Penulis
Marsidah, S.H.,M.H
ABSTRAK
Asuransi
Syari’ah merupakan bidang bisnis asuransi yang cukup memperoleh perhatian besar
di kalangan masyarakat Indonesia.
Sebagai bisnis asuransi alternatif, asuransi syari’ah dapat dikatakan relatif
baru dibandingkan dengan bidang bisnis asuransi konvensional. Berdasarkan Pasal
1 ayat (1) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 memberikan pengertian Asuransi Syari’ah adalah
usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang/pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko
melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Adapun sumber hukum
material asuransi syari’ah adalah Syari’ah Islam, sedangkan sumber-sumber
syari’ah Islam adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma
(Ijtihad), Fatwa Sahabat Rasul, Qiyas,
Istihsan, dan Urf (tradisi).
Sedangkan
konsep asuransi syari’ah adalah suatu konsep dimana terjadi saling memikul
resiko di antara sesama peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya
menjadi penanggung atas resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini dilakukan
atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing
mengeluarkan dana tabarru’ atau dana
kebijakan (derma) yang tujuannya untuk menanggung resiko, sehingga dalam
asuransi syari’ah dapat terhindar dari hal-hal yang diharamkan oleh para ulama,
yaitu menghindari ketidak jelasan (Gharar),
menghindari perjudian (Maisir),
menghindari bunga uang (Riba). Pada
asuransi konvensional perusahaan asuransi mengadkaan kontrak asuransi dengan
tertanggung dalam bentuk perlindungan resiko, investasi dana berdasarkan bunga
uang (Riba). Dana pembayaran klaim
diambil dari rekening penanggung. Dalam hal tertanggung memutuskan kontrak
asuransi sebelum jangka asuransi berakhir, premi yang sudah dibayar oleh
tertanggung tidak dapat ditarik kembali, karena premi terseut menjadi hak
penanggung. Dalam asuransi konvensional tidak semua jenis asuransi
merupakan asuransi plus tabungan.
A.
LATAR BELAKANG
Dalam perkembangan pembangunan sekarang ini produk
asuransi mulai mendapat perhatian dari masyarakat. Asuransi sebagai lembaga
pengalihan resiko asuransi selain bermanfaat bagi peserta asuransi, bermanfaat
juga bagi pembangunan karena lembaga asuransi merupakan lembaga keuangan bukan
bank yang menggerakkan dana masyarakat melalui premi yang dibayarkan oleh
tertanggung.
Hubungan hukum dalam asuransi dilaksanakan dalam bentuk
perjanjian antara penanggung dan tertanggung. Tertanggung mengadakan perjanjian
dengan tujuan untuk memperalihkan resiko kepada pihak lain untuk mengganti
kepada tertanggung sejumlah ganti kerugian disebabkan terjadinya suatu
peristiwa yang tidak tertentu, tetapi untuk terjadinya hubungan hukum dalam
perjanjian tersebut pihak tertanggung harus membayar sejumlah premi kepada
penanggung.
Sehubungan dengan
hal itu, definisi pertanggungan atau asuransi dapat kita temukan dalam
ketentuan Hukum Positif Indonesia, yakni Pasal 246 KUHDagang yang berbunyi : “Asuransi
atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima premi, untuk
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang mungkin akan dideritanya karena suatu
peristiwa yang tidak tertentu (evenement)”.[1]
Berdasarkan definisi tersebut di atas ada beberapa unsur
yang terkandung di dalamnya, yaitu :
1.
Adanya
perjanjian timbal balik.
2.
Adanya
pihak penanggung dan pihak tertanggung.
3.
Adanya
pembayaran premi dari tertanggung kepada penanggung.
4.
Penggantian
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan.
5. Suatu peristiwa yang tidak tertentu (evenement)
kapan akan terjadi.
Dengan demikian, pertanggungan atau asuransi terjadi
apabila ada perjanjian antara pihak tertanggung dan penanggung. Pihak
penanggung akan memberikan ganti kerugian apabila terjadi evenement, sedangkan pihak tertanggung berkewajiban membayar premi
sebagai kontra prestasi.
Kegiatan bisnis asuransi konvensional seperti asuransi
kerugian, asuransi jiwa dan jenis-jenis asuransi sosial saat ini makin
berkembang, yang membawa konsekuensi berkembang pula hukum bisnis asuransi.
Salah satu kegiatan bisnis asuransi yang muncul dalam masyarakat adalah bisnis
asuransi syari’ah. Dalam undang-undang yang mengatur tentang bisnis perasuransian,
belum diatur tentang asuransi syari’ah. Namun, dalam praktik perasuransian
ternyata bisnis asuransi syari’ah sudah banyak dikenal masyarakat.
Asuransi syari’ah merupakan bidang bisnis asuransi yang
cukup memperoleh perhatian besar di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai
bisnis asuransi alternatif, asuransi syari’ah boleh dikatakan relatif baru
dibandingkan dengan bidang bisnis asuransi konvensional. Kebaruan bisnis
asuransi syari’ah adalah pengoperasian kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip-prinsip syari’ah yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist serta Fatwa
Para Ulama terutama yang terhimpun dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sedangkan pengertian asuransi syari’ah berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1)
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 adalah usaha saling
melindungi dan tolong-menolong antara sejumlah orang / pihak melalui investasi
dalam bentuk aset / tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan resiko.
Pada prinsipnya, yang membedakan asuransi syari’ah dengan
asuransi konvensional adalah asuransi syari’ah menghapuskan unsur
ketidakpastian (gharar), unsur
spekulasi alias perjudian (maisir),
dan unsur bunga uang (riba) dalam
kegiatan bisnisnya sehingga peserta asuransi (tertanggung) merasa terbebas dari
praktik kezaliman yang merugikannya.[2]
Bisnis asuransi yang sudah ada sebelumnya dan sudah
diatur dengan undang-undang sudah banyak dibahas para intelektual Muslim dan
ternyata banyak mengandung kelemahan yang bertentangan dengan prinsip syari’ah
yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Walaupun istilah asuransi
tidak dikenal dalam Al-Qur’an dan Hadist, tidak tertutup kemungkinan
dikembangkan secara Islami oleh para ahli hukum Islam atau fukaha untuk mencari
dan menetapkan hukumnya, selama tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan
undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas
muncul permasalahan :
“Apakah yang menjadi dasar hukum dan konsep dalam
perkembangan asuransi syari’ah di Indonesia ?”
B.
PEMBAHASAN
Penduduk Indonesia
yang mayoritas beragama Islam, menganggap pelaksanaan asuransi konvensional
yang sudah ada kini tidak sesuai dengan prinsip syari’ah karena mengandung
unsur ketidakjelasan (gharar), mengandung
unsur perjudian (maisir), dan
mengandung unsur bunga uang (riba).
Hal ini membuat ragu umat Islam untuk ikut serta sebagai anggota asuransi.
Akhirnya, melalui kesatuan pendapat para ulama Islam, lahirlah suatu konsep
asuransi syari’ah yang dapat diterima dan dipraktikkan di mana saja, dengan
mendirikan perusahaan asuransi syari’ah dan dilaksanakan berdasarkan prinsip
syari’ah guna menghindari unsur-unsur gharar,
maisir, dan riba.
Kedudukan
hukum Islam dalam sistem hukum nasional sudah diakui sebagai hukum positif
tidak tertulis (nonperundang-undangan) sejak zaman Hindia Belanda. Hal ini
sejalan pula dengan kedudukan hukum adat sebagai hukum positif tidak tertulis
(nonperundang-undangan) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Status hukum Islam sebagai hukum positif tidak tertulis dalam masyarakat
Indonesia terbukti dari pengakuan dan pembenarannya berupa dibentuknya oleh
Pemerintah lembaga-lembaga Islam, seperti Mahkamah Syari’ah, sekolah dasar
hingga perguruan tinggi Islam. Selain itu, juga didirikannya organisasi para
ulama Islam, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi profesi Islam,
seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), lembaga bisnis Islam,
seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI).
1.
Dasar Hukum Asuransi
Syari’ah
Sumber
hukum material asuransi syari’ah Islam adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma (Ijtihad), Fatwa Sahabat Rasul, Qiyas, Istihsan, dan Urf (tradisi). Al-Qur’an dan Hadist
merupakan sumber utama hukum Islam, namun dalam menetapkan prinsip-prinsip
maupun praktik dan operasional asuransi syari’ah, parameter yang senantiasa
menjadi rujukan adalah syari’ah Islam.[3]
Oleh karena
itu, pengaturan tentang asuransi syari’ah boleh didasarkan pada Ijma (Ijtihad). Penetapan hukum dengan
metode Ijma (Ijtihad) dapat menggunakan beberapa cara, antara lain :
a.
Melakukan interpretasi atau penafsiran hukum
secara analogi (qiyas), yaitu dengan
cara mencari perbandingannya atau pengibaratannya.
b.
Untuk
kemaslahatan umum (mashlahah mursalah),
yang bertumpu pada pertimbangan menarik manfaat dan menghindarkan mudharat.
c.
Meninggalkan
dalil-dalil khusus dan menggunakan dalil-dalil umum yang dipandang lebih kuat (Istihsan).
d.
Dengan
cara melestarikan berlakunya ketentuan asal yang ada, kecuali terdapat dalil
yang menentukan lain (Istihs-hab).
e.
Mengukuhkan
berlakunya adat kebiasaan yang tidak berlawanan dengan ketentuan syari’ah.
Berdasarkan
metode-metode kajian tersebut di atas, penetapan hukum keberadaan asuransi
syari’ah yang digunakan dilihat dari segi hukum Islam adalah Ijma (Ijtihad). Metode ini menggunakan
dasar “untuk kepentingan umum” (mashlahah
mursalah). Jadi, asuransi syari’ah dibolehkan dengan alasan untuk
kepentingan umum.[4]
Keberadaan
asuransi syari’ah di Indonesia
saat ini tidak dilarang undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 tentang Perasuransian. Malahan, Pemerintah telah mengeluarkan
keputusan-keputusan yang berkenaan dengan asuransi, termasuk asuransi syari’ah,
yaitu sebagai berikut :
a. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan
Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
b.
Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha
dan Kelembagaan Perusahaan Reasuransi.
c.
Keputusan
Dirjen Lembaga Keuangan No. Kep. 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian, dan
Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan
sistem syari’ah.
Kehadiran asuransi syari’ah diawali dengan beroperasinya
bank syari’ah. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan ketentuan pelaksanaan bank syari’ah. Pada saat ini bank syari’ah
membutuhkan jasa asuransi syari’ah guna mendukung permodalan dan investasi
dana. Pada tanggal 27 Juli 1993, ICMI melalui Yayasan Abdi Bangsa bersama Bank
Muamalat Indonesia (BMI), dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat
memprakarsai pendirian Asuransi Takaful dengan menyusun Tim Pembentukan
Asuransi Takaful Indonesia (Tepati).
Sebagai realisasi kesepakatan tersebut, didirikanlah PT.
Syarikat Takaful Indonesia sebagai Holding
Company dan dua anak perusahaan, yaitu PT. Asuransi Takaful Keluarga
(asuransi jiwa) dan PT. Asuransi Takaful Umum (asuransi kerugian). Pembentukan
dua anak perusahaan tersebut, dimaksudkan untuk mematuhi ketentuan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang mana
perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian harus berdiri
terpisah.
2.
Konsep Asuransi Syari’ah
Pada asuransi konvensional, perusahaan asuransi
mengadakan kontrak asuransi dengan peserta asuransi dalam bentuk perlindungan
risiko. Investasi dana berdasarkan bunga uang (riba). Dana pembayaran klaim diambil dari rekening perusahaan
asuransi. Premi yang sudah disetor menjadi milik perusahaan asuransi. Dalam hal
peserta asuransi memutuskan kontrak asuransi sebelum jangka waktu asuransi
berakhir, premi yang dibayar oleh peserta asuransi tidak dapat ditarik kembali,
karena premi tersebut menjadi hak perusahaan asuransi, kecuali jika asuransi
yang diikuti peserta asuransi itu merupakan asuransi plus tabungan. Namun, dalam
asuransi konvensional tidak semua jenis asuransi merupakan asuransi plus
tabungan.
Konsep asuransi syari’ah didasarkan pada Al-Qur’an Surat
Almaa’idah ayat (2), yang artinya :
“Tolong-menolonglah
kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran.”
Berdasarkan konsep tersebut, kemudian Dewan Syari’ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan pengertian tentang asuransi
syari’ah. Pasal 1 ayat (1) Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001
menetapkan bahwa :
“Asuransi syari’ah
adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang /
pihak melalui investasi dalam bentuk asal dan/atau tabarru” yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan)
yang sesuai dengan syari’ah.”
M. Syakir Sula menegaskan bahwa konsep asuransi syari’ah
adalah suatu konsep di mana terjadi saling memikul risiko di antara sesama
peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko
yang muncul. Saling pikul risiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam
kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru atau dana
kebajikan (derma) yang tujuannya untuk menanggung risiko.
Dengan demikian dalam sistem operasional, asuransi
syari’ah telah terhindar dari hal-hal yang diharamkan oleh para ulama, yaitu.[5]
a.
Menghindari
Ketidakjelasan (Gharar)
Hadist Nabi
Muhamamd SAW, yang dapat dijadikan acuan mengenai gharar adalah :
“Rasulullah SAW melarang jual beli dengan
lemparan batu (hasab) dan jual beli gharar (diriwayatkan oleh Imam Muslim).”
Berdasarkan Hadist tersebut, kemudian timbul beberapa
definisi. Definisi gharar menurut mazhab Imam Syafei adalah apa-apa yang
akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin
muncul adalah yang paling kita takuti. Menurut Ibnul Qayyim, gharar adalah yang tidak bisa diukur
penerimaannya, baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang
melarikan diri dan unta yang liar meskipun ada.[6]
H.M. Syafiie Antonio seorang pakar ekonomi syari’ah
menjelaskan bahwa ketidakjelasan (gharar)
terjadi dalam dua bentuk, yaitu :
a)
Akad syari’ah yang melandasi penutupan polis
Kontrak
dalam asuransi jiwa konvensional dikategorikan sebagai akad pertukaran (tabaduli), yaitu pertukaran pembayaran
premi dengan uang pertanggungan. Secara harfiah dalam akad pertukaran harus
jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi
tidak jelas (gharar) karena kita tahu
berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu
berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang
tahu kapan seseorang meninggal. Dalam konsep takaful (saling menolong), keadaan
ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad tolong-menolong (takafuli) dan saling menjamin di mana
semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya.
b)
Sumber dana pembayaran
klaim
Sumber dana pembayaran
klaim dan keabsahan syar’ie penerima
uang klaim itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, tertanggung tidak
mengetahui dari mana dana pertanggungan yang diberikan oleh perusahaan asuransi
berasal. Tertanggung hanya tahu jumlah pembayaran klaim yang akan diterimanya.
Dalam konsep asuransi takaful (saling menolong), setiap pembayaran premi sejak
awal akan dibagi dua, rekening pemegang polis dan rekening khusus peserta yang
harus diniatkan sebagai dana
kebajikan/derma
(tabarru’) untuk membantu saudaranya
yang lain. Jadi, klaim dalam konsep asuransi takaful diambil dari dana tabarru’
yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang diberikan oleh peserta asuransi.
b.
Menghindari Perjudian (Maisir)
Islam telah
melarang perjudian (maisir),
sebagaimana firman Allah dalam Surat Almas’idah
ayat (90), yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban) untuk berhala, mengundi nasib dengan
panah adalah perbuatan keji yang termaasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Kata maisir
berasal dari bahasa Arab, yang secara
harfiah berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau
mendapat keuntungan tanpa bekerja. Hal ini biasa juga disebut perjudian, yang
dalam terminologi agama diartikan sebagai suatu transaksi yang dilakukan oleh
dua pihak untuk memperoleh kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan
satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut
dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu.[7]
Gemala Dewi
juga mengartikan bahwa dalam konsep maisir di satu pihak memperoleh keuntungan,
tetapi di lain pihak justru mengalami kerugian. Unsur maisir dalam asuransi
konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian, tertanggung tidak
mengalami musibah atau kecelakaan, maka tertanggung tidak berhak mendapatkan
apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan keuntungan diperoleh
tertanggung ketika tertanggung yang belum lama menjadi anggota asuransi (jumlah
premi yang disetor sedikit), menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih
besar. Dalam konsep takaful (saling menolong), apabila peserta asuransi tidak
mengalami musibah atau kecelakaan selama menjadi peserta dia masih tetap berhak
mendapatkan premi yang disetor, kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana
tabarru’.[8]
c.
Menghindari Bunga Uang
(Riba)
Dalam Al-Qur’an dan Hadist, riba itu dilarang atau
diharamkan. Salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang melarang riba adalah Surat Ali
Imran ayat (130), yang menyatakan:
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Riba menurut pengertian bahasa berarti tambahan (azziyadah), berkembang (annumuw),
meningkat (al-irtila’), dan membesar
(al-uluw). Jadi, riba adalah
penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman
pokok yang diterima pemberi pinjaman dan peminjam sebagai imbalan karena
menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu
tertentu.[9]
Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi
konvensional melakukan usaha dan investasi yang meminjamkan dana premi yang
terkumpul atas dasar bunga uang. Dalam konsep takaful (saling menolong), dana
premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsip bagi hasil, terutama
mudharabah dan musyarakah.[10]
Untuk mengawasi operasional sehari-hari Lembaga Keuangan
Syari’ah, seperti bank, asuransi, obligasi, pasar modal, leasing, dan
sebagainya, terdapat Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). Dewan ini merupakan bagian
yang tidak terpisah dari Dewan Syari’ah Nasional (DPN) Majelis Ulama Indonesia,
selanjutnya disingkat DSN-MUI. Keberadaan DPS dalam asuransi syari’ah merupakan
salah satu unsur yang membedakan asuransi syari’ah dengan asuransi
konvensional. DPS bertugas mengawasi operasionalisasi perusahaan dan produknya
agar sesuai dengan ketentuan syari’ah. Produk dan pelayanan jasa asuransi yang
akan ditawarkan kepada peserta asuransi harus diteliti lebih dulu keabsahannya
oleh DPS untuk mengetahui apakah produk sesuaiatau tidak dengan asuransi
syari’ah. Selain itu, DPS juga bertugas mendiskusikan masalah dan transaksi bisnis
yang dihadapkan kepadanya agar dapat ditetapkan halal atau tidaknya menurut
syari’ah Islam serta memberikan fatwa terhadap investasi dana yang akan
ditempatkan oleh asuransi takaful.
Berdasarkan pembahasan di atas, diperoleh konsep yang
jelas tentang asuransi sebagai alternatif pilihan bagi calon peserta asuransi.
Asuransi syari’ah didasarkan pada prinsip tolong-menolong dalam kebaikan dan
fatwa serta menghindari adanya unsur gharar, maisir, dan riba dalam
pelaksanaannya. Antara peserta asuransi yang satu dengan yang lainnya saling
menanggung risiko, artinya yang menjadi penanggung dalam asuransi syari’ah
adalah para peserta sendiri. Dalam hal pengelolaan dananya, asuransi syari’ah
memisahkan antara rekening tabarru’
dan rekening dana peserta. Bila terjadi musibah pada salah satu peserta
asuransi, maka dana yang digunakan untuk membayar santunan adalah dana yang
berasal dari rekening tabarru’.
Operasional asuransi syari’ah diawasi oleh Dewan Pengawas Syari’ah yang
merupakan bagian yang tak terpisah dari Dewan Syari’ah Nasional. Saat ini, di
Indonesia telah berdiri perusahaan asuransi syari’ah, yaitu PT. Asuransi
Takaful Keluarga (asuransi jiwa) dan PT. Asuransi Takaful Umum (asuransi
kerugian).
3.
Klasifikasi Hukum
Positif
Menurut
kenyataan hukum yang hidup dan berlaku di dalam masyarakat bangsa Indonesia,
hukum positif dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Hukum
perundang-undangan yang bersumber dari badan perundang-undangan yang secara
resmi diberi bentuk tertulis dan diumumkan secara luas dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
b.
Hukum
adat dan kebiasaan yang bersumber dari masyarakat dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang sifatnya tidak tertulis, namun hidup dan berkembang serta
dipatuhi oleh masyarakat.
c.
Hukum
Islam yang bersumber dari firman Allah melalui Rasulullah, dihimpun secara
tertulis dalam Kitab Suci Al-Qur’an; yang bersumber dari ucapan dan perbuatan
Rasulullah, dihimpun secara tertulis dalam buku Hadist Sahih; yang bersumber
dari lembaga-lembaga Islam atau para alim ulama Islam, dihimpun secara tertulis
dalam buku Fikih Islam atau Fatwa Alim Ulama.
d.
Hukum
yurisprudensi yang bersumber dari putusan hakim, dihimpun secara tertulis dalam
buku Yurisprudensi Indonesia, Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan
klasifikasi hukum positif di atas, dapat dipahami posisi dan status hukum
asuransi syari’ah dalam sistem hukum Indonesia. Asuransi syari’ah secara
substansial bersumber dari hukum Islam, terutama yang mengatur tentang akad
sebagai dasar timbulnya hak dan kewajiban pihak-pihak. Akan tetapi, secara formal
dari segi bentuk hukum usaha (badan usaha) bersumber dari hukum
perundang-undangan karena asuransi syari’ah adalah badan hukum berbentuk
perseroan terbatas (PT). Oleh karena itu, kedudukan asuransi syari’ah dari segi
hukum adalah kuat dan legal dalam sistem hukum Indonesia, dan secara bisnis
operasional memperoleh dukungan kuat dari masyarakat karena didasarkan pada
akad yang benar, adil, jujur, transparan, dan bebas dari kezaliman.
Asuransi
syari’ah baru melakukan kegiatan operasionalnya dalam lingkup asuransi kerugian
dan asuransi jiwa. Untuk masa mendatang sesuai dengan visi asuransi syari’ah
dan tujuannya untuk kemashlahatan umum, asuransi syari’ah akan terus
dikembangkan ke semua jenis asuransi dan ke seluruh wilayah Indonesia
secara bertahap dan berencana.
C.
KESIMPULAN
Dasar hukum
material asuransi syari’ah di Indonesia adalah Syari’ah Islam, sedangkan sumber
syari’ah islam adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma
(Ijtihad), Fatwa Sahabat Rasul, Qiyas,
Istihsan dan Urf (tradisi). Al-Qur’an
dan Hadist merupakan sumber utama hukum Islam, namun dalam menetapkan
prinsip-prinsip maupun praktek dan operasional syari’ah, parameter yang
senantiasa menjadi rujukan adalah syari’ah Islam. Sedangkan konsep asuransi
syari’ah adalah suatu konsep dimana terjadi saling memikul resiko diantara
sesama peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas
resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling
menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru
atau dana kebajikan (derma) yang tujuannya untuk menanggung resiko. Dengan
demikian dalam asuransi syari’ah para peserta dapat terhindar dari hal-hal yang
diharamkan oleh para ulama yaitu menghindari ketidakjelasan (gharar), menghindari perjudian (maisir) dan menghindari bunga uang (riba). Hal ini membuat ragu umat Islam
untuk ikut serta sebagai anggota asuransi. Akhirnya, melalui kesatuan pendapat
para ulama Islam, lahirlah suatu konsep asuransi syari’ah yang dapat diterima
dan dipraktikkan di mana saja, dengan mendirikan perusahaan asuransi syari’ah
dan dilaksanakan berdasarkan prinsip syari’ah guna menghindari unsur-unsur gharar, maisir, dan riba.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-Buku
:
Abdul
Kadir Muhammad, Pokok-Pokok Hukum
Pertanggungan, Bandung, Alumni, 1990.
------------------,
Hukum Asuransi Indonesia,
PT. Citra Aditya Abadi, Bandung,
2006.
Gemala
Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan
dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, Pranada Media, Jakarta, 2004.
Heri
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan
Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Penerbit Ekonisia, Yogyaikarta, 2004.
Muhammad Syakir, Asuransi
Syari’ah Konsep dan Sistem Operasional, Penerbit Gama Insan, Jakarta, 2004.
Siti Sumarti, Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dan Peraturan Kepailitan. Terjemahan, Penerbit
Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1995.
Suhardi Lubis, Hukum
Ekonomi Islam, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Subekti dan R. Tjitro Sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Terjemahan. Penerbit Pradnya
Paramita, Jakarta, 1992.
Peraturan
Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha
Perasuransian, Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/ DSN-MUI/X/2001
Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.
[1]
Abdul Kadir Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan,
Bandung, Alumni, 1990, hal 28.
[3] Muhammad Syakir, Asuransi Syari’ah Konsep dan Sistem
Operasional, Penerbit Gama Insan, Jakarta, 2004, hal 296
[8] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransi Syariat di Indonesia,
Penerbit Pranada Media, Jakarta, 2004, ha. 136
[9] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi,
Penerbit Ekonesia, Yogyakarta, 2004, hal. 10