Minggu, 15 Februari 2015

PERKEMBANGAN DAN DASAR HUKUM ASURANSI SYARI’AH DI INDONESIA


Penulis
 Marsidah, S.H.,M.H

ABSTRAK
            Asuransi Syari’ah merupakan bidang bisnis asuransi yang cukup memperoleh perhatian besar di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai bisnis asuransi alternatif, asuransi syari’ah dapat dikatakan relatif baru dibandingkan dengan bidang bisnis asuransi konvensional. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 memberikan pengertian Asuransi Syari’ah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Adapun sumber hukum material asuransi syari’ah adalah Syari’ah Islam, sedangkan sumber-sumber syari’ah Islam adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma (Ijtihad), Fatwa Sahabat Rasul, Qiyas, Istihsan, dan Urf (tradisi).
            Sedangkan konsep asuransi syari’ah adalah suatu konsep dimana terjadi saling memikul resiko di antara sesama peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’ atau dana kebijakan (derma) yang tujuannya untuk menanggung resiko, sehingga dalam asuransi syari’ah dapat terhindar dari hal-hal yang diharamkan oleh para ulama, yaitu menghindari ketidak jelasan (Gharar), menghindari perjudian (Maisir), menghindari bunga uang (Riba). Pada asuransi konvensional perusahaan asuransi mengadkaan kontrak asuransi dengan tertanggung dalam bentuk perlindungan resiko, investasi dana berdasarkan bunga uang (Riba). Dana pembayaran klaim diambil dari rekening penanggung. Dalam hal tertanggung memutuskan kontrak asuransi sebelum jangka asuransi berakhir, premi yang sudah dibayar oleh tertanggung tidak dapat ditarik kembali, karena premi terseut menjadi hak penanggung. Dalam asuransi konvensional tidak semua jenis asuransi merupakan asuransi plus tabungan.

A.  LATAR BELAKANG
Dalam perkembangan pembangunan sekarang ini produk asuransi mulai mendapat perhatian dari masyarakat. Asuransi sebagai lembaga pengalihan resiko asuransi selain bermanfaat bagi peserta asuransi, bermanfaat juga bagi pembangunan karena lembaga asuransi merupakan lembaga keuangan bukan bank yang menggerakkan dana masyarakat melalui premi yang dibayarkan oleh tertanggung.
Hubungan hukum dalam asuransi dilaksanakan dalam bentuk perjanjian antara penanggung dan tertanggung. Tertanggung mengadakan perjanjian dengan tujuan untuk memperalihkan resiko kepada pihak lain untuk mengganti kepada tertanggung sejumlah ganti kerugian disebabkan terjadinya suatu peristiwa yang tidak tertentu, tetapi untuk terjadinya hubungan hukum dalam perjanjian tersebut pihak tertanggung harus membayar sejumlah premi kepada penanggung.
Sehubungan dengan hal itu, definisi pertanggungan atau asuransi dapat kita temukan dalam ketentuan Hukum Positif Indonesia, yakni Pasal 246 KUHDagang yang berbunyi : “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima premi, untuk kerusakan atau kehilangan keuntungan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu (evenement)”.[1]
Berdasarkan definisi tersebut di atas ada beberapa unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu :
1.    Adanya perjanjian timbal balik.
2.    Adanya pihak penanggung dan pihak tertanggung.
3.    Adanya pembayaran premi dari tertanggung kepada penanggung.
4.    Penggantian kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan.
5.    Suatu peristiwa yang tidak tertentu (evenement) kapan akan terjadi.
Dengan demikian, pertanggungan atau asuransi terjadi apabila ada perjanjian antara pihak tertanggung dan penanggung. Pihak penanggung akan memberikan ganti kerugian apabila terjadi evenement, sedangkan pihak tertanggung berkewajiban membayar premi sebagai kontra prestasi.
Kegiatan bisnis asuransi konvensional seperti asuransi kerugian, asuransi jiwa dan jenis-jenis asuransi sosial saat ini makin berkembang, yang membawa konsekuensi berkembang pula hukum bisnis asuransi. Salah satu kegiatan bisnis asuransi yang muncul dalam masyarakat adalah bisnis asuransi syari’ah. Dalam undang-undang yang mengatur tentang bisnis perasuransian, belum diatur tentang asuransi syari’ah. Namun, dalam praktik perasuransian ternyata bisnis asuransi syari’ah sudah banyak dikenal masyarakat.
Asuransi syari’ah merupakan bidang bisnis asuransi yang cukup memperoleh perhatian besar di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai bisnis asuransi alternatif, asuransi syari’ah boleh dikatakan relatif baru dibandingkan dengan bidang bisnis asuransi konvensional. Kebaruan bisnis asuransi syari’ah adalah pengoperasian kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist serta Fatwa Para Ulama terutama yang terhimpun dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sedangkan pengertian asuransi syari’ah berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong antara sejumlah orang / pihak melalui investasi dalam bentuk aset / tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan resiko.
Pada prinsipnya, yang membedakan asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional adalah asuransi syari’ah menghapuskan unsur ketidakpastian (gharar), unsur spekulasi alias perjudian (maisir), dan unsur bunga uang (riba) dalam kegiatan bisnisnya sehingga peserta asuransi (tertanggung) merasa terbebas dari praktik kezaliman yang merugikannya.[2]
Bisnis asuransi yang sudah ada sebelumnya dan sudah diatur dengan undang-undang sudah banyak dibahas para intelektual Muslim dan ternyata banyak mengandung kelemahan yang bertentangan dengan prinsip syari’ah yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Walaupun istilah asuransi tidak dikenal dalam Al-Qur’an dan Hadist, tidak tertutup kemungkinan dikembangkan secara Islami oleh para ahli hukum Islam atau fukaha untuk mencari dan menetapkan hukumnya, selama tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas muncul permasalahan :
“Apakah yang menjadi dasar hukum dan konsep dalam perkembangan asuransi syari’ah di Indonesia ?”

B.  PEMBAHASAN
Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam, menganggap pelaksanaan asuransi konvensional yang sudah ada kini tidak sesuai dengan prinsip syari’ah karena mengandung unsur ketidakjelasan (gharar), mengandung unsur perjudian (maisir), dan mengandung unsur bunga uang (riba). Hal ini membuat ragu umat Islam untuk ikut serta sebagai anggota asuransi. Akhirnya, melalui kesatuan pendapat para ulama Islam, lahirlah suatu konsep asuransi syari’ah yang dapat diterima dan dipraktikkan di mana saja, dengan mendirikan perusahaan asuransi syari’ah dan dilaksanakan berdasarkan prinsip syari’ah guna menghindari unsur-unsur gharar, maisir, dan riba.
Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional sudah diakui sebagai hukum positif tidak tertulis (nonperundang-undangan) sejak zaman Hindia Belanda. Hal ini sejalan pula dengan kedudukan hukum adat sebagai hukum positif tidak tertulis (nonperundang-undangan) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Status hukum Islam sebagai hukum positif tidak tertulis dalam masyarakat Indonesia terbukti dari pengakuan dan pembenarannya berupa dibentuknya oleh Pemerintah lembaga-lembaga Islam, seperti Mahkamah Syari’ah, sekolah dasar hingga perguruan tinggi Islam. Selain itu, juga didirikannya organisasi para ulama Islam, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi profesi Islam, seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), lembaga bisnis Islam, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI).
1.    Dasar Hukum Asuransi Syari’ah
Sumber hukum material asuransi syari’ah Islam adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma (Ijtihad), Fatwa Sahabat Rasul, Qiyas, Istihsan, dan Urf (tradisi). Al-Qur’an dan Hadist merupakan sumber utama hukum Islam, namun dalam menetapkan prinsip-prinsip maupun praktik dan operasional asuransi syari’ah, parameter yang senantiasa menjadi rujukan adalah syari’ah Islam.[3]
Oleh karena itu, pengaturan tentang asuransi syari’ah boleh didasarkan pada Ijma (Ijtihad). Penetapan hukum dengan metode Ijma (Ijtihad) dapat menggunakan beberapa cara, antara lain :
a.      Melakukan interpretasi atau penafsiran hukum secara analogi (qiyas), yaitu dengan cara mencari perbandingannya atau pengibaratannya.
b.    Untuk kemaslahatan umum (mashlahah mursalah), yang bertumpu pada pertimbangan menarik manfaat dan menghindarkan mudharat.
c.    Meninggalkan dalil-dalil khusus dan menggunakan dalil-dalil umum yang dipandang lebih kuat (Istihsan).
d.   Dengan cara melestarikan berlakunya ketentuan asal yang ada, kecuali terdapat dalil yang menentukan lain (Istihs-hab).
e.    Mengukuhkan berlakunya adat kebiasaan yang tidak berlawanan dengan ketentuan syari’ah.
Berdasarkan metode-metode kajian tersebut di atas, penetapan hukum keberadaan asuransi syari’ah yang digunakan dilihat dari segi hukum Islam adalah Ijma (Ijtihad). Metode ini menggunakan dasar “untuk kepentingan umum” (mashlahah mursalah). Jadi, asuransi syari’ah dibolehkan dengan alasan untuk kepentingan umum.[4]
Keberadaan asuransi syari’ah di Indonesia saat ini tidak dilarang undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian. Malahan, Pemerintah telah mengeluarkan keputusan-keputusan yang berkenaan dengan asuransi, termasuk asuransi syari’ah, yaitu sebagai berikut :
a.    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
b.    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Reasuransi.
c.    Keputusan Dirjen Lembaga Keuangan No. Kep. 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian, dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan sistem syari’ah.

Kehadiran asuransi syari’ah diawali dengan beroperasinya bank syari’ah. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan ketentuan pelaksanaan bank syari’ah. Pada saat ini bank syari’ah membutuhkan jasa asuransi syari’ah guna mendukung permodalan dan investasi dana. Pada tanggal 27 Juli 1993, ICMI melalui Yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI), dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian Asuransi Takaful dengan menyusun Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia (Tepati).
Sebagai realisasi kesepakatan tersebut, didirikanlah PT. Syarikat Takaful Indonesia sebagai Holding Company dan dua anak perusahaan, yaitu PT. Asuransi Takaful Keluarga (asuransi jiwa) dan PT. Asuransi Takaful Umum (asuransi kerugian). Pembentukan dua anak perusahaan tersebut, dimaksudkan untuk mematuhi ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang mana perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian harus berdiri terpisah.

2.    Konsep Asuransi Syari’ah
Pada asuransi konvensional, perusahaan asuransi mengadakan kontrak asuransi dengan peserta asuransi dalam bentuk perlindungan risiko. Investasi dana berdasarkan bunga uang (riba). Dana pembayaran klaim diambil dari rekening perusahaan asuransi. Premi yang sudah disetor menjadi milik perusahaan asuransi. Dalam hal peserta asuransi memutuskan kontrak asuransi sebelum jangka waktu asuransi berakhir, premi yang dibayar oleh peserta asuransi tidak dapat ditarik kembali, karena premi tersebut menjadi hak perusahaan asuransi, kecuali jika asuransi yang diikuti peserta asuransi itu merupakan asuransi plus tabungan. Namun, dalam asuransi konvensional tidak semua jenis asuransi merupakan asuransi plus tabungan.
Konsep asuransi syari’ah didasarkan pada Al-Qur’an Surat Almaa’idah ayat (2), yang artinya :
Tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

Berdasarkan konsep tersebut, kemudian Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan pengertian tentang asuransi syari’ah. Pasal 1 ayat (1) Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 menetapkan bahwa :
“Asuransi syari’ah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang / pihak melalui investasi dalam bentuk asal dan/atau tabarru” yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah.”
M. Syakir Sula menegaskan bahwa konsep asuransi syari’ah adalah suatu konsep di mana terjadi saling memikul risiko di antara sesama peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko yang muncul. Saling pikul risiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru atau dana kebajikan (derma) yang tujuannya untuk menanggung risiko.
Dengan demikian dalam sistem operasional, asuransi syari’ah telah terhindar dari hal-hal yang diharamkan oleh para ulama, yaitu.[5]

a.    Menghindari Ketidakjelasan (Gharar)
Hadist Nabi Muhamamd SAW, yang dapat dijadikan acuan mengenai gharar adalah :
“Rasulullah SAW melarang jual beli dengan lemparan batu (hasab) dan jual beli gharar (diriwayatkan oleh Imam Muslim).”

Berdasarkan Hadist tersebut, kemudian timbul beberapa definisi. Definisi gharar menurut mazhab Imam Syafei adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti. Menurut Ibnul Qayyim, gharar adalah yang tidak bisa diukur penerimaannya, baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang liar meskipun ada.[6]
H.M. Syafiie Antonio seorang pakar ekonomi syari’ah menjelaskan bahwa ketidakjelasan (gharar) terjadi dalam dua bentuk, yaitu :

a)   Akad syari’ah yang melandasi penutupan polis
Kontrak dalam asuransi jiwa konvensional dikategorikan sebagai akad pertukaran (tabaduli), yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara harfiah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi tidak jelas (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang meninggal. Dalam konsep takaful (saling menolong), keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad tolong-menolong (takafuli) dan saling menjamin di mana semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya.

b)   Sumber dana pembayaran klaim
Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’ie penerima uang klaim itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, tertanggung tidak mengetahui dari mana dana pertanggungan yang diberikan oleh perusahaan asuransi berasal. Tertanggung hanya tahu jumlah pembayaran klaim yang akan diterimanya. Dalam konsep asuransi takaful (saling menolong), setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua, rekening pemegang polis dan rekening khusus peserta yang harus diniatkan sebagai dana kebajikan/derma (tabarru’) untuk membantu saudaranya yang lain. Jadi, klaim dalam konsep asuransi takaful diambil dari dana tabarru’ yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang diberikan oleh peserta asuransi.

b.   Menghindari Perjudian (Maisir)
Islam telah melarang perjudian (maisir), sebagaimana firman Allah dalam Surat Almas’idah ayat (90), yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji yang termaasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Kata maisir berasal dari  bahasa Arab, yang secara harfiah berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Hal ini biasa juga disebut perjudian, yang dalam terminologi agama diartikan sebagai suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk memperoleh kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu.[7]
Gemala Dewi juga mengartikan bahwa dalam konsep maisir di satu pihak memperoleh keuntungan, tetapi di lain pihak justru mengalami kerugian. Unsur maisir dalam asuransi konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian, tertanggung tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka tertanggung tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan keuntungan diperoleh tertanggung ketika tertanggung yang belum lama menjadi anggota asuransi (jumlah premi yang disetor sedikit), menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih besar. Dalam konsep takaful (saling menolong), apabila peserta asuransi tidak mengalami musibah atau kecelakaan selama menjadi peserta dia masih tetap berhak mendapatkan premi yang disetor, kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru’.[8]

c.    Menghindari Bunga Uang (Riba)
Dalam Al-Qur’an dan Hadist, riba itu dilarang atau diharamkan. Salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang melarang riba adalah Surat Ali Imran ayat (130), yang menyatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Riba menurut pengertian bahasa berarti tambahan (azziyadah), berkembang (annumuw), meningkat (al-irtila’), dan membesar (al-uluw). Jadi, riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dan peminjam sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.[9]
Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi konvensional melakukan usaha dan investasi yang meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar bunga uang. Dalam konsep takaful (saling menolong), dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsip bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.[10]
Untuk mengawasi operasional sehari-hari Lembaga Keuangan Syari’ah, seperti bank, asuransi, obligasi, pasar modal, leasing, dan sebagainya, terdapat Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). Dewan ini merupakan bagian yang tidak terpisah dari Dewan Syari’ah Nasional (DPN) Majelis Ulama Indonesia, selanjutnya disingkat DSN-MUI. Keberadaan DPS dalam asuransi syari’ah merupakan salah satu unsur yang membedakan asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional. DPS bertugas mengawasi operasionalisasi perusahaan dan produknya agar sesuai dengan ketentuan syari’ah. Produk dan pelayanan jasa asuransi yang akan ditawarkan kepada peserta asuransi harus diteliti lebih dulu keabsahannya oleh DPS untuk mengetahui apakah produk sesuaiatau tidak dengan asuransi syari’ah. Selain itu, DPS juga bertugas mendiskusikan masalah dan transaksi bisnis yang dihadapkan kepadanya agar dapat ditetapkan halal atau tidaknya menurut syari’ah Islam serta memberikan fatwa terhadap investasi dana yang akan ditempatkan oleh asuransi takaful.
Berdasarkan pembahasan di atas, diperoleh konsep yang jelas tentang asuransi sebagai alternatif pilihan bagi calon peserta asuransi. Asuransi syari’ah didasarkan pada prinsip tolong-menolong dalam kebaikan dan fatwa serta menghindari adanya unsur gharar, maisir, dan riba dalam pelaksanaannya. Antara peserta asuransi yang satu dengan yang lainnya saling menanggung risiko, artinya yang menjadi penanggung dalam asuransi syari’ah adalah para peserta sendiri. Dalam hal pengelolaan dananya, asuransi syari’ah memisahkan antara rekening tabarru’ dan rekening dana peserta. Bila terjadi musibah pada salah satu peserta asuransi, maka dana yang digunakan untuk membayar santunan adalah dana yang berasal dari rekening tabarru’. Operasional asuransi syari’ah diawasi oleh Dewan Pengawas Syari’ah yang merupakan bagian yang tak terpisah dari Dewan Syari’ah Nasional. Saat ini, di Indonesia telah berdiri perusahaan asuransi syari’ah, yaitu PT. Asuransi Takaful Keluarga (asuransi jiwa) dan PT. Asuransi Takaful Umum (asuransi kerugian).

3.    Klasifikasi Hukum Positif
Menurut kenyataan hukum yang hidup dan berlaku di dalam masyarakat bangsa Indonesia, hukum positif dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.    Hukum perundang-undangan yang bersumber dari badan perundang-undangan yang secara resmi diberi bentuk tertulis dan diumumkan secara luas dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

b.    Hukum adat dan kebiasaan yang bersumber dari masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang sifatnya tidak tertulis, namun hidup dan berkembang serta dipatuhi oleh masyarakat.

c.    Hukum Islam yang bersumber dari firman Allah melalui Rasulullah, dihimpun secara tertulis dalam Kitab Suci Al-Qur’an; yang bersumber dari ucapan dan perbuatan Rasulullah, dihimpun secara tertulis dalam buku Hadist Sahih; yang bersumber dari lembaga-lembaga Islam atau para alim ulama Islam, dihimpun secara tertulis dalam buku Fikih Islam atau Fatwa Alim Ulama.

d.   Hukum yurisprudensi yang bersumber dari putusan hakim, dihimpun secara tertulis dalam buku Yurisprudensi Indonesia, Kompilasi Hukum Islam.

Berdasarkan klasifikasi hukum positif di atas, dapat dipahami posisi dan status hukum asuransi syari’ah dalam sistem hukum Indonesia. Asuransi syari’ah secara substansial bersumber dari hukum Islam, terutama yang mengatur tentang akad sebagai dasar timbulnya hak dan kewajiban pihak-pihak. Akan tetapi, secara formal dari segi bentuk hukum usaha (badan usaha) bersumber dari hukum perundang-undangan karena asuransi syari’ah adalah badan hukum berbentuk perseroan terbatas (PT). Oleh karena itu, kedudukan asuransi syari’ah dari segi hukum adalah kuat dan legal dalam sistem hukum Indonesia, dan secara bisnis operasional memperoleh dukungan kuat dari masyarakat karena didasarkan pada akad yang benar, adil, jujur, transparan, dan bebas dari kezaliman.
Asuransi syari’ah baru melakukan kegiatan operasionalnya dalam lingkup asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Untuk masa mendatang sesuai dengan visi asuransi syari’ah dan tujuannya untuk kemashlahatan umum, asuransi syari’ah akan terus dikembangkan ke semua jenis asuransi dan ke seluruh wilayah Indonesia secara bertahap dan berencana.

C.  KESIMPULAN
Dasar hukum material asuransi syari’ah di Indonesia adalah Syari’ah Islam, sedangkan sumber syari’ah islam adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma (Ijtihad), Fatwa Sahabat Rasul, Qiyas, Istihsan dan Urf (tradisi). Al-Qur’an dan Hadist merupakan sumber utama hukum Islam, namun dalam menetapkan prinsip-prinsip maupun praktek dan operasional syari’ah, parameter yang senantiasa menjadi rujukan adalah syari’ah Islam. Sedangkan konsep asuransi syari’ah adalah suatu konsep dimana terjadi saling memikul resiko diantara sesama peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru atau dana kebajikan (derma) yang tujuannya untuk menanggung resiko. Dengan demikian dalam asuransi syari’ah para peserta dapat terhindar dari hal-hal yang diharamkan oleh para ulama yaitu menghindari ketidakjelasan (gharar), menghindari perjudian (maisir) dan menghindari bunga uang (riba). Hal ini membuat ragu umat Islam untuk ikut serta sebagai anggota asuransi. Akhirnya, melalui kesatuan pendapat para ulama Islam, lahirlah suatu konsep asuransi syari’ah yang dapat diterima dan dipraktikkan di mana saja, dengan mendirikan perusahaan asuransi syari’ah dan dilaksanakan berdasarkan prinsip syari’ah guna menghindari unsur-unsur gharar, maisir, dan riba.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Abdul Kadir Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan, Bandung, Alumni, 1990.

------------------, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung, 2006.

Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, Pranada Media, Jakarta, 2004.

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Penerbit Ekonisia, Yogyaikarta, 2004.

Muhammad Syakir, Asuransi Syari’ah Konsep dan Sistem Operasional, Penerbit Gama Insan, Jakarta, 2004.

Siti Sumarti, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Peraturan Kepailitan. Terjemahan, Penerbit Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1995.

Suhardi Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Subekti dan R. Tjitro Sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Terjemahan. Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 1992.


Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992.

Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/ DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.


[1] Abdul Kadir Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan, Bandung, Alumni, 1990, hal 28.
[2] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung, 2006, hal. 257
[3] Muhammad Syakir, Asuransi Syari’ah Konsep dan Sistem Operasional, Penerbit Gama Insan, Jakarta, 2004, hal 296
[4] Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 260
[5] M. Syakir Sula, Op.Cit, hal. 293
[6] Ibid, hal. 46
[7] Ibid, hal 48
[8] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransi Syariat di Indonesia, Penerbit Pranada Media, Jakarta, 2004, ha. 136
[9] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Penerbit Ekonesia, Yogyakarta, 2004, hal. 10
[10] Gemala Dewi, Op.Cit, hal. 136

0 komentar:

Posting Komentar