Oleh: Hotman Siahaan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Palembang
Email: Siahaan38@gmail.com
ABSTRACT
In determining
an actor crime as a
political offense we have to look
at the background of these actions. The problem, however, related with the codification such as the Criminal Code. It does not expressly provide the
identification the action in the field of politics. In the Criminal Code,
for example, the murder
of president or vice president, did not be regarded as the murder. That is,
evidence about the political background is not necessary to have the trial
court. While the law relating to this problem such Act. 11/PNPS/1963 on
Combating Subversive Activities that have been revoked, have two opinions.
First, states have no political background. Second, there should be no
political background. The fundamental difference of these two opinions is about
an act as a political offense,one side assumes the other party would destroy
the existing system, on the other hand is considered an act of
rescue (hero).
Keywords : national security
ABSTRAK
Dalam menentukan suatu kejahatan sebagai kejahatan
politik tentu harus dilihat latar
belakang tindakan yang bersangkutan. Akan tetapi problemnya adalah bahwa
kodifikasi hukum pidana tidak secara eksplisit mengatur bilamana suatu
kejahatan disebut sebagai kejahatan pofitik. Dalam ketentuan hukum pidana, misalnya, terkait dengan
pembunuhan seorang Presiden atau Wakil Presiden. Oleh karenanya kejahatan
politik tidak harus diajukan ke Pengadilan. Dalam pada itu ketentuan hukum
terkait dengan hal-hal tersebut seperti UU Nomor 11/PNPS/1963 telah dibekukan.
Kenyataan ini menimbulkan dua opini : Pertama, negara tidak memiliki latar
belakang ideologi politik. Kedua,
tidak akan ada latar belakang politik. Perbedaan mendasar dari dua opini
terkait dengan pemahaman suatu tindakan sebagai kejahatan politik. Disatu sisi tindakan tersebut akan
diberantas oleh sistem politik yang ada, di sisi lain tindakan itu
dipandang sebagai bersifat pahlawan.
Kata
Kunci: keamanan negara.
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam naskah pembukaan UUD 1945
pada alenia keempat mengandung tujuan nasional yang salah satunya adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan
ini mengandung makna bahwa negara atau Pemerintah memiliki tanggungjawab
terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari segala
ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri seperti pemberontakan, makar,
terorisme dan menganut paham komunisme. Bertolak dari hal ini, keluarlah konsep
keamanan negara yang menjadi sarana preventif
maupun represif terhadap segala bentuk upaya yang dapat mengganggu dan
mengancam stabilitas nasional.
Dimasa orde baru, konsep ini
dijadikan sebagai alat bagi penguasa untuk membungkam dan menyingkirkan
pihak-pihak yang melakukan demostrasi, menulis puisi, lagu, artikel atau
buku dan lain-lain. yang bersifat mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak
berpihak pada masyarakat. Jelasnya konsepsi keamanan negara adalah sebentuk
pendekatan keamanan (security approach)
yang diberlakukan penguasa negara terhadap masyarakat
secara umum.[1] Disini ada kecurigaan negara yang besar terhadap warganya sendiri, baik itu
terjadi karena aspirasi lokal maupun ilfiltrasi dari unsur asing ke dalam
negeri.
Indonesia telah memiliki beberapa
konsep keamanan negara yang tersebar dalam beberapa produk hukum seperti dalam
KUHP, RUU KUHP, Ketetapan MPR, Undang-undang Subversi, Undang
undang Pertahanan Keamanan dan lain-lain. Namun
pada tahap aplikasi dari
semua produk hukum tentang konsep
keamanan negara ini, oleh elit penguasa disalahgunakan untuk melindungi
kepentingannya sendiri. Salah satu penyebabnya adalah adanya kekaburan tentang
perumusan kejahatan terhadap keamanan negara yang dikategorikan sebagai
kejahatan politik. Sehingga penguasa dapat memilih penafsirannya sendiri untuk
menangkap, mengadili dan memvonis penjara seumur hidup bahkan dihukum mati
setiap orang atau kelompok yang tidak sepaham dengan penguasa untuk melindungi
kekuasaan atau kesalahannya.
Perumusan tentang kejahatan atau
delik politik memang belum ada kejelasan dan kesamaan pendapat dikalangan
publik dan kalangan ilmiah. Hal ini disebabkan adanya kesulitan dalam
merumuskan definisi yang universal tentang politik. Delik politik merupakan
istilah sosiologis, bukan istilah
yuridis. Di kalangan hukum lebih terkenal dengan Delik Keamanan Negara.[2] Maka perlu ada kajian yang mendalam dari
berbagai aspek tentang delik politik yang berkaitan dengan keamanan negara ini,
khususnya kajian politik, yuridis dan sosiologis. Sehingga delik keamanan negara sebagai delik politik dapat terumus dengan jelas
guna menghindari penggunaan konsep keamanan negara yang represif oleh penguasa.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pendahuluan
diatas, konsep keamanan negara mengandung beberapa permasalahan, baik pada
tahap kebijakan maupun tahap implementasinya. Pada tahap kebijakan, belum ada definisi
yang jelas dan universal tentang kejahatan terhadap keamanan negara sebagai
delik politik. Akibatnya, pada tahap implementasi, konsep keamanan negara
justru menjadi alat bagi penguasa untuk meredam dan melenyapkan berbagai suara
aspirasi yang tidak sependapat dengannya. Maka rumusan masalah adalah Bagaimana
konsep kejahatan terhadap keselamatan dan
keamanan negara di Indonesia sebagai
delik politik ?
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana konsep kejahatan terhadap keselamatan dan
keamanan negara di Indonesia sebagai delik politik.
a. Metode pendekatan
yang digunakan adalah penelitian hukum
normatif.
b. Jenis
dan sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder
c. Metode
pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (Library Research).
d. Analisa
data dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif.
II. PEMBAHASAN
A.
Delik
Politik
Dalam upaya penanggulangan
kejahatan, ada dua sarana yang digunakan, yaitu melalui penal dan non penal.
Sarana penal menggunakan pendekatan kebijakan hukum pidana. Menurut Marc Ancel, politik kriminal merupakan suatu
usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan (the rational organization of the control of
crime by society).[3] Artinya
pendekatan rasional merupakan bagian yang harus selalu ada dalam setiap
kebijakan yang akan dikeluarkan, termasuk dalam kebijakan hukum pidana.
Kebijakan hukum pidana yang
digunakan dalam upaya penanggulangan tindak pidana politik tentunya harus
melewati tahap kriminalisasi yang angat membutuhkan definisi, konsep atau kriteria dari tindak pidana
atau delik politik itu sendiri. Dalam analisa tentang delik politik, bukanlah
hal yang mudah. Karena sampai dengan saat ini sulit mencari definisi yang
universal tentang politik sehingga masih ada multitafsir tentang definisi
politik. Dalam kebijakan legislatif/formulasi selama
ini, tidak ada suatu perbuatan yang secara formal dikualifikasikan sebagai
kejahatan/tindak pidana politik. oleh karena itu, dapat dikatakan, bahwa
istilah delik politik bukanlah istilah yuridis, melainkan istilah umum dan
istilah ilmiah.[4]
Dikalangan hukum delik politik lebih dikenal sebagai
delik keamanan negara. Sehingga permasalahannya sampai pada keanalisis terhadap
kepentingan negara yang harus dilindungi.
Sebelum masuk lebih jauh dalam
pembahasan tentang delik politik, perlu kiranya kita membahas apa sebenarnya politik itu. Sehingga akanjelas kejahatan mana yang
bersifat politik. Politik tidak hidup diruang hampa. Ia
hidup dalam kehidupan bersama manusia dan berkaitan erat dengan penggunaan
kekuasaan dalam kehidupan bersama.[5]
Ada beberapa pendapat mengenai
pengertian politik, yaitu :
1. Willem
Zevenbergen
Politik
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan negara. Orang Yunani zaman dahulu
menerapkan arti kata politik pada tiga hal, yaitu sebagai seni, ilmu dan
perbuatan
2. Miriam
Budiarjo
Politik
adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem polilik (atau negara) yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan
tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan
dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan
penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang
telah dipilih itu.[6]
Hazewinkel Suringa
mengutarakan empat teori dalam menentukan delik politik. Keempat teori itu
adalah:[7]
1. Teori
Obyektif (teori Absolut), bahwa delik
politik ditujukan terhadap negara dan berfungsinya lembaga-lembaga negara;
2. Teori
Subyektif (teori relatif), Pada azasnya
semua delik umum dilakukan dengan suatu tujuan, latar belakang serta tujuan
politik, merupakan suatu delik politik;
3. Teori Predominan, teori ini membatasi teori
obyektif dan teori subyektif. Dalam hal ini diperhatikan apa yang dominan dari
suatu perbuatan. Apabila yang dominan merupakan suatu kejahatan umum, maka perbuatan tersebut tidak
disebutkansebagai delik politik; atau
4. Teori Political Incidence, teori ini melihat
perbuatan yang dianggap sebagai bagian dari suatu kegiatan politik.
B.
Konsep
Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara Di Indonesia Sebagai Delik
Politik
Dalam pembahasan sebelumnya,
telah dijelaskan tentang delik politik. Pada prinsipnya, kejahatan
terhadap keamanan dan keselamatan negara merupakan delik
politik, walaupun belum ada kejelasan
dan kesamaan definisi atau penafsiran tentang delik politik itu sendiri.
Perbedaan ini adalah suatu hal yang wajar, karena setiap orang atau kelompok
dapat memberikan pengertian tentang kejahatan politik seperti kejahatan
terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap Hak asasi manusia, kejahatan
bermotif politik, penjatuhan kekuasaan, kejahatan penyalahgunaan kekuasaan dan
lain-lain.
Dari berbagai identifikasi
pengertian di atas, dapatlah secara garis besar kejahatan politik dikategorikan dalam 2 kelompok, yaitu :
a) Kejahatan
oleh pemegang kekuasaan
Kualifikasi dua kelompok ini
apabila dilihat dari konsep
keselamatan dan keamanan negara, maka masuk dalam kategori kejahatan terhadap
sistem kekuasaan yang dilakukan oleh warga masyarakat maupun oleh pejabat penguasa/politisi
yang berada didalam lingkaran kekuasaaan. Walaupun selama ini yang sering dijadikan
pelaku dalam tindak pidana politik adalah warga masyarakat seperti anggota LSM,
mahasiswa dan lain-lain. Misalnya
yang dialami oleh Hendra Syafri, Am
Fatwa, Abdul Qadir Djaelani, Oesmany Al Hamidy
dan terakhir adalah konspirasi pembunuhan dipesawat
terhadap pejuang HAM yaitu Munir,
dalam perjalanannya ke Belanda. Sementara dari kalangan penguasa, bisa saja
terjadi seperti penggulingan saingan politiknya yang sedang berkuasa. Namun hal ini jarang
terjadi karena kuatnya kekuasaan dari penguasa. Walaupun terjadi, biasanya ada
kompromi politik sehingga tidak sampai pada tuntutan dipengadilan, apalagi
sampai dipenjara. Berbeda dengan warga masyarakat yang
bisa langsung ditangkap, diadili dan dipenjara sebagai tahanan politik dan
narapidana politik.
Konsep kejahatan terhadap
keamanan dan keselamatan negara sejak orde baru sampai dengan era reformasi ini
telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah
dalam Undang-undang No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
dan KUHP dan RUUKUHP.
a. Undang-undang
No. 11/PNPS/ 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
Undang-undang subversi ini telah
dicabut dan tidak berlaku lagi karena digunakan
hanya untuk mengancam
orang-orang yang terlibat dalam mengkritisi kebijakan pemerintahan orde lama.
Namun perlu kiranya kita mengkaji kebijakan kriminalisasi, khususnya tentang
perbuatanperbuatan subversi sebagai delik politik yang diatur dalam Pasal 1s/d
Pasal 3, antara lain yaitu
:
1. memutarbalikan
ideologi negara
2. menggulingkan kekuasaan negara dan menyebarkan rasa permusuhan dimasyarakat
3. mengganggu
dan menghambat kegiatan ekonomi, militer dan instalasi-instalasi pemerintahan.
4. melakukan
kegiatan mata-mata, sabotase dan propaganda untuk negara musuh
Ancaman pidana untuk kejahatan diatas
adalah dari pidana mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun dan denda maksimal 30 juta
rupiah (pasal 13). Pada masa orde baru, Undang-undang subversi ini tetap
dipertahankan berdasarkan Undang-undang No 5
tahun 1969, dimana Pemerintah orde baru mengukuhkan undang-undang subversi
sebagai salah satu perangkat kenegaraan yang
dibutuhkan pemeritahan baru saat itu untuk melindungi kepentingan negara.
Padahal perangkat hukum ini hanya untuk melegitimasi kewenangannya untuk
melindungi kepentingan penguasa itu sendiri. Bahkan di masa orde baru terjadi
perluasan tentang siapa siapa yang dianggap musuh negara. Pada
masa orde lama, orang yang mengangkat senjata dikategorikan sebagai pengganggu
keamanan negara, namun di era orde baru berbeda pendapat saja sudah
dikategorikan sebagai musuh negara.
b. Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam KUHP Indonesia yang berlaku
saat ini, ada beberapa tindak pidana politik yang
berkaitan dengan perlindungan keamanan negara atau kepentingan negara yang
diatur dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 129, antara lain yaitu :
1. makar
terhadap Presiden dan Wakil presiden
2. makar
terhadap wilayah negara
3. makar
untuk menggulingkan kekuasaan
4. pemberontakan
5. permufakatan
jahat untuk melakukan Point 1s/d 4 diatas
6. kontak dengan negara asing untuk
bermusuhan/perang
7. kontak
dengan orang/badan di luar Indonesia untuk penggulingan pemerintahan
8. mengumumkan/menyerahkan
rahasia negara
9. memasuki
bangunan/wilayah militer terlarang
10. membuat/mengumpulkan dan sebagainya gambar-gambar atau petunjuk yang
berhubungan dengan kepentingan militer
11. membahayakan
kenetralan negara
12. membantu
musuh (menjadi mata-mata, menjadi tentara asing, huru-hara dan pemberontakan
dikalangan militer)
c. Rancangan
Undang-undang KUHP
Dalam RUU KUHP, pada Buku II bab
II diatur tentang Tindak Pidana terhadap Keamanan negara yang terbagi dalam
beberapa bagian (Pasal 50 s/d Pasal 61),yaitu :
1. Tindak pidana terhadap ideologi negara
-
Penyebaran Ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme
-
Peniadaan dan Penggantian ideologi
Pancasila
2. Tindak
Pidana Makar
-
Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden
-
Makar terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia
-
Makar terhadap Pemerintah yang Sah
3. Tindak Pidana terhadap Pertahanan dan Keamanan Negara
-
Pertahanan Negara
-
Pengkhianatan terhadap Negara dan Pembocoran Rahasia Negara
-
Tindak Pidana Sabotase dan Pada Waktu
Perang
4. Tindak
Pidana Terorisme
-
Terorisme
-
Terorisme dengan menggunakan bahan-
bahan kimia
-
Pendanaan untuk Terorisme
-
Penggerakan, Pemberian Bantuan dan
Kemudahan untuk Terorisme
-
Perluasan
Pidana Terorisme
5. Tindak Pidana
Terhadap Penerbangan dan Sarana Penerbangan
-
Perusakan Sarana Penerbangan Perusakan
Pesawat Udara
-
Pembajakan Udara
-
Perbuatan yang
Membahayakan Keselamatan Penerbangan
Apabila melihat beberapa teori
yang telah dikemukakan oleh Hazewinkel
Suringa di atas, ternyata KUHP kita menganut teori obyektif,
sedang dalam undang-undang subversi menganut teori subyektif. Adanya perbedaan
prinsip ini, akan menambah permasalahan dalam upaya penanggulangan tindak
pidana politik. Selain itu kurang jelasnya beberapa ketentuan seperti penyebaran rasa benci terhadap negara
yang menjatuhkan wibawa pemerintah dan ukuran keamanan negara. Dalam hal
keamanan negara mana yang harus dilindungi. Tentunya tidak pada keamanan suatu
daerah atau kota, apalagi bila lingkupnya sangat kecil. Apakah kejahatan biasa
seperti pencopetan yang meresahkan masyarakat termasuk mengancam keamanan
negara. Jadi keamanan negara yang dimaksud haruslah pada keamanan kelangsungan
ketatanegaraan. Dalam hal ini perlu dibedakan pula antara pelaku perbuatan
politik dengan pelaku delik politik. Setiap orang yang ingin mengkritik
kebijakan pemerintah, tentunya bukanlah berusaha melakukan kekacauan terhadap
sistem ketatanegaraan tetapi merupakan kontrol sosial. Pembedaan inilah yang
tidak ada dalam UU subversi. Sehingga delik politik ditentukan hanya
berdasarkan persepsi pemerintah saja.
Pada dasarnya konsep keamanan
negara sangatlah penting dan dibutuhkan. Namun harus ada suatu perumusan yang
jelas dan eksplisit, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana terhadap
keamanan negara sebagai delik politik. Sehingga tidak ada multitafsir dan
penyalahgunaannya oleh penguasa untuk membungkam
aspirasi rakyat.
III. PENUTUP
Konsepsi tentang keamanan dan
keselamatan negara merupakan suatu instrumen yang sangat penting dan sangat
dibutuhkan demi menjaga stabilitas nasional dan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.Maka perluadasuatu perumusan tentang kejahatan atau tindak
pidana terhadap keamanan dan keselamatan negara. Kejatahan ini sangat erat
kaitannya dengan aspek politik, sehingga
dikualifikasikan sebagai kejahatan atau delik politik. Karena menyangkut
kepentingan dan perlindungan negara.
Pada prinsipnya telah ada
beberapa produk hukum tentang delik keamanan negara, seperti dalam UU subversi,
KUHP dan RUU KUHP.Namun adanya ketidakjelasan dan multitafsir terhadap delik
politik ini, disalahgunakan oleh penguasa yang dengan persepsinya sendiri untuk
membungkam atau menangkap pihak-pihak yang mengkritisi kebijakan pemerintah
yang merugikan rakyat dengan legitimasi dalam rangka menjaga keamanan negara.
Maka harus ada kajian yang lebih mendalam lagi tentang jenis-jenis tindak
pidana terhadap keamanan negara, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan
menutup akses aspirasi rakyat. Perlu adanya pembedaan antara
kejahatan politik dengan perbuatan politik
agar konsep keamanan negara memang bertujuan untuk menjaga stabilitas nasional
dan bukan sebagai alat dari pemerintah atau penguasa untuk melindungi
kepentinganya sendiri yang tidak
demokratis.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM
dan Hukum, Bandung: Refika Aditama
A.
Mansyur,1993, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
lnternasional,
Jakarta: Ghalia Indonesia
Barda
Nawawi Arif, 1996, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
--------------------,
2001, Masalah Penegakan Hukum dan
Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti
Barda
Nawawi Arief, 2002, Perbandingan Hukum
Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta
Chainur
Arrasid. 2000. Dasar-Dasar
llmu Hukum. PT. Sinar Grafika. Jakarta.
Ignatius
Haryanto, 1999, Kejahatan Negara
"Telaah Tentang Penerapan Delik Keamanan Negara", Jakarta: ELSAM
Haryatmoko,
2003, Etika Politik Dan Kekuasaan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
lskandar
Siahaan, 1984, Politik
dalam Perspektif Hukum,
Jakarta:IND-HILL.CO
Loebby
loqman, 1993, Delik Politik Di Indonesia, Jakarta:IND-HILL-CO
Lilik
Mulyadi, 1997, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi &
Viktimologi, Jakarta: Djambatan
Mahmud
Mulyadi. 2007. Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana, Fakultas Hukum-USU.
Satjipto
Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti
-----------,
1980, Permasalahan Hukum di Indonesia,
Bandung:Alumni
Sunaryati
Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu
Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni
Undang-undang
No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana
Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Revisi September 2005)
[3] Barda
Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 2
[4] Barda
Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan
Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti, hlm. 184
p
BalasHapusmakasih atas artikelnya, sangat bermanfaat sekali
BalasHapusvisit our website href="https://ittelkom-jkt.ac.id/"
href="http://akademitelkom.ac.id/"