Oleh : Fitriah
Fakultas Hukum
Universitas Palembang
ABSTRACT
The purpose of doing business is
to achieve maximum profit so that business actors try to win the competition
even though it is done through ways that are contrary to ethics and law so that
not only other business actors are harmed but also consumers. Trade Secret that
is part of the Right of Wealth Intellectual property is an exclusive right for
the owner or recipient of the right to enjoy the economic benefits of
information that is not publicly known in the field of technology and business.
The owner of the Trade Secret as an entrepreneur has the right to conceal the
information of such economic value to anyone including the consumer. But on the
other hand under the Consumer Protection Act (UUPK), the consumer has the right
to correct information on the goods it receives. The settlement of the dispute
due to the non-fulfillment of the consumer right on the correct information
about the goods may occur due to two possibilities, namely: with consumers who
violate UURD for seeking the correct information about the product of the goods
it receives by committing an act against the law. And disputes related to
business actors who violate UUPK because they do not provide the correct
information about the goods being produced and marketed. In the case of a
dispute due to a business actor who does not provide correct information about
the goods produced and marketed, in accordancewith UUPK, any consumer or
aggrieved consumer group may by suing a businessactor through an agency in
charge of resolving disputes between consumers andbusiness actors.
ABSTRAK
Tujuan berbisnis adalah untuk mencapai keuntungan yang
sebesar-besarnya sehingga pelaku usaha berusaha untuk memenangkan persaingan
tersebut meskipun dilakukannya melalui cara-cara yang bertentangan dengan etika
dan hukum sehingga tidak hanya pelaku usaha lainnya yang dirugikan tetapi juga
konsumen.Rahasia Dagang yang merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual
merupakan hak ekslusif bagi pemilik atau penerima hak untuk menikmati
keuntungan secara ekonomi atas informasi yang tidak diketahui oleh umum
dibidang teknologi dan bisnis.. Pemilik Rahasia Dagang sebagai pelaku usaha
mempunyai hak untuk merahasiakan informasi yang bernilai ekonomi tersebut
terhadap siapapun termasuk konsumen. Namun dilain pihak menurut Undang-undang
Perlindungan Konsumen, (UUPK),
konsumen mempunyai hak atas informsi yang benar terhadap barang yang
diterimanya.
Penyelesaian sengketa karena tidak terpenuhinya hak konsumen atas
informasi yang benar tentang barang dapat terjadi karena dua kemungkinan, yaitu
: Sengketa yang berkaitan dengan konsumen yang melakukan pelanggaran UURD
karena mencari informasi yang benar tentang produk barang yang diterimanya
dengan melakukan perbuatan melawan hukum. Dan sengketa yang berkaitan dengan
pelaku usaha yang melanggar UUPK karena tidak memberikan informasi yang benar
tentang barang yang dproduksi dan dipasarkan. Dalam kaitan dengan sengketa
karena pelaku usaha yang tidak memberikan informasi yang benar tentang barang
yang diproduksi dan dipasarkannya, sesuai UUPK, maka setiap konsumen atau
kelompok konsumen yang dirugikan dapat dengan cara menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikansengketa antara konsumen dan pelaku
usaha.
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses
globalisasi ekonomi harus tetap menjamin mutu, jumlah, dan keamanan barang yang
diperolehnya di pasar, dan untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen
perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap
pelaku usaha yang bertanggung jawab, melalui kesadaran konsumen dalam menentukan haknya, antara lain atas
informasi yang benar tentang produk suatu barang yang diterimanya.
Ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa
“tiap-tiap warga Negara berhak untuk memperoleh kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Hal ini berarti perlu penyediaan produk barang yang cukup dengan
kualitas baik agar setiap warga Negara dapat hidup yang layak untuk menjamin
kesejahteraannya.
Persaingan yang ketat dalam dunia usaha
/bisnis dapat mengubah perilaku pelaku usaha untuk melakukan persaingan usaha
tidak sehat yang berkaitan dengan produk barang yang dihasilkannya. Hal ini
mengingat tujuan berbisnis adalah untuk mencapai keuntungan yang
sebesar-besarnya sehingga pelaku usaha berusaha untuk memenangkan persaingan
tersebut meskipun dilakukannya melalui cara-cara yang bertentangan dengan etika
dan hukum sehingga tidak hanya pelaku usaha lainnya yang dirugikan tetapi juga
konsumen.
Berkaitan dengan hal itu, maka konsumen
perlu dilindungi secara hukum dari kemungkinan kerugian yang dialaminya karena
praktik bisnis tidak sehat tersebut. Untuk itulah perlu ketentuan yang mengatur
informasi yang benar tentang produk barang, pengaturan tentang akibat hukumnya
apabila konsumen di rugikan terhadap produk barang karena informasi yang tidak
benar, dan ketentuan penyelesaian sengketa yang efektif.
Rahasia Dagang yang merupakan bagian dari Hak Kekayaan
Intelektual merupakan hak ekslusif bagi pemilik atau penerima hak untuk
menikmati keuntungan secara ekonomi atas informasi yang tidak diketahui oleh
umum dibidang teknologi dan bisnis. Pentingnya Rahasia Dagang adalah untuk
memajukan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan
internasional, sehingga tercipta iklim yang mendorong kreasi dan inovasi
masyarakat.
Pemilik Rahasia Dagang sebagai pelaku usaha mempunyai
hak untuk merahasiakan informasi yang bernilai ekonomi tersebut terhadap
siapapun termasuk konsumen. Namun dilain pihak menurut Undang-undang
Perlindungan Konsumen, (UUPK),konsumen mempunyai hak atas informsi yang benar
terhadap barang yang diterimanya berkaitan dengan metode produksi, metode
pengolahan, dan metode penjualan melalui perjanjian pengalihan hak dengan
pelaku usaha.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik megangkat
permasalahan Bagaimanakah penyelesaian sengketa akibat
kerugian karena tidak terpenuhinya hak
konsumen atas informasi yang benar tentang barang ?
C.
Metodologi
Penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menggambarkan,
menelaah, menjelaskan serta menganalisis permasalahan.
Penelitian tersebut berupa inventarisasi perundang-undangan yang berlaku, yang terdiri dari bahan hukum primer berupa Perundang-undangan yang
berhubungan dengan permaslahan serta bahan hukum sekunder yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa karya ilmiah yang ada
relevansinya dengan masalah-masalah yang akan diteliti.
II. PEMBAHASAN
Globalisasi
dan perdagangan bebas
yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah
memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi
batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang,
ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Terjadinya interaksi antar pelaku ekonomi yang berbeda negara dan system hukumnya
membawa konsekuensi antara lain produk barang dan/atau jasa semakin beraneka
ragam, baik produk ekspor maupun impor.[1] Konsumen
dapat dibedakan dalam tiga batasan yaitu :
1. Konsumen komersial (commercial
consummer), adalah setiap orang
yang mendapatkan barang dan /atau jasa yang digunakan untuk
memproduksi barang dan /jasa lain dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
2. Konsumen antara (intermediate
consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa yang
digunakan untuk memperdagangkan kembali juga dengan tujuan mencari keuntungan.
3. Konsumen akhir (ultimate
consummer/end), adalah setiap orang yang mendapatkan dan menggunakan barang
dan/jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan kehidupan pribadi, keluarga, orang
lain dan makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali atau
menarik keuntungan kembali.
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Pasal 3),
disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
1.
Meningkatkan kesadaran,
kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2.
Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa.
3.
Meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
4.
Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen
memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen
sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan
mandiri. Tujuannya, jika adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia
secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih
jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal
diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Intervensi Pemerintah sangat dibutuhkan dalam pembangunan
demi untuk menegakkan dan menetapkan peraturan perundang-undangan dalam bidang
ekonomi. Dalam hal pentingnya intervensi pemerintah terkait dengan perlindungan
konsumen, yakni:
1. Dalam masyarakat modern, produsen menawarkan berbagai jenis
produk yang diproduksi secara massal.
2. Hasil produksi dengan cara massal dan teknologi canggih
potensial bagi munculnya resiko produk cacat, dan tidak memenuhi standar bahkan
berbahaya yang dapat merugikan konsumen.
3. Hubungan antara konsumen dan produsen berada pada posisi yang
tidak seimbang.
4. Adanya persaingan yang sempurna.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen Pasal 4, hak-hak konsumen sebagai
berikut:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
1. .Hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
3. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
4. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika
barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
Hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
1. Menumbuhkan kesadaran pelaku
usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha.
2. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat kewajiban konsumen Sesuai dengan Pasal 5
Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa,
demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
Pengaturan hukum perlindungan
konsumen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pembangunan hukum dan sebagai komponen integral dari pembangunan nasional
yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan pilar pilar negara hukum. Dalam kurun waktu tersebut hukum hanya
dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasan, dan kepentingan golongan.
Hukum harus dikembalikan pada fungsi dan perannya karena sudah menjadi tuntutan
masyarakat dan perkembangan demokrasi di Indonesia sejak bergulirnya era
reformasi. Seiring dengan berkembangnya dunia usaha perdagangan dan industri
serta tumbuhnya konsumerisme global dan upaya penciptaan keadilan social dan
ekonomi, maka lahirlah konsumerisme sebagai paham yang membela hak-hak konsumen
yang berkembang seiring dengan perkembangan dunia usaha. Fakta menunjukkan
bahwa konsumen adalah pihak yang lemah, yang membutuhkan perlindungan hukum.
Apabila ditelusuri dengan mengkaji lebih lanjut tentang karaktristik sengketa
konsumen (consumer disputes) dapat di identifikasi sebagai
berikut:
1.
Sengketa konsumen lahir dari tidak adanya keseimbangan
kedudukan antara pihak pelaku usaha dan konsumen. Ketidakseimbangan kedudukan
inilah yang seringkali menyulitkan konsumen untuk berjuang sendiri
dalam meyelesaikan sengketa yang dihadapinya, sekalipun hak-haknya secara
yuridis dilindungi oleh undang-undang.
2.
Kondisi social ekonomi konsumen pada umumnya adalah
miskin ( kecuali mereka adalah konsumen mobil mewah, real estate, atau
peralatan rumah tangga yang mahal). Daya beli yang pas-pasan jelas
tidak memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan bantuan hukum (melalui
lawyer). Hambatan psikologis ada pada mereka untuk memasuki
prosedur hukum formal, disamping adanya sinyalemen “banyak lawyer” yang tidak
cukup familier dengan persoalan-persoalan yang dihadapi mayarakat miskin. Pada
akhirnya bantuan hukum lebih didominasi oleh kasus-kasus criminal, perkawinan,
ketimbang kasus-kasus konsumen.
3.
Pemberian ganti rugi yang lebih spisifik juga
sekaligus merupakan “kritik” atas dunia peradilan formal yang cenderung
tidak efektif. Dengan demikian penyelesaian sengketa konsumen melalui
pengadilan tidak cocok, karena sangat formal, lama, berbelit-belit,
dan mahal. Gambaran peradilan formal yang demikian itulah yang jelas tidak
cocok sebagai media penyelesaian sengketa konsumen. Gambaran prosedur peradilan
yang formal, mahal dan berbelit-belit, bukan hanya terdapat di negara-negara
berkembang saja. Akan tetapi dalam beberapa kasus besar yang menyangkut
kerugian dan banyaknya korban, barangkali, peradilan adalah tempat
yang pas untuk penyelesaian masalah tersebut, karena aspek kepastian hukum
seringkali masih dinilai banyak pihak sebagai suatu kelebihan dari dunia
litigasi. Oleh karena itu, yang dibutuhkan dalam sengketa konsumen adalah
media penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana (tidak formal) dan murah.
Apalagi sekarang ini penggantian kerugian yang efektif sudah menjadi salah satu
hak dasar konsumen.
Tujuan perlindungan konsumen
dalam pasal 3 UUPK (butir c dan d) tegas menyatakan bahwa perlu adanya
peningkatan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen, serta upaya menciptakan system perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi.Dari fenomena tersebut muncul ekspektasi agar
hukum dapat ditegakkan secara kokoh dan konsisten, karena ketidak pastian hukum
dan kemerosotan wibawa hukum akan melahirkan krisis hukum.
Terwujudnya supremasi hukum menghendaki komitmen seluruh komponen bangsa yang
taat pada hukum. Ketaatan ini juga mewajibkan kepada aparat penegak hukum untuk
menegakkan dan menjamin kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.
Pengaturan hukum tentang perlindungan konsumen akan terlihat hasilnya apabila
aparatur hukum, (dalam hal ini BPSK) baik mulai dari perancangan
hukumnya serta masyarakat, hingga ke penegak hukumnya bisa menunjukan perannya
masing-masing.
Penyelesaian
sengketa karena tidak terpenuhinya hak konsumen atas informasi yang benar
tentang barang dapat terjadi karena dua kemungkinan, yaitu :
1.
Sengketa yang berkaitan dengan konsumen yang melakukan
pelanggaran UURD karena mencari informasi yang benar tentang produk barang yang
diterimanya dengan melakukan perbuatan melawan hukum.
2.
Sengketa yang berkaitan dengan pelaku usaha yang
melanggar UUPK karena tidak memberikan informasi yang benar tentang barang yang
dproduksi dan dipasarkan.
Berdasarkan Pasal 14 UURD , seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang
pihak lain apabila ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan
cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal
ini dilakukan oleh konsumen karena ketidakpuasan terhadap produk barang yang
diterimanya, sehingga ia berusaha mencari informasi yang benar tentang produk
barang yang diterimanya. Perbuatan konsumen yang mungkin dapat dilakukan adalah
mendapatkan informasi tentang produk barang dengan cara melakukan kolusi dengan
karyawan pelaku usaha. Dengan demikian karyawan tersebut melakukan wanprestasi
karena mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak
tertulis untuk mejaga Rahasia Dagang yang bersangkutan.
Konsumen dapat melakukan pencarian informasi tentang
produk barang yang diterimanya tanpa melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal
13 huruf a UURD) yaitu dengan cara menggugat pelaku usaha untuk meginformasikan
tentang produk barang karena untuk kepentingan kesehatan, atau keselamatan
masyarakat dan/atau menggunakan Pasal 13 huruf b UURD melakukan tindakan
rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan dan penggunaan Rahasia Dagang milik
orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih
lanjut produk yang bersangkutan.
Dalam hal segketa pelaku usaha yang tidak memberikan informasi yang benar
tentang barang yang diproduksinya atau dipasarkannya sesuai UUPK, maka setiap
konsumen atau kelompok konsumen yang dirugikan dengan cara menggugat pelaku
usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha.
Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) mengatur bahwa konsumen dapat
mengajukan gugatan pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa
konsumen atau ke badan peradilan. Kemudian, menurut pasal 52 UUPK, salah satu kewenangan dari Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (“BPSK”) adalah menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak
tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen. Jadi, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak perlu
persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian
sengketa.
Berkaitan
hal di atas, pasal 45 UUPK
memang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa. Namun, ini tidak berarti dalam mengajukan gugatan harus telah
disetujui dahulu oleh para pihak. Menurut penjelasan pasal 45, ini artinya dalam penyelesaian sengketa
konsumen tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang
bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai
oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Jadi, pengajuan gugatannya tidak harus
atas persetujuan para pihak, tetapi para pihak dapat bersepakat untuk memilih
perdamaian untuk penyelesaian sengketanya.
Lain halnya
dengan penyelesaian sengketa BPSK yang melalui cara konsiliasi atau mediasi
atau arbitrase. Menurut pasal 52 huruf
(a) UUPK, BPSK berwenang untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian
sengketa konsumen melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Mengenai
mediasi, arbitrase dan konsiliasi ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik IndonesiaNomor 350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun 2001tentangPelaksanaan
Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“Kepmen Perindag
350/2001”). Menurut pasal 4 ayat
(1) Kepmen Perindag
350/Mpp/Kep/12/2001, penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui
cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase dilakukan atas dasar pilihan dan
persetujuan para pihak yang bersangkutan. Jadi, yang perlu persetujuan para
pihak adalah apabila penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dilakukan dengan
cara mediasi/konsiliasi/arbitrase.
Konsumen
dapat menggugat pelaku usaha ke BPSK atau ke badan peradilan. Namun, dalam hal
sengketa itu bukan kewenangan BPSK, Ketua BPSK dapat menolak permohonan penyelesaian
sengketa konsumen ( pasal 17 Kepmen Perindag 350/2001). Dalam hal
telah ada perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen mengenai forum
penyelesaian sengketa, maka sudah seharusnya para pihak tunduk pada klausula
tersebut. Ini mengacu pada pasal 1338
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), bahwa perjanjian yang
dibuat secara sah mengikat para pihaknya sebagai undang-undang. Oleh karena
itu, seharusnya penyelesaian sengketa dilakukan berdasar kesepakatan awal.
Pasal 52 huruf g UUPK memang memberikan kewenangan pada BPSK untuk memanggil pelaku usaha
yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Akan
tetapi, BPSK tidak diberikan kewenangan
untuk melakukan pemanggilan paksa terhadap pelaku usaha tersebut. Meski
demikian, BPSK bisa meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha
yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen
(lihat pasal 52 huruf i UUPK).
Jadi, BPSK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa, tetapi
BPSK bisa meminta bantuan pada penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha.
Penyidik di sini mengacu pada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen (lihat pasal 59 ayat [1] UUPK)
Dalam hal
pelaku usaha tetap tidak memenuhi panggilan BPSK, maka BPSK dapat mengadili
sengketa konsumen tanpa kehadiran pelaku usaha. Hal ini mengacu pada pasal 36 Kepmen Perindag 350/2001, yaitu dalam hal pelaku usaha tidak hadir
pada hari persidangan I (pertama),majelis hakim BPSK akan memberikan kesempatan
terakhir kepada pelaku usaha untuk hadir pada persidangan II (kedua) dengan
membawa alat bukti yang diperlukan. Jika pada persidangan II (kedua) pelaku
usaha tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa
kehadiran pelaku usaha. Jadi, dalam hal pelaku usaha tidak menghadiri
persidangan, maka BPSK dapat mengabulkan gugatan konsumen. Adapun putusan BPSK
sendiri adalah putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(lihat pasal 54 UUPK jo pasal 42 ayat
[1] Kepmen Perindag 350/2001).
Final artinya dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya
banding dan kasasi (lihat penjelasan
pasal 54 ayat [3] UUPK). Putusan BPSK kemudian dapat dimintakan
penetapan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang
dirugikan (lihat pasal 42 ayat [2]
Kepmen Perindag 350/2001).
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengambil kesimpulan yaitu: Penyelesaian
sengketa karena tidak terpenuhinya hak konsumen atas informasi yang benar
tentang barang dalam rahasia dagang dapat terjadi karena dua
kemungkinan, yaitu :
1. Sengketa yang berkaitan dengan konsumen yang melakukan pelanggaran UURD karena mencari informasi yang benar
tentang produk barang yang diterimanya dengan melakukan perbuatan melawan
hukum.
2. Sengketa yang berkaitan dengan pelaku usaha yang melanggar UUPK
karena tidak memberikan informasi yang benar tentang barang yang dproduksi dan
dipasarkan.
Seseorang
dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia memperoleh atau
menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dilakukan oleh konsumen
karena ketidakpuasan terhadap produk barang yang diterimanya, sehingga ia
berusaha mencari informasi yang benar tentang produk barang yang diterimanya. Dalam
kaitan dengan sengketa karena pelaku usaha yang tidak memberikan informasi yang
benar tentang barang yang diproduksi dan dipasarkannya, sesuai UUPK, maka
setiap konsumen atau kelompok konsumen yang dirugikan dapat dengan cara
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha. Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan pada
pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau ke badan
peradilan.
B.
Saran
Pelaku usaha seharusnya memiliki kesadaran bahwa hubungan yang dilakukan
antara produsen dan konsumen merupakan hubungan yang sangat erat dan saling
membutuhkan sehingga muncul kesetaraan antara pelaku usaha dan konsumen. Oleh
karena itu diharapkan akan adanya saknsi yang tegas terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha, sehingga hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku
usaha dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 dapat terpenuhi.
DAFTAR
PUSTAKA
Amirudin
& Zainal Asikin. 2003. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
PT.
Grafindo Persada.
Andi
Hamzah. 1995. KUHP & KUHAP. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bambang Waluyo,
1991,Penelitian Hukum dalam Praktek,Jakarta, Sinar Grafika,
Eman
Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase
Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan
Keadilan, Jakarta, tatanusa,
Imam
Masykoer Ali. 2003. Bunga Rampai Jaminan Produk Halal di Negara Anggota
Mabins. Jakarta.
John
Pieris & Wiwik Sri Widiarty. 2007. Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen: Terhadap
Produk Pangan Kadaluwarsa. Jakarta: Pelangi Cendekia.
Mohammad
Daud Ali. 2005. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Peter
Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum.
Jakarta : Kencana Persada Media
Group.
Soerjono
Soekanto. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Sudikno
Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta:
Liberty.
S.
Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif,
Bandung Tarsito.
Soerjono
Soekamto dan Sri Mamudji, 1998, Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers.
Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen
Indonesia, Jakarta, PT.Grasindo,
Sudjana, Elisantris, 2016, Rahasia
Dagang Dalam perspektif Perlindungan Konsumen, Bandung,CV Keni Media
Zulham,
2013,Hukum Perlindungan Konsumen,
Jakarta Kencana Prenada media Group.
[1] / Yusuf Shopie,
Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000,
hal. 235.
BalasHapusbingung pulang kerja tidak tahu mau mengerjakan apa
ayo di tunggu apa lagi segera bergabung dengan kami
di i/o/n/n/q/q kami tunggu lo ^^