Minggu, 15 Februari 2015

PERKEMBANGAN DAN DASAR HUKUM ASURANSI SYARI’AH DI INDONESIA


Penulis
 Marsidah, S.H.,M.H

ABSTRAK
            Asuransi Syari’ah merupakan bidang bisnis asuransi yang cukup memperoleh perhatian besar di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai bisnis asuransi alternatif, asuransi syari’ah dapat dikatakan relatif baru dibandingkan dengan bidang bisnis asuransi konvensional. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 memberikan pengertian Asuransi Syari’ah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Adapun sumber hukum material asuransi syari’ah adalah Syari’ah Islam, sedangkan sumber-sumber syari’ah Islam adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma (Ijtihad), Fatwa Sahabat Rasul, Qiyas, Istihsan, dan Urf (tradisi).
            Sedangkan konsep asuransi syari’ah adalah suatu konsep dimana terjadi saling memikul resiko di antara sesama peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’ atau dana kebijakan (derma) yang tujuannya untuk menanggung resiko, sehingga dalam asuransi syari’ah dapat terhindar dari hal-hal yang diharamkan oleh para ulama, yaitu menghindari ketidak jelasan (Gharar), menghindari perjudian (Maisir), menghindari bunga uang (Riba). Pada asuransi konvensional perusahaan asuransi mengadkaan kontrak asuransi dengan tertanggung dalam bentuk perlindungan resiko, investasi dana berdasarkan bunga uang (Riba). Dana pembayaran klaim diambil dari rekening penanggung. Dalam hal tertanggung memutuskan kontrak asuransi sebelum jangka asuransi berakhir, premi yang sudah dibayar oleh tertanggung tidak dapat ditarik kembali, karena premi terseut menjadi hak penanggung. Dalam asuransi konvensional tidak semua jenis asuransi merupakan asuransi plus tabungan.

A.  LATAR BELAKANG
Dalam perkembangan pembangunan sekarang ini produk asuransi mulai mendapat perhatian dari masyarakat. Asuransi sebagai lembaga pengalihan resiko asuransi selain bermanfaat bagi peserta asuransi, bermanfaat juga bagi pembangunan karena lembaga asuransi merupakan lembaga keuangan bukan bank yang menggerakkan dana masyarakat melalui premi yang dibayarkan oleh tertanggung.
Hubungan hukum dalam asuransi dilaksanakan dalam bentuk perjanjian antara penanggung dan tertanggung. Tertanggung mengadakan perjanjian dengan tujuan untuk memperalihkan resiko kepada pihak lain untuk mengganti kepada tertanggung sejumlah ganti kerugian disebabkan terjadinya suatu peristiwa yang tidak tertentu, tetapi untuk terjadinya hubungan hukum dalam perjanjian tersebut pihak tertanggung harus membayar sejumlah premi kepada penanggung.
Sehubungan dengan hal itu, definisi pertanggungan atau asuransi dapat kita temukan dalam ketentuan Hukum Positif Indonesia, yakni Pasal 246 KUHDagang yang berbunyi : “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima premi, untuk kerusakan atau kehilangan keuntungan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu (evenement)”.[1]
Berdasarkan definisi tersebut di atas ada beberapa unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu :
1.    Adanya perjanjian timbal balik.
2.    Adanya pihak penanggung dan pihak tertanggung.
3.    Adanya pembayaran premi dari tertanggung kepada penanggung.
4.    Penggantian kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan.
5.    Suatu peristiwa yang tidak tertentu (evenement) kapan akan terjadi.
Dengan demikian, pertanggungan atau asuransi terjadi apabila ada perjanjian antara pihak tertanggung dan penanggung. Pihak penanggung akan memberikan ganti kerugian apabila terjadi evenement, sedangkan pihak tertanggung berkewajiban membayar premi sebagai kontra prestasi.
Kegiatan bisnis asuransi konvensional seperti asuransi kerugian, asuransi jiwa dan jenis-jenis asuransi sosial saat ini makin berkembang, yang membawa konsekuensi berkembang pula hukum bisnis asuransi. Salah satu kegiatan bisnis asuransi yang muncul dalam masyarakat adalah bisnis asuransi syari’ah. Dalam undang-undang yang mengatur tentang bisnis perasuransian, belum diatur tentang asuransi syari’ah. Namun, dalam praktik perasuransian ternyata bisnis asuransi syari’ah sudah banyak dikenal masyarakat.
Asuransi syari’ah merupakan bidang bisnis asuransi yang cukup memperoleh perhatian besar di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai bisnis asuransi alternatif, asuransi syari’ah boleh dikatakan relatif baru dibandingkan dengan bidang bisnis asuransi konvensional. Kebaruan bisnis asuransi syari’ah adalah pengoperasian kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist serta Fatwa Para Ulama terutama yang terhimpun dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sedangkan pengertian asuransi syari’ah berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong antara sejumlah orang / pihak melalui investasi dalam bentuk aset / tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan resiko.
Pada prinsipnya, yang membedakan asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional adalah asuransi syari’ah menghapuskan unsur ketidakpastian (gharar), unsur spekulasi alias perjudian (maisir), dan unsur bunga uang (riba) dalam kegiatan bisnisnya sehingga peserta asuransi (tertanggung) merasa terbebas dari praktik kezaliman yang merugikannya.[2]
Bisnis asuransi yang sudah ada sebelumnya dan sudah diatur dengan undang-undang sudah banyak dibahas para intelektual Muslim dan ternyata banyak mengandung kelemahan yang bertentangan dengan prinsip syari’ah yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Walaupun istilah asuransi tidak dikenal dalam Al-Qur’an dan Hadist, tidak tertutup kemungkinan dikembangkan secara Islami oleh para ahli hukum Islam atau fukaha untuk mencari dan menetapkan hukumnya, selama tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas muncul permasalahan :
“Apakah yang menjadi dasar hukum dan konsep dalam perkembangan asuransi syari’ah di Indonesia ?”

B.  PEMBAHASAN
Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam, menganggap pelaksanaan asuransi konvensional yang sudah ada kini tidak sesuai dengan prinsip syari’ah karena mengandung unsur ketidakjelasan (gharar), mengandung unsur perjudian (maisir), dan mengandung unsur bunga uang (riba). Hal ini membuat ragu umat Islam untuk ikut serta sebagai anggota asuransi. Akhirnya, melalui kesatuan pendapat para ulama Islam, lahirlah suatu konsep asuransi syari’ah yang dapat diterima dan dipraktikkan di mana saja, dengan mendirikan perusahaan asuransi syari’ah dan dilaksanakan berdasarkan prinsip syari’ah guna menghindari unsur-unsur gharar, maisir, dan riba.
Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional sudah diakui sebagai hukum positif tidak tertulis (nonperundang-undangan) sejak zaman Hindia Belanda. Hal ini sejalan pula dengan kedudukan hukum adat sebagai hukum positif tidak tertulis (nonperundang-undangan) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Status hukum Islam sebagai hukum positif tidak tertulis dalam masyarakat Indonesia terbukti dari pengakuan dan pembenarannya berupa dibentuknya oleh Pemerintah lembaga-lembaga Islam, seperti Mahkamah Syari’ah, sekolah dasar hingga perguruan tinggi Islam. Selain itu, juga didirikannya organisasi para ulama Islam, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi profesi Islam, seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), lembaga bisnis Islam, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI).
1.    Dasar Hukum Asuransi Syari’ah
Sumber hukum material asuransi syari’ah Islam adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma (Ijtihad), Fatwa Sahabat Rasul, Qiyas, Istihsan, dan Urf (tradisi). Al-Qur’an dan Hadist merupakan sumber utama hukum Islam, namun dalam menetapkan prinsip-prinsip maupun praktik dan operasional asuransi syari’ah, parameter yang senantiasa menjadi rujukan adalah syari’ah Islam.[3]
Oleh karena itu, pengaturan tentang asuransi syari’ah boleh didasarkan pada Ijma (Ijtihad). Penetapan hukum dengan metode Ijma (Ijtihad) dapat menggunakan beberapa cara, antara lain :
a.      Melakukan interpretasi atau penafsiran hukum secara analogi (qiyas), yaitu dengan cara mencari perbandingannya atau pengibaratannya.
b.    Untuk kemaslahatan umum (mashlahah mursalah), yang bertumpu pada pertimbangan menarik manfaat dan menghindarkan mudharat.
c.    Meninggalkan dalil-dalil khusus dan menggunakan dalil-dalil umum yang dipandang lebih kuat (Istihsan).
d.   Dengan cara melestarikan berlakunya ketentuan asal yang ada, kecuali terdapat dalil yang menentukan lain (Istihs-hab).
e.    Mengukuhkan berlakunya adat kebiasaan yang tidak berlawanan dengan ketentuan syari’ah.
Berdasarkan metode-metode kajian tersebut di atas, penetapan hukum keberadaan asuransi syari’ah yang digunakan dilihat dari segi hukum Islam adalah Ijma (Ijtihad). Metode ini menggunakan dasar “untuk kepentingan umum” (mashlahah mursalah). Jadi, asuransi syari’ah dibolehkan dengan alasan untuk kepentingan umum.[4]
Keberadaan asuransi syari’ah di Indonesia saat ini tidak dilarang undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian. Malahan, Pemerintah telah mengeluarkan keputusan-keputusan yang berkenaan dengan asuransi, termasuk asuransi syari’ah, yaitu sebagai berikut :
a.    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
b.    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Reasuransi.
c.    Keputusan Dirjen Lembaga Keuangan No. Kep. 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian, dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan sistem syari’ah.

Kehadiran asuransi syari’ah diawali dengan beroperasinya bank syari’ah. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan ketentuan pelaksanaan bank syari’ah. Pada saat ini bank syari’ah membutuhkan jasa asuransi syari’ah guna mendukung permodalan dan investasi dana. Pada tanggal 27 Juli 1993, ICMI melalui Yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI), dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian Asuransi Takaful dengan menyusun Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia (Tepati).
Sebagai realisasi kesepakatan tersebut, didirikanlah PT. Syarikat Takaful Indonesia sebagai Holding Company dan dua anak perusahaan, yaitu PT. Asuransi Takaful Keluarga (asuransi jiwa) dan PT. Asuransi Takaful Umum (asuransi kerugian). Pembentukan dua anak perusahaan tersebut, dimaksudkan untuk mematuhi ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang mana perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian harus berdiri terpisah.

2.    Konsep Asuransi Syari’ah
Pada asuransi konvensional, perusahaan asuransi mengadakan kontrak asuransi dengan peserta asuransi dalam bentuk perlindungan risiko. Investasi dana berdasarkan bunga uang (riba). Dana pembayaran klaim diambil dari rekening perusahaan asuransi. Premi yang sudah disetor menjadi milik perusahaan asuransi. Dalam hal peserta asuransi memutuskan kontrak asuransi sebelum jangka waktu asuransi berakhir, premi yang dibayar oleh peserta asuransi tidak dapat ditarik kembali, karena premi tersebut menjadi hak perusahaan asuransi, kecuali jika asuransi yang diikuti peserta asuransi itu merupakan asuransi plus tabungan. Namun, dalam asuransi konvensional tidak semua jenis asuransi merupakan asuransi plus tabungan.
Konsep asuransi syari’ah didasarkan pada Al-Qur’an Surat Almaa’idah ayat (2), yang artinya :
Tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

Berdasarkan konsep tersebut, kemudian Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan pengertian tentang asuransi syari’ah. Pasal 1 ayat (1) Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 menetapkan bahwa :
“Asuransi syari’ah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang / pihak melalui investasi dalam bentuk asal dan/atau tabarru” yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah.”
M. Syakir Sula menegaskan bahwa konsep asuransi syari’ah adalah suatu konsep di mana terjadi saling memikul risiko di antara sesama peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko yang muncul. Saling pikul risiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru atau dana kebajikan (derma) yang tujuannya untuk menanggung risiko.
Dengan demikian dalam sistem operasional, asuransi syari’ah telah terhindar dari hal-hal yang diharamkan oleh para ulama, yaitu.[5]

a.    Menghindari Ketidakjelasan (Gharar)
Hadist Nabi Muhamamd SAW, yang dapat dijadikan acuan mengenai gharar adalah :
“Rasulullah SAW melarang jual beli dengan lemparan batu (hasab) dan jual beli gharar (diriwayatkan oleh Imam Muslim).”

Berdasarkan Hadist tersebut, kemudian timbul beberapa definisi. Definisi gharar menurut mazhab Imam Syafei adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti. Menurut Ibnul Qayyim, gharar adalah yang tidak bisa diukur penerimaannya, baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang liar meskipun ada.[6]
H.M. Syafiie Antonio seorang pakar ekonomi syari’ah menjelaskan bahwa ketidakjelasan (gharar) terjadi dalam dua bentuk, yaitu :

a)   Akad syari’ah yang melandasi penutupan polis
Kontrak dalam asuransi jiwa konvensional dikategorikan sebagai akad pertukaran (tabaduli), yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara harfiah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi tidak jelas (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang meninggal. Dalam konsep takaful (saling menolong), keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad tolong-menolong (takafuli) dan saling menjamin di mana semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya.

b)   Sumber dana pembayaran klaim
Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’ie penerima uang klaim itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, tertanggung tidak mengetahui dari mana dana pertanggungan yang diberikan oleh perusahaan asuransi berasal. Tertanggung hanya tahu jumlah pembayaran klaim yang akan diterimanya. Dalam konsep asuransi takaful (saling menolong), setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua, rekening pemegang polis dan rekening khusus peserta yang harus diniatkan sebagai dana kebajikan/derma (tabarru’) untuk membantu saudaranya yang lain. Jadi, klaim dalam konsep asuransi takaful diambil dari dana tabarru’ yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang diberikan oleh peserta asuransi.

b.   Menghindari Perjudian (Maisir)
Islam telah melarang perjudian (maisir), sebagaimana firman Allah dalam Surat Almas’idah ayat (90), yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji yang termaasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Kata maisir berasal dari  bahasa Arab, yang secara harfiah berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Hal ini biasa juga disebut perjudian, yang dalam terminologi agama diartikan sebagai suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk memperoleh kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu.[7]
Gemala Dewi juga mengartikan bahwa dalam konsep maisir di satu pihak memperoleh keuntungan, tetapi di lain pihak justru mengalami kerugian. Unsur maisir dalam asuransi konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian, tertanggung tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka tertanggung tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan keuntungan diperoleh tertanggung ketika tertanggung yang belum lama menjadi anggota asuransi (jumlah premi yang disetor sedikit), menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih besar. Dalam konsep takaful (saling menolong), apabila peserta asuransi tidak mengalami musibah atau kecelakaan selama menjadi peserta dia masih tetap berhak mendapatkan premi yang disetor, kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru’.[8]

c.    Menghindari Bunga Uang (Riba)
Dalam Al-Qur’an dan Hadist, riba itu dilarang atau diharamkan. Salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang melarang riba adalah Surat Ali Imran ayat (130), yang menyatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Riba menurut pengertian bahasa berarti tambahan (azziyadah), berkembang (annumuw), meningkat (al-irtila’), dan membesar (al-uluw). Jadi, riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dan peminjam sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.[9]
Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi konvensional melakukan usaha dan investasi yang meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar bunga uang. Dalam konsep takaful (saling menolong), dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsip bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.[10]
Untuk mengawasi operasional sehari-hari Lembaga Keuangan Syari’ah, seperti bank, asuransi, obligasi, pasar modal, leasing, dan sebagainya, terdapat Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). Dewan ini merupakan bagian yang tidak terpisah dari Dewan Syari’ah Nasional (DPN) Majelis Ulama Indonesia, selanjutnya disingkat DSN-MUI. Keberadaan DPS dalam asuransi syari’ah merupakan salah satu unsur yang membedakan asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional. DPS bertugas mengawasi operasionalisasi perusahaan dan produknya agar sesuai dengan ketentuan syari’ah. Produk dan pelayanan jasa asuransi yang akan ditawarkan kepada peserta asuransi harus diteliti lebih dulu keabsahannya oleh DPS untuk mengetahui apakah produk sesuaiatau tidak dengan asuransi syari’ah. Selain itu, DPS juga bertugas mendiskusikan masalah dan transaksi bisnis yang dihadapkan kepadanya agar dapat ditetapkan halal atau tidaknya menurut syari’ah Islam serta memberikan fatwa terhadap investasi dana yang akan ditempatkan oleh asuransi takaful.
Berdasarkan pembahasan di atas, diperoleh konsep yang jelas tentang asuransi sebagai alternatif pilihan bagi calon peserta asuransi. Asuransi syari’ah didasarkan pada prinsip tolong-menolong dalam kebaikan dan fatwa serta menghindari adanya unsur gharar, maisir, dan riba dalam pelaksanaannya. Antara peserta asuransi yang satu dengan yang lainnya saling menanggung risiko, artinya yang menjadi penanggung dalam asuransi syari’ah adalah para peserta sendiri. Dalam hal pengelolaan dananya, asuransi syari’ah memisahkan antara rekening tabarru’ dan rekening dana peserta. Bila terjadi musibah pada salah satu peserta asuransi, maka dana yang digunakan untuk membayar santunan adalah dana yang berasal dari rekening tabarru’. Operasional asuransi syari’ah diawasi oleh Dewan Pengawas Syari’ah yang merupakan bagian yang tak terpisah dari Dewan Syari’ah Nasional. Saat ini, di Indonesia telah berdiri perusahaan asuransi syari’ah, yaitu PT. Asuransi Takaful Keluarga (asuransi jiwa) dan PT. Asuransi Takaful Umum (asuransi kerugian).

3.    Klasifikasi Hukum Positif
Menurut kenyataan hukum yang hidup dan berlaku di dalam masyarakat bangsa Indonesia, hukum positif dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.    Hukum perundang-undangan yang bersumber dari badan perundang-undangan yang secara resmi diberi bentuk tertulis dan diumumkan secara luas dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

b.    Hukum adat dan kebiasaan yang bersumber dari masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang sifatnya tidak tertulis, namun hidup dan berkembang serta dipatuhi oleh masyarakat.

c.    Hukum Islam yang bersumber dari firman Allah melalui Rasulullah, dihimpun secara tertulis dalam Kitab Suci Al-Qur’an; yang bersumber dari ucapan dan perbuatan Rasulullah, dihimpun secara tertulis dalam buku Hadist Sahih; yang bersumber dari lembaga-lembaga Islam atau para alim ulama Islam, dihimpun secara tertulis dalam buku Fikih Islam atau Fatwa Alim Ulama.

d.   Hukum yurisprudensi yang bersumber dari putusan hakim, dihimpun secara tertulis dalam buku Yurisprudensi Indonesia, Kompilasi Hukum Islam.

Berdasarkan klasifikasi hukum positif di atas, dapat dipahami posisi dan status hukum asuransi syari’ah dalam sistem hukum Indonesia. Asuransi syari’ah secara substansial bersumber dari hukum Islam, terutama yang mengatur tentang akad sebagai dasar timbulnya hak dan kewajiban pihak-pihak. Akan tetapi, secara formal dari segi bentuk hukum usaha (badan usaha) bersumber dari hukum perundang-undangan karena asuransi syari’ah adalah badan hukum berbentuk perseroan terbatas (PT). Oleh karena itu, kedudukan asuransi syari’ah dari segi hukum adalah kuat dan legal dalam sistem hukum Indonesia, dan secara bisnis operasional memperoleh dukungan kuat dari masyarakat karena didasarkan pada akad yang benar, adil, jujur, transparan, dan bebas dari kezaliman.
Asuransi syari’ah baru melakukan kegiatan operasionalnya dalam lingkup asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Untuk masa mendatang sesuai dengan visi asuransi syari’ah dan tujuannya untuk kemashlahatan umum, asuransi syari’ah akan terus dikembangkan ke semua jenis asuransi dan ke seluruh wilayah Indonesia secara bertahap dan berencana.

C.  KESIMPULAN
Dasar hukum material asuransi syari’ah di Indonesia adalah Syari’ah Islam, sedangkan sumber syari’ah islam adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma (Ijtihad), Fatwa Sahabat Rasul, Qiyas, Istihsan dan Urf (tradisi). Al-Qur’an dan Hadist merupakan sumber utama hukum Islam, namun dalam menetapkan prinsip-prinsip maupun praktek dan operasional syari’ah, parameter yang senantiasa menjadi rujukan adalah syari’ah Islam. Sedangkan konsep asuransi syari’ah adalah suatu konsep dimana terjadi saling memikul resiko diantara sesama peserta sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru atau dana kebajikan (derma) yang tujuannya untuk menanggung resiko. Dengan demikian dalam asuransi syari’ah para peserta dapat terhindar dari hal-hal yang diharamkan oleh para ulama yaitu menghindari ketidakjelasan (gharar), menghindari perjudian (maisir) dan menghindari bunga uang (riba). Hal ini membuat ragu umat Islam untuk ikut serta sebagai anggota asuransi. Akhirnya, melalui kesatuan pendapat para ulama Islam, lahirlah suatu konsep asuransi syari’ah yang dapat diterima dan dipraktikkan di mana saja, dengan mendirikan perusahaan asuransi syari’ah dan dilaksanakan berdasarkan prinsip syari’ah guna menghindari unsur-unsur gharar, maisir, dan riba.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Abdul Kadir Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan, Bandung, Alumni, 1990.

------------------, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung, 2006.

Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, Pranada Media, Jakarta, 2004.

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Penerbit Ekonisia, Yogyaikarta, 2004.

Muhammad Syakir, Asuransi Syari’ah Konsep dan Sistem Operasional, Penerbit Gama Insan, Jakarta, 2004.

Siti Sumarti, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Peraturan Kepailitan. Terjemahan, Penerbit Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1995.

Suhardi Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Subekti dan R. Tjitro Sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Terjemahan. Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 1992.


Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992.

Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/ DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.


[1] Abdul Kadir Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan, Bandung, Alumni, 1990, hal 28.
[2] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung, 2006, hal. 257
[3] Muhammad Syakir, Asuransi Syari’ah Konsep dan Sistem Operasional, Penerbit Gama Insan, Jakarta, 2004, hal 296
[4] Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 260
[5] M. Syakir Sula, Op.Cit, hal. 293
[6] Ibid, hal. 46
[7] Ibid, hal 48
[8] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransi Syariat di Indonesia, Penerbit Pranada Media, Jakarta, 2004, ha. 136
[9] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Penerbit Ekonesia, Yogyakarta, 2004, hal. 10
[10] Gemala Dewi, Op.Cit, hal. 136

Kamis, 12 Februari 2015

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DALAM PENGAJUAN PERMOHONAN HAK MILIK ATAS TANAH

Penulis
Marsitiningsih, SH, MH. dan Ardiana Hidayah, SH, MH

Abstrak

BPHTB merupakan pajak yang terhutang yang harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta atau risalah lelang, atau surat keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Pada dasarnya perolehan hak merupakan hasil dari suatu peralihan hak dari suatu pihak yang memiliki atau menguasai suatu tanah dan bangunan kepada pihak lain yang menerima hak atas tanah dan bangunan tersebut.
Pengajuan Hak Milik atas Tanah dilakukan menurut prosedur yang sesuai dengan Hukum Tanah Nasional yang berlaku di Indonesia. Apabila wajib pajak dalam hal ini pemohon tidak membayar BPHTB maka akan dikenakan sanksi administrasi berupa sertipikat yang dimohonkan tidak akan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan.

A.  Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa tanah adalah sebagian dari pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Tanah mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Makin besar akses rakyat terhadap tanah, makin besar pula kesempatan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus mendongkrak martabat sosial.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspek saja, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.[1]
Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria menentukan bahwa :
(1)     Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2)     Hak menguasai dari Negara termasuk dalam ayat 1 pasal ini memberikan wewenang untuk :
a.       mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.      menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c    menentukan dan mengatur hubungan-hubunagan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa
(3)     Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagian, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4)     Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan:
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2  ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengenal lebih dari 10 (sepuluh) jenis penguasaan tanah, yaitu diantaranya hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, yang merupakan jenis penguasaan tanah untuk tanah-tanah yang diperlukan bagi proyek-proyek pembangunan yang dapat berupa tanah negara ataupun tanah hak milik perseorangan.[2] Oleh karena itu, untuk mendukung kegiatan pembangunan, pertambahan penduduk  dan  kegiatannya, maka sumber daya tanah perlu dikelola secara efisien dan efektif, agar pemanfaatannya dapat terselenggara secara optimal dan berkelanjutan, sehingga mampu memberikan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, khususnya untuk memenuhi tuntutan mutu kehidupan yang lebih baik yaitu sebagai salah satu sarana utama yang digariskan dalam arahan kebijaksanaan pembangunan nasional.
Dewasa ini perkembangan pembangunan semakin pesat, dan untuk menunjang pembangunan dan perekonomian nasional ini tentu dibutuhkan lahan atau tanah yang tidak sedikit. Hampir tidak ada kegiatan pembangunan yang tidak memerlukan tanah. Dengan pembangunan yang terus meningkat, khususnya pembangunan fisik yang memerlukan tanah yang luas menyebabkan ketersediaan akan tanah semakin terbatas dan menimbulkan permasalahan-permasalahan pertanahan, seperti timbulnya sengketa-sengketa pertanahan. Melihat kenyatan ini maka, Pemerintah merasa perlu untuk membuat peraturan perundang-undangan yang membatasi penguasaan tanah dan memungut pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan terhadap perseorangan atau badan hukum sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  
Ada berbagai kepentingan berkenaan dengan persoalan tanah dalam sarana utamanya, yaitu sebagian besar dari warga masyarakat memerlukan tanah (lahan) sebagai tempat pemukiman/tempat tinggal dan tempat mata pencahariannya. Untuk memperoleh kepemilikan hak atas tanah khususnya hak milik, hanya dapat diperoleh melalui pendaftaran tanah yang sesuai dengan prosedur dan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Kantor Pertanahan setempat.
Pendaftaran tanah merupakan jaminan tertib hukum dan kepastian hukum hak atas tanah yang dalam rangka pelaksanaan tugasnya pendaftaran tanah dilakukan sebagai suatu kegiatan berupa pembukuan, pendaftaran tanah dan pengalihan hak atas tanah.[3] Pendaftaran tanah dengan prosedur yang benar merupakan suatu langkah  awal terhadap proteksi pemerintah akan hak atas tanah. Bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, sudah sewajarnya menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, dalam hal ini yaitu Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) demi menunjang pembangunan nasional. Selain tanah, bangunan juga dikenakan pajak karena bangunan juga merupakan benda yang penting bagi manusia, berbagai bangunan dibangun untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia.
Sebagai upaya untuk memenuhi pengeluaran pemerintah berkaitan dengan tugasnya untuk menyelenggarakan pemerintahan umum dan pembangunan, pemerintah menerapkan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan Negara. Jika melihat perkembangan penerimaan pajak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tampak bahwa pajak telah menjadi primadona yang mendominasi penerimaan Negara. Hal ini tentunya cukup menggembirakan karena menandakan bahwa kemandirian bangsa dalam pembiayaan pengeluaran Negara yang menjadi tujuan reformasi perpajakan di Indonesia semakin nyata dari waktu ke waktu. Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang berusaha sedapat mungkin memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dari dalam negeri. Salah satu cara yang paling efektif untuk hal ini adalah melalui penggalian potensi pajak.[4]
Untuk tetap dapat meningkatkan penerimaan Negara dari sektor pajak, pemerintah berupaya menggali potensi pajak. Salah satunya diwujudkan dengan cara mencari dan menerapkan jenis pajak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Berbagai jenis pajak diterapkan sesuai dengan kondisi masyarakat yang pada suatu masa mungkin dipungut suatu jenis pajak, mungkin pada waktu berikutnya dihilangkan atau dihapus dengan berbagai pertimbangan dan kemudian dipungut dan diberlakukan kembali. Hal ini wajar saja mengingat rezim pemerintahan yang berkuasa pada suatu masa akan menyelesaikan pungutan yang dikenakana pada masyarakat sesuai dengan kepentingannya juga.
Jenis pajak yang baru diterapkan di Indonesia seiring dengan penggalian potensi baru adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang mulai diberlakukan sejak tahun 1998. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebenarnya merupakan jenis pajak lama yang pernah dipungut pada masa pemerintahaan penjajahan, tetapi dihapus seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sekarang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diterapkan kembali karena dianggap sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia dewasa ini.[5]

B.  Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.   Bagaimana prosedur penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Pengajuan Permohonan Hak Milik atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)?
2.   Apa akibat hukumnya apabila Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tidak dibayar ?

C. Tinjauan Pustaka
  1. Pengertian Tanah
Sebutan untuk “Tanah” (land) dapat mempunyai arti yang berbeda tergantung dari sudut pandang keilmuan untuk mengartikannya. Dalam konsep hukum tanah tidak sekedar permukaan bumi, namun mempunyai tiga dimensi yakni ruang angkasa, permukaan bumi dan di bawah tubuh bumi. Dalam konteks hukum tanah, tanah diartikan sebagai “permukaan bumi” sebagaimana ditentukan (lihat Pasal 4 ayat 1 UUPA), “Tanah Negara” seperti hal sebutan tanah yang lain, selain yang telah dimiliki misalnya tanah milik dan sebagainya.[6] Hal ini menunjukan suatu status hubungan hukum tertentu antara obyek dan subyeknya  yang   dalam   konteks ini lebih kepada hubungan kepemilikan atau kepunyaan antara subyek dan obyek yang bersangkutan.
Dalam pengertian sebagai obyek dan Negara sebagai subyeknya maka jika kita menyebutkan tanah Negara artinya adalah Negara mempunyai hubungan hukum tertentu dengan obyeknya yakni  tanah.[7] Namun dalam hal ini Negara bukan sebagai pemilik tanah akan tetapi mempunyai kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3)  UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang hubungan hukum itu dapat berupa hubungan kepemilikan kekuasaan atau kepunyaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), pengertian tanah adalah[8]:
1.      Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali
2.      Keadaan bumi di suatu tempat
3.      Permukaan bumi yang diberi batas
4.      Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir dll)
Dalam hukum tanah, sebutan kata “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA yang terdapat dalam Pasal 4 UUPA menyatakan, “bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang”. Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi sebagaimana ditentukan Pasal 4 (ayat 1) UUPA, sedang hak atas   tanah  adalah   hak atas  sebagian   tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.[9]
Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna, jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya, oleh karena itu dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan  bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya  memberikan  wewenang  untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah” tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.[10]
Seberapa dalam bumi itu boleh digunakan dan setinggi apa ruang yang ada di atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Atas pemahaman konsep dan peraturan perundangan tentang pengertian tanah Negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah Negara dilihat dari asal usulnya[11] :
1) Tanah Negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak atas tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah Negara bebas;
2)  Tanah Negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya, karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah Negara. Tanah bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.

2.      Pengertian Hak Atas Tanah
Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.[12]  Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya.
Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 16 jo Pasal 53 UUPA, antara lain[13] :
1)    Hak Milik
2)    Hak Guna Usaha
3)    Hak Guna Bangunan
4)  Hak Pakai       
5)  Hak Sewa
6)  Hak Membuka Tanah
7)    Hak Memungut Hasil Hutan
8)   Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.
Pasal 16 UUPA menentukan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan  hak  atas  tanah yaitu  hak  membuka  tanah dan  hak  memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam Pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan manifestasi dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat sementara dan pada suatu saat nanti akan dihapuskan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 UUPA.

3.      Pengertian Hak Milik
Menurut ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6.
Kata “terkuat” dan “terpenuhi” tidak berarti bahwa hak milik itu merupakan hak yang mutlak, tidak dapat diganggu gugat dan tidak terbatas seperti Hak Eigendom, akan tetapi kata terkuat dan terpenuh itu dimaksudkan untuk membedakan dengan hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah maka Hak Milik yang terkuat dan terpenuh.[14]
a.       Merupakan hak yang “terkuat”, artinya Hak Milik tidak mudah hapus dan musnah serta mudah dipertahankan terhadap hak pihak lain, oleh karena itu harus didaftarkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
b.      “Terpenuh” artinya kewenangan pemegang hak milik itu paling penuh dengan dibatasi ketentuan Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial tanah.
c.       “Turun-temurun” berarti jangka waktunya tidak terbatas, dapat beralih karena perbuatan hukum dan peristiwa hukum.
Sedangkan menurut A.P. Parlindungan, kata-kata terkuat dan terpenuhi itu bermaksud untuk membedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang “ter” (paling kuat dan penuh). Begitu pentingnya hak milik, pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan hak milik atas tanah tersebut.[15]
Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
d.      Menurut Pasal 22
1)   Hak milik atas tanah yang terjadi menurut Hukum Adat
2)   Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah
3)   Hak milik atas tanah terjadi karena ketentuan Undang-undang.[16]

4.      Pendaftaran Hak Atas Tanah dan Bangunan
Ketentuan tentang pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor  24 Tahun 1997. Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang berada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya.
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah seperti yang disebutkan pada Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.[17]
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yang dapat dilaksanakan dengan 2 (dua) cara, yaitu [18] :
a)   Pendaftaran tanah secara sistematik
      adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan dalam wilayah atau bagian wilayah suatu Desa/Kelurahan yang dilakukan atas dasar prakarsa Pemerintah.
b)   Pendaftaran tanah secara sporadik
      adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu Desa/Kelurahan secara individual atau massal.
Sedangkan pemeliharaan data pendaftaran tanah, menurut pasal 1 angka 11 adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi :
a)   Pendaftaran peralihan
b)   Pembebanan hak
c)   Pendaftaran perubahan data fisik dan data yuridis
Ø      Data fisik
         adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan atas.
Ø      Data yuridis
      adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.
Hak atas tanah baru dapat dibuktikan dengan cara, yaitu [19]:
a)   Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak   menurut  ketentuan  yang  berlaku,  apabila   pemberian  tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan, yang dapat diberikan secara individual, kolektif ataupun secara umum.
b)   Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh Pemegang Hak Milik kepada penerima hak yang bersangkutan, apabila mengenai Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas tanah hak Milik.
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, asas-asas pendaftaran tanah adalah pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.
Tujuan dari pendaftaran tanah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah antara lain adalah[20]:
1)   Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertipikat sebagai surat tanda buktinya.
2)   Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
3)   Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan, demi terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik dan sebagai perwujudan tertib administrasi dibidang pertanahan. Untuk itu setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak, wajib didaftarkan.



5.       Pajak dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Secara yuridis, pengertian pajak terdapat dalam Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan menurut Soeparman Soemahamidjaja, pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.[21] Pajak juga mempunyai dua fungsi yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan Negara) dan fungsi regularend (pengatur).
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak sebagaimana tersebut diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.[22]
BPHTB merupakan pajak yang terhutang yang harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta atau risalah lelang, atau surat keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Pada dasarnya perolehan hak merupakan hasil dari suatu peralihan hak dari suatu pihak yang memiliki atau menguasai suatu tanah dan bangunan kepada pihak lain yang menerima hak atas tanah dan bangunan tersebut.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Perolehan hak karena peristiwa hukum merupakan perolehan hak yang diperoleh oleh seseorang karena adanya suatu peristiwa hukum, misalnya pewarisan, yang mengakibatkan hak atas tanah tersebut berpindah dari pemilik tanah dan bangunan sebelumnya (pewaris) kepada ahli waris yang berhak. Sedangkan cara perolehan hak yang kedua adalah melalui perbuatan hukum, yaitu pemilik tanah dan bangunan secara sadar melakukan perbuatan hukum mengalihkan hak atas tanah dan bangunan miliknya kepada pihak lain yang akan menerima peralihan hak tersebut. Contoh perolehan hak karena perbuatan hukum antara lain jual beli, hibah dan lelang.[23]
Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Indonesia dilakukan dengan berpegangan pada 5 (lima) prinsip, antara lain:[24]
1)   Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self assessment, yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
2)   Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 % dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
3)   Agar pelaksanaan undang-undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, wajib pajak dan pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh undang-undang akan dikenakan sanksi menurut peraturan perundang yang berlaku.
4)   Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar diserahkan kepada pemerintah daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
5)   Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan di luar ketentuan Undang-Undang BPHTB tidak diperkenankan.

Dasar hukum pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan selain sebagai legalitas yang menjamin wewenang Negara untuk memungut  pajak dari masyarakat, juga menjamin hak dan kewajiban masyarakat dalam pemenuhan pajak dan menjamin kerahasiaan pajak. Aturan yang menjadi dasar hukum pemungutan BPHTB di Indonesia, antara lain :[25]
1)  Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
2)  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, tentang BPHTB, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001.
3)  Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB.
4)  Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
5)  Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-21/PJ/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran BPHTB dan Bentuk serta Fungsi Surat Setoran BPHTB
6)  Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-22/PJ/1997 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan BPHTB.

DPP/Dasar Pengenaan Pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak atau disingkat menjadi NPOP. NPOP dapat berbentuk harga transaksi dan nilai pasar. Jika nilai NPOP tidak diketahui atau lebih kecil dari NJOP PBB, maka NJOP PBB dapat dipakai sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB. BPHTB yaitu merupakan pajak yang harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
Obyek pajak yang tidak dikenakan BPTHB tertuang dalam Pasal 3 ayat(1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 jo Keputusan Menteri Keuangan No.XX/KMK.04/2000 yang meliputi :
1)   Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik ;
2)   Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
3)   Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi;
4)   Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
5)   Orang pribadi atau badan karena wakaf;
6)   Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

C. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Pengajuan Hak Milik
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) timbul karena adanya pemberian hak. Pada pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dalam  pengajuan hak milik dilakukan sesuai dengan prosedur pengajuan Hak Milik. Untuk dapat diterbitkannya sertipikat hak milik, masyarakat wajib memohonkan tanahnya untuk didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kabupaten tempat letak tanah yang dimaksud.

1.   Prosedur Pengajuan Hak Milik
Adapun prosedur pengajuan hak milik mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, seorang pemohon Hak Milik harus memenuhi dan menjalankan syarat-syarat yang telah ditetapkan, yaitu antara lain:
1)   Hak Milik dapat diberikan apabila memenuhi syarat subjektif yang diatur di dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 9 Tahun 1999, meliputi:
a.   Warga Negara Indonesia (WNI)
b.   Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1963 yang berlaku, yaitu:
- Bank Pemerintah
-  Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.
2)   Syarat-syarat untuk mendapatkan Hak Milik harus memenuhi :
a.   Syarat Fisik, antara lain :
      - Tanahnya harus ada atau jelas
      - Batas-batas tanahnya harus jelas
      - Letak tanahnya harus jelas
      - Luasnya harus jelas
b.   Syarat Yuridis 
adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan kelengkapan alas hak (riwayat perolehan tanah)
3)   Proses pemberian hak untuk tanah yang belum bersertipikat
a.   Pemohon datang ke loket yang ada pada Kantor Pertanahan setempat.
      Dalam hal ini pemohon adalah pemilik tanah ataupun kuasa dari pemilik tanah maupun kuasa dari ahli waris.
b.   Pemohon memenuhi atau memberikan syarat-syarat yang ditentukan oleh petugas loket dan mengisi Permohonan Hak Milik atas Tanah Negara yang diajukan secara tertulis yang berisi identitas pemohon, seperti: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaannya serta keterangan mengenai isteri atau suami dan anaknya yang masih menjadi tanggungannya. (lampiran 1)
c.   Setelah berkas permohonan diterima, petugas Kantor Pertanahan setempat akan:
- Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik
- Mencatat dalam formulir isian 404 (lampiran 2)
- Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian 405 (lampiran 3)
d.      Kemudian petugas loket memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan permohonan tersebut. Biaya-biaya tersebut antara lain adalah :
-          Membayar uang untuk melakukan pengukuran. Adapun rumus perhitungan biaya pengukuran sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, adalah:


Biaya pengukuran =  Luas tanah x 100.000 + 100.000
                                                    500

 
 
                       


-          Setelah uang pengukuran dibayar, barulah petugas Kantor Pertanahan bersama pemilik tanah dan diketahui oleh para pihak yang berbatasan dengan tanah tersebut, turun ke lokasi tempat tanah yang dimohon untuk mengetahui dan memastikan batas-batas tanah, mengukur luas tanah, yang kemudian produk hasil dari pengukuran tanah tersebut adalah Peta Bidang Tanah (PBT) yang terbit 15 hari setelah pengukuran.

-          Membayar tarif biaya untuk melakukan Panitia Pemeriksaan Tanah “A”. Adapun rumus perhitungan tarif biaya tersebut, yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, adalah :

-         


Biaya pengukuran A =  Luas tanah x 100.000 + 350.000
                                                    500

 
 



-          Panitia Pemeriksaan Tanah A atau yang sering disebut Panitia A adalah Panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data yuridis baik di lapangan maupun di Kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah Negara, Hak Pengelolaan dan permohonan pengakuan hak atas tanah, yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah. Hasil atau kesimpulan dari Panitia Pemeriksaan Tanah “A” yang telah turun kelapangan, dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah “A”. (lampiran 4)

-          Panitia Pemeriksaan Tanah “A” turun ke lapangan, yang anggotanya terdiri dari :
1)   Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah
2)   Kepala Seksi Survey Pengukuran dan Pemetaan
3)   Kepala Seksi Pengaturan, Penataan, Pertanahan
4)   Lurah setempat
5)   Kepala Subseksi Penetapan Hak Kantor Pertanahan

Setelah anggota Panitia A turun ke lapangan dan memutuskan tidak ada permasalahan pada tanah tersebut, barulah dapat di keluarkan  dan  diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak.
Untuk melengkapi syarat, yang salah satunya adalah bukti setor BPHTB, pemohon disarankan untuk membayar lunas BPHTB yang dikenakan karena adanya pemberian hak. Adapun Cara menghitung besarnya BPHTB terutang adalah Luas tanah dikali Nilai Jual Objek Pajak (NJOP PBB) per meter dikurang Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikali 5%.
Atau secara matematis rumusnya adalah :

    BPHTB = 5% (luas tanah x NJOP) – NPOPTKP

Keterangan :
-          Luas tanah :     adalah luas tanah yang telah diukur oleh petugas ukur
-          NJOP: adalah Nilai Jual Objek Pajak Per-meter yang dapat dilihat dari SPPT PBB tahun berjalan.
-          NPOPTKP:     Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak

  1. Setelah Peta Bidang Tanah dan Surat Keputusan Pemberian Hak sudah diperoleh, Petugas loket meminta kepada pemohon untuk mendaftarkan haknya pada Kantor Pertanahan setempat  yang akan dikenakan biaya pendaftaran sebesar Rp.50.000,- sesuai dengan ketentuan PP No.13 Tahun 2010, dan dengan melengkapi berkas-berkas, antara lain :
1) Peta Bidang Tanah atau Surat Ukur
2) Surat Keputusan Pemberian Hak
3) Kartu Tanda Penduduk (KTP)
4)         SPPT PBB tahun berjalan
5) Surat-surat asli perolehan tanah, contohnya : Surat Keterangan Tanah, Surat Pelepasan Hak, Akta Jual Beli (jika diperlukan), Surat Keterangan Ahli Waris (jika diperlukan)
6) Bukti Setor telah membayar Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB).

g.   Setelah syarat-syarat tersebut sudah lengkap, maka barulah petugas Kantor Pertanahan setempat dapat memproses pendaftaran hak tersebut dengan melakukan :
- Kutip Surat Ukur/Gambar Situasi.
- Cetak Sertipikat
- Pengesahan atau dibubuhinya tanda tangan oleh pejabat yang berwenang pada sertipikat, yang dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pertanahan setempat dan baru kemudian sertipikat itu dijahit dan dibubuhi cap garuda.

4)   Proses Pemberian Hak Untuk Tanah yang Sudah Bersertipikat
Proses pemberian hak untuk tanah yang sudah bersertipikat hampir sama dengan proses pemberian hak untuk tanah yang belum bersertipikat (tanah mentah), karena walaupun tanah tersebut sudah bersertipikat tapi tetap harus dilakukan pengukuran yang hasil produknya Peta Bidang Tanah, Panitia Pemeriksaan Tanah “A” tetap harus turun kelapangan guna meninjau kembali batas-batas tanah tersebut, yang hasil peninjauan tersebut dituangkan dalam Konstatering Rapport, dan pemohon diwajibkan untuk membayar biaya-biaya tersebut seperti yang telah diuraikan diatas. Bedanya tanah yang sudah bersertipikat tidak lagi dikenakan BPHTB apabila tidak ada perubahan nama atas pemiliknya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000, dan proses kelengkapan berkasnya dilengkapi dengan sertipikat yang sudah ada, misalnya pemohon sudah pernah mendaftarkan tanahnya dan mendapat Hak Guna Bangunan, akan tetapi pemohon hendak mengalihkan haknya menjadi Hak Milik. Untuk itu pemohon atau kuasa pemohon datang dan mengisi surat permohonan pada loket Kantor Pertanahan setempat dan melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan agar peralihan haknya dapat diproses.
Berkas-berkas yang harus dilengkapi, antara lain :
1)   Peta Bidang Tanah atau Surat Ukur
2)   Surat Keputusan Pemberian Hak
3)   Kartu Tanda Penduduk (KTP)
4)   Surat-surat asli perolehan tanah, contohnya : Surat Keterangan Tanah, Surat Pelepasan Hak, Akta Jual Beli (jika diperlukan), Surat Keterangan Ahli Waris (jika diperlukan).
5)   Sertipikat Tanah
Setelah berkas-berkas tersebut lengkap, barulah Petugas Kantor Pertanahan setempat dapat memproses dan memberikan Hak Milik kepada pemohon.


2. Akibat Hukum Apabila Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Tidak Dibayar
Apabila wajib pajak diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB) beserta denda sebesar 2% perbulan untuk jangka waktu maksimal 24 bulan dihitung mulai saat terhutang pajak sampai diterbitkan SKBKB karena menurut Pasal 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolahan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang merupakan sanksi apabila wajib pajak tidak membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pembayaran BPHTB menganut sistem self assessment, yaitu Wajib Pajak atau pemohon diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terhutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan melaporkannya tanpa menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak.
Jika biaya BPHTB tidak dibayar sama sekali dan tidak ada bukti setornya maka sertipikat yang dimohon tidak akan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan atau ditunda untuk sementara waktu menunggu hasil bukti setor BPHTB tersebut. Setelah ada bukti setor BPHTB, dan sertipikat tersebut bisa ditandatangani oleh Pejabat Pertanahan yang berwenang. Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) apabila Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kotamadya menandatangani sertipikat sebelum adanya bukti lunas setor BPHTB akan dikenakan denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.

D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisa yang telah dikemukakan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.   Pengajuan Permohonan Hak Milik atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dilakukan menurut prosedur yang sesuai dengan Hukum Tanah Nasional yang berlaku di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2.   Apabila wajib pajak dalam hal ini pemohon tidak membayar BPHTB maka akan dikenakan sanksi administrasi sesuai UU BPHTB. Jika biaya BPHTB tidak dibayar sama sekali dan tidak ada bukti setornya maka sertipikat yang dimohon tidak akan ditandatangani oleh Pejabat Pertanahan yang berwenang pada Kantor Pertanahan atau ditunda untuk sementara waktu menunggu hasil bukti setor BPHTB tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Buku Bacaan:
A.P Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1993.
---------, Komentar Atas UUPA, Alumni, Bandung, 1986.
---------, Tanya Jawab Hukum Agraria dan Pertanahan, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Arie.S.Hutagalung, Asas-Asas Hukum Agraria, Diktat, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,Isi dan pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 1991.
---------, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,Isi dan pelaksanaannya, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 1999.
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Irawan Soerodjo,Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arloka, Jakarta, 2003.
Khairul R, Menggenjot Pendaftaran Tanah, Tanah Air Media Perencanaan BPN RI Edisi ke-4, Jakarta, 2007.
K.Watjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997.
Marihot P.Siahaan, Bea Perolehaan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori dan Praktir, Edisi Revisi, Raja Grafika Persada, Jakarta, 2003.
Mardiasmo, AK, Perpajakan,Edisi Revisi, Andi Yogyakarta, 2009.
R.Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika Aditama, Bandung,2003.
Soeparman Soemahamidjaja, Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong, Universitas Padjajaran, Bandung, 1964.
Soni Harsono, Hukum Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Praktek Pelaksanaanya, BPN, Jakarta, 1990.
Supriadi, Hukum Agraria,Cetakan 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007.
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2012
Wirawan B.Ilyas,dkk, Hukum Pajak, Edisi 3, Salemba Empat, Jakarta, 2007.
W.J.S.Perwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2003.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehaan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahaan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehaan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN RI Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.



[1] Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007, hlm.10.
[2] Khairul R, Menggenjot Pendaftaran Tanah, Tanah Air Media Perencanaan BPN RI Edisi Ke-4,  Jakarta, 2007, hlm.12.
[3] Soni Harsono, Hukum Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Praktek Pelaksanaanya,BPN, Jakarta, 1990, hlm.12.
[4]Marihot P.Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori dan Praktik, Edisi Revisi, Raja Grafika Persada, Jakarta, 2003, hlm.5.
[5]Ibid, hlm.6.
[6] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 1991, hlm.18.
[7] Supriadi, Hukum Agraria, cetakan 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.3.
[8] Boedi Harsono,  Op Cit, hlm.19.
    [9] Supriadi, Op Cit., hlm.18.
[10] ibid.
[11]Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arloka, Jakarta, 2003,  hlm.5.
[12] K.Watjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hlm.15.
[13] Boedi Harsono, Op cit., hlm.274.
[14]Arie.S.Hutagalung, Asas-Asas Hukum Agraria, Diktat, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hlm.27.
[15]A.P.Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1993, hlm.124.
[16] Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2012, hlm.95.
[17]Boedi Harsono, Op Cit.,, hlm 460.
[18]Ibid.
[19] Ibid, hlm.477.
[20]Boedi Harsono,Op Cit., hlm.457.
[21]Soeparman Soemahamidjaja, Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong, Universitas Padjajaran, Bandung, 1964, hlm.2.
[22]Mardiasmo, Op Cit.,hlm.2.
[23]Marihot P. Siahaan, Op Cit., hlm. 41.
[24]Bohari, pengantar hukum pajak, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.29.
[25]Ibid, hlm.37-49.