hak-   haknya sebagai konsumen.  
4.     Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur    kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
             Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Intervensi Pemerintah sangat dibutuhkan dalam pembangunan demi untuk menegakkan dan menetapkan peraturan perundang-undangan dalam bidang ekonomi. Dalam hal pentingnya intervensi pemerintah terkait dengan perlindungan konsumen, yakni:
1.       Dalam masyarakat modern, produsen menawarkan berbagai jenis produk yang diproduksi secara massal.
2.       Hasil produksi dengan cara massal dan teknologi canggih potensial bagi munculnya resiko produk cacat, dan tidak memenuhi standar bahkan berbahaya yang dapat merugikan konsumen.
3.       Hubungan antara konsumen dan produsen berada pada posisi yang tidak seimbang.
4.       Adanya persaingan yang sempurna.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen Pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi         barang/jasa.
2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
1.    .Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2.    Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
3.    Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
4.    Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
1. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan   konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
2.  Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha   produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat kewajiban konsumen Sesuai   dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
   1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
   2.  Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
       3.  Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
     4.  Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen    secara patut.
        Pengaturan hukum perlindungan konsumen  merupakan bagian yang tidak terpisahkan  dari pembangunan hukum dan sebagai komponen integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan pilar pilar negara hukum.  Dalam kurun waktu tersebut hukum hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasan, dan kepentingan golongan. Hukum harus dikembalikan pada fungsi dan perannya karena sudah menjadi tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi di Indonesia sejak bergulirnya era reformasi. Seiring dengan berkembangnya dunia usaha perdagangan dan industri serta tumbuhnya konsumerisme global dan upaya penciptaan keadilan social dan ekonomi, maka lahirlah konsumerisme sebagai paham yang membela hak-hak konsumen yang berkembang seiring dengan perkembangan dunia usaha. Fakta menunjukkan bahwa konsumen adalah pihak yang lemah, yang membutuhkan perlindungan hukum. Apabila ditelusuri dengan mengkaji lebih lanjut tentang karaktristik sengketa konsumen (consumer disputes) dapat di identifikasi sebagai berikut: 
1.      Sengketa konsumen lahir dari tidak adanya keseimbangan kedudukan antara pihak pelaku usaha dan konsumen. Ketidakseimbangan kedudukan inilah yang seringkali menyulitkan konsumen untuk berjuang  sendiri dalam meyelesaikan sengketa yang dihadapinya, sekalipun hak-haknya secara yuridis dilindungi oleh undang-undang. 
2.      Kondisi social ekonomi konsumen pada umumnya adalah miskin ( kecuali mereka adalah konsumen mobil mewah, real estate, atau peralatan rumah tangga yang mahal). Daya beli yang pas-pasan  jelas tidak memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan bantuan hukum (melalui lawyer). Hambatan psikologis ada  pada mereka untuk memasuki prosedur hukum formal, disamping adanya sinyalemen “banyak lawyer” yang tidak cukup familier dengan persoalan-persoalan yang dihadapi mayarakat miskin. Pada akhirnya bantuan hukum lebih didominasi oleh kasus-kasus criminal, perkawinan, ketimbang kasus-kasus konsumen. 
3.      Pemberian ganti rugi yang lebih spisifik juga sekaligus merupakan “kritik” atas dunia peradilan formal yang cenderung tidak efektif. Dengan demikian penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan  tidak cocok, karena sangat formal, lama, berbelit-belit, dan mahal. Gambaran peradilan formal yang demikian itulah yang jelas tidak cocok sebagai media penyelesaian sengketa konsumen. Gambaran prosedur peradilan yang formal, mahal dan berbelit-belit, bukan hanya terdapat di negara-negara berkembang saja. Akan tetapi dalam beberapa kasus besar yang menyangkut kerugian  dan banyaknya korban, barangkali, peradilan adalah tempat yang pas untuk penyelesaian masalah tersebut, karena aspek kepastian hukum seringkali masih dinilai banyak pihak sebagai suatu kelebihan dari dunia litigasi. Oleh karena itu, yang dibutuhkan dalam sengketa konsumen adalah media penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana (tidak formal) dan murah. Apalagi sekarang ini penggantian kerugian yang efektif sudah menjadi salah satu hak dasar konsumen.
         Tujuan perlindungan konsumen dalam pasal 3 UUPK (butir c dan d) tegas menyatakan bahwa perlu adanya peningkatan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, serta upaya menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.Dari fenomena tersebut muncul ekspektasi agar hukum dapat ditegakkan secara kokoh dan konsisten, karena ketidak pastian hukum dan kemerosotan wibawa hukum  akan melahirkan krisis hukum. Terwujudnya supremasi hukum menghendaki komitmen seluruh komponen bangsa yang taat pada hukum. Ketaatan ini juga mewajibkan kepada aparat penegak hukum untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Pengaturan hukum tentang perlindungan konsumen akan terlihat hasilnya apabila aparatur hukum, (dalam hal ini BPSK)  baik mulai dari perancangan hukumnya serta masyarakat, hingga ke penegak hukumnya bisa menunjukan perannya masing-masing.
                  Penyelesaian sengketa karena tidak terpenuhinya hak konsumen atas informasi yang benar tentang barang dapat terjadi karena dua kemungkinan, yaitu :
1.        Sengketa yang berkaitan dengan konsumen yang melakukan pelanggaran UURD karena mencari informasi yang benar tentang produk barang yang diterimanya dengan melakukan perbuatan melawan hukum.
2.        Sengketa yang berkaitan dengan pelaku usaha yang melanggar UUPK karena tidak memberikan informasi yang benar tentang barang yang dproduksi dan dipasarkan.
                 Berdasarkan Pasal 14 UURD , seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dilakukan oleh konsumen karena ketidakpuasan terhadap produk barang yang diterimanya, sehingga ia berusaha mencari informasi yang benar tentang produk barang yang diterimanya. Perbuatan konsumen yang mungkin dapat dilakukan adalah mendapatkan informasi tentang produk barang dengan cara melakukan kolusi dengan karyawan pelaku usaha. Dengan demikian karyawan tersebut melakukan wanprestasi karena mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk mejaga Rahasia Dagang yang bersangkutan.
Konsumen dapat melakukan pencarian informasi tentang produk barang yang diterimanya tanpa melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 13 huruf a UURD) yaitu dengan cara menggugat pelaku usaha untuk meginformasikan tentang produk barang karena untuk kepentingan kesehatan, atau keselamatan masyarakat dan/atau menggunakan Pasal 13 huruf b UURD melakukan tindakan rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dan penggunaan Rahasia Dagang milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan.
Dalam hal segketa pelaku usaha  yang tidak memberikan informasi yang benar tentang barang yang diproduksinya atau dipasarkannya sesuai UUPK, maka setiap konsumen atau kelompok konsumen yang dirugikan dengan cara menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.
Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau ke badan peradilan. Kemudian, menurut pasal 52 UUPK, salah satu kewenangan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”) adalah menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Jadi, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak perlu persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.
Berkaitan hal di atas, pasal 45 UUPK memang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Namun, ini tidak berarti dalam mengajukan gugatan harus telah disetujui dahulu oleh para pihak. Menurut penjelasan pasal 45, ini artinya dalam penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Jadi, pengajuan gugatannya tidak harus atas persetujuan para pihak, tetapi para pihak dapat bersepakat untuk memilih perdamaian untuk penyelesaian sengketanya.
Lain halnya dengan penyelesaian sengketa BPSK yang melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. Menurut pasal 52 huruf (a) UUPK, BPSK berwenang untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Mengenai mediasi, arbitrase dan konsiliasi ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik IndonesiaNomor 350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun 2001tentangPelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“Kepmen Perindag 350/2001”). Menurut pasal 4 ayat (1) Kepmen Perindag 350/Mpp/Kep/12/2001, penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan. Jadi, yang perlu persetujuan para pihak adalah apabila penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dilakukan dengan cara mediasi/konsiliasi/arbitrase.
Konsumen dapat menggugat pelaku usaha ke BPSK atau ke badan peradilan. Namun, dalam hal sengketa itu bukan kewenangan BPSK, Ketua BPSK dapat menolak permohonan penyelesaian sengketa konsumen ( pasal 17 Kepmen Perindag 350/2001). Dalam hal telah ada perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen mengenai forum penyelesaian sengketa, maka sudah seharusnya para pihak tunduk pada klausula tersebut. Ini mengacu pada pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihaknya sebagai undang-undang. Oleh karena itu, seharusnya penyelesaian sengketa dilakukan berdasar kesepakatan awal.
Pasal 52 huruf g UUPK memang memberikan kewenangan pada BPSK untuk memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Akan tetapi, BPSK tidak diberikan kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa terhadap pelaku usaha tersebut. Meski demikian, BPSK bisa meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen (lihat pasal 52 huruf i UUPK). Jadi, BPSK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa, tetapi BPSK bisa meminta bantuan pada penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha. Penyidik di sini mengacu pada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen (lihat pasal 59 ayat [1] UUPK)
Dalam hal pelaku usaha tetap tidak memenuhi panggilan BPSK, maka BPSK dapat mengadili sengketa konsumen tanpa kehadiran pelaku usaha. Hal ini mengacu pada pasal 36 Kepmen Perindag 350/2001, yaitu dalam hal pelaku usaha tidak hadir pada hari persidangan I (pertama),majelis hakim BPSK akan memberikan kesempatan terakhir kepada pelaku usaha untuk hadir pada persidangan II (kedua) dengan membawa alat bukti yang diperlukan. Jika pada persidangan II (kedua) pelaku usaha tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha. Jadi, dalam hal pelaku usaha tidak menghadiri persidangan, maka BPSK dapat mengabulkan gugatan konsumen. Adapun putusan BPSK sendiri adalah putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (lihat pasal 54 UUPK jo pasal 42 ayat [1] Kepmen Perindag 350/2001). Final artinya dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi (lihat penjelasan pasal 54 ayat [3] UUPK). Putusan BPSK kemudian dapat dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan (lihat pasal 42 ayat [2] Kepmen Perindag 350/2001).
III. PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengambil kesimpulan yaitu: Penyelesaian sengketa karena tidak terpenuhinya hak konsumen atas informasi yang benar tentang barang   dalam rahasia dagang dapat terjadi karena dua kemungkinan, yaitu :
1. Sengketa yang berkaitan dengan konsumen yang melakukan pelanggaran  UURD karena mencari informasi yang benar tentang produk barang yang diterimanya dengan melakukan perbuatan melawan hukum.
2. Sengketa yang berkaitan dengan pelaku usaha yang melanggar UUPK karena tidak memberikan informasi yang benar tentang barang yang dproduksi dan dipasarkan.
                  Seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dilakukan oleh konsumen karena ketidakpuasan terhadap produk barang yang diterimanya, sehingga ia berusaha mencari informasi yang benar tentang produk barang yang diterimanya. Dalam kaitan dengan sengketa karena pelaku usaha yang tidak memberikan informasi yang benar tentang barang yang diproduksi dan dipasarkannya, sesuai UUPK, maka setiap konsumen atau kelompok konsumen yang dirugikan dapat dengan cara menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau ke badan peradilan.
B.     Saran
Pelaku usaha seharusnya memiliki kesadaran bahwa hubungan yang dilakukan antara produsen dan konsumen merupakan hubungan yang sangat erat dan saling membutuhkan sehingga muncul kesetaraan antara pelaku usaha dan konsumen. Oleh karena itu diharapkan akan adanya saknsi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, sehingga hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 dapat terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin & Zainal Asikin. 2003. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT.
                   Grafindo Persada.
Andi Hamzah. 1995. KUHP & KUHAP. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bambang Waluyo, 1991,Penelitian Hukum dalam Praktek,Jakarta, Sinar Grafika,
Eman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk  Penegakan Keadilan, Jakarta, tatanusa,
Imam Masykoer Ali. 2003. Bunga Rampai Jaminan Produk Halal di Negara Anggota
               Mabins. Jakarta.
John Pieris & Wiwik Sri Widiarty. 2007. Negara Hukum dan Perlindungan      Konsumen: Terhadap Produk Pangan Kadaluwarsa. Jakarta: Pelangi Cendekia.
Mohammad Daud Ali. 2005. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
             Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Persada Media
           Group.
Soerjono Soekanto. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta:
               Liberty.
 S. Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Bandung Tarsito.
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu           Tinjauan Singkat, Rajawali Pers.
 Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen  Indonesia, Jakarta, PT.Grasindo,
Sudjana, Elisantris, 2016, Rahasia Dagang Dalam perspektif Perlindungan Konsumen, Bandung,CV Keni Media
Zulham, 2013,Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta Kencana Prenada media Group.



[1] / Yusuf Shopie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 235.

1 komentar:


  1. bingung pulang kerja tidak tahu mau mengerjakan apa
    ayo di tunggu apa lagi segera bergabung dengan kami
    di i/o/n/n/q/q kami tunggu lo ^^

    BalasHapus