Kamis, 12 Februari 2015

PENGAWASAN EKSTERNAL TERHADAP HAKIM MENURUT UUD 1945

Penulis Barhamudin, SH., M.Hum

ABSTRAK

 

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang fungsi pengawasan eksternal prilaku hakim menurut UUD 1945. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif,  yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan sedangkan bahan hukum sekundernya adalah : buku-buku dan tulisan para ahli hukum yang membahas masalah ini. Adapun yang menjadi baham tersier adalah semua bahan yang menunjang bahan primer dan sekunder seperti kamus hukum, eksiklopedia dan lain sebagainya. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan undang-undang atau yuridis Normatif.Secara normatif yaitu melakukan analisa terhadap suatu fenomena yang berdasarkan aturan hukum dan pendekatan historis yaitu dengan menkaji tindakan dan ungkapan para negarawan dalam melaksanakan tugas pemerintahan yang berkaitan dengan pengawasan. Analisis data yang dilakukan adalah metode deduktif yaitu  metode yang menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum kemudian di sesuaikan faktor-faktor dari yang bersifat umum. Metode induktif digunakan untuk mengkaji asas-asas atau nilai-nilai yang terkandung dalam pengawasan. Hasil penelitian diperoleh bahwa, pengawasan itu merupakan upaya yang dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin akan terjadi dalam pemerintahan, dan pengawasan diadakan untuk mengatasi berbagai kendala dan mengurangi penyelewengan yang terjadi dalam aparatur pemerintahan. Pengawasan terhadap aparatur Negara saat ini harus diberlakukan berlapis. Selain pengawasan dan control dari masyarakat juga ada pengawasan dari internal dan eksternal serta  masyarakat aktif dalam mengontrol dan mengawasi kinerja aparatur Negara. Berdasarkan hal tersebut tidak terkecuali Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara, yang merupakan suatu organisasi untuk melaksanakan penegakan hukum dan keadilan sebagai  pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 diperlukan pengawasan, terutama para hakimnya. Pengawasan intern yaitu  Dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.Pengawasan ini dilakukan oleh atasan langsung kepada bawahannya, atau pengawasan melekat. Dalam pengawasan intern akan digunakan teori yang berhubungan dengan pengawasan intern tersebut yaitu dilakukan dengan cara melihat periilaku organisasi tersebut dan agar atasan dan bawahan dapat bekerja sama dalam mencapai tujuan yang telah disepakati bersama, dan cara atasan memberikan motivasi kepada bawahannya agar tujuan tersebut terwujud.

Kata kunci : Pengawasan, Kekuasaan, lembaga Negara,

A.   Pendahuluan 
Negara hukum modern yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, pemerintah berkewajiban dan bertugas untuk meningkatakan taraf hidup rakyatnya, yang telah diamanatkan dalam konstitusi sebagai salah satu tujuan Negara yaitu memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu pemerintah diberikan kewenangan untuk bertindak baik sesuai dengan peraturan perundang-undang maupun kewenangan bebas (freis ermessen) dan harus dituangkan dalam bentuk tertulis. Kewnangan yang dituangkan dalam bentuk terulis tersebut agar terlaksana dengan baik dan tepat sasarannya,  maka pengawasan penting dilakukan utnuk mewujudkan fungsi dari Negara hukum modern yang menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat. Hampir pada setiap aspek kehidupan manusia ini tidak bisa melepaskan keterlibatannya dengan organisasi. Sejak manusia lahir sampai nanti meningglakan dunia ini, organisasi selalu ikut campur tangan. Dari gejala ini terlihat betapa luas intervensi organisasi pada kehidupan manusia ini. Akibatnya dari intervensi ini maka suatu gejala lain yang tampak ialah hubungan manusia dengan manusia ditandai dengan sifat-sifat organisasi yang formal dan struktural.
Realitasnya pelaksana fungsi negara tidak lain adalah lembaga Negara atau pemerintah dan konkritnya dilaksanakan oleh manusia secara indivdu. Oleh karena itu Negara sebagai sebuah organisasi yang sangat komplek,  sistem pengawasan merupakan suatu kewajiban dan memegang peranan penting untuk memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan  tujuan organisasi, terlepas apakah lembaga Negara atau pemerintah dalam melaksanakan fungsi kekuasaan eksekutif, legislative maupun yudikatif.  Dalam hubungannya dengan pengawasan ini, sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton,   bahwa absolutely power tends to corrupt  but  absolute power corrupts absolutely (setiap kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk disalahgunakan, kekuasaan yang absolute pasti disalahgunakan).
J.R. Schermerhorn[2] Organization is a collection of people working together in a division of labor to achieve a common purpose. Organisasi adalah kumpulan orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Philiph Selznick[3] Organisasi adalah pengaturan personil guna memudahkan pencapaian beberapa tujuan yang telah ditetapkan melalui alokasi fungsi dan tanggung jawab.
Organisasi publik terfokus pada pelayanan publik, oleh karena itu diperlukan pemahaman terhadap payung hukum dengan cakupan mengenai:[4] (1) aturan kekuasan dan wewenang organisasi pelayanan publik, (2) norma dan etika aparat pemegang kekuasan dan wewenang organisasi pelayanan publik, dan (3) hak-hak publik dalam hubungannya dengan kekuasan dan wewenang organisasi dan aparatur pelayanan publik.
Definisi diatas menunjukan bahwa organisasi dapat diinjau dari dua segi pandangan, yaitu sebagai berikut : Pertama organisasi sebagai wadah dimana kegiatan-kegiatan administrasi dijalankan, kedua organisasi sebagai rangkaian hirarki antara orang-orang dalam suatu ikatan formal. Sebagai wadah organisasi relatif bersifat statis, sedangkan sebagai suatu rangkaian hirarki organisasi merupakan suatu proses dan dengan demikian ia bersifat lebih dinamis.
Pengorganisasian adalah merupakan fungsi kedua dalam manajemen dan pengorganisasian didefinisikan sebagai proses kegiatan penyusunan struktur organisasi sesuai dengan tujuan-tujuan, sumber-sumber, dan linkungannya. Dengan demikian hasil pengorganisasian adalah stuktur organisasi.[5]
Struktur organisasi adalah susunan komponen-komponen (unit-unit kerja) dalam organisasi. Struktur organisasi menunjukkan adanya pembagian kerja dan menunjukkan bagaimana fungsi fungsi atau kegiatan-kegiatan yang berbeda-beda tersebut diintegrasikan (koordinasi). Selain dari pada itu struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi-spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan.[6]
Pemerintah sebagai wujud dari Negara merupakan organisasi Publik yang mempunyai tugas melaksanakan amanah yang diberikan rakyat, subjek pemerintah tidak lain adalah aparatur pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Sebagai aparatur tentu saja tidak terlepas dari berbagai kelemahan yang dimilikinya sebagai personal yang menjalankan. Oleh karena itu perlu adanya suatu lembaga yang dapat mengawasi segala bentuk aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut Muchsan, dalam pengawasan tersebut meliputi dari perencanaan, pelaksanaakn serta hasil dari suatu program pemerintah.[7] Dimana yang menjadi objek dari pengawasan disini meliputi aparatur pemerintah, produk hukum yang dihasilkan, serta sarana yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Menurut Stephen P. Robbins, Struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti. Sebuah struktur organisasi mempunyai tiga komponen yaitu antara lain :[8]
a. Kompleksitas, mempertimbangkan tingkat diferensiasi yang ada dalm organisasi termasuk di dalamnya tingkat spesialisasi, atau tingkat pembagian kerja, jumlah tingkatan di dalam hierarki organisasi serta tingkat sejauh mana unit-unit organisasi tersebar secara geografis.
b.   Formalisasi, merupakan tingkat sejauh mana sebuah organisasi menyandarkan dirinya kepada peraturan dan prosedur untuk mengatur perilaku dari para pegawainya. Beberapa organisasi beroperasi dengan pedoman yang telah distandarkan secara minimum, yang lainnya, diantaranya organisasi yang berukuran kecil pun, mempunyai semacam peraturan yang memerintahkan kepada pegawainya mengenai apa yang dapat dan tidak dapat mereka lakukan
c. Sentralisasi, mempertimbangkan di mana letak dari pusatnya pengambilan keputusan. Di beberapa  organisasi, pengambilan keputusan sangat disentralisasi. Masalah-masalah dialirkan ke atas, dan para eksekutif senior memilih tindakan yang tepat. Pada kasus lain pengambilan keputusan didesentralisasi. Kekuasaan disebar ke bawah dalam hierarki. Perlu diketahui bahwa sebagaimana halnya dengan kompleksitas dan formalisasi, sebuah organisasi bukan disentralisasi ataupun didesentralisasi. Sentralisasi dan desentralisasi merupakan dua ujung dari sebuah rangkaian   kesatuan (continuum). Organisasi cenderung untuk disentralisasi atau cenderung didesentralisasi. Namun  menetapkan  letak  organisasi  di  dalam  rangkaian tersebut, merupakan salah satu faktor utama di dalam menentukan apa jenis struktur yang akan ada.
Pemerintah sebagai struktur organisasi yang kompleks fungsi  pengawasan memegang peranan penting untuk mencegah menindak  penyimpangan dan penyelewengan yang akan dan telah terjadi. Pengawasan diadakan untuk proses memastikan bahwa segala aktifitas yang terlaksana sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut. Oleh karena itu tidak berdasar jika ada seorang ahli menyatakan bahwa proses check and balances hanya diperuntukan bagi lembaga negara selain  lembaga yudikatif.
 Menurut Hakim Konstitusi, Harjono, lembaganya menganggap checks and balances adalah sebuah mekanisme yang diterapkan untuk mengatur hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. "Checks and balances tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan.[9] Mahkamah Konstitusi menilai pelibatan Komisi Yudisial seperti yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2014 merupakan bentuk penyelundupan hukum karena bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tertanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa Hakim Konstitusi tak terkait dengan Komisi Yudisial.[10] Ihwal keterlibatan Komisi Yudisial, menurut Mahkamah Konstitusi, lembaga tersebut bukan lembaga pengawas Mahkamah Konstitusi dan bukan lembaga yang berwenang menilai benar-salah putusan Mahkamah Konstitusi. Harjono mengatakan, dalam praktik negara hukum, tak pernah terjadi bahwa putusan pengadilan bisa dinilai benar-tidaknya oleh lembaga negara lain, termasuk oleh sebuah komisi.[11] Dalam praktik kenegaraan di Indonesia diakui tiga pembagian kekuasaan atau yang biasa dikenal dengan trias politica, yakni eksekutif, legislatif, dan judikatif. Cabang kekuasaan eksekutif ada pada Presiden dan Wakil Presiden. Cabang kekuasaan legislatif, terdapat dua lembaga yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedangkan untuk cabang kekuasaan judikatif atau kekuasaan kehakiman, ada pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak hanya itu di samping keduanya, ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim.
Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menentukan, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagai negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Keberadaan Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.
Mahkamah Konstitusi  telah membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam amar putusannya, panel hakim menyebut Komisi Yudisial bukan lembaga pengawas hakim konstitusi. Saat membacakan putusannya, dalam praktik negara hukum, belum pernah terjadi putusan pengadilan dapat dinilai kebenaran atau kesalahannya melalui lembaga negara lainnya. Sebab, hal itu dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik atas peradilan konstitusi. [12]
Berdasarkan pada uraian diatas, sebagai permasalahan dalam tulisan ini adalah apakah setiap lembaga negara atau pemerintah memerlukan pengawasan dari lembaga pengawas.?

B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang fungsi pengawasan eksternal prilaku hakim menurut UUD 1945. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.Untuk Mengidentifikasi dan menjelaskan pentingnya pengawasan terhadap prilaku hakim.
2.Untuk menjelaskan dan menganalisis sistem pengawasan terhadap hakim  yang dapat meminimalisir pemahaman yang berbeda dalam pengawasan terhadap lembaga negara..

C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memperkaya kajian teoritik dalam pengembangan ilmu Hukum, terutama yang berkaitan dengan studi tentang pengawasan eksternal, khususnya dalam aspek kelembagaan negara. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi para peneliti lain yang berminat untuk melakukan pengembangan kajian.
2.Memberikan kontribusi kepada Pemerintah untuk menemu-kenali berbagai permasalahan yang terjadi dalam pengawasan hakim, serta berbagai solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan perumusan berbagai kebijakan yang terkait. 

F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa bahan hukum  primer dan bahan hukum  sekunder yang relevan dengan pembahasan ini.
2. Pengumpulan Data.
Penelitian ini adalah penelitian pustaka, maka metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku yang ada dan kemudian dikaji dan ditelaah dari berbagi literatur yang ada yang berkaitan dengan masalah yang di bahas. Bahan hukum primer penelitian adalah peraturan perundang-undangan sedangkan bahan hukum sekundernya adalah : buku-buku dan tulisan para ahli hukum yang membahas masalah ini. Adapun yang menjadi baham tersier adalah semua bahan yang menunjang bahan primer dan sekunder seperti kamus hukum, eksiklopedia dan lain sebagainya.
3. Pendekatan Penelitian.
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan undang-undang atau yuridis Normatif.Secara normatif yaitu melakukan analisa terhadap suatu fenomena yang berdasarkan aturan hukum dan pendekatan historis yaitu dengan menkaji tindakan dan ungkapan para negarawan dalam melaksanakan tugas pemerintahan yang berkaitan dengan pengawasan.
5. Analisis Data.
Analisis data yang dilakukan adalah dengan metode deduktif adalah metode yang menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum kemudian di sesuaikan faktor-faktor dari yang bersifat umum. Metode induktif digunakan untuk mengkaji asas-asas atau nilai-nilai yang terkandung dalam pengawasan.

II. PEMBAHASAN
1. Pengertian  Pengawasan
Sebagai negara yang dalam konstitusinya menamakan dirinya negara hukum, maka sesungguhnya fungsi  lembaga peradilan amatlah penting. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum dapat diukur dari pandangan bagaimana hukum itu di perlakukan di Indonesia, apakah ada sistem peradilan yang baik dan tidak memihak serta bagai mana bentuk-bentuk pengadilannya dalam menjalankan  fungsi  peradilan. Banyaknya kritik yang diarahkan pada sistem hukum Indonesia terutama pada kualitas hukum menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan reformasi dibidang hukum.  Pemerintah perlu mengirimkan sinyal yang jelas bahwa terdapat komitmen bagi terciptanya institusi penegakkan hukum yang dapat dipercaya masyarakat Indonesia, dan juga oleh siapa saja yang berniat untuk melakukan bisnis dengan atau di Indonesia. Tantangan utama dalam mendapatkan kepercayaan meliputi penanganan korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam institusi.  Penanganan tersebut meliputi pembaharuan lembaga instusi hukum yang harus dimulai dari Mahkamah Agung (MA), lembaga peradilan tertinggi sebagai benteng terakhir dalam pencarian keadilan masyarakat.
Pada kenyataannya, bila dilihat saat ini, setelah 5 tahun reformasi administrasi yang dilakukan MA belum terlalu terlihat perubahan yang signifikan. Reformasi yang dilakukan ternyata belum mampu  menghapus praktik mafia peradilan  yang ada. Hal ini terbukti dengan peningkatan jumlah laporan dugaan praktik mafia peradilan yang dilakukan hakim dan pegawai pengadilan.
      Sebagaimana diketahui bahwa tujuan yang hendak dicapai dan sifat suatu kerja sama dapat bermacam-macam. Demikian juga jumlah dan susunan orang-orang yang bekerja sama dapat berbeda-beda pula. Selanjutnya usaha itu dapat pula berlangsung pada waktu dan tempat yang berlain-lainan. Tetapi pada setiap kerja sama yang dilakukan oleh sekelompok orang pasti terdapat rangkaian kegiatan penataan yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan. Rangkaian kegiatan penataan ini sebagai suatu kebulatan kini biasanya menjadi fungsi seseorang atau beberapa orang pejabat. Atau dengan perkataan lain Administrasi sebagai fungsi dijalankan oleh setiap orang yang berkedudukan sebagai pucuk pimpinan suatu usaha kerja sama manusaia atau “Ketua Organisasi”. Yang dinamakan “Administrator”. Jadi Administrator adalah kepala yang tertinggi di dalam organisasi. Tetapi tidaklah berarti bahwa Administratorlah yang satu-satunya berperan sebagai pelaksana fungsi Administrasi, melainkan dilaksanakan juga oleh pejabat-pejabat yang berada dibawahnya berdasarkan pelimpahan dari Administrator tadi.
Perlu diketahui bahwa Administrasi yang merupakan rangkaian kegiatan penataan, merupakan pekerjaan penunjang pelaksanaan pekerjaan substansuif. Kelompok pekerjaan yang dilakukan dengan rangkaian kegiatan subtantif dinamakan “pekerjaan pokok” atau “pekerjaan induk” yaitu pekerjaan yang langsung bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai. Apabila dicermati semua pendapat di atas, maka dapat ditawarkan satu definisi manajemen yang lebih sederhana , yaitu: “Manajemen   adalah suatu seni dan ilmu tentang cara mengatur, memimpin, dan mengendalikan semua sumber (resources) dalam rangka mencapai hasil atau Tujuan tertentu.[13]
Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa disamping manajemen sebagai seni juga sebagai ilmu. Manajemen sebagai seni dapat diartikan sebagai suatu praktek. Manajemen sebagai seni ditandai oleh pengalaman-pengalaman, dugaan ataupun kemampuan alamiah berupa skill atau keahlian, kemahiran yang timbul dari dalam diri seseorang untuk mewujudkan hasil kerja tertentu.
Manajemen juga sebagi ilmu, meskipun demikian tidaklah sepenuhnya sebagai ilmu. Pekerjaan  manajer dapat dianalisis dan diklasifikasi secara sistematis. Jadi, ada aspek ilmiah dalam manajemen dan ada cirri-ciri professional. Unsur-unsur manajemen dapat dianalisis, di organisasikan secara sistematis  dan dapat dipelajari oleh siapa pun yang mempunyai kecerdasan normal.
Dari definisi diatas terlihat adanya kegiatan seperti mengatur, memimpin,dan  mengendalikan. Hal ini, memberikan indikasi bahwa kegiatan manajemen itu selalu didasarkan pada upaya-upaya yang teratur atau sistematis, rasional  dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Ketiga kata itu   pada hakekatnya mempunyai makna yang dapat  mewakili fungsi-fungsi manajemen, yakni perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan. Sedang yang dimaksud dengan semua sumber (resources) dalam definisi itu adalah meliputi: tenaga kerja (man), sumber biaya (money), material atau bahan-bahan (materials), peralatan dan mesin (machine),cara kerja (method), pemasaran (market) atau pelayanan (service).
Dengan demikian manajemen itu merupakan rangkaian kegiatan atau proses kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan untuk mencapai hasil atau tujuan dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada seperti tenaga kerja, biaya, bahan-bahan, peralatan, cara-cara kerja, pemasaran atau pelayanan dengan efisien dan efektif.
Dari sudut cara pelaksanaanya pengawasan dibedakan, yaitu: Pengawasan langsung dan Pengawasan tidak langsung. Pengawasan langsung adalah pangawasan yang dilakukan dengan cara mendatangi atau melakukan pemeriksaan di tempat terhadap objek yang diawasi. Pemeriksaan setempat ini dapat berupa pemeriksaan administratif atau pemeriksaan fisik di lapangan. Kegiatan secara langsung melihat pelaksanaan kegiatan ini bukan saja dilakukan oleh perangkat pengawas akan tetapi perlu lagi dilakukan oleh pimpinan yang bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut. Dengan demikian dapat melihat bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan dan bila dianggap perlu dapat memberikan petunjuk-petunjuk dan instruksi maupun keputusan-keputusan yang secara langsung menyangkut dan mempengaruhi jalannya pekerjaan.
Pengawasan tidak langsung adalah kebalikan dari pengawasan langsung, yang dilakukan tanpa mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau objek yang diawasi. Pengawasan ini dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa dokumen yang menyangkut objek yang diawasi yang disampaikan oleh pelaksana atau pun sumber lain, dengan melalui dokumen-dokumen yang dapat  berupa:
1. Laporan pelaksanaan pekerjaan, baik laporan berkala maupun laporan insidentil.
2. Laporan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari perangkat pengawas lainnya.
3. Surat pengaduan dari masyarakat.
4. Berita atau artikel dari media massa.
5. Dokumen-dokumen lainnya.
6. Disamping melalui laporan tertulis tersebut pengawasan ini juga dapat dilakukan dengan mempergunakan bahan yang berupa laporan lisan.
Pengawasan  dapat juga dibedakan berdasarkan mereka yang melakukan pengawasan atau yang dilakukan oleh subjek pengawas, yaitu :  Pengawasan intern dan Pengawasan ekstern. Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Artinya bahwa subjek pengawas yaitu pengawas berasal dari dalam susunan organisasi objek yang diawasi. Pada dasarnya pengawasan ini harus dilakukan oleh setiap pimpinan akan tetapi dapat saja dibantu oleh setiap pimpinan unit sesuai dengan tugas masing-masing. Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri, artinya bahan subjek pengawas berasal dari luar susunan organisasi yang diawasi dan mempunyai sistim tanggung jawab tersendiri.
Demikian juga Pengawasan dapat ditinjau dari segi kewenangan, maka pengawasan dapat dibedakan yaitu:
1. Pengawasan formal.  Pengawasan formal adalah pengawasan yang dilakukan oleh instansi/pejabat yang berwenang (resmi), baik yang bersifat intern maupun ekstern. Pengawasan jenis ini hanya dapat dilakukan oleh instansi pemerintah.
2.   Pengawasan informal. Pengawasan informal adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Pengawasan ini sering juga disebut sosial kontrol (social control) misalnya pengawasan melalui surat pengaduan masyarakat melalui berita atau artikel di media massa.
Salah satu fungsi dasar manajer dan ini berguna untuk memastikan bahwa aktivitas yang sedang berjalan sesuai dengan tujuan, rencana dan standard organisasi adalah pengawasan. Adapun proses pengawasan terdiri dari lima langkah yaitu :
1.      penetapan standard pelaksanaan.
2.      penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan.
3.      pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata.
4.    pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan standard dan penganalisaan penyimpangan-penyimpangan;
5.      pengambilan tindakan koreksi bila perlu.
Perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja/prestasi kerja ( pengembangan rencana strategis dan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah beserta indicator prestasi kerja), standar pelayanan minimal, standar analisa belanja, standar akuntansi pemerintahan, standar audit pemerintahan, standar alokasi dana perimbangan keuangan pusat ke daerah, tata cara penyaluran dana dekonsentrasi dan dana pembantuan dari pemerintah pusat ke daerah, dan lain sebagainya.
Pada prinsipnya, semua upaya tersebut adalah dalam rangka menegakkan 3 pilar utama menuju good governance yang telah menjadi komitmen pemerintah sejak dimulainya era informasi hingga saat ini, yaitu :
a. akuntabilitas. System pengawasan akan memastikan bahwa dana pembangunan digunakan sesuai dengan etika dan aturan hukum dalam rangka memenuhi rasa keadilan. Akuntabiltas mencakup eksistensi dari suatu mekanisme ( berdasarkan peraturan dan sah) yang memberikan keyakinan kepada politisi dan pejabat pemerintahan terhadap aksi perbuatannya dalam penggunaan sumber – sumber public serta kinerjanya. Akuntabilitas membutuhkan keterbukaan dan kejelasan serta hubungannya dengan kebebasan media. Selain itu akuntabilitas berkaitan erat dengan pertanggung jawaban terhadap efektifitas kegiatan dalam pencapain sasaran atau target kebijaksanaan atau program.
b.     transparansi
c.    partisipasi masyarakat luas.
Perubahan dalam lingkungan organisasi, semakin rumitnya kegiatan-kegiatan organisasi dan kenyataan bahwa para anggotanya melakukan penyimpangan-penyimpangan, merupakan faktor-faktor yang membuat pengawasan itu semakin penting.

2. Pemisahan Kekuasaan.
Check and balances system adalah sistem dimana orang-orang dalam pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain dalam pemerintahan jika mereka meyakini adanya pelanggaran terhadap hak.  Pengawasan  (checks) sebagai bagian dari checks and balances adalah suatu langkah maju yang sempurna.  Mencapai keseimbangan lebih sulit untuk diwujudkan. Gagasan utama dalam checks and balances adalah upaya untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam cabang-cabang kekuasaan dengan tujuan mencegah dominannya suatu kelompok. Bila seluruh ketiga cabang kekuasaan tersebut memiliki checks terhadap satu sama lainnya, checks tersebut dipergunakan untuk menyeimbangkan kekuasaan. Suatu cabang kekuasaan yang mengambil terlalu banyak kekuasaan dibatasi lewat tindakan cabang kekuasaan yang lain. Checks and Balances diciptakan untuk membatasi kekuasaan pemerintah.
Hal tersebut dapat tercapai dengan men-split pemerintah dalam kelompok-kelompok persaingan yang dapat secara aktif membatasi kekuasaan kelompok lainnya. Hal ini akan berakhir bila ada suatu kelompok kekuasaan yang mencoba untuk menggunakan kekuasaannya secara ilegal.
Contoh sederhana dari konsep ini adalah hak veto yang dimiliki oleh Presiden Amerika Serikat. Presiden memiliki kekuasaan yang signifikan terhadap legislatif, yang memungkinkan presiden untuk menuntut bagian tertentu dalam meloloskan rancangan undang-undang atau bahkan mem-veto nya. Hasilnya adalah presiden dapat bekerja sama dengan legislatif untuk meningkatkan kekuasaan federal, dan sebagai peringatan terhadap legislatif untuk tidak melakukan tindakan preventif untuk memperluas kekuasaannya.  Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) yang menghendaki adanya pemisahan atas cabang-cabang kekuasaan. Kekuasaan yang dipecah dalam cabang-cabang kekuasaan ditujukan agar suatu cabang kekuasaan tidak menjadi dominan terhadap cabang kekuasaan yang lainnya. Kesetaraan hubungan antar cabang-cabang kekuasaan tersebut diatur melalui mekanisme checks and balances system.
Sistem checks and balances dibutuhkan untuk mewujudkan tatanan penyelenggaraan negara yang memberi kewenangan antarn cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) untuk saling mengontrol dan menyeimbangankan pelaksanaan kekuasaannya masing-masing. Dengan demikian dapat dihindarkan penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara. Anatomi pemisahan kekuasaan dan restrukturisasi lembaga negara pasca-amandemen UUD 1945, secara horizontal, terdiri atas: parlemen bikameral yang asimetrik (DPR dan DPD); eksekutif yang dipimpin oleh Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat; kekuasaan legislatif yang melibatkan tiga lembaga (Presiden, DPR dan DPD) namun didominasi oleh DPR dan Presiden; kekuasaan kehakiman (judicial powers) yang tidak lagi monolitik (karena ada Mahkamah Konstitusi); lembaga audit keuangan negara (BPK) didampingi bank sentral yang independen KPKPN, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; serta berbagai state auxiliaries (seperti Komisi Yudisial dan Komisi Pemilihan Umum). Tampak pula kedudukan dan peran DPR yang mengemuka. Dapat dikatakan, amandemen UUD 1945 telah menghasilkan konstitusi dan struktur kenegaraan yang bersifat DPR-legislative heavy dan bukan lagi MPR heavy. Masalah pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah antar satu instansi dengan instansi lainnya dipengaruhi oleh jenis dan sifat pekerjaan, dalam arti jarak antara unit kerja yang diawasi dengan jumlah tugas/aktivitas hendaknya.
 Sesungguhnya tujuan utama diadakannya pengawasan adalah mengusahakan agar apa yang direncanakan itu menjadi kenyataan. Pelimpahan tugas pengawasan harus dibarengi dengan tanggung jawab yang dipikulkan kepundak si penerima tugas tersebut, dalam arti tanggung jawab itu adalah keharusan dilaksanakan tugas sebaik-baiknya sebagai suatu kewajiban, sehingga hak untuk melakukan suatu tindakan jangan disalahgunakan.
Masalah pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah antar satu instansi dengan instansi lainnya dipengaruhi oleh jenis dan sifat pekerjaan, dalam arti jarak antara unit kerja yang diawasi dengan jumlah tugas/aktivitas hendaknya dapat terkendali. Dan juga faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi seperti faktor objektif, karena hal ini berada di luar pribadi pejabat yang harus melaksanakan pengawasan.
Di samping itu terdapat juga faktor subjektif yang bersumber dan berkenaan dengan diri pribadi pejabat yang harus melaksanakan pengawasan, antara lain berkenaan dengan pengalaman kerja, kecakapan, pengetahuan bidang kerja yang diawasi. Singkatnya agar pengawasan berjalan secara efektif, sebaiknya seorang pejabat atasan terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan personil bawahan dan hal ini dilakukannya supaya tidak terlalu banyak unit-unit pelaksananya.
Jadi mengawasi bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan, akan tetapi suatu pekerjaan yang memerlukan kecakapan, ketelitian, kepandaian, pengalaman bahkan harus disertai dengan wibawa yang tinggi, hal ini mengukur tingkat efektivitas kerja dari pada aparatur pemerintah dan tingkat efesiensinya dalam penggunaan metode serta alat-alat tertentu dalam mencapai tujuan.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa hasil dari suatu kegiatan pengawasan harus memungkinkan dilakukannya evaluasi terhadap aspek yang diawasi itu. Selanjutnya dalam melakukan evaluasi dari hasil suatu kegiatan oleh aparat pengawas dapat tepat untuk mengetahui tingkat efisiensi dan efektifitas perwujudan kerja dengan sasaran yang dicapai. Kemudian mengingat keterbatasan kamampuan seorang pimpinan untuk mengadakan pengawasan terhadap bawahannya, maka perlu diperhitungkan secara rasional dalam menentukan jumlah unit kerja atau orang yang akan diawasi oleh seorang pejabat pimpinan, hal ini dilakukan untuk menciptakan momentum guna meningkatkan usaha penertiban aparatur. Di samping itu perlu pula dikembangkan sistem pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan di berbagai bidang dan sektor yang ada di daerah yang lebih konsisten dengan sistem pengawasan yang dikembangkan.
Sebagai langkah awal dari pada pengawasan tersebut pelaksanaannya harus dilakukan dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab. Karena dengan pengawasan yang terarah berarti hal tersebut dapat digunakan sebagai bahan penilaian unit kerja aparatur pemerintah. Dengan demikian maka tujuan pengawasan dimaksud dapat meningkatkan pembinaan, penyempurnaan, penertiban aparatur pemerintah.
Dari sisi lain dapat dirasakan manfaat dari adanya pengawasan, yaitu sebagai berikut:[14]
1. Diperolehnya data yang dapat diolah dan selanjutnhya dijadikan dasar bagi usaha perbaikan kegiatan di masa yang akan datang dan meliputi berbagai aspek antara lain: perencanaan, organisasi, bimbingan, pengarahan dan lainlain termasuk kegiatan profesional.
2. Memperoleh cara bekerja yang paling efisien, tepat serta berhasil dengan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan.
3. Memperoleh data tentang adanya hambatan-hambatan dan kesukarankesukaran yang dihadapi dapat dikurangi ataupun dihindari.
4. Memperoleh data yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan cara kerja aparatur pemerintah dalam berbagai bidang.
5. Agar mudah diketahui sudah sejauhmana tujuan yang hendak dicapai sudah dapat direalisasikan
6. Untuk lebih meningkatkan pelayanan terhadap kepentingan masyarakat.
Prayudi Atmosudirjo bahwa pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa  yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikendaki, direncanakan atau diperintahkan, yang mana hasil pengawasan itu dapat menunjukkan sampai dimana terdapat kecocokan atau ketidakcocokan dan apakah ada sebab-sebabnya.[15] Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenar-benarnya tentang obyek yang diawasi apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.[16]
Lembaga negara sebagai organisai tujuan utamanya sebagaimana terdapat dalam pembukaan UUD 1945, sedangkan tujuan sekundernya sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang tentang pembentukannya mengenai tugas dan wenangnya. Oleh karena itu, suatu hal yang memprihatinkan jika lembaga negara lebih mengedepankan spirit kelembagaan dari pada spirit kebangsaan atau kenegaraan. Kondisi yang demikian justru dialami oleh sebagian besar pejabat pemerintahan kita baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, ini dapat kita lihat dari sikap mereka, walaupun jelas dan nyata keliru atau salah  tidak pernah  ada permintaan maaf atau merasa salah, bahkan mereka merasa tidak salah sama sekali.  Dalam bidang kekuasaan yudikatif, mantan hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak ingin diawasi oleh Komisi Yudisial tidak merasa salah dengan adanya kasus akil Mocktar, tapi mereka sangat marah dengan mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Membahas yudikatif tidak akan terlepas dari konsepsi Trias Politica dan checks and balances system. Adalah John Locke dalam bukunya Two Treaties on Civil Government menyarankan agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan dalam negara menjadi tiga cabang. Locke membedakan antara tiga macam kekuasaan, yaitu:[17]
1. kekuasaan perundang-undangan (legislative)
2. kekuasaan melaksanakan undang-undang yang meliputi Pemerintahan (executive) dan Pengadilan (yudikatif)
3. kekuasaan melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain (federative).
Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan lembaga-lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Selain itu dimungkinkan kekuasaan kehakiman dijalankan oleh badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakim.  Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Keberadaan Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakiman diatur dalam undang-undang.
Kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tersebut, dianulir oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 dengan keputuan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan fungsi pengawasan terhadap hakim. Adnya keputusan ini, mungkin saja bahwa para hakim Mahkamah Konstitusi tidak berniat tidak baik dan beranggapan bahwa tidak mungkin hakim Mahkamah Konstitusi dapat berbuat yang melanggar hukum atau melakukan perbuatan tercela, karena mereka adalah negarawan.
Dalam perjalanan waktu, seiring dengan adanya kewenangan baru untuk memutus perselisihan atau sengketa pemilihan kepala daerah, predikat negarawan para hakim konstitusi telah tercoreng dengan adnya kasus pidana korupsi ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mocktar pada Oktober tahun 2013 dalam operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sehubungan dengan itu, pemerintah bersma Dewan Perwakilan Rakyat berupaya untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan  Undang-Undang Nomor 4 tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang.
Mengenai keterlibatan Komisi Yudisail dalam pengawasan Hakim Konstitusi dimuat dalam Bab. IVA dang judul Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi serta Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, ketentuan
Pasal 27A
(1) Mahkamah  Konstitusi  bersama-sama  dengan Komisi  Yudisial  menyusun  dan  menetapkan  Kode Etik  dan  Pedoman  Perilaku  Hakim  Konstitusi  yang berisi  norma  yang  harus  dipatuhi  oleh  setiap hakim  konstitusi  dalam  menjalankan  tugasnya untuk  menjaga  kehormatan  dan  perilaku  hakim konstitusi.
 (2) Dalam menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim  Konstitusi  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dapat  mengikutsertakan  pihak  lain  yang berkompeten.
(3) Kode  etik  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) bersifat  mengikat  serta  wajib  dipatuhi  oleh  hakim konstitusi.
(4) Untuk  menegakkan  Kode  Etik  dan  Pedoman Perilaku  Hakim  Konstitusi  sebagaimana  dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan  Komisi  Yudisial  membentuk  Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap.
(5) Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (4)  berjumlah  5 (lima) orang yang terdiri atas unsur:
a.  1 (satu) orang mantan hakim konstitusi;
b.  1 (satu) orang praktisi hukum;
c.  2  (dua)  orang  akademisi  yang  salah  satu  atau keduanya  berlatar  belakang  di  bidang  hukum; dan
d.  1 (satu) orang tokoh masyarakat.
(6) Anggota  Majelis  Kehormatan  Hakim  Konstitusi sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (5)  harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.  memiliki  integritas  dan  kepribadian  yang  tidak tercela;
b.  adil;
c.  berusia  paling  rendah  50  (lima  puluh)  tahun; dan
d.  tidak  menjadi  anggota  partai  politik  dalam jangka  waktu  paling  singkat  5  (lima)  tahun sebelum  diangkat  menjadi  anggota  Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
(7) Masa  jabatan  Majelis  Kehormatan  Hakim Konstitusi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (5) selama  5  (lima)  tahun  dan  tidak  dapat  dipilih kembali.
(8)  Majelis  Kehormatan  Hakim  Konstitusi  mempunyai wewenang untuk:
a.  memanggil  hakim  konstitusi  yang  diduga melakukan  pelanggaran  kode  etik  untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
b.  memanggil  pelapor,  saksi,  dan/atau  pihak  lain yang  terkait  untuk  dimintai  keterangan, termasuk  untuk  dimintai  dokumen  atau  bukti lain; dan
c.  memberikan  sanksi  kepada  hakim  konstitusi yang terbukti melanggar kode etik.
(9) Majelis  Kehormatan  Hakim  Konstitusi  bersidang secara  terbuka  untuk  melakukan  pemeriksaan dugaan  adanya  pelanggaran  kode  etik  yang dilakukan oleh hakim konstitusi.
(10)  Ketentuan  bersidang  secara  terbuka  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (9)  tidak  berlaku  terhadap pemeriksaan  yang  terkait  dengan  perbuatan asusila  dan  pemeriksaan  yang  dapat  mengganggu proses penegakkan hukum yang sedang berjalan.
(11)  Putusan  Majelis  Kehormatan  Hakim  Konstitusi bersifat final dan mengikat.
(12)  Putusan  Majelis  Kehormatan  Hakim  Konstitusi berupa  sanksi  atau  rehabilitasi  diambil  dalam rapat pleno Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
(13)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  kode  etik  dan pedoman  perilaku  hakim  konstitusi,  tata  cara pemilihan  Majelis  Kehormatan  Hakim  Konstitusi, susunan  organisasi  dan  tata  kerja  Majelis Kehormatan  Hakim  Konstitusi  diatur  dengan Peraturan  Bersama  Mahkamah  Konstitusi  dan Komisi Yudisial.
(14)  Untuk  mendukung  pelaksanaan  tugas  Majelis Kehormatan Hakim  Konstitusi  dibentuk sekretariat yang  berkedudukan  di  Komisi  Yudisial  dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial.
Dari ketentuan tersebut, tidak ada satupun yang dapat melemahkan atau mengintervensi kewenangan hakim Mahkamah Konstitusi, akan tetapi sungguh suatu kecerobohan dan salah satu bentuk keangkuhan negarawan sebagai hakim, dengan membatalkan undang-undang tersebut. Dengan demikian, keputusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan Komisi Yudisial adalah yang kedua kalinya. Jelas sekali, bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut walaupun dengan itikat baik disertai dengan pengetahuan hukum tata negara yang baik pula, tetapi jauh dari sikap arif dan antisipasi ke masa depan dan fakta yang telah terjadi. Hal ini menurut penulis para hakim konstitusi tidak menunjukan sikap negarawan tatapi menujukan sikap hakim yang sedang berkuasa, karena para hakim ini berpikir bahwa semua hakim Mahkamah Konstitusi dan Calon Hakim Mahkamah Konstitusi yang sekarang dan yang akan datang orang-orang tidak mungkin melakukan kesalahan.
Seluruh hakim di Mahkamah Konstitusi dengan suara bulat meneken Putusan No 1-2/PUU-XII/2014 tentang pembatalan UU No 4 itu, banyak orang yang menepuk kening. Tak ada satupun hakim yang melakukan disenting opinion (pendapat berbeda). Mereka seolah-olah tidak berpikir jauh ke depan saat mereka tak lagi menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi. Drngan kata lain, mereka seolah tak peduli dengan masa depan Mahkamah Konstitusi. Mereka tak pernah berpikir dan membayangkan, apa jadinya jika politikus menguasai Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi yang sehari-hari banyak menangani kasus perselisihan politik antar-politisi, salah satunya, mestinya diisi oleh orang-orang yang bebas dari politik. [18]
Seorang negarawan, akan selalu merima setiap masukan yang dapat menjaga, meluruskan, mencegah setiap bentuk prilaku yang dapat merugikan negara baik materil maupun immateril suatu bangsa atau negara. Apalagi suatu  lembaga negara atau aparatur negara yang berkaitan langsung dengan penegakan wibawa negara sebagaimana kedudukan seorang hakim. Hakimlah yang dalam kenyataannya yang memegang kedaulatan hukum dan penjaga kewibawaan negara, oleh karena itu tidaklah tepat jika hakim menolak unuk diawasi yang justru untuk menjaga agar mereka selalu dalam kedudukan yang mulia sebagaimana selalu diucapkan dalam persidangan.
Seharusnya hakim sebagai negarawanlah yang meminta agar bagi mereka diadakan suatu lembaga yang mengawasi prilaku mereka selagi menjadi hakim, bukan malah membatalkan upaya yang dapat menjaga dan mencegah agar martabat dan kehormatan  hakim senantiasa terjamin yang dilakukan pemerintah bersama DPR dengan mengeluarkan UU no. 4 Tahun 2004 sebagaimana tersebut diatas. Putusan tersebut tampaknya lebih pada menjawab pertanyaan-pertanyaan, kritik, serta keinginan masyarakat daripada menguji ketentuan UU terhadap UUD 1945. Jelas tersirat, putusan bernada emosional yang berakibat putusan tidak mendasarkan pertimbangan yang proporsional dan menyeluruh. Salah satu pertimbangan hakim dalam memutuskan adalah kekuasaan hakim independen dan tidak dapat dicampuri oleh pihak lain. Pihak yang melakukan tekanan terhadap Mahkamah dengan membentuk opini publik telah melakukan tindakan contempt of court yang dapat dikenai sanksi pidana.[19] Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bukan saja emosional tetapi juga mengandung unsur keangkuhan dan kesombongan sekelompok orang, hal ini terjadi dikarenakan menganggap diri paling baik, paling pintar dan kuasa, padahal jelas mereka tahu ada batas waktu kekuasaan  yang di embannya sedangkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga diharapkan permannen sepanjang negara Indonesia ada.
 Asep Warlan Yusuf berpendapat jika keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan UU No. 4 tahun 2014 tentang Perubahan UU Mahkamah Konstitusi (sebelum jadi UU, ini merupakan perppu usulan pemerintah) adalah arogansi atau keangkuhan Mahkamah Konstitusi. Dia pun menyayangkan sikap Mahkamah Konstitusi yang melupakan fakta tertangkapnya mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang tertangkap tangan menerima suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mau diawasi sesuai aturan dalam UU Mahkamah Konstitusi yang baru tersebut. Mahkamah Konstitusi sangat arogan dan congkak. Fakta membuktikan bahwa hakim-hakim Mahkamah Konstitusi itu tidak bisa bebas dari korupsi sehingga tetap harus diawasi seperti yang tertuang dalam UU itu, nampaknya tidak dipertimbangkan dalam putusan tersebut. Kalau sudah salah masih melawan, ya tidak ada kata lain selain congkak.[20]
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan ini juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak mau berubah dan melawan keinginan rakyat Indonesia. Dia pun menyayangkan Mahkamah Konstitusi justru akan menjadi lembaga yang merusak demokrasi dan hukum yang seharusnya dijaga oleh Mahkamah Konstitusi. Para perancang UU itu kan hanya mau melakukan perubahan, tapi Mahkamah Konstitusi tidak mau berubah. Ini artinya di masa datang akan ada Akil Mochtar-Akil Mochtar lainnya yang bisa menyusul yang bisa membuat keputusan berdasarkan pesanan atau karena suap, karena toh meski menerima suap putusan itu tetap tidak bisa diubah. Putusan ini seperti juga keputusan-keputusan sebelumnya dimana Mahkamah Konstitusi selalu menolak untuk diatur menegaskan kemballi bahwa Mahkamah Konstitusi menolak untuk diatur. "Artinya siapapun tidak boleh menyinggung Mahkamah Konstitusi dan kalau menyinggung akan dihajar. Mahkamah Konstitusi sekarang sudah menjadi lembaga yang tidak tahu diri dan seperti sudah berubah menjadi sebuah lembaga tertinggi negara, yang tidak bisa diatur oleh apapun.[21]
Istilah negarawan (statesman) merupakan istilah yang cukup populer. Secara ensiklopedis seorang negarawan biasanya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir di kancah politik nasional dan internasional (a statesman is usually a politician or other notable figure of state who has had a long and respected career in politics at national and international level). Tokoh yang berjasa (worthy) pada bangsa/negara tentu merupakan tokoh yang mengabdikan pikiran dan tenaganya bagi kemajuan dan kemakmuran bangsanya. A leader is a dealer in hope. Seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan, demikian petuah Napoleon Bonaparte. Banyak pemimpin besar di dunia bukanlah sosok sempurna bak superman. Pemimpin besar pastilah seorang yang ditempa karakter yang kuat, punya visi, inspiratif, dan  ini yang paling penting  mampu memberi harapan di tengah persoalan yang mendera bangsanya.[22]
Dalam bahasa Inggris, negarawan disebut ”statesman.” Menurut kamus Merriam-Webster, negarawan adalah ”orang yang aktif mengelola pemerintahan dan membuat kebijakan-kebijakan” (one actively engaged in conducting the business of a government or in shaping its policies). Lebih spesifik lagi, Merriam-Webster mendefinisikan negarawan sebagai ”seorang pemimpin politik yang bijak, cakap, dan terhormat” (a wise, skillful, and respected political leader).[23]
Pengertian pertama mengacu kepada pemimpin di pemerintahan, sementara pengertian kedua mengacu kepada pemimpin politik (politisi) yang memiliki sifat-sifat terpuji seperti bijaksana, cakap, dan terhormat. Negarawan adalah orang yang tengah menjalani pemerintahan, baik itu presiden, menteri, maupun gubernur, atau pemimpin politik yang berada di luar pemerintahan.
Negarawan adalah orang yang rela berkorban secara tulus demi keutuhan dan kemajuan bangsanya, juga ikut serta secara aktif dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Dia bukanlah orang yang menghitung-hitung untung rugi ketika tenaga dan pemikirannya dibutuhkan oleh negara. Dia juga bukan orang yang memilih untuk tutup mata saat kemiskinan dan ketidakadilan terjadi di hadapannya. Pandangannya dapat dilihat dari visi yang jelas tentang arah ekonomi, politik, keamanan dan pendidikan yang akan dia kembangkan. Visi yang dimilikinya adalah visi yang melihat jauh ke depan. Dia bukanlah sosok yang mementingkan kepentingan sesaat demi citra pribadi serta golongannya saja. Karakter negarawan sejati bisa dibuktikan secara langsung ketika kursi kekuasaan telah dia dapatkan.[24] Negarawan sejati adalah negarawan yang rela mengabdi untuk negara dan senantiasa memikirkan keadaan generasi selanjutnya. James Freeman Clarke mengatakan bahwa perbedaan antara politisi dan negarawan adalah, politisi memikirkan tentang pemilu berikutnya sedangkan negarawan berpikir tentang generasi berikutnya. Dengan demikian, seorang pemimpin negarawan akan dapat dilihat dari pandangan-pandangannya yang mempunyai komitmen tinggi terhadap kepentingan bangsa jauh ke depan. Sedangkan pemimpin politisi, akan dapat dilihat dari pandangan-pandangannya yang selalu terkesan mengedepankan kepentingan sesaat, yang lebih condong kepada kepentingan politik atau kelompoknya.
Pengertian negarawan menurut Georges Pompidou[25] menyatakan bahwa negarawan adalah politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa. Kukuh Suharwiyono, seorang Perwira TNI AD, Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan Pertahanan & Keamanan TANDEF, mendefinisikan negarawan sebagai seseorang yang berjiwa dan berjuang demi kepentingan yang lebih besar sehingga dia selalu berpikir dan bertindak hanya untuk bangsa negaranya. Sedangkan menurut Andi Irawan dalam Koran Tempo 27 Nopember 2007, kata negarawan merujuk pada sosok manusia yang visioner, berorientasi jangka panjang, mengutamakan kesejahteraan bersama dibanding kesejahteraan pribadi dan golongan, mampu berlaku egaliter, adil dan mengayomi semua komponen bangsa serta mampu membuktikan komitmen tersebut dalam perilaku sosial ekonomi, budaya dan politiknya.[26]
Dalam Encyclopaedia Britannica disebutkan, negarawan (states-man) adalah orang yang berpengalaman menjalankan prinsip-prinsip pemerintahan. Negarawan juga diartikan sebagai seseorang yang a wise, skillful, and respected political leader (bijak, terampil, dan pemimpin politik yang dihormati).[27] Menurut Rufus Fears (Brett & Kate McCay, 2012), ada empat syarat untuk menjadi negarawan sejati. Syarat-syarat itu meliputi prinsip yang kuat, moral yang teruji, visi yang jelas, dan kemampuan membuat konsensus untuk mewujudkan visi itu. Syarat keempat, yaitu kemampuan menciptakan konsensus, membedakan seorang negarawan dari politikus. Bisa saja seorang politikus memiliki prinsip, moral, dan visi, namun dia tidak memiliki kemampuan meracik konsensus.[28]
Seorang negarawan bisa mengubah kebijakan dan cara untuk menjalankan kebijakannya, tapi dia tidak akan keluar dari prinsip-prinsip yang dipegangnya dalam jangka panjang. Moral politikus tergantung persepsi publik. Seorang politikus akan selalu berusaha menyenangkan dan memenuhi kebutuhan konstituennya. Dia bertindak atas apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Negarawan bertindak atas dasar keyakinannya tentang apa yang dianggapnya benar. Dia tidak diperintah oleh hasil jajak pendapat publik. Visi seorang negarawan sangat jelas tentang bagaimana dan ke mana negara dan rakyatnya harus melangkah. Dia tahu keinginan dan caranya untuk membawa negara dan bangsa ke arah yang dicita-citakan. Dalam membuat konsensus, negarawan akan menggiring dan mengondisikan rakyat untuk mengikuti gagasannya. Berbeda dari politikus yang mengandalkan iklan dan propaganda, yang oleh Fears disebut sebagai ”alat-alat tiran”, negarawan akan mengandalkan kekuatan argumentasi dan kata-katanya. Untuk itu, negarawan biasanya seorang penulis gagasan yang andal dan orator yang ulung.[29]
Negarawan selalu menerapkan model kepemimpinan transformatif yang punya visi masa depan dan menolak transaksi politik jangka pendek. Pemimpin yang menerapkan model ini akan menularkan efek transformasi pada level individu dan organisasi. Kepemimpinan transformatif dicirikan oleh “The four ‘I’s” (empat huruf ‘I’).[30]
Pertama, pemimpin transformatif memiliki idealized influence, rakyat dibuat berdecak kagum, hormat dan percaya. Tidak ada elemen masyarakat, apalagi tokoh-tokoh agama dan cendekiawan, yang menuduh pemimpinnya sedang melakukan politik kebohongan. Otentisitas menjadi mantra dan rakyatnya percaya bahwa para pemimpinnya sedang tidak bersandiwara.
Kedua, kepemimpinan transformatif mampu menggelorakan inspirational motivation, menyuntikkan motivasi dan asa pada rakyatnya serta mampu merealisasikan harapan menjadi kenyataan. Pemimpin tidak hanya mengaum di atas podium dan tidak hanya pintar berwacana, tapi juga cakap dalam bekerja. Pemimpin yang tidak hanya pintar bersolek di depan kamera atau berdandan di baliho-baliho atau spanduk pada masa pemilu.
Ketiga, pemimpin transformatif menawarkan intellectual stimulation. Gaya kepemimpinan transformatif kaya ide-ide baru dan terobosan. Pemimpin tidak sekadar hadir pada setiap perayaan upacara, tapi hadir dalam setiap percakapan dan persoalan yang dihadapi rakyatnya. Dia tak terjebak pada urusan business as usual dan mampu berpikir out of the box untuk mengatasi kebuntuan. Pemimpin seharusnya tidak larut dalam kompromi politik. Pemimpin adalah leader, bukan dealer.
Dimensi terakhir, keempat, adalah individualized consideration. Maksudnya, pemimpin transformatif mau mendengar keluhan bawahan, bersikap layaknya manusia dan apa adanya. Dalam arti yang luas, pemimpin tidak membangun benteng pemisah dengan rakyatnya.
Liddle menjelaskan, tipe transformasional adalah pemimpin yang mampu membentuk ulang situasi politik Indonesia dari satu keadaan kepada keadaan lain. Sementara tipe transaksional adalah model kepemimpinan yang mempergunakan kekuasaannya untuk menukarnya (barter) dengan posisi-posisi yang dapat menguntungkan dirinya dan kelompoknya.[31] Demikian juga hal sama menurut Jusuf Kala seorang negarawan melakukan tindakan yang berdemensi visioner 25 tahun yang akan datang.[32] 
Jika kita kembali pada putusan mahkamah konstitusi, yang menyatakan bahwa kKmisi yYdisial tidak berwenang melakukan pengawasan terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan  telah dua kali terperosok kedalam lubang yang sama, yang pertama putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006 pada masa kepemimpinan Jimly Ashidiqqi dan yang kedua pada masa kepemimpinan Handan Zoelva. Apakah putusan hakim mahkamah konstitusi tidak ingin diawasi oleh komisi yudisial berdemensi demikian. Mahkamah Konstitusi menilai pelibatan Komisi Yudisial seperti yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2014 merupakan bentuk penyelundupan hukum karena bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tertanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa Hakim Konstitusi tak terkait dengan Komisi Yudisial.[33]
Salah satu alasan pemohon yang berbunyi : secara  hukum berarti memberikan kewenangan kepada Panel Ahli yang berpendidikan magister untuk menguji calon Hakim Mahkamah Konstitusi yang bergelar doktor. Ketentuan ini jelas menginjak-nginjak dan tidak menghargai secara  hukum  sistem  penjenjangan  pendidikan  nasional. [34] pernyataan ini merupakan bentuk nyata kesombongan orang-orang berilmu yang merasa dirinya lebih tinggi ilmunya dari orang lain, karena dirinya seorang Doktor.
Menurut Dr. Jayus S.H., M.Hum kode  Etik merupakan  hak  penuh  yang  menjadi  urusan  secara  internal  bagi  setiap organisasi,  termasuk  Mahkamah  Konstitusi,  dan  karenanya  keterlibatan Komisi  Yudisial  dalam  hal  tersebut  sesungguhnya  merupakan  bentuk intervensi  terhadap  organisasi  atau  lembaga  lain,  yang  justru  dapat dimaknai  bahwa  Komisi  Yudisial  tidak  menggambarkan  adanya  sinergi dalam  membangun  hubungan  sesama  organisasi  atau  lembaga penyelenggara pemerintahan negara.[35] Pendapat ini jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, yang telah menetapkan komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas prilaku hakim termasuk hakim  pada Mahkamah Konstitusi. Pasal 24B ayat  (1)  dan ayat (2)  UUD  1945, Komisi Yudisial  adalah  lembaga bersifat  mandiri  yang  berwenang mengusulkan  pengangkatan  hakim  agung  dan  mempunyai  wewenang lain  dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Sesungguhnya ada beberapa faktor penyebab yang menjadikan seseorang itu memiliki sifat-sifat sombong ( arogan), di antaranya ialah:[36]
1. Memiliki kuasa, sama ada dia memiliki kuasa besar atau kecil. Kuasa besar itu seperti jadi raja, presiden, perdana menteri, gabenor , hakim dan lain-lain lagi. Kuasa yang ada itu mendorongnya menjadi sombong.
2. Mempunyai ilmu pengetahuan sama ada pengetahuan tentang dunia atau pengetahuan tentang Akhirat. Sama ada pengetahuan di banyak bidang atau di satu bidang. Ini jadi pendorong seseorang itu menjadi sombong kerana dia rasa lebih pandai daripada orang lain.
3. Mempunyai harta kekayaan. Harta juga mendorong seseorang itu menjadi sombong.
4. Mempunyai kegagahan yaitu orang yang mempunyai kekuatan fisik atau mempunyai kepandaian dalam mempertahankan diri seperti tinju, gusti, tae kwan do, silat dan lain-lain lagi. Ini juga mendorongnya menjadi sombong.
5. Keturunan. Ada orang jadi sombong kerana berketurunan bangsawan, berketurunan ulama dan lain-lain lagi, lantas merasa diri mulia serta memandang orang lain hina berbanding dengan dirinya.
6. Sebab-sebab yang lain seperti berwajah tampan dan cantik, disayangi oleh orang besar, disayangi suami, disayangi oleh ibu ayah dan lain-lain lagi. Ini juga pendorong menjadi sombong.
7. Bukan sebab-sebab yang di atas tadi, tapi mungkin dia orang miskin atau orang jahil atau orang hodoh atau orang cacat atau orang lemah sedangkan dia tetap sombong. Ini dikatakan bodoh sombong.
Penyebab kesombongan karena  berkuasa, karena berilmu merupakan faktor yang paling dominan yang dimiliki orang yang sedang berkuasa dan berilmu apalagi jabatan tersebut disebut sebagai negarawan tentu akan lebih mendorongnya lagi untuk bersikap demikian.Oleh karena itu jelas bahwa putusan Mahkamah Konstitusi membatkan UU no. 4 Tahun 2014 tidak menunjukan putusan hakim negarawan.
Dalam sejarah ada suatu contoh orang yang sangat berkuasa dalam tiga fungsi kekuasaan negara eksekutif, yudikatif dan legislatif, yaitu khalifah Umar bin Khatab sebagai negarawan, hal ini dapat disimak dari isi pidatonya pengangkatannya, yaitu : "Segala puji bagi Allah penguasa seluruh alam. Salam dan kesejahteraan semoga allah limpahkan atas panutan agung, Muhammad saw. pada kesempatan ini, aku ingin menyampaikan amanat kepada kamu sekalian, wahai kaum muslimin. kalian semua ibarat unta yang bertali. Untuk itu kalian pasti akan menurut saja kemana orang yang memegang tali itu. Aku akan membela kalian semua ke jalan yang benar yang diridhai Allah Swt. Oleh karena itu apabila kalian lihat bahwa aku melakukan kesalahan atau menyimpang dari perintah Allah dan rasul-Nya, maka luruskanlah". Selesai berbicara, tiba-tiba berdirilah seorang laki" dan berkata: Wahai Umar, kami akan mengajak engkau untuk kembali ke jalan Allah dan Rasul-NYA, kami akan meluruskanmu kembali dengan pedang ini jika perlu … “ atau "Wahai Umar,   aku bersumpah akan meluruskanmu dengan pedangku ini jika engkau menyimpang". Umar berkata, "Terima kasih, aku sangat senang kepadamu. Rupanya di antara rakyatku masih ada orang yang mempunyai keberanian. AKu patut memberi penghargaan kepadamu." [37]
Dari pidato tersebut, dapat kita petik bebarapa hikmah : Pertama, kesadaran penguasa akan kelemahannya sebagai manusia yang perlu diingatkan dan diawasi oleh pihak lain; Kedua, Umar bin Khatab sebagai penguasa menunjukan sikapnya sebagai negarawan, hal ini tersirat dari ucapan beliau "Terima kasih, aku sangat senang kepadamu”. berbeda dengan ucapan hakim negarawan  Mahkamah Konstitusi yang berkata” Hakim Konstitusi tak terkait dengan Komisi Yudisial”.
Organisasi yang sudah atau pernah didirikan, akan dianggap kurang mampu berfungsi efektif jika tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Seandainya institusi politik, hukum maupun sosial yang diciptakan negara, tidak mampu menangani dan mengurangi masalah yang mungkin muncul dalam perubahan dan perkembangan, maka pemerintah dapat meningkatkan atau memperluas campur tangannya secara langsung dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ini berarti, revitalisasi peran dan fungsi lembaga negara yang bersangkutan harus menjadi sebuah kebijakan transformatif guna mengembalikan efektivitas dan ketajaman tugas pokok instansinya. Pengawasan terhadap aparatur Negara saat ini harus diberlakukan berlapis. Selain pengawasan dan control dari masyarakat juga ada pengawasan dari internal dan eksternal serta  masyarakat aktif dalam mengontrol dan mengawasi kinerja aparatur Negara. Berdasarkan hal tersebut tidak terkecuali Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara, yang merupakan suatu organisasi untuk melaksanakan penegakan hukum dan keadilan sebagai  pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 diperlukan pengawasan, terutama para hakimnya.


III. PENUTUP     

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan itu merupakan upaya yang dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin akan terjadi dalam pemerintahan, dan pengawasan diadakan untuk mengatasi berbagai kendala dan mengurangi penyelewengan yang terjadi dalam aparatur pemerintahan. Pengawasan terhadap aparatur Negara saat ini harus diberlakukan berlapis. Selain pengawasan dan control dari masyarakat juga ada pengawasan dari internal dan eksternal serta  masyarakat aktif dalam mengontrol dan mengawasi kinerja aparatur Negara. Berdasarkan hal tersebut tidak terkecuali Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara, yang merupakan suatu organisasi untuk melaksanakan penegakan hukum dan keadilan sebagai  pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 diperlukan pengawasan, terutama para hakimnya.
Pengawasan intern yaitu  Dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.Pengawasan ini dilakukan oleh atasan langsung kepada bawahannya, atau pengawasan melekat. Dalam pengawasan intern akan digunakan teori yang berhubungan dengan pengawasan intern tersebut yaitu dilakukan dengan cara melihat periilaku organisasi tersebut dan agar atasan dan bawahan dapat bekerja sama dalam mencapai tujuan yang telah disepakati bersama, dan cara atasan memberikan motivasi kepada bawahannya agar tujuan tersebut terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Muchsan SH, system pengawasan terhadap perbuatan aparat pemerintah dan peradilan tata usaha negara di Indonesia,Liberti 2007 .
Prayudi Atmosudirjo, 1995, Hukum Administrasi Negara, Galia Indonesia, Jakarta.
Ir. Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika (cetakan keempat) 1996.
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-Aspek Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Pers, Yogyakarta.
Muslih Aris Handayani, Sumadi, Mukti Ali, Teori Budaya Organisasi, internet diakses tanggal 10 April 2014.
Lembaga Administrasi Negara.Republik Indonesia. Oganisasi Publik dan Tujuan Pendiriannya, Modul Pilot Project      Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Golongan III, , 2009.
http://www.riaupos.co/2698-opini-Mahkamah Konstitusi-dan-ironi-penolakan-uu-nomor-42014.html, diakses tanggal 10 April 2014.
http://setkab.go.id/artikel-12178-.html, diakses tanggal 9 April 2014.
http://politik.kompasiana.com/2013/09/26/mencari-pemimpin-negarawan-593274.html, diakses tanggal 16 April 2014.
http://dedhisuharto.wordpress.com/2009/05/08/negarawan-apaan-tuh/ diakses tanggal 15 April 2014.
http://budisansblog.blogspot.com/2014/03/tentang-negarawan-sejati.html diakses tanggal 15 April 2014.
http://politik.kompasiana.com/2013/09/26/mencari-pemimpin-negarawan-593274.html, diakses tanggal 16 April 2014.
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=56173, diakses tanggal 15 April 2014.
http://www.tempo.co/read/news/2014/02/13/063553988/Alasan-MAHKAMAH KONSTITUSI-Tolak-Diawasi-Majelis-Kehormatan-Hakim.
Dalam Putusan MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 1-2/PUU-XII/2014.
http://hendraxsap.wordpress.com/2012/08/13/umar-bin-khattab-teladan-untukmu-para-pemimpin-dunia/Dan http://ciung-a.abatasa.co.id/post/detail/4687/umar-bin-khatab-khalifah-yang-arif-dan-bijaksana.html, diakses tanggal 20 April 2014.
Anonim. Internet diakses tanggal 10 April 2014.
http://www.tempo.co/read/news/2014/02/13/063553988/Alasan-MAHKAMAH KONSTITUSI-Tolak-Diawasi-Majelis-Kehormatan-Hakim.
Anonim. Ilmu Adminiostrasi, hal.21. Internet diakses tanggal 10 April 2014




[1] DosenTtetap Fakultas Hukum Universitas Palembang. NIDN :0218096101, Email: bsuryaigama@yahoo.com

[2] Muslih Aris Handayani, sumadi, Mukti Ali, Teori Budaya Organisasi, internet diakses tanggal 10 April 2014
[3] Ibid.
[4] Lembaga Administrasi Negara.Republik Indonesia. Oganisasi Publik dan Tujuan Pendiriannya, Modul Pilot Project      Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Golongan III, , 2009, Hal.2
[5] Lembaga Administrasi Negara.Republik Indonesia, Op. Cit. Hal.7.
[6] Ibid
[7] Muchsan SH, system pengawasan terhadap perbuatan aparat pemerintah dan peradilan tata usaha negara di Indonesia,Liberti 2007 Hal. 36-50.
[8] Anonim. Internet diakses tanggal 10 April 2014
[9] http://www.tempo.co/read/news/2014/02/13/063553988/Alasan-MAHKAMAH KONSTITUSI-Tolak-Diawasi-Majelis-Kehormatan-Hakim
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] http://www.merdeka.com/peristiwa/Mahkamah Konstitusi-komisi-yudisial-bukan-lembaga-pengawas-hakim-konstitusi.html

[13] Anonim. Ilmu Adminiostrasi, hal.21. Internet diakses tanggal 10 April 2014
[14] Ibid
[15] Prayudi Atmosudirjo, 1995, Hukum Administrasi Negara, Galia Indonesia, Jakarta, hlm. 84.
[16] Ir. Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika (cetakan keempat) 1996. Hlm. 63
[17] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-Aspek Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Pers, Yogyakarta, hlm. 18.
[19] http://setkab.go.id/artikel-12178-.html, diakses tanggal 9 April 2014
[20] http://wartaharian.co/component/k2/2225-pakar-hukum-sebut-Mahkamah Konstitusi-congkak.html
[21] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] http://dedhisuharto.wordpress.com/2009/05/08/negarawan-apaan-tuh/ diakses tanggal 15 April 2014
[26] Ibid.
[27] http://budisansblog.blogspot.com/2014/03/tentang-negarawan-sejati.html diakses tanggal 15 April 2014
[28] Ibid
[29] Ibid.
[30]   http://politik.kompasiana.com/2013/09/26/mencari-pemimpin-negarawan-593274.html, diakses tanggal 16 April 2014
[31] Ibid
[33]http://www.tempo.co/read/news/2014/02/13/063553988/Alasan-MAHKAMAH KONSTITUSI-Tolak-Diawasi-Majelis-Kehormatan-Hakim
[34] Dalam Putusan MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 1-2/PUU-XII/2014
[35] Ibid.
[36] http://fenditazkirah.blogspot.com/2013/10/sombong-bukan-akhlak-muslim.html
[37] http://hendraxsap.wordpress.com/2012/08/13/umar-bin-khattab-teladan-untukmu-para-pemimpin-dunia/

0 komentar:

Posting Komentar