Penulis Barhamudin, SH., M.Hum
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan tentang fungsi pengawasan eksternal prilaku hakim menurut UUD 1945.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa bahan hukum primer adalah
peraturan perundang-undangan sedangkan bahan hukum sekundernya adalah :
buku-buku dan tulisan para ahli hukum yang membahas masalah ini. Adapun yang
menjadi baham tersier adalah semua bahan yang menunjang bahan primer dan
sekunder seperti kamus hukum, eksiklopedia dan lain sebagainya. Pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan undang-undang atau yuridis Normatif.Secara normatif
yaitu melakukan analisa terhadap suatu fenomena yang berdasarkan aturan hukum
dan pendekatan historis yaitu dengan menkaji tindakan dan ungkapan para
negarawan dalam melaksanakan tugas pemerintahan yang berkaitan dengan
pengawasan. Analisis data yang dilakukan adalah metode deduktif yaitu metode yang menggunakan dalil-dalil yang
bersifat umum kemudian di sesuaikan faktor-faktor dari yang bersifat umum.
Metode induktif digunakan untuk mengkaji asas-asas atau nilai-nilai yang
terkandung dalam pengawasan. Hasil penelitian diperoleh bahwa, pengawasan itu merupakan
upaya yang dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin akan terjadi
dalam pemerintahan, dan pengawasan diadakan untuk mengatasi berbagai kendala
dan mengurangi penyelewengan yang terjadi dalam aparatur pemerintahan.
Pengawasan terhadap aparatur Negara saat ini harus diberlakukan berlapis.
Selain pengawasan dan control dari masyarakat juga ada pengawasan dari internal
dan eksternal serta masyarakat aktif dalam
mengontrol dan mengawasi kinerja aparatur Negara. Berdasarkan hal tersebut
tidak terkecuali Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara, yang merupakan
suatu organisasi untuk melaksanakan penegakan hukum dan keadilan sebagai pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman
sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 diperlukan pengawasan, terutama para
hakimnya. Pengawasan intern yaitu Dilakukan oleh orang atau badan yang
ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.Pengawasan ini
dilakukan oleh atasan langsung kepada bawahannya, atau pengawasan melekat.
Dalam pengawasan intern akan digunakan teori yang berhubungan dengan pengawasan
intern tersebut yaitu dilakukan dengan cara melihat periilaku organisasi
tersebut dan agar atasan dan bawahan dapat bekerja sama dalam mencapai tujuan
yang telah disepakati bersama, dan cara atasan memberikan motivasi kepada
bawahannya agar tujuan tersebut terwujud.
Kata kunci : Pengawasan, Kekuasaan, lembaga
Negara,
A. Pendahuluan
Negara hukum modern yang berorientasi pada
kesejahteraan rakyat, pemerintah berkewajiban dan bertugas untuk meningkatakan
taraf hidup rakyatnya, yang telah diamanatkan dalam konstitusi sebagai salah
satu tujuan Negara yaitu memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu
pemerintah diberikan kewenangan untuk bertindak baik sesuai dengan peraturan
perundang-undang maupun kewenangan bebas (freis ermessen) dan harus
dituangkan dalam bentuk tertulis. Kewnangan yang dituangkan dalam bentuk
terulis tersebut agar terlaksana dengan baik dan tepat sasarannya, maka pengawasan penting dilakukan utnuk
mewujudkan fungsi dari Negara hukum modern yang menjunjung tinggi kesejahteraan
rakyat. Hampir pada setiap
aspek kehidupan manusia ini tidak bisa melepaskan keterlibatannya dengan
organisasi. Sejak manusia lahir sampai nanti meningglakan dunia ini, organisasi
selalu ikut campur tangan. Dari gejala ini terlihat betapa luas intervensi
organisasi pada kehidupan manusia ini. Akibatnya dari intervensi ini maka suatu
gejala lain yang tampak ialah hubungan manusia dengan manusia ditandai dengan
sifat-sifat organisasi yang formal dan struktural.
Realitasnya pelaksana fungsi negara tidak lain
adalah lembaga Negara atau pemerintah dan konkritnya dilaksanakan oleh manusia
secara indivdu. Oleh karena itu Negara sebagai sebuah organisasi yang sangat
komplek, sistem pengawasan merupakan
suatu kewajiban dan memegang peranan penting untuk memastikan bahwa segala
sesuatunya berjalan sesuai dengan tujuan
organisasi, terlepas apakah lembaga Negara atau pemerintah dalam melaksanakan
fungsi kekuasaan eksekutif, legislative maupun yudikatif. Dalam
hubungannya dengan pengawasan ini, sebagaimana dikemukakan oleh Lord
Acton, bahwa absolutely power tends
to corrupt but absolute power corrupts
absolutely (setiap kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk disalahgunakan,
kekuasaan yang absolute pasti disalahgunakan).
J.R. Schermerhorn[2] Organization is a collection of
people working together in a division of labor to achieve a common purpose. Organisasi adalah kumpulan orang yang
bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Philiph Selznick[3] Organisasi adalah pengaturan personil
guna memudahkan pencapaian beberapa tujuan yang telah ditetapkan melalui
alokasi fungsi dan tanggung jawab.
Organisasi publik terfokus pada pelayanan publik,
oleh karena itu diperlukan pemahaman terhadap payung hukum dengan cakupan
mengenai:[4] (1) aturan kekuasan dan wewenang
organisasi pelayanan publik, (2) norma dan etika aparat pemegang kekuasan dan
wewenang organisasi pelayanan publik, dan (3) hak-hak publik dalam hubungannya
dengan kekuasan dan wewenang organisasi dan aparatur pelayanan publik.
Definisi diatas menunjukan bahwa organisasi dapat
diinjau dari dua segi pandangan, yaitu sebagai berikut : Pertama organisasi
sebagai wadah dimana kegiatan-kegiatan administrasi dijalankan, kedua
organisasi sebagai rangkaian hirarki antara orang-orang dalam suatu ikatan
formal. Sebagai wadah organisasi relatif bersifat statis, sedangkan sebagai
suatu rangkaian hirarki organisasi merupakan suatu proses dan dengan demikian
ia bersifat lebih dinamis.
Pengorganisasian adalah merupakan fungsi kedua
dalam manajemen dan pengorganisasian didefinisikan sebagai proses kegiatan
penyusunan struktur organisasi sesuai dengan tujuan-tujuan, sumber-sumber, dan
linkungannya. Dengan demikian hasil pengorganisasian adalah stuktur organisasi.[5]
Struktur organisasi adalah susunan
komponen-komponen (unit-unit kerja) dalam organisasi. Struktur organisasi
menunjukkan adanya pembagian kerja dan menunjukkan bagaimana fungsi fungsi atau
kegiatan-kegiatan yang berbeda-beda tersebut diintegrasikan (koordinasi).
Selain dari pada itu struktur organisasi juga menunjukkan
spesialisasi-spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan.[6]
Pemerintah sebagai wujud dari Negara merupakan
organisasi Publik yang mempunyai tugas melaksanakan amanah yang diberikan
rakyat, subjek pemerintah tidak lain adalah aparatur pemerintah untuk
melaksanakan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Sebagai aparatur tentu saja tidak
terlepas dari berbagai kelemahan yang dimilikinya sebagai personal yang
menjalankan. Oleh karena itu perlu adanya suatu lembaga yang dapat mengawasi
segala bentuk aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut Muchsan, dalam
pengawasan tersebut meliputi dari perencanaan, pelaksanaakn serta hasil dari
suatu program pemerintah.[7] Dimana yang menjadi objek dari pengawasan
disini meliputi aparatur pemerintah, produk hukum yang dihasilkan, serta sarana
yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Menurut Stephen P. Robbins, Struktur organisasi
menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, dan
mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti. Sebuah struktur organisasi mempunyai tiga
komponen yaitu antara lain :[8]
a. Kompleksitas,
mempertimbangkan tingkat diferensiasi yang ada dalm organisasi termasuk di
dalamnya tingkat spesialisasi, atau tingkat pembagian kerja, jumlah tingkatan
di dalam hierarki organisasi serta tingkat sejauh mana unit-unit organisasi
tersebar secara geografis.
b. Formalisasi, merupakan tingkat sejauh mana
sebuah organisasi menyandarkan dirinya kepada peraturan dan prosedur untuk
mengatur perilaku dari para pegawainya. Beberapa organisasi beroperasi dengan
pedoman yang telah distandarkan secara minimum, yang lainnya, diantaranya
organisasi yang berukuran kecil pun, mempunyai semacam peraturan yang
memerintahkan kepada pegawainya mengenai apa yang dapat dan tidak dapat mereka
lakukan
c. Sentralisasi,
mempertimbangkan di mana letak dari pusatnya pengambilan keputusan. Di
beberapa organisasi, pengambilan keputusan
sangat disentralisasi. Masalah-masalah dialirkan ke atas, dan para eksekutif
senior memilih tindakan yang tepat. Pada kasus lain pengambilan keputusan
didesentralisasi. Kekuasaan disebar ke bawah dalam hierarki. Perlu diketahui
bahwa sebagaimana halnya dengan kompleksitas dan formalisasi, sebuah organisasi
bukan disentralisasi ataupun didesentralisasi. Sentralisasi dan desentralisasi merupakan
dua ujung dari sebuah rangkaian
kesatuan (continuum). Organisasi cenderung untuk disentralisasi atau
cenderung didesentralisasi. Namun
menetapkan letak organisasi
di dalam rangkaian tersebut, merupakan salah satu
faktor utama di dalam menentukan apa jenis struktur yang akan ada.
Pemerintah sebagai struktur organisasi yang
kompleks fungsi pengawasan memegang
peranan penting untuk mencegah menindak penyimpangan dan penyelewengan yang akan dan
telah terjadi. Pengawasan diadakan untuk proses memastikan bahwa segala aktifitas yang
terlaksana sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Pengawasan pada dasarnya
diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau
penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat
membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan
yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Melalui pengawasan tercipta
suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai
sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat
mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana
penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut. Oleh karena itu
tidak berdasar jika ada seorang ahli menyatakan bahwa proses check and balances
hanya diperuntukan bagi lembaga negara selain
lembaga yudikatif.
Menurut
Hakim Konstitusi, Harjono, lembaganya menganggap checks and balances
adalah sebuah mekanisme yang diterapkan untuk mengatur hubungan antara
kekuasaan legislatif dan eksekutif. "Checks and balances tidak
ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman dan
cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan.[9]
Mahkamah Konstitusi menilai pelibatan Komisi Yudisial seperti yang diatur dalam
UU Nomor 4 Tahun 2014 merupakan bentuk penyelundupan hukum karena bertentangan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tertanggal 23 Agustus
2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa Hakim Konstitusi tak terkait
dengan Komisi Yudisial.[10]
Ihwal keterlibatan Komisi Yudisial, menurut Mahkamah Konstitusi, lembaga
tersebut bukan lembaga pengawas Mahkamah Konstitusi dan bukan lembaga yang
berwenang menilai benar-salah putusan Mahkamah Konstitusi. Harjono mengatakan,
dalam praktik negara hukum, tak pernah terjadi bahwa putusan pengadilan bisa
dinilai benar-tidaknya oleh lembaga negara lain, termasuk oleh sebuah komisi.[11]
Dalam praktik kenegaraan di Indonesia diakui tiga pembagian kekuasaan atau yang
biasa dikenal dengan trias politica, yakni eksekutif, legislatif, dan
judikatif. Cabang kekuasaan eksekutif ada pada Presiden dan Wakil Presiden.
Cabang kekuasaan legislatif, terdapat dua lembaga yakni Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedangkan untuk cabang
kekuasaan judikatif atau kekuasaan kehakiman, ada pada Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak hanya itu di samping keduanya, ada pula
Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku
hakim.
Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menentukan, Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagai negara hukum yang menjamin
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Keberadaan Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam
usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim
agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.
Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam amar putusannya, panel
hakim menyebut Komisi Yudisial bukan lembaga pengawas hakim konstitusi. Saat
membacakan putusannya, dalam praktik negara hukum, belum pernah terjadi putusan
pengadilan dapat dinilai kebenaran atau kesalahannya melalui lembaga negara
lainnya. Sebab, hal itu dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik atas
peradilan konstitusi. [12]
Berdasarkan pada uraian diatas, sebagai
permasalahan dalam tulisan ini adalah apakah setiap lembaga negara atau
pemerintah memerlukan pengawasan dari lembaga pengawas.?
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang
fungsi pengawasan eksternal prilaku hakim menurut UUD 1945. Berkaitan dengan
permasalahan tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah:
1.Untuk Mengidentifikasi dan
menjelaskan pentingnya pengawasan terhadap prilaku hakim.
2.Untuk menjelaskan dan
menganalisis sistem pengawasan terhadap hakim yang dapat meminimalisir pemahaman yang
berbeda dalam pengawasan terhadap lembaga negara..
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Memperkaya kajian
teoritik dalam pengembangan ilmu Hukum, terutama yang berkaitan dengan studi
tentang pengawasan eksternal, khususnya dalam aspek kelembagaan negara. Selain
itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi para peneliti
lain yang berminat untuk melakukan pengembangan kajian.
2.Memberikan kontribusi
kepada Pemerintah untuk menemu-kenali berbagai permasalahan yang terjadi dalam
pengawasan hakim, serta berbagai solusi yang ditawarkan untuk mengatasi
permasalahan tersebut, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan dan perumusan berbagai kebijakan yang terkait.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji
sumber kepustakaan berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan dengan pembahasan ini.
2. Pengumpulan Data.
Penelitian ini adalah penelitian pustaka, maka
metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku yang ada dan
kemudian dikaji dan ditelaah dari berbagi literatur yang ada yang berkaitan
dengan masalah yang di bahas. Bahan hukum primer penelitian adalah peraturan
perundang-undangan sedangkan bahan hukum sekundernya adalah : buku-buku dan
tulisan para ahli hukum yang membahas masalah ini. Adapun yang menjadi baham
tersier adalah semua bahan yang menunjang bahan primer dan sekunder seperti
kamus hukum, eksiklopedia dan lain sebagainya.
3. Pendekatan Penelitian.
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan undang-undang
atau yuridis Normatif.Secara normatif yaitu melakukan analisa terhadap suatu
fenomena yang berdasarkan aturan hukum dan pendekatan historis yaitu dengan
menkaji tindakan dan ungkapan para negarawan dalam melaksanakan tugas
pemerintahan yang berkaitan dengan pengawasan.
5. Analisis Data.
Analisis data yang dilakukan adalah dengan metode
deduktif adalah metode yang menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum kemudian
di sesuaikan faktor-faktor dari yang bersifat umum. Metode induktif digunakan
untuk mengkaji asas-asas atau nilai-nilai yang terkandung dalam pengawasan.
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian Pengawasan
Sebagai negara yang dalam konstitusinya menamakan
dirinya negara hukum, maka sesungguhnya fungsi
lembaga peradilan amatlah penting. Suatu negara dapat dikatakan sebagai
negara hukum dapat diukur dari pandangan bagaimana hukum itu di perlakukan di
Indonesia, apakah ada sistem peradilan yang baik dan tidak memihak serta bagai
mana bentuk-bentuk pengadilannya dalam menjalankan fungsi
peradilan. Banyaknya kritik yang diarahkan pada sistem hukum Indonesia
terutama pada kualitas hukum menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan
reformasi dibidang hukum. Pemerintah
perlu mengirimkan sinyal yang jelas bahwa terdapat komitmen bagi terciptanya
institusi penegakkan hukum yang dapat dipercaya masyarakat Indonesia, dan juga
oleh siapa saja yang berniat untuk melakukan bisnis dengan atau di Indonesia.
Tantangan utama dalam mendapatkan kepercayaan meliputi penanganan korupsi dan
penyalahgunaan wewenang dalam institusi.
Penanganan tersebut meliputi pembaharuan lembaga instusi hukum yang
harus dimulai dari Mahkamah Agung (MA), lembaga peradilan tertinggi sebagai
benteng terakhir dalam pencarian keadilan masyarakat.
Pada kenyataannya, bila dilihat saat ini, setelah
5 tahun reformasi administrasi yang dilakukan MA belum terlalu terlihat
perubahan yang signifikan. Reformasi yang dilakukan ternyata belum mampu menghapus praktik mafia peradilan yang ada. Hal ini terbukti dengan peningkatan
jumlah laporan dugaan praktik mafia peradilan yang dilakukan hakim dan pegawai
pengadilan.
Sebagaimana diketahui bahwa tujuan yang
hendak dicapai dan sifat suatu kerja sama dapat bermacam-macam. Demikian juga
jumlah dan susunan orang-orang yang bekerja sama dapat berbeda-beda pula.
Selanjutnya usaha itu dapat pula berlangsung pada waktu dan tempat yang
berlain-lainan. Tetapi pada setiap kerja sama yang dilakukan oleh sekelompok
orang pasti terdapat rangkaian kegiatan penataan yang mengarahkan kepada
pencapaian tujuan. Rangkaian kegiatan penataan ini sebagai suatu kebulatan kini
biasanya menjadi fungsi seseorang atau beberapa orang pejabat. Atau dengan
perkataan lain Administrasi sebagai fungsi dijalankan oleh setiap orang yang
berkedudukan sebagai pucuk pimpinan suatu usaha kerja sama manusaia atau “Ketua
Organisasi”. Yang dinamakan
“Administrator”. Jadi Administrator adalah kepala yang tertinggi di dalam
organisasi. Tetapi tidaklah berarti bahwa Administratorlah yang satu-satunya
berperan sebagai pelaksana fungsi Administrasi, melainkan dilaksanakan juga
oleh pejabat-pejabat yang berada dibawahnya berdasarkan pelimpahan dari
Administrator tadi.
Perlu diketahui bahwa Administrasi yang merupakan
rangkaian kegiatan penataan, merupakan pekerjaan penunjang pelaksanaan
pekerjaan substansuif. Kelompok pekerjaan yang dilakukan dengan rangkaian
kegiatan subtantif dinamakan “pekerjaan pokok” atau “pekerjaan induk” yaitu
pekerjaan yang langsung bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai. Apabila
dicermati semua pendapat di atas, maka dapat ditawarkan satu definisi manajemen
yang lebih sederhana , yaitu: “Manajemen
adalah suatu seni dan ilmu tentang cara mengatur, memimpin, dan
mengendalikan semua sumber (resources) dalam rangka mencapai hasil atau Tujuan
tertentu.[13]
Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa
disamping manajemen sebagai seni juga sebagai ilmu. Manajemen sebagai seni
dapat diartikan sebagai suatu praktek. Manajemen sebagai seni ditandai oleh
pengalaman-pengalaman, dugaan ataupun kemampuan alamiah berupa skill atau
keahlian, kemahiran yang timbul dari dalam diri seseorang untuk mewujudkan
hasil kerja tertentu.
Manajemen juga sebagi ilmu, meskipun demikian
tidaklah sepenuhnya sebagai ilmu. Pekerjaan
manajer dapat dianalisis dan diklasifikasi secara sistematis. Jadi, ada
aspek ilmiah dalam manajemen dan ada cirri-ciri professional. Unsur-unsur
manajemen dapat dianalisis, di organisasikan secara sistematis dan dapat dipelajari oleh siapa pun yang mempunyai
kecerdasan normal.
Dari definisi diatas terlihat adanya kegiatan
seperti mengatur, memimpin,dan
mengendalikan. Hal ini, memberikan indikasi bahwa kegiatan manajemen itu
selalu didasarkan pada upaya-upaya yang teratur atau sistematis, rasional dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Ketiga
kata itu pada hakekatnya mempunyai
makna yang dapat mewakili fungsi-fungsi
manajemen, yakni perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan. Sedang
yang dimaksud dengan semua sumber (resources) dalam definisi itu adalah
meliputi: tenaga kerja (man), sumber biaya (money), material atau bahan-bahan
(materials), peralatan dan mesin (machine),cara kerja (method), pemasaran
(market) atau pelayanan (service).
Dengan demikian manajemen itu merupakan rangkaian
kegiatan atau proses kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan, dan pengawasan untuk mencapai hasil atau tujuan dengan
memanfaatkan sumber-sumber yang ada seperti tenaga kerja, biaya, bahan-bahan,
peralatan, cara-cara kerja, pemasaran atau pelayanan dengan efisien dan efektif.
Dari sudut cara pelaksanaanya pengawasan dibedakan,
yaitu: Pengawasan langsung dan Pengawasan tidak langsung. Pengawasan langsung
adalah pangawasan yang dilakukan dengan cara mendatangi atau melakukan
pemeriksaan di tempat terhadap objek yang diawasi. Pemeriksaan setempat ini
dapat berupa pemeriksaan administratif atau pemeriksaan fisik di lapangan.
Kegiatan secara langsung melihat pelaksanaan kegiatan ini bukan saja dilakukan
oleh perangkat pengawas akan tetapi perlu lagi dilakukan oleh pimpinan yang
bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut. Dengan demikian dapat melihat
bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan dan bila dianggap perlu dapat memberikan
petunjuk-petunjuk dan instruksi maupun keputusan-keputusan yang secara langsung
menyangkut dan mempengaruhi jalannya pekerjaan.
Pengawasan tidak langsung adalah kebalikan dari
pengawasan langsung, yang dilakukan tanpa mendatangi tempat pelaksanaan
pekerjaan atau objek yang diawasi. Pengawasan ini dilakukan dengan mempelajari
dan menganalisa dokumen yang menyangkut objek yang diawasi yang disampaikan
oleh pelaksana atau pun sumber lain, dengan melalui dokumen-dokumen yang dapat berupa:
1. Laporan pelaksanaan pekerjaan, baik laporan
berkala maupun laporan insidentil.
2. Laporan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari
perangkat pengawas lainnya.
3. Surat pengaduan dari masyarakat.
4. Berita atau artikel dari media massa.
5. Dokumen-dokumen lainnya.
6. Disamping melalui laporan tertulis tersebut
pengawasan ini juga dapat dilakukan dengan mempergunakan bahan yang berupa
laporan lisan.
Pengawasan dapat juga dibedakan berdasarkan mereka yang
melakukan pengawasan atau yang dilakukan oleh subjek pengawas, yaitu : Pengawasan intern dan Pengawasan ekstern. Pengawasan
intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu
sendiri. Artinya bahwa subjek pengawas yaitu pengawas berasal dari dalam
susunan organisasi objek yang diawasi. Pada dasarnya pengawasan ini harus
dilakukan oleh setiap pimpinan akan tetapi dapat saja dibantu oleh setiap
pimpinan unit sesuai dengan tugas masing-masing. Pengawasan ekstern adalah
pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri, artinya
bahan subjek pengawas berasal dari luar susunan organisasi yang diawasi dan
mempunyai sistim tanggung jawab tersendiri.
Demikian juga Pengawasan dapat ditinjau dari segi
kewenangan, maka pengawasan dapat dibedakan yaitu:
1. Pengawasan formal. Pengawasan formal adalah pengawasan yang
dilakukan oleh instansi/pejabat yang berwenang (resmi), baik yang bersifat
intern maupun ekstern. Pengawasan jenis ini hanya dapat dilakukan oleh instansi
pemerintah.
2. Pengawasan informal. Pengawasan informal adalah pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Pengawasan ini
sering juga disebut sosial kontrol (social control) misalnya pengawasan melalui
surat pengaduan masyarakat melalui berita atau artikel di media massa.
Salah satu fungsi dasar manajer dan ini berguna
untuk memastikan bahwa aktivitas yang sedang berjalan sesuai dengan tujuan,
rencana dan standard organisasi adalah pengawasan. Adapun proses pengawasan
terdiri dari lima langkah yaitu :
1.
penetapan standard
pelaksanaan.
2.
penentuan pengukuran
pelaksanaan kegiatan.
3.
pengukuran pelaksanaan
kegiatan nyata.
4. pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan
standard dan penganalisaan penyimpangan-penyimpangan;
5.
pengambilan tindakan koreksi
bila perlu.
Perencanaan dan penganggaran yang berbasis
kinerja/prestasi kerja ( pengembangan rencana strategis dan laporan akuntabilitas
kinerja instansi pemerintah beserta indicator prestasi kerja), standar
pelayanan minimal, standar analisa belanja, standar akuntansi pemerintahan,
standar audit pemerintahan, standar alokasi dana perimbangan keuangan pusat ke
daerah, tata cara penyaluran dana dekonsentrasi dan dana pembantuan dari
pemerintah pusat ke daerah, dan lain sebagainya.
Pada prinsipnya, semua upaya tersebut adalah dalam
rangka menegakkan 3 pilar utama menuju good governance yang telah menjadi
komitmen pemerintah sejak dimulainya era informasi hingga saat ini, yaitu :
a. akuntabilitas. System
pengawasan akan memastikan bahwa dana pembangunan digunakan sesuai dengan etika
dan aturan hukum dalam rangka memenuhi rasa keadilan. Akuntabiltas mencakup
eksistensi dari suatu mekanisme ( berdasarkan peraturan dan sah) yang
memberikan keyakinan kepada politisi dan pejabat pemerintahan terhadap aksi
perbuatannya dalam penggunaan sumber – sumber public serta kinerjanya.
Akuntabilitas membutuhkan keterbukaan dan kejelasan serta hubungannya dengan
kebebasan media. Selain itu akuntabilitas berkaitan erat dengan pertanggung
jawaban terhadap efektifitas kegiatan dalam pencapain sasaran atau target
kebijaksanaan atau program.
b. transparansi
c. partisipasi masyarakat luas.
Perubahan dalam lingkungan organisasi, semakin
rumitnya kegiatan-kegiatan organisasi dan kenyataan bahwa para anggotanya
melakukan penyimpangan-penyimpangan, merupakan faktor-faktor yang membuat
pengawasan itu semakin penting.
2. Pemisahan Kekuasaan.
Check and balances system adalah sistem dimana
orang-orang dalam pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain dalam
pemerintahan jika mereka meyakini adanya pelanggaran terhadap hak. Pengawasan
(checks) sebagai bagian dari checks and balances adalah suatu langkah
maju yang sempurna. Mencapai
keseimbangan lebih sulit untuk diwujudkan. Gagasan utama dalam checks and
balances adalah upaya untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam cabang-cabang
kekuasaan dengan tujuan mencegah dominannya suatu kelompok. Bila seluruh ketiga
cabang kekuasaan tersebut memiliki checks terhadap satu sama lainnya, checks
tersebut dipergunakan untuk menyeimbangkan kekuasaan. Suatu cabang kekuasaan
yang mengambil terlalu banyak kekuasaan dibatasi lewat tindakan cabang
kekuasaan yang lain. Checks and Balances diciptakan untuk membatasi kekuasaan
pemerintah.
Hal tersebut dapat tercapai dengan men-split
pemerintah dalam kelompok-kelompok persaingan yang dapat secara aktif membatasi
kekuasaan kelompok lainnya. Hal ini akan berakhir bila ada suatu kelompok
kekuasaan yang mencoba untuk menggunakan kekuasaannya secara ilegal.
Contoh sederhana dari konsep ini adalah hak veto
yang dimiliki oleh Presiden Amerika Serikat. Presiden memiliki kekuasaan yang
signifikan terhadap legislatif, yang memungkinkan presiden untuk menuntut
bagian tertentu dalam meloloskan rancangan undang-undang atau bahkan mem-veto
nya. Hasilnya adalah presiden dapat bekerja sama dengan legislatif untuk
meningkatkan kekuasaan federal, dan sebagai peringatan terhadap legislatif untuk
tidak melakukan tindakan preventif untuk memperluas kekuasaannya. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of
power) yang menghendaki adanya pemisahan atas cabang-cabang kekuasaan.
Kekuasaan yang dipecah dalam cabang-cabang kekuasaan ditujukan agar suatu
cabang kekuasaan tidak menjadi dominan terhadap cabang kekuasaan yang lainnya.
Kesetaraan hubungan antar cabang-cabang kekuasaan tersebut diatur melalui
mekanisme checks and balances system.
Sistem checks and balances dibutuhkan untuk
mewujudkan tatanan penyelenggaraan negara yang memberi kewenangan antarn cabang
kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) untuk saling mengontrol dan
menyeimbangankan pelaksanaan kekuasaannya masing-masing. Dengan demikian dapat
dihindarkan penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara. Anatomi
pemisahan kekuasaan dan restrukturisasi lembaga negara pasca-amandemen UUD
1945, secara horizontal, terdiri atas: parlemen bikameral yang asimetrik (DPR
dan DPD); eksekutif yang dipimpin oleh Presiden yang dipilih secara langsung
oleh rakyat; kekuasaan legislatif yang melibatkan tiga lembaga (Presiden, DPR
dan DPD) namun didominasi oleh DPR dan Presiden; kekuasaan kehakiman (judicial
powers) yang tidak lagi monolitik (karena ada Mahkamah Konstitusi); lembaga audit
keuangan negara (BPK) didampingi bank sentral yang independen KPKPN, Komisi
Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; serta berbagai
state auxiliaries (seperti Komisi Yudisial dan Komisi Pemilihan Umum). Tampak
pula kedudukan dan peran DPR yang mengemuka. Dapat dikatakan, amandemen UUD
1945 telah menghasilkan konstitusi dan struktur kenegaraan yang bersifat
DPR-legislative heavy dan bukan lagi MPR heavy. Masalah pengawasan yang
dilakukan oleh aparatur pemerintah antar satu instansi dengan instansi lainnya
dipengaruhi oleh jenis dan sifat pekerjaan, dalam arti jarak antara unit kerja
yang diawasi dengan jumlah tugas/aktivitas hendaknya.
Sesungguhnya
tujuan utama diadakannya pengawasan adalah mengusahakan agar apa yang
direncanakan itu menjadi kenyataan. Pelimpahan tugas pengawasan harus dibarengi
dengan tanggung jawab yang dipikulkan kepundak si penerima tugas tersebut,
dalam arti tanggung jawab itu adalah keharusan dilaksanakan tugas
sebaik-baiknya sebagai suatu kewajiban, sehingga hak untuk melakukan suatu
tindakan jangan disalahgunakan.
Masalah pengawasan yang dilakukan oleh aparatur
pemerintah antar satu instansi dengan instansi lainnya dipengaruhi oleh jenis
dan sifat pekerjaan, dalam arti jarak antara unit kerja yang diawasi dengan
jumlah tugas/aktivitas hendaknya dapat terkendali. Dan juga faktor-faktor lain
yang dapat mempengaruhi seperti faktor objektif, karena hal ini berada di luar
pribadi pejabat yang harus melaksanakan pengawasan.
Di samping itu terdapat juga faktor subjektif yang
bersumber dan berkenaan dengan diri pribadi pejabat yang harus melaksanakan
pengawasan, antara lain berkenaan dengan pengalaman kerja, kecakapan,
pengetahuan bidang kerja yang diawasi. Singkatnya agar pengawasan berjalan
secara efektif, sebaiknya seorang pejabat atasan terlebih dahulu melakukan
koordinasi dengan personil bawahan dan hal ini dilakukannya supaya tidak
terlalu banyak unit-unit pelaksananya.
Jadi mengawasi bukanlah suatu hal yang mudah
dilakukan, akan tetapi suatu pekerjaan yang memerlukan kecakapan, ketelitian,
kepandaian, pengalaman bahkan harus disertai dengan wibawa yang tinggi, hal ini
mengukur tingkat efektivitas kerja dari pada aparatur pemerintah dan tingkat
efesiensinya dalam penggunaan metode serta alat-alat tertentu dalam mencapai
tujuan.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa hasil
dari suatu kegiatan pengawasan harus memungkinkan dilakukannya evaluasi
terhadap aspek yang diawasi itu. Selanjutnya dalam melakukan evaluasi dari
hasil suatu kegiatan oleh aparat pengawas dapat tepat untuk mengetahui tingkat
efisiensi dan efektifitas perwujudan kerja dengan sasaran yang dicapai. Kemudian
mengingat keterbatasan kamampuan seorang pimpinan untuk mengadakan pengawasan
terhadap bawahannya, maka perlu diperhitungkan secara rasional dalam menentukan
jumlah unit kerja atau orang yang akan diawasi oleh seorang pejabat pimpinan,
hal ini dilakukan untuk menciptakan momentum guna meningkatkan usaha penertiban
aparatur. Di samping itu
perlu pula dikembangkan sistem pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan di
berbagai bidang dan sektor yang ada di daerah yang lebih konsisten dengan
sistem pengawasan yang dikembangkan.
Sebagai langkah awal dari pada pengawasan tersebut
pelaksanaannya harus dilakukan dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab. Karena
dengan pengawasan yang terarah berarti hal tersebut dapat digunakan sebagai
bahan penilaian unit kerja aparatur pemerintah. Dengan demikian maka tujuan
pengawasan dimaksud dapat meningkatkan pembinaan, penyempurnaan, penertiban
aparatur pemerintah.
Dari sisi lain dapat dirasakan manfaat dari adanya
pengawasan, yaitu sebagai berikut:[14]
1. Diperolehnya data yang
dapat diolah dan selanjutnhya dijadikan dasar bagi usaha perbaikan kegiatan di
masa yang akan datang dan meliputi berbagai aspek antara lain: perencanaan,
organisasi, bimbingan, pengarahan dan lainlain termasuk kegiatan profesional.
2. Memperoleh cara bekerja
yang paling efisien, tepat serta berhasil dengan cara yang terbaik untuk
mencapai tujuan.
3. Memperoleh data tentang
adanya hambatan-hambatan dan kesukarankesukaran yang dihadapi dapat dikurangi
ataupun dihindari.
4. Memperoleh data yang
dapat dipergunakan untuk meningkatkan cara kerja aparatur pemerintah dalam
berbagai bidang.
5. Agar mudah diketahui
sudah sejauhmana tujuan yang hendak dicapai sudah dapat direalisasikan
6. Untuk lebih meningkatkan pelayanan terhadap kepentingan masyarakat.
Prayudi Atmosudirjo bahwa pengawasan adalah proses
kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa
yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang
dikendaki, direncanakan atau diperintahkan, yang mana hasil pengawasan itu
dapat menunjukkan sampai dimana terdapat kecocokan atau ketidakcocokan dan
apakah ada sebab-sebabnya.[15]
Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai
kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah
sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Tujuan pengawasan adalah untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenar-benarnya tentang obyek yang
diawasi apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.[16]
Lembaga negara sebagai organisai tujuan utamanya
sebagaimana terdapat dalam pembukaan UUD 1945, sedangkan tujuan sekundernya
sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang tentang pembentukannya mengenai
tugas dan wenangnya. Oleh karena itu, suatu hal yang memprihatinkan jika
lembaga negara lebih mengedepankan spirit kelembagaan dari pada spirit
kebangsaan atau kenegaraan. Kondisi yang demikian justru dialami oleh sebagian
besar pejabat pemerintahan kita baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif,
ini dapat kita lihat dari sikap mereka, walaupun jelas dan nyata keliru atau
salah tidak pernah ada permintaan maaf atau merasa salah, bahkan
mereka merasa tidak salah sama sekali. Dalam
bidang kekuasaan yudikatif, mantan hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak ingin
diawasi oleh Komisi Yudisial tidak merasa salah dengan adanya kasus akil
Mocktar, tapi mereka sangat marah dengan mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Membahas yudikatif tidak akan terlepas dari
konsepsi Trias Politica dan checks and balances system. Adalah John Locke dalam
bukunya Two Treaties on Civil Government menyarankan agar pemerintah tidak
sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan dalam negara menjadi
tiga cabang. Locke membedakan
antara tiga macam kekuasaan, yaitu:[17]
1. kekuasaan perundang-undangan (legislative)
2. kekuasaan melaksanakan
undang-undang yang meliputi Pemerintahan (executive) dan Pengadilan (yudikatif)
3. kekuasaan melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain (federative).
Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
disebutkan lembaga-lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Selain
itu dimungkinkan kekuasaan kehakiman dijalankan oleh badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakim. Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menentukan,
“Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Keberadaan
Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap
hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat, serta menjaga perilaku hakiman diatur dalam undang-undang.
Kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tersebut,
dianulir oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 dengan keputuan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
dan tidak berkekuatan hukum mengikat terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan
fungsi pengawasan terhadap hakim. Adnya keputusan ini, mungkin saja bahwa para
hakim Mahkamah Konstitusi tidak berniat tidak baik dan beranggapan bahwa tidak
mungkin hakim Mahkamah Konstitusi dapat berbuat yang melanggar hukum atau
melakukan perbuatan tercela, karena mereka adalah negarawan.
Dalam perjalanan waktu, seiring dengan adanya
kewenangan baru untuk memutus perselisihan atau sengketa pemilihan kepala
daerah, predikat negarawan para hakim konstitusi telah tercoreng dengan adnya
kasus pidana korupsi ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mocktar pada Oktober tahun
2013 dalam operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sehubungan dengan itu, pemerintah bersma Dewan
Perwakilan Rakyat berupaya untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan Mahkamah
Konstitusi mengeluarkan Undang-Undang Nomor
4 tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang.
Mengenai keterlibatan Komisi Yudisail dalam
pengawasan Hakim Konstitusi dimuat dalam Bab. IVA dang judul Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi serta Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, ketentuan
Pasal 27A
(1) Mahkamah Konstitusi
bersama-sama dengan Komisi Yudisial
menyusun dan menetapkan
Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi
yang berisi norma yang
harus dipatuhi oleh
setiap hakim konstitusi dalam
menjalankan tugasnya untuk menjaga
kehormatan dan perilaku
hakim konstitusi.
(2) Dalam menyusun Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial dapat
mengikutsertakan pihak lain
yang berkompeten.
(3) Kode etik
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bersifat mengikat
serta wajib dipatuhi
oleh hakim konstitusi.
(4) Untuk menegakkan
Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan
Komisi Yudisial membentuk
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap.
(5) Keanggotaan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat
(4) berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas unsur:
a. 1 (satu)
orang mantan hakim konstitusi;
b. 1 (satu)
orang praktisi hukum;
c. 2
(dua) orang akademisi
yang salah satu
atau keduanya berlatar belakang
di bidang hukum; dan
d. 1 (satu)
orang tokoh masyarakat.
(6) Anggota Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (5)
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela;
b. adil;
c.
berusia paling rendah
50 (lima puluh)
tahun; dan
d. tidak
menjadi anggota partai
politik dalam jangka waktu
paling singkat 5
(lima) tahun sebelum diangkat
menjadi anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
(7) Masa jabatan
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat
(5) selama 5 (lima)
tahun dan tidak
dapat dipilih kembali.
(8) Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi
mempunyai wewenang untuk:
a. memanggil
hakim konstitusi yang
diduga melakukan pelanggaran kode
etik untuk memberikan penjelasan
dan pembelaan;
b. memanggil
pelapor, saksi, dan/atau
pihak lain yang terkait
untuk dimintai keterangan, termasuk untuk
dimintai dokumen atau
bukti lain; dan
c.
memberikan sanksi kepada
hakim konstitusi yang terbukti melanggar
kode etik.
(9) Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi bersidang secara terbuka
untuk melakukan pemeriksaan dugaan adanya
pelanggaran kode etik
yang dilakukan oleh hakim konstitusi.
(10) Ketentuan
bersidang secara terbuka
sebagaimana dimaksud pada ayat
(9) tidak berlaku
terhadap pemeriksaan yang terkait
dengan perbuatan asusila dan
pemeriksaan yang dapat
mengganggu proses penegakkan hukum yang sedang berjalan.
(11) Putusan
Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi bersifat final dan mengikat.
(12) Putusan
Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi berupa sanksi atau
rehabilitasi diambil dalam rapat pleno Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi.
(13) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
kode etik dan pedoman
perilaku hakim konstitusi,
tata cara pemilihan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi, susunan organisasi
dan tata kerja
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
diatur dengan Peraturan Bersama
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
(14) Untuk
mendukung pelaksanaan tugas
Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi dibentuk sekretariat
yang berkedudukan di
Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Komisi
Yudisial.
Dari ketentuan tersebut, tidak ada satupun yang
dapat melemahkan atau mengintervensi kewenangan hakim Mahkamah Konstitusi, akan
tetapi sungguh suatu kecerobohan dan salah satu bentuk keangkuhan negarawan sebagai
hakim, dengan membatalkan undang-undang tersebut. Dengan demikian, keputusan
Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan Komisi Yudisial adalah yang kedua
kalinya. Jelas sekali, bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut walaupun
dengan itikat baik disertai dengan pengetahuan hukum tata negara yang baik
pula, tetapi jauh dari sikap arif dan antisipasi ke masa depan dan fakta yang
telah terjadi. Hal ini menurut penulis para hakim konstitusi tidak menunjukan
sikap negarawan tatapi menujukan sikap hakim yang sedang berkuasa, karena para
hakim ini berpikir bahwa semua hakim Mahkamah Konstitusi dan Calon Hakim Mahkamah
Konstitusi yang sekarang dan yang akan datang orang-orang tidak mungkin
melakukan kesalahan.
Seluruh hakim di Mahkamah Konstitusi dengan suara
bulat meneken Putusan No 1-2/PUU-XII/2014 tentang pembatalan UU No 4 itu,
banyak orang yang menepuk kening. Tak ada satupun hakim yang melakukan
disenting opinion (pendapat berbeda). Mereka seolah-olah tidak berpikir jauh ke
depan saat mereka tak lagi menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi. Drngan kata
lain, mereka seolah tak peduli dengan masa depan Mahkamah Konstitusi. Mereka
tak pernah berpikir dan membayangkan, apa jadinya jika politikus menguasai Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi yang sehari-hari banyak menangani kasus
perselisihan politik antar-politisi, salah satunya, mestinya diisi oleh
orang-orang yang bebas dari politik. [18]
Seorang negarawan, akan selalu merima setiap
masukan yang dapat menjaga, meluruskan, mencegah setiap bentuk prilaku yang
dapat merugikan negara baik materil maupun immateril suatu bangsa atau negara.
Apalagi suatu lembaga negara atau aparatur
negara yang berkaitan langsung dengan penegakan wibawa negara sebagaimana
kedudukan seorang hakim. Hakimlah yang dalam kenyataannya yang memegang
kedaulatan hukum dan penjaga kewibawaan negara, oleh karena itu tidaklah tepat
jika hakim menolak unuk diawasi yang justru untuk menjaga agar mereka selalu
dalam kedudukan yang mulia sebagaimana selalu diucapkan dalam persidangan.
Seharusnya hakim sebagai negarawanlah yang meminta
agar bagi mereka diadakan suatu lembaga yang mengawasi prilaku mereka selagi
menjadi hakim, bukan malah membatalkan upaya yang dapat menjaga dan mencegah
agar martabat dan kehormatan hakim
senantiasa terjamin yang dilakukan pemerintah bersama DPR dengan mengeluarkan
UU no. 4 Tahun 2004 sebagaimana tersebut diatas. Putusan tersebut tampaknya
lebih pada menjawab pertanyaan-pertanyaan, kritik, serta keinginan masyarakat
daripada menguji ketentuan UU terhadap UUD 1945. Jelas tersirat, putusan
bernada emosional yang berakibat putusan tidak mendasarkan pertimbangan yang
proporsional dan menyeluruh. Salah satu pertimbangan hakim dalam memutuskan
adalah kekuasaan hakim independen dan tidak dapat dicampuri oleh pihak lain.
Pihak yang melakukan tekanan terhadap Mahkamah dengan membentuk opini publik
telah melakukan tindakan contempt of court yang dapat dikenai sanksi pidana.[19] Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bukan saja
emosional tetapi juga mengandung unsur keangkuhan dan kesombongan sekelompok
orang, hal ini terjadi dikarenakan menganggap diri paling baik, paling pintar
dan kuasa, padahal jelas mereka tahu ada batas waktu kekuasaan yang di embannya sedangkan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga diharapkan permannen sepanjang negara Indonesia ada.
Asep Warlan
Yusuf berpendapat jika keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan
UU No. 4 tahun 2014 tentang Perubahan UU Mahkamah Konstitusi (sebelum jadi UU,
ini merupakan perppu usulan pemerintah) adalah arogansi atau keangkuhan Mahkamah
Konstitusi. Dia pun menyayangkan sikap Mahkamah Konstitusi yang melupakan fakta
tertangkapnya mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang tertangkap
tangan menerima suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mau diawasi sesuai
aturan dalam UU Mahkamah Konstitusi yang baru tersebut. Mahkamah Konstitusi
sangat arogan dan congkak. Fakta membuktikan bahwa hakim-hakim Mahkamah
Konstitusi itu tidak bisa bebas dari korupsi sehingga tetap harus diawasi
seperti yang tertuang dalam UU itu, nampaknya tidak dipertimbangkan dalam
putusan tersebut. Kalau sudah salah masih melawan, ya tidak ada kata lain
selain congkak.[20]
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
gugatan ini juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak mau berubah dan
melawan keinginan rakyat Indonesia. Dia pun menyayangkan Mahkamah Konstitusi justru
akan menjadi lembaga yang merusak demokrasi dan hukum yang seharusnya dijaga
oleh Mahkamah Konstitusi. Para perancang UU itu kan hanya mau melakukan
perubahan, tapi Mahkamah Konstitusi tidak mau berubah. Ini artinya di masa
datang akan ada Akil Mochtar-Akil Mochtar lainnya yang bisa menyusul yang bisa
membuat keputusan berdasarkan pesanan atau karena suap, karena toh meski
menerima suap putusan itu tetap tidak bisa diubah. Putusan ini seperti juga
keputusan-keputusan sebelumnya dimana Mahkamah Konstitusi selalu menolak untuk
diatur menegaskan kemballi bahwa Mahkamah Konstitusi menolak untuk diatur.
"Artinya siapapun tidak boleh menyinggung Mahkamah Konstitusi dan kalau
menyinggung akan dihajar. Mahkamah Konstitusi sekarang sudah menjadi lembaga
yang tidak tahu diri dan seperti sudah berubah menjadi sebuah lembaga tertinggi
negara, yang tidak bisa diatur oleh apapun.[21]
Istilah
negarawan (statesman) merupakan istilah yang cukup populer. Secara ensiklopedis
seorang negarawan biasanya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang
berprestasi (berjasa) satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir
di kancah politik nasional dan internasional (a statesman is usually a
politician or other notable figure of state who has had a long and respected
career in politics at national and international level). Tokoh yang berjasa
(worthy) pada bangsa/negara tentu merupakan tokoh yang mengabdikan pikiran dan
tenaganya bagi kemajuan dan kemakmuran bangsanya. A leader is a dealer in hope.
Seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan, demikian petuah
Napoleon Bonaparte. Banyak pemimpin
besar di dunia bukanlah sosok sempurna bak superman. Pemimpin besar pastilah
seorang yang ditempa karakter yang kuat, punya visi, inspiratif, dan ini yang paling penting mampu memberi harapan di tengah persoalan
yang mendera bangsanya.[22]
Dalam bahasa
Inggris, negarawan disebut ”statesman.” Menurut kamus Merriam-Webster,
negarawan adalah ”orang yang aktif mengelola pemerintahan dan membuat
kebijakan-kebijakan” (one actively engaged in conducting the business of a
government or in shaping its policies). Lebih spesifik lagi, Merriam-Webster
mendefinisikan negarawan sebagai ”seorang pemimpin politik yang bijak, cakap,
dan terhormat” (a wise, skillful, and respected political leader).[23]
Pengertian
pertama mengacu kepada pemimpin di pemerintahan, sementara pengertian kedua
mengacu kepada pemimpin politik (politisi) yang memiliki sifat-sifat terpuji
seperti bijaksana, cakap, dan terhormat. Negarawan adalah orang yang tengah
menjalani pemerintahan, baik itu presiden, menteri, maupun gubernur, atau
pemimpin politik yang berada di luar pemerintahan.
Negarawan adalah orang yang rela berkorban secara
tulus demi keutuhan dan kemajuan bangsanya, juga ikut serta secara aktif dalam
mewujudkan cita-cita bangsa. Dia bukanlah orang yang menghitung-hitung untung
rugi ketika tenaga dan pemikirannya dibutuhkan oleh negara. Dia juga bukan
orang yang memilih untuk tutup mata saat kemiskinan dan ketidakadilan terjadi
di hadapannya. Pandangannya dapat dilihat dari visi yang jelas tentang arah
ekonomi, politik, keamanan dan pendidikan yang akan dia kembangkan. Visi yang
dimilikinya adalah visi yang melihat jauh ke depan. Dia bukanlah sosok yang
mementingkan kepentingan sesaat demi citra pribadi serta golongannya saja.
Karakter negarawan sejati bisa dibuktikan secara langsung ketika kursi
kekuasaan telah dia dapatkan.[24]
Negarawan sejati adalah negarawan yang rela mengabdi untuk negara dan
senantiasa memikirkan keadaan generasi selanjutnya. James Freeman Clarke
mengatakan bahwa perbedaan antara politisi dan negarawan adalah, politisi memikirkan
tentang pemilu berikutnya sedangkan negarawan berpikir tentang generasi
berikutnya. Dengan demikian, seorang pemimpin negarawan akan dapat dilihat dari
pandangan-pandangannya yang mempunyai komitmen tinggi terhadap kepentingan
bangsa jauh ke depan. Sedangkan pemimpin politisi, akan dapat dilihat dari
pandangan-pandangannya yang selalu terkesan mengedepankan kepentingan sesaat,
yang lebih condong kepada kepentingan politik atau kelompoknya.
Pengertian negarawan menurut Georges Pompidou[25] menyatakan bahwa negarawan adalah
politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa. Kukuh
Suharwiyono, seorang Perwira TNI AD, Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan
Pertahanan & Keamanan TANDEF, mendefinisikan negarawan sebagai seseorang
yang berjiwa dan berjuang demi kepentingan yang lebih besar sehingga dia selalu
berpikir dan bertindak hanya untuk bangsa negaranya. Sedangkan menurut Andi
Irawan dalam Koran Tempo 27 Nopember 2007, kata negarawan merujuk pada sosok
manusia yang visioner, berorientasi jangka panjang, mengutamakan kesejahteraan
bersama dibanding kesejahteraan pribadi dan golongan, mampu berlaku egaliter,
adil dan mengayomi semua komponen bangsa serta mampu membuktikan komitmen
tersebut dalam perilaku sosial ekonomi, budaya dan politiknya.[26]
Dalam Encyclopaedia Britannica disebutkan,
negarawan (states-man) adalah orang yang berpengalaman menjalankan
prinsip-prinsip pemerintahan. Negarawan juga diartikan sebagai seseorang yang a
wise, skillful, and respected political leader (bijak, terampil, dan pemimpin
politik yang dihormati).[27] Menurut Rufus Fears (Brett &
Kate McCay, 2012), ada empat syarat untuk menjadi negarawan sejati.
Syarat-syarat itu meliputi prinsip yang kuat, moral yang teruji, visi yang
jelas, dan kemampuan membuat konsensus untuk mewujudkan visi itu. Syarat
keempat, yaitu kemampuan menciptakan konsensus, membedakan seorang negarawan
dari politikus. Bisa saja seorang politikus memiliki prinsip, moral, dan visi,
namun dia tidak memiliki kemampuan meracik konsensus.[28]
Seorang negarawan bisa mengubah kebijakan dan cara
untuk menjalankan kebijakannya, tapi dia tidak akan keluar dari prinsip-prinsip
yang dipegangnya dalam jangka panjang. Moral politikus tergantung persepsi
publik. Seorang politikus akan selalu berusaha menyenangkan dan memenuhi
kebutuhan konstituennya. Dia bertindak atas apa yang menjadi aspirasi
masyarakat. Negarawan bertindak atas dasar keyakinannya tentang apa yang
dianggapnya benar. Dia tidak diperintah oleh hasil jajak pendapat publik. Visi
seorang negarawan sangat jelas tentang bagaimana dan ke mana negara dan
rakyatnya harus melangkah. Dia tahu keinginan dan caranya untuk membawa negara
dan bangsa ke arah yang dicita-citakan. Dalam membuat konsensus, negarawan akan
menggiring dan mengondisikan rakyat untuk mengikuti gagasannya. Berbeda dari
politikus yang mengandalkan iklan dan propaganda, yang oleh Fears disebut
sebagai ”alat-alat tiran”, negarawan akan mengandalkan kekuatan argumentasi dan
kata-katanya. Untuk itu, negarawan biasanya seorang penulis gagasan yang andal
dan orator yang ulung.[29]
Negarawan selalu menerapkan model kepemimpinan
transformatif yang punya visi masa depan dan menolak transaksi politik jangka
pendek. Pemimpin yang menerapkan model ini akan menularkan efek transformasi
pada level individu dan organisasi. Kepemimpinan transformatif dicirikan oleh
“The four ‘I’s” (empat huruf ‘I’).[30]
Pertama, pemimpin transformatif memiliki idealized influence, rakyat dibuat
berdecak kagum, hormat dan percaya. Tidak ada elemen masyarakat, apalagi
tokoh-tokoh agama dan cendekiawan, yang menuduh pemimpinnya sedang melakukan
politik kebohongan. Otentisitas menjadi mantra dan rakyatnya percaya bahwa para
pemimpinnya sedang tidak bersandiwara.
Kedua, kepemimpinan transformatif mampu
menggelorakan inspirational motivation,
menyuntikkan motivasi dan asa pada rakyatnya serta mampu merealisasikan harapan
menjadi kenyataan. Pemimpin tidak hanya mengaum di atas podium dan tidak hanya
pintar berwacana, tapi juga cakap dalam bekerja. Pemimpin yang tidak hanya
pintar bersolek di depan kamera atau berdandan di baliho-baliho atau spanduk
pada masa pemilu.
Ketiga, pemimpin transformatif menawarkan intellectual stimulation. Gaya
kepemimpinan transformatif kaya ide-ide baru dan terobosan. Pemimpin tidak
sekadar hadir pada setiap perayaan upacara, tapi hadir dalam setiap percakapan
dan persoalan yang dihadapi rakyatnya. Dia tak terjebak pada urusan
business as usual dan mampu berpikir out of the box untuk mengatasi kebuntuan. Pemimpin seharusnya tidak larut dalam
kompromi politik. Pemimpin adalah leader, bukan dealer.
Dimensi
terakhir, keempat, adalah individualized consideration. Maksudnya,
pemimpin transformatif mau mendengar keluhan bawahan, bersikap layaknya manusia
dan apa adanya. Dalam arti yang luas, pemimpin tidak membangun benteng pemisah
dengan rakyatnya.
Liddle
menjelaskan, tipe transformasional adalah pemimpin yang mampu membentuk ulang
situasi politik Indonesia
dari satu keadaan kepada keadaan lain. Sementara tipe transaksional adalah
model kepemimpinan yang mempergunakan kekuasaannya untuk menukarnya (barter)
dengan posisi-posisi yang dapat menguntungkan dirinya dan kelompoknya.[31] Demikian juga hal sama menurut
Jusuf Kala seorang negarawan melakukan tindakan yang berdemensi visioner 25
tahun yang akan datang.[32]
Jika kita kembali pada putusan mahkamah konstitusi,
yang menyatakan bahwa kKmisi yYdisial tidak berwenang melakukan pengawasan
terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya Mahkamah Konstitusi dapat
dikatakan telah dua kali terperosok
kedalam lubang yang sama, yang pertama putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006
pada masa kepemimpinan Jimly Ashidiqqi dan yang kedua pada masa kepemimpinan
Handan Zoelva. Apakah putusan
hakim mahkamah konstitusi tidak ingin diawasi oleh komisi yudisial berdemensi
demikian. Mahkamah Konstitusi menilai pelibatan Komisi Yudisial seperti yang
diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2014 merupakan bentuk penyelundupan hukum karena
bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006,
tertanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa Hakim
Konstitusi tak terkait dengan Komisi Yudisial.[33]
Salah satu alasan pemohon yang berbunyi :
secara hukum berarti memberikan
kewenangan kepada Panel Ahli yang berpendidikan magister untuk menguji calon
Hakim Mahkamah Konstitusi yang bergelar doktor. Ketentuan ini jelas
menginjak-nginjak dan tidak menghargai secara
hukum sistem penjenjangan
pendidikan nasional. [34]
pernyataan ini merupakan bentuk nyata kesombongan orang-orang berilmu yang
merasa dirinya lebih tinggi ilmunya dari orang lain, karena dirinya seorang
Doktor.
Menurut Dr. Jayus S.H., M.Hum kode Etik merupakan hak
penuh yang menjadi
urusan secara internal
bagi setiap organisasi, termasuk
Mahkamah Konstitusi, dan
karenanya keterlibatan
Komisi Yudisial dalam hal
tersebut sesungguhnya merupakan
bentuk intervensi terhadap organisasi
atau lembaga lain,
yang justru dapat dimaknai bahwa
Komisi Yudisial tidak
menggambarkan adanya sinergi dalam
membangun hubungan sesama
organisasi atau lembaga penyelenggara pemerintahan negara.[35]
Pendapat ini jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, yang telah menetapkan
komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas prilaku hakim termasuk hakim pada Mahkamah Konstitusi. Pasal 24B ayat (1)
dan ayat (2) UUD 1945, Komisi Yudisial adalah
lembaga bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Sesungguhnya ada beberapa faktor penyebab yang
menjadikan seseorang itu memiliki sifat-sifat sombong ( arogan), di antaranya
ialah:[36]
1. Memiliki kuasa, sama ada
dia memiliki kuasa besar atau kecil. Kuasa besar itu seperti jadi raja,
presiden, perdana menteri, gabenor , hakim dan lain-lain lagi. Kuasa yang ada
itu mendorongnya menjadi sombong.
2. Mempunyai ilmu
pengetahuan sama ada pengetahuan tentang dunia atau pengetahuan tentang
Akhirat. Sama ada pengetahuan di banyak bidang atau di satu bidang. Ini jadi
pendorong seseorang itu menjadi sombong kerana dia rasa lebih pandai daripada
orang lain.
3. Mempunyai harta
kekayaan. Harta juga mendorong seseorang itu menjadi sombong.
4. Mempunyai kegagahan yaitu
orang yang mempunyai kekuatan fisik atau mempunyai kepandaian dalam mempertahankan
diri seperti tinju, gusti, tae kwan do, silat dan lain-lain lagi. Ini juga
mendorongnya menjadi sombong.
5. Keturunan. Ada orang
jadi sombong kerana berketurunan bangsawan, berketurunan ulama dan lain-lain
lagi, lantas merasa diri mulia serta memandang orang lain hina berbanding
dengan dirinya.
6. Sebab-sebab yang lain
seperti berwajah tampan dan cantik, disayangi oleh orang besar, disayangi
suami, disayangi oleh ibu ayah dan lain-lain lagi. Ini juga pendorong menjadi
sombong.
7. Bukan sebab-sebab yang
di atas tadi, tapi mungkin dia orang miskin atau orang jahil atau orang hodoh
atau orang cacat atau orang lemah sedangkan dia tetap sombong. Ini dikatakan
bodoh sombong.
Penyebab kesombongan karena berkuasa, karena berilmu merupakan faktor
yang paling dominan yang dimiliki orang yang sedang berkuasa dan berilmu
apalagi jabatan tersebut disebut sebagai negarawan tentu akan lebih
mendorongnya lagi untuk bersikap demikian.Oleh karena itu jelas bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi membatkan UU no. 4 Tahun 2014 tidak menunjukan putusan hakim
negarawan.
Dalam sejarah ada suatu contoh orang yang sangat
berkuasa dalam tiga fungsi kekuasaan negara eksekutif, yudikatif dan legislatif,
yaitu khalifah Umar bin Khatab sebagai negarawan, hal ini dapat disimak dari isi
pidatonya pengangkatannya, yaitu : "Segala puji bagi Allah penguasa
seluruh alam. Salam dan kesejahteraan semoga allah limpahkan atas panutan
agung, Muhammad saw. pada kesempatan ini, aku ingin menyampaikan amanat kepada
kamu sekalian, wahai kaum muslimin. kalian semua ibarat unta yang bertali.
Untuk itu kalian pasti akan menurut saja kemana orang yang memegang tali itu.
Aku akan membela kalian semua ke jalan yang benar yang diridhai Allah Swt. Oleh
karena itu apabila kalian lihat bahwa aku melakukan kesalahan atau menyimpang
dari perintah Allah dan rasul-Nya, maka luruskanlah". Selesai berbicara,
tiba-tiba berdirilah seorang laki" dan berkata: “Wahai Umar, kami akan
mengajak engkau untuk kembali ke jalan Allah dan Rasul-NYA, kami akan
meluruskanmu kembali dengan pedang ini jika perlu … “ atau "Wahai Umar, aku bersumpah akan meluruskanmu dengan
pedangku ini jika engkau menyimpang". Umar berkata, "Terima kasih,
aku sangat senang kepadamu. Rupanya di antara rakyatku masih ada orang yang
mempunyai keberanian. AKu patut memberi penghargaan kepadamu." [37]
Dari pidato tersebut, dapat kita petik bebarapa
hikmah : Pertama, kesadaran penguasa akan kelemahannya sebagai manusia yang
perlu diingatkan dan diawasi oleh pihak lain; Kedua, Umar bin Khatab sebagai
penguasa menunjukan sikapnya sebagai negarawan, hal ini tersirat dari ucapan
beliau "Terima kasih, aku sangat senang kepadamu”. berbeda dengan ucapan hakim
negarawan Mahkamah Konstitusi yang
berkata” Hakim Konstitusi tak terkait dengan Komisi Yudisial”.
Organisasi yang sudah atau pernah didirikan, akan
dianggap kurang mampu berfungsi efektif jika tidak bisa menyelesaikan
permasalahan yang ada. Seandainya institusi politik, hukum maupun sosial yang
diciptakan negara, tidak mampu menangani dan mengurangi masalah yang mungkin
muncul dalam perubahan dan perkembangan, maka pemerintah dapat meningkatkan
atau memperluas campur tangannya secara langsung dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Ini berarti, revitalisasi peran dan fungsi lembaga negara yang
bersangkutan harus menjadi sebuah kebijakan transformatif guna mengembalikan
efektivitas dan ketajaman tugas pokok instansinya. Pengawasan terhadap aparatur
Negara saat ini harus diberlakukan berlapis. Selain pengawasan dan control dari
masyarakat juga ada pengawasan dari internal dan eksternal serta masyarakat aktif dalam mengontrol dan
mengawasi kinerja aparatur Negara. Berdasarkan hal tersebut tidak terkecuali
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara, yang merupakan suatu organisasi
untuk melaksanakan penegakan hukum dan keadilan sebagai pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman
sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 diperlukan pengawasan, terutama para
hakimnya.
III. PENUTUP
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa pengawasan itu merupakan upaya yang dilakukan untuk mengatasi berbagai
masalah yang mungkin akan terjadi dalam pemerintahan, dan pengawasan diadakan
untuk mengatasi berbagai kendala dan mengurangi penyelewengan yang terjadi
dalam aparatur pemerintahan. Pengawasan terhadap aparatur Negara saat ini harus
diberlakukan berlapis. Selain pengawasan dan control dari masyarakat juga ada
pengawasan dari internal dan eksternal serta masyarakat aktif dalam mengontrol dan
mengawasi kinerja aparatur Negara. Berdasarkan hal tersebut tidak terkecuali Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga negara, yang merupakan suatu organisasi untuk
melaksanakan penegakan hukum dan keadilan sebagai pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman
sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 diperlukan pengawasan, terutama para
hakimnya.
Pengawasan intern yaitu Dilakukan oleh orang
atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang
bersangkutan.Pengawasan ini dilakukan oleh atasan langsung kepada bawahannya,
atau pengawasan melekat. Dalam pengawasan intern akan digunakan teori yang
berhubungan dengan pengawasan intern tersebut yaitu dilakukan dengan cara
melihat periilaku organisasi tersebut dan agar atasan dan bawahan dapat bekerja
sama dalam mencapai tujuan yang telah disepakati bersama, dan cara atasan
memberikan motivasi kepada bawahannya agar tujuan tersebut terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Muchsan SH, system
pengawasan terhadap perbuatan aparat pemerintah dan peradilan tata usaha negara
di Indonesia,Liberti 2007 .
Prayudi Atmosudirjo, 1995,
Hukum Administrasi Negara, Galia Indonesia, Jakarta.
Ir. Sujamto, Aspek-Aspek
Pengawasan di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika (cetakan keempat) 1996.
Bambang Sutiyoso dan Sri
Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-Aspek Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII
Pers, Yogyakarta.
Muslih Aris Handayani,
Sumadi, Mukti Ali, Teori Budaya Organisasi, internet diakses tanggal 10 April
2014.
Lembaga Administrasi
Negara.Republik Indonesia. Oganisasi Publik dan Tujuan Pendiriannya, Modul
Pilot Project Pendidikan dan
Pelatihan Prajabatan Golongan III, , 2009.
http://www.riaupos.co/2698-opini-Mahkamah
Konstitusi-dan-ironi-penolakan-uu-nomor-42014.html, diakses tanggal 10 April
2014.
http://setkab.go.id/artikel-12178-.html, diakses tanggal 9 April 2014.
http://politik.kompasiana.com/2013/09/26/mencari-pemimpin-negarawan-593274.html,
diakses tanggal 16 April 2014.
http://dedhisuharto.wordpress.com/2009/05/08/negarawan-apaan-tuh/
diakses tanggal 15 April 2014.
http://budisansblog.blogspot.com/2014/03/tentang-negarawan-sejati.html
diakses tanggal 15 April 2014.
http://politik.kompasiana.com/2013/09/26/mencari-pemimpin-negarawan-593274.html,
diakses tanggal 16 April 2014.
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=56173, diakses
tanggal 15 April 2014.
http://www.tempo.co/read/news/2014/02/13/063553988/Alasan-MAHKAMAH
KONSTITUSI-Tolak-Diawasi-Majelis-Kehormatan-Hakim.
Dalam Putusan MAHKAMAH
KONSTITUSI Nomor 1-2/PUU-XII/2014.
http://hendraxsap.wordpress.com/2012/08/13/umar-bin-khattab-teladan-untukmu-para-pemimpin-dunia/Dan
http://ciung-a.abatasa.co.id/post/detail/4687/umar-bin-khatab-khalifah-yang-arif-dan-bijaksana.html,
diakses tanggal 20 April 2014.
Anonim. Internet diakses
tanggal 10 April 2014.
http://www.tempo.co/read/news/2014/02/13/063553988/Alasan-MAHKAMAH
KONSTITUSI-Tolak-Diawasi-Majelis-Kehormatan-Hakim.
Anonim. Ilmu Adminiostrasi,
hal.21. Internet diakses tanggal 10 April 2014
[1] DosenTtetap Fakultas Hukum Universitas Palembang. NIDN
:0218096101, Email: bsuryaigama@yahoo.com
[2] Muslih Aris Handayani, sumadi, Mukti Ali, Teori
Budaya Organisasi, internet diakses tanggal 10 April 2014
[3] Ibid.
[4] Lembaga Administrasi Negara.Republik Indonesia.
Oganisasi Publik dan Tujuan Pendiriannya, Modul Pilot Project Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan
Golongan III, , 2009, Hal.2
[5] Lembaga Administrasi Negara.Republik Indonesia, Op.
Cit. Hal.7.
[6] Ibid
[7] Muchsan SH, system pengawasan terhadap perbuatan
aparat pemerintah dan peradilan tata usaha negara di Indonesia,Liberti 2007
Hal. 36-50.
[8] Anonim. Internet diakses tanggal 10 April 2014
[9]
http://www.tempo.co/read/news/2014/02/13/063553988/Alasan-MAHKAMAH
KONSTITUSI-Tolak-Diawasi-Majelis-Kehormatan-Hakim
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] http://www.merdeka.com/peristiwa/Mahkamah Konstitusi-komisi-yudisial-bukan-lembaga-pengawas-hakim-konstitusi.html
[13] Anonim. Ilmu Adminiostrasi, hal.21. Internet
diakses tanggal 10 April 2014
[14] Ibid
[15] Prayudi Atmosudirjo, 1995, Hukum Administrasi
Negara, Galia Indonesia, Jakarta, hlm. 84.
[16] Ir. Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia,
Jakarta, Sinar Grafika (cetakan keempat) 1996. Hlm. 63
[17] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005,
Aspek-Aspek Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Pers, Yogyakarta, hlm. 18.
[18] http://www.riaupos.co/2698-opini-Mahkamah
Konstitusi-dan-ironi-penolakan-uu-nomor-42014.html, diakses tanggal
10 April 2014
[19] http://setkab.go.id/artikel-12178-.html,
diakses tanggal 9 April 2014
[20]
http://wartaharian.co/component/k2/2225-pakar-hukum-sebut-Mahkamah
Konstitusi-congkak.html
[21] Ibid.
[22] http://politik.kompasiana.com/2013/09/26/mencari-pemimpin-negarawan-593274.html,
diakses tanggal 16 April 2014
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25]
http://dedhisuharto.wordpress.com/2009/05/08/negarawan-apaan-tuh/ diakses
tanggal 15 April 2014
[26] Ibid.
[27] http://budisansblog.blogspot.com/2014/03/tentang-negarawan-sejati.html
diakses tanggal 15 April 2014
[28] Ibid
[29] Ibid.
[30]
http://politik.kompasiana.com/2013/09/26/mencari-pemimpin-negarawan-593274.html,
diakses tanggal 16 April 2014
[31] Ibid
[32] http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=56173,
diakses tanggal 15 April 2014
[33]http://www.tempo.co/read/news/2014/02/13/063553988/Alasan-MAHKAMAH
KONSTITUSI-Tolak-Diawasi-Majelis-Kehormatan-Hakim
[34] Dalam Putusan MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor
1-2/PUU-XII/2014
[35] Ibid.
[36]
http://fenditazkirah.blogspot.com/2013/10/sombong-bukan-akhlak-muslim.html
[37]
http://hendraxsap.wordpress.com/2012/08/13/umar-bin-khattab-teladan-untukmu-para-pemimpin-dunia/
Dan http://ciung-a.abatasa.co.id/post/detail/4687/umar-bin-khatab-khalifah-yang-arif-dan-bijaksana.html,
diakses tanggal 20 April 2014
0 komentar:
Posting Komentar