Kamis, 21 Januari 2016

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN



Penulis  FITRIAH,SH.,MH
ABSTRAK
                  Hubungan hukum antara dokter dan pasien dinyatakan sah , maka pemenuhan hak dan kewajiban merupakan suatu bentuk akibat hukum dari suatu perjanjian terapeutik. Adapun hak dan kewajiban dokter serta hak dan kewajiban pasien di atur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Dengan tidak  terpenuhinya prestasi ini, ditujukan hanya kepada dokter, yang mana dalam perjanjian teraupeutik antara dokter dan pasien, dokter berada dalam posisi sebagai debitur yang harus melaksanakan prestasinya.
Kata Kunci :  Perjanjian Teraupetik
A.    Pendahuluan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diberbagai bidang pada saat ini semakin pesat khususnya perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran. Seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran dan pusat-pusat pelayanan kesehatan serta pusat-pusat pelayanan medik di negara kita, maka semakin lama banyak orang yang berhubungan dengan tenaga, sarana dan teknik kedokteran. Hal ini juga ditandai dengan meningkatnya sistem pelayanan kesehatan dan pelayanan medik baik secara kualitatif dan secara kuantitatif. Sistem pelayanan kesehatan dan pelayanan medik yang dijalankan oleh profesi dokter harus berhadapan dengan etik kedokteran serta masalah-masalah yang timbul dalam etik kedokteran tersebut.
Hal demikian berlaku karena profesi dokter berbeda dengan profesi bisnis, di mana profesi dokter merupakan suatu profesi yang disertai dengan moralitas tinggi, di mana setiap dokter harus siap setiap saat memberikan pertolongan kepada siapa saja, kapan saja dan di tempat mana saja sesuai dengan standar profesi. Profesi dokter harus dijalankan sesuai dengan kode etik kedokteran. Dalam Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009  Tahun  tentang Kesehatan, bahwa : “Pelayanan kesehatan harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya”.
Seiring dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dan pelayanan medik tersebut maka peranan hukum dalam pelayanan kesehatan dan pelayanan medik semakin meningkat. Pelayanan kesehatan dibedakan atas dua macam yaitu pelayanan kesehatan masyarakat (Public Health Service) dan pelayanan kesehatan kedokteran (Medical Service), untuk pelayanan kedokteran dapat diselenggarakan sendiri dengan tujuan utamanya yaitu untuk mengobati (Kuratif) penyakit dan memulihkan (Rehabilitatif) kesehatan serta sasaran utamanya adalah perseorangan. Sedangkan pelayanan kesehatan masyarakat, umumnya diselenggarakan bersama-sama dalam suatu organisasi, bahkan harus mengikutsertakan potensi masyarakat dan mencegah penyakit serta sasaran utamanya adalah masyarakat secara keseluruhan.
Di samping Pelayanan kesehatan juga ada pelayanan Medik di mana pelayanan ini mencakup semua upaya dan kegiatan berupa pencegahan (Preventif), pengobatan (Kuratif), peningkatan (Promotif), dan pemulihan (Rehabilitatif) kesehatan yang didasarkan atas hubungan individual antara para ahli di bidang kedokteran dengan individu yang membutuhkannya.
Seiring dengan tuntutan perkembangan kesadaran hukum masyarakat yang didapat dilihat dengan indikator peningkatan pada pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap terhadap hukum dan perilaku hukum , maka perlunya peningkatan kualitas pelayanan medis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Segi hukum dalam pelayanan kesehatan dan pelayanan medik akan selalu berhubungan, karena pada saat seorang pasien menyatakan kehendaknya untuk menceritakan riwayat penyakitnya kepada dokter dan dokter yang menyatakan kehendaknya untuk mendengar keluhan pasien, maka telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Kedatangan pasien ke tempat praktek dokter, atau Rumah Sakit atau Klinik, atau sarana pelayanan medik lainnya dapat ditafsirkan bertujuan untuk mengajukan penawaran (Offer, Aanbod) kepada dokter untuk diminta pertolongan dalam mengatasi keluhan yang dideritanya. [1]
Begitu pula sebaliknya dari dokter juga akan melakukan pelayanan medik yang berupa rangkaian tindakan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang terdiri dari diagnostik dan terapeutik yang didasarkan pada persetujuan. Oleh karena itu hubungan hukum antara dokter dan pasien disebut transaksi terapeutik atau perjanjian terapeutik, karena timbul dari adanya kesesuaian  pernyataan kehendak sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 1320 KUH Perdata.
Perjanjian terapeutik merupakan perkembangan dalam hukum perdata, yaitu masuk dalam kategori perjanjian lain sebagaimana yang diterangkan pada Pasal 1319 KUH Perdata, bahwa untuk semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum mengenai perikatan pada umumnya (Bab I Buku III KUH Perdata) dan pada peraturan umum mengenai perikatan yang bersumber pada perjanjian (Bab II Buku III KUH Perdata).
Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang dilaksanakan dengan rasa kepercayaan dari pasien terhadap dokter disebut dengan “transaksi terapeutik”.[2] Dalam transaksi terapeutik  ini, yang menjadi objek adalah upaya penyembuhan. Hal ini sering ditafsirkan oleh masyarakt bahwa kesembuhan pasien yang menjadi objek transaksi terapeutik. Objek transaksi terapeutik adalah upaya dokter bukan kesembuhan pasien karena jika kesembuhan pasien dijadikan objek, akan menyudutkan dokter.
Hubungan ini terjadi karena adanya suatu landasan kepercayaan yang dapat diterima nalar atau patut diberikan, karena dokter memiliki pengetahuan untuk itu.[3]/. Dalam hal ini, dokter secara hati-hati dan teliti berusaha mempergunakan ilmu, kepandaian, ketrampilan dan pengalamannya untuk mengusahakan kesembuhan bagi pasien. Jarang sekali bahkan hampir tidak pernah dokter berjanji memberikan hasil tertentu, karena setiap tindakan medik sekecil apapun tindakan itu, selalu menimbulkan risiko, yang dilakukan dokter ada kemungkinan pasien sembuh, tetap sakit atau bahkan meninggal dunia.
Hubungan di atas merupakan suatu hubungan dalam memberikan pelayanan, yang dipandang oleh dokter sebagaimana lazimnya pelayanan medik yang dilakukan oleh dokter, yang berarkar dari abad ke abad perkembangan medik, yaitu sejak berkembangnya ilmu kedokteran modern yang dipelopori oleh Hippocrates. Keistimewaan kelompok profesi dokter ialah bahwa tumpuan utamanya, justru terletak dalam integrasi etik yang tercermin melalui dedikasinya terhadap perilaku etik, seperti menghargai hak orang lain (pasien).[4] Landasan etik inilah yang merupakan dasar bagi kepercayaan masyarakat, khususnya pasien dan yang merupakan dimensi moral sehingga status terhormat dan terpercaya dalam masyarakat.
Menurut kaidah hukum hubungan dokter dengan pasiennya merupakan interaksi terapeutik yang dalam hukum dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu. Dengan adanya perjanjian ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil dari suatu tujuan tertentu yang dikehendaki pasien dengan harapan minimal dokter dapat memberikan pelayanan yang memadai sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pasien.
Di sisi lain pihak pasien sering tidak menyadari arti kontrak terapeutik, khususnya mengenai isi atau objek perjanjian tersebut. Sehingga saringkali terdengar pasien menuntut dokter karena penyakinya tidak berhasil disembuhkan, padahal dalam kontrak teraupetik objek perjanjian adalah usaha sebaiki-baiknya dari dokter dan sama sekali bukanlah sembuh atau tidak sembuhnya pasien.
Dalam hubungan medik dikatakan bahwa kedudukan dokter dan pasien cenderung tidak seimbang, dimana dokter memiliki pengetahuan kedokteran sedang pasien tidak dan bersikap menerima saja, karena atas dasar kepercayaan maka dokter berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan penyakinya. Sementara dalam hubungan hukum akan selalu menimbulkan hak dan kewajiban antara dokter dan pasien, oleh karena itu kedudukan dokter dan pasien adalah sama, yakni dalam hubungan jasa pelayanan kesehatan.
Dalam perjanjian terapeutik yang diperjanjikan adalah agar dokter mengupayakan penyembuhan pasien melalui pencarian terapi yang paling tepat berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan pasien berkewajiban secara jujur menyampaikan apa yang dikeluhkannya, agar dapat ditemukan beberapa alternatif  pilihan terapi, untuk akhirnya pasien berhak memilih jenis terapi yang diinginkan berdasarkan informasi dari dokter tersebut. Apapun terapi yang digunakan tentu tidak menjanjikan suatu hal yang pasti, namun dalam menemukan atau mencari penyembuhan itu harus dilakukan secara cermat dan hati-hati .

B.     Permasalahan
Adapun  yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini  adalah : Apakah akibat hukum yang timbul dari adanya perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien tersebut menurut Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

C.  Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian yuridis-normatif bersifat eksplanatoris dengan pendekatan Perundang-undangan, dan pendekatan kasus.
Bahan hukum yang telah dikumpul dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Setelah diperoleh gambaran yang jelas, maka akan disimpulkan induksi dan metode deduksi.
D.    Pembahasan
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib di antara anggota-anggota masyarakat itu. Ini berarti bahwa hukum baru dapat dianggap ada, apabila suatu tingkah laku seseorang sedikit banyak menyinggung atau mempengaruhi tingkah laku dan kepentingan orang lain. Maka bila seorang berjanji melakukan sesuatu, janji ini dalam hukum pada hakekatnya ditunjukan pada orang lain.[5]/ Sehingga dikatakan bahwa sifat pokok dari hukum perjanjian adalah mengatur perhubungan antara orang dan orang.
Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut.[6]/ Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[7]/ R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[8]/
Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
a.       Perbuatan
b.      Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
c.       Mengikatkan dirinya,

1.    Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:
a. Adanya kata sepakat;
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
c. Adanya suatu hal tertentu;
d. Adanya causa yang halal.

2.       Asas-Asas Perjanjian
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terdapat azas-azas :
a.       Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu :[9]/
1.      bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
2.      bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
3.       bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
4.       bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
5.       kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
b.      Asas konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas itikad baik

c.       Asas kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.
3.      Jenis-jenis Perjanjian
1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.
2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.
Macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu: [10]
1.      Perikatan bersyarat,
2.      Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling) .
3.       Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif)
4.      Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair
5.      Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi,
6.      Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding),
7.      Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir
                  E. Hapusnya suatu perjanjian

a.       Ditentukan dalam perjanjian oleh kedua belah pihak.
b.Ditentukan oleh Undang-Undang.
c.Ditentukan oleh para pihak dan Undang-undang.
d.Pernyataan menghentikan perjanjian.
e.Ditentukan oleh Putusan Hakim.
 f.Tujuan Perjanjian telah tercapai.
g.Dengan Persetujuan Para Pihak.



2. Pengertian Dokter dan Etika Profesi Dokter
a.    Dokter
Dokter merupakan orang yang memiliki kewenangan dan izin untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa, dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut hukum dalam bidang kesehatan. Dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Prakik Kedokteran disebut bahwa :[11]
 “ Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran ataukedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
“ Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat”. 
Profesi merupakan suatu pekerjaan yang dilandasi oleh suatu ilmu pengetahuan dan diperoleh melalaui program pendidikan (tinggi profesional) yang khas atau spesifik dengan standar kualitas tertentu dan terukur, dan dapat melakukannya dengan mandiri dengan imbalan jasa dari klien yang dilayani dan dengan kode etik dan aturan yang berlaku yang telah disusun dan disepakati oleh organisasi profesinya. [12]
Ilmu pengetahuan dicari dan dikembangkan untuk menguak rahasia alam dan diamalkan untuk kehidupan manusia demi meningkatkan martabat dan kesejahteraan serta keberlanjutan alam semesta ini. Seseorang yang memiliki pekerjaan yang profesional harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut :
1)      Memiliki pengetahuan dan teknologi yang hanya diketahui dan dimiliki oleh orang-orang tertentu saja karena proses pendidikan dan atau pelatihan;
2)      Memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaan berdasarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang khusus dan spesifik yang diperoleh dari proses pendidikan dan pelatihan tersebut. Pekerjaan khusus atau spesifik tersebut tidak diketahui oleh masyarakat yang lebih luas;
3)      Mendapat izin dari negara atau organisasi profesi untuk melakukan suatu tindakan tertentu, seperti sertifikasi dan akreditasi;
4)      Memiliki dan menjadi anggota organisasi profesi yang sama-sama mempunyai hak dan suara yang menyebarkan standar atau cita-cita prilaku dan yang saling mendisiplinkan diri sesuai dengan standar tersebut;
5)      Di muka publik mereka mengucapkan sumpah atau janji untuk memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan.[13]

Seorang tenaga kesehatan (dokter) dalam melakukan pekerjaannya harus sesui dengan pedoman atau ukuran tertentu yang dikenal dengan standar profesi medik, yang berpegang pada tiga ukuran umum, yaitu :[14]
1)   Kewenangan
Kewenangan seorang tenaga kesehatan adalah kewenangan hukum (rechtsbevoegheid). Kewenangan ini memberikan hak kepada tenaga kesehatan untuk bekerja sesuai dengan bidangnya. Kewenangan menjalankan profesinya didapat dari Departemen Kesehatan  yang merupakan syarat administratif yang diberikan kepada dokter untuk melaksanakan profesinya, karena tanpa kewenangan tenaga kesehatan tersebut melanggar salah satu standar profesi tenaga kesehatan.
2)   Kemampuan Rata-rata
Untuk mengukur atau menentukan kemampuan atau kecakapan rata-rata seorang tenaga kesehatan sangat sulit, banyak faktor yang mempengaruhinya. Misalnya seorang tenaga kesehatan yang baru lulus pendidikan tentunya tidak dapat disamakan dengan tenaga kesehatan yang telah menjalankan pekerjaannya di bidang kesehatan selama dua puluh tahun. Penentuan tentang kemampuan rata-rata seorang tenaga kesehatan tergantung dari situasi dan kondisi dari negara yang bersangkutan.
3)   Keseksamaan
Ukuran keseksamaan atau ketelitian yang umum, adalah ketelitian yang akan dilakukan oleh setiap tenaga kesehatan dalam melaksanakan pekerjaannya yang sama. Keseksamaan ini menjadi ukuran apakah seorang tenaga kesehatan telah bekerja dengan seksama atau telah melakukan kesalahan / kelalaian.
Kewajiban yang timbul dari standar profesi kedokteran, terus menerus menambah pengetahuan medis dengan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran pada umumnya dan ilmu kategori spesialisasi sendiri pada khususnya, dan selalu membuat rekam medis yang baik secara berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien, diagnosa, terapi, riwayat medis dokter dan lainnya yang berhubungan dengan penyakit dan perawatan pasien.
Rumusan standar profesi kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), yaitu :[15]
1) Standar ketrampilan :
a)    Ketrampilan kedaruratan medis
Ketrampilan kedaruratan  merupakan sikap yang diambil oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya dengan sarana yang sesuai dengan standar di tempat pratiknya. Jika tindakan yang dilakukan tidak berhasil, penderita perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.
b) Ketrampilan umum
Meliputi penanggulangan terhadap berbagai penyakit yang tercantum dalam kurikulum inti pendidikan dokter Indonesia.
2) Standar sarana
a)    Sarana medis, meliputi sarana alat-alat medis dan obat-obatan
b)   Sarana  nonmedis,  meliputi  tempat  dan  peralatan  lainnya  yang
                      diperlukan oleh seorang dokter dalam melaksanakan profesinya.

3) Standar perilaku
Berdasarkan pada sumpah jabatan, sumpah dokter, dan pedoman kode etik kedokteran Indonesia, meliputi perilaku dokter dalam hubungannya dengan pasien, yaitu :
a)     Pasien harus diperlakukan manusiawi;
b)     Semua pasien diperlakukan sama;
c)     Semua keluhan pasien diusahakan agar dapat diperiksa secara  
menyeluruh;

d)     Pada pemeriksaan pertama diusahakan untuk memeriksa secara     
menyeluruh;

e)     Pada pemeriksaan ulangan diperiksa menurut indikasinya;
f)       Penentuan uang jasa dokter diusahakan  agar  tidak  memberatkan  
      pasien;

g)      Dalam ruang praktik tidak boleh ditulis tarif dokter;
h)      Untuk  pemeriksaan  pasien  wanita,  sebaiknya  agar keluarganya  
      disuruh   masuk  ke  dalam   ruang  praktik  atau   disaksikan  oleh  
      perawat, kecuali dokternya wanita;

i)        Dokter tidak boleh melakukan perzinaan dalam ruang praktik,  
      melakukan abortus, kecanduan, dan alkoholisme;

j)        Papan nama terpasang dalam ukuran pantas.
4) Standar catatan medis
Pada semua penderita, sebaiknya dibuatkan catatan medis. Dalam catatan medis perlu dicantumkan identitas penderita, alamat, anmnesis, pemeriksaan, diagnonis, terapi dan obat yang menimbulkan alergi terhadap pasien.
b.   Etika Kedokteran
Etik (Ethics) berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti akhlak, adat kebiasaan, watak, perasaan sikap, yang baik, yang layak.[16] Dalam pekerjaan profesi sangat dihandalkan etik profesi dalam memberikan pelayanan kepada publik.
Profesi kedokteran merupakan profesi yang  dikenal sebagai profesi yang mulia karena berhadapan dengan hal yang paling berharga dalam hidup seseorang yaitu kesehatan dan kehidupan.
Menurut Undang-undang Nomor  29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakn berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenjeng dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.[17]
Pengalaman etika membuat kelompok menjadi baik dalam arti moral, ciri-ciri etik profesi adalah :[18]
1)     Berlaku untuk lingkungan profesi ;
2)    Disusun oleh organisasi profesi bersangkutan ;
3)    Mengandung kewajiban dan larangan ;
4)    Menggugah sikap manusiawi.
Menurut  Durkheim, etika profesi sebagai sumber suatu aturan moral yang baru, yang  lebih maju selangkah dengan menjelaskan isi moralitas yang lahir dari profesi tersebut. Misalnya profesi dapat dibedakan dari pekerjaan-pekerjaan lain yang tercermin dalam “pelayanan” oleh kaum profesionalisme.[19]
Hakikat profesi kedokteran merupakan panggilan jiwa (calling), untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas. Prinsip kejujuran, keadilan, keikhlasan, kepedulian kepada sesama dalam rasa kemanusiaan, rasa kasih sayang dan ikut merasakan penderitaan orang lain. Dengan demikian kalau arti, fungsi, isi dan bentuk dari kode etik kedokteran dipahami, dimengerti oleh para dokter, maka  yang diutamakan adalah kepentingan orang lain.
Hippocrates adalah dokter Yunani kuno, yang digelari bapak ilmu kedokteran. Beliau hidup dalam abad ke-5 SM, tidak memandang penderita penyakit sebagai orang yang dikutuk oleh Tuhan. Hal tersebut terbukti dari sumpahnya yang terkenal, yang dijadikan sumpah dokter di berbegai  dunia.[20]
Asas pokoknya diantara dokter dan pasien seharusnya terjalin hubungan kepercayaan, tanpa ada tempat untuk pertimbangan ekonomi, apalagi komersialisasi. Prinsip yang menyatakan bahwa apapun yang dilakukan oleh seorang dokter adalah untuk kebaikan pasien. Tercermin dalam lafal sumpah dokter, keselamatan penderita akan selalu saya utamakan :[21]
1)      Prinsip non nocere, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa niat pertama adalah tidak untuk mencederai, menyakiti atau merugikan pasien.
2)    Prinsip jujur , mengharuskan dokter untuk tidak membohongi pasien, serta mengkonsultasikan kepada yang lebih ahli jika tidak sanggup mengatasi sendiri.
3)   Prinsip adil adalah menuntut dokter untuk tidak membedakan perlakuan kepada pasien atas dasar tingkat sosial, sukuk bangsa, ekonomi, agama, dan pandangan politik, usia, ataupun jenis kelamin.
4)   Prinsip menghargai otonomi pasien meminta dokter untuk memberi informasi yang jujur agar pasien dapat mengambil keputusan tentang diri dan kemudian dokter menghormati keputusan tersebut.
Dalil  Hippocrates, pada dasarnya ada tiga pokok yang dipersyaratkan bagi mereka yang ingin menjadi dokter : pertama, setiap dokter harus berusaha menguasai ilmunya sebaik mungkin. Ia harus meningkatkan mutu profesinya, melalui belajar yang terus menerus dan pengalaman-pengalaman yang diperolehnya. Kedua, seorang dokter harus menjaga martabat profesinya. Dan ketiga, seorang dokter harus menjadi seorang yang suci yang mengabdikan diri sepenuh waktunya untuk profesinya.
Adapun fungsi dari kode etik profesi, yaitu :[22]
1)      Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan ;
2)    Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan ;
3)    Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi.
Penilaian terhadap pelayanan dan ketrampilan dokter, ditentukan oleh bagaimana berhubungan secara hangat dan pribadi dengan pasien. Hal ini dilakukan sambil berupaya mencari kepastian sesuai dengan diagnosis yang ditentukan agar dapat memberikan pengobatan yang secukupnya.  Oleh karena itu, pelayanan kesehatan dalam melaksanakan profesi dokter sudah seharusnya didasarkan pada pengahargaan atas martabat manusia dan upaya pelayanan yang menjunjung tinggi kemanusiaan seutuhnya.

3. Pengertian Pasien
Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.[23]
 Ketika seorang individu mendaftarkan diri sebagai pasien di sebuah rumah sakit dan mendapatkan penangannan dari dokter, perawat, dan pekerja kesehatan lainnya, maka semua pihak yang terlibat telah terikat dalam perikatan hukum yang disebut dengan kontrak terapeutik, dimana setiap pihak yang terlibat memikul hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan terikat oleh hukum.
Perubahan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat saat ini membawa konsekuensi pada perubahan hubungan antar manusia. Komunikasi  merupakan bentuk nyata yang kita rasakan, baik dari aspek media yang digunakan maupun dari fungsi yang ditimbulkannya.
Dalam hal hubungan antara dokter dan pasien, komunikasi memegang peranan penting dalam melakukan perawatan terhadap pasien. Banyaknya kasus ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan maupun upaya untuk menjatuhkan keberadaan lembaga kesehatan ataupun dokter disebabkan karena kurangnya komunikasi.
Pasien dalam praktik sehari-hari sering dikelompokkan dalam :[24]
a.    Pasien dalam
Yaitu pasien yang memperoleh pelayanan tinggal atau rawat pada suatu unit pelayanan kesehatan tertentu, atau dapat juga disebut dengan pasien yang dirawat di rumah sakit.
b.    Pasien jalan/luar
Yaitu pasien yang hanya memperoleh pelayanan kesehatan tertentu.
c.    Pasien opname
Yaitu pasien yang memperoleh pelayanan kesehatan dengan cara menginap dan dirawat di rumah sakit atau disebut juga pasien rawat inap.
Relasi pasien dan dokter adalah proses utama dari praktik kedokteran. Dokter mempelajari tanda-tanda, masalah, dan nilai-nilai dari pasien, memeriksa dan membuat diagnosis yang kemudian digunakan sebagai penjelasan kepada pasien  dan merencanakan perawatan atau pengobatan.
A.    Terjadinya Perjanjian Terapeutik Antara Dokter Dan Pasien
Perjanjian terapeutik berawal dari hubungan antara dokter dan pasien,hal ini dimulai sejak kedatangan pasien kepada dokter dengan menginformasikan segala sesuatau yang berkaitan dengan sakitnya (penyakitnya). Apabila diperlukan suatu tindakan medis maka dokter wajib memberikan informasi atau penjelasan kepada pasien. Penjelasan dokter kepada pasien dapat berupa :[25]
1.      Diagnosis;
2.      Terapi dengan kemungkinan alternatifnya;
3.      Tentang cara kerja dan pengalaman;
4.      Risiko;
5.      Kemungkinan perasaan sakit atau perasaan lain;
6.         Keuntungan terapi;
7.      Prognosa.
          Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan yang berlangsung antara selama proses pemeriksaan/pengobatan/ perawatan yang terjadi di ruang pratik perorangan, poliklinik, rumah sakit dan puskesmas,  dapat dibedakan :
a. Berdasarkan intesitas harmoni atau adanya konflik antara kedua pihak.
Dokter mempunyai kedudukan yang lebih tinggi atau lebih kuat karena pengetahuannya, sedangkan pasien pada situasi emosional yaitu sakit, bingung, depresif atau bahkan tidak dapat berkomunikasi karena tidak sadar membuat pasien bekerja sama dan tidak menentang kehendak dokter sehingga konsensus dapat dicapai. Namun hal ini tidak berarti pasien memahami apa yang disarankan dokter melainkan karena pasien percaya bahwa dokter melakukannya demi kebaikan pasien.
b. Berdasarkan jenis penyakit atau kondisi kesehatan pasien, dapat dibedakan menjadi tiga model :[26]
1) Hubungan aktif-pasif, terjadi bila pasien berada dalam kondisi yang tidak mungkin bereaksi atau turut berperan serta dalam relasi tersebut. Dalam hal ini pasien benar-benar menjadi obyek yang hanya menerima saja yang diberikan padanya.
2) Hubungan pemimpin pengikut, terjadi jika pasien mengalami penyakit infeksi atau sakit yang bersifat akut, di mana dokter memberikan intruksi dan pasien mematuhi intruksi tersebut.
3) Hubungan setara, terjadi jika dokter membantu pasien untuk menolong dirinya sendiri, pasien dapat aktif memutuskan apa yang akan dilakukannya demi kesembuhan dan kebaikan diri sendiri. Biasanya hubungan ini terjadipada kasus-kasus penyakit kronis atau dalam upaya mengatasi kebiasaan yang merusak kesehatannya. 
Hubungan antara dokter dengan pasien yang seimbang atau setara disebut hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual atau kontrak terapeutik terjadi karena para pihak mempunyai kebebasan dan kedudukan yang setara. Kedua belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di mana masing-masing pihak harus melaksanakan peranan dan fungsinya berupa hak dan kewajiban. Merupakan perikatan / kontrak terapeutik, yaitu pihak dokter berupaya secara maksimal menyembuhkan pasien (inspanningsverbintenis), dan bukan kontrak berdasarkan kepastian hasil (resultaatsverbintenis)[27].  
Proses hubungan kontrak atau kontrak terapeutik dokter dan pasien dimulai dengan tanya jawab (anamnesis) antara dokter-pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik. Kadang-kadang dokter membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan membantu menegakkan diagnosisnya yang berupa pemeriksaan radiologi atau laboratorium, sebelum akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis.
            Hubungan antara dokter dan pasiennya secara yuridis dapat digolongkan ke dalam kontrak, bentuk hubungan kontrak antara dokter-pasien, yaitu :[28]
a.    Kontrak yang nyata (expressed contract)
Dalam bentuk ini sifat atau luas jangkauan pemberian pelayanan pengobatan sudah ditawarkan oleh sang dokter yang dilakukan secara nyata dan jelas, baik secara tertulis maupun lisan.
b.   Kontrak yang tersirat (implied contract)
Dalam bentuk ini adanya kontrak disimpulkan dari tindakan-tindakan kedua pihak. Timbul bukan karena ada persetujuan, tetapi dianggap oleh hukum berdasarkan akal sehat dan keadilan.  Jika seorang pasien datang ke suatu klinik medis dan sang dokter mengambil riwayat penyakinya, memeriksa, dan memberikan pengobatan maka dianggap secara tersirat sudah ada hubungan kontrak pasien.
Ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau dimana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan.
Pasien berdasarkan penjelasan dari dokter dapat menyetujui atau menolak suatu tindakan medis yang akan dilakukan atau disebut Informed Consent. Jadi kalau ternyata tidak sembuh setelah memperoleh pelayanan kesehatan, pasien tidak dapat menuntut ganti rugi kepada dokter. Pasien dapat menuntut ganti rugi apabila dokter tidak atau kurang berupaya dalam pelayanan kesehatan atau tidak sesuai dengan standar profesi medik.
Pada transaksi terapeutik (penyembuhan) bertumpu pada dua macam hak asasi  : pertama, hak dasar sosial adalah hak atas pemeliharaan kesehatan (The right of Health Care), kedua, hak dasar individu untuk menentukan nasib sendiri (The Right of Selfdetermination). Dengan kedua hak dasar tersebut maka dokter dan pasien dapat bersama-sama menentukan terapi yang paling tepat yang akan digunakan.
Istilah transaksi atau perjanjian terapeutik memang tidak dikenal dalam KUH Perdata tetapi dalam perjanjian lain sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1319 KUHPerdata, bahwa untuk semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum mengenai perikatan pada umumnya yang bersumber pada perjanjian .
Di dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran disebutkan bahwa : “Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan”.
Jadi syarat sahnya  perjanjian antara dokter dan pasien harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Mengenai kesepakatan dalam hukum perjanjian disebut dengan asas konsesualitas, karena kedua pihak telah setuju atau sepakat mengenai sesuatu hal. Kedua belah pihak dalam perjanjian terapeutik adalah pasien dan dokter, kedua pihak ini disebut juga sebagai subjek dalam perjanjian dasarnya suatu perjanjian atau perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sah mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan untuk membuat perikatan adalah kewenangan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh Undang-Undang. Dalam perjanjian terapeutik, pihak penerima pelayanan medik terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak yang berada dibawah umur, tetapi telah dianggap dewasa atau matang, anak dibawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya.
3.      Suatu Hal Tertentu
Dari Pasal 1333 KUH Perdata  dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah objek perjanjian. Yang menjadi objek di dalam Pasal tersebut adalah barang (zaak), tetapi dilain pihak zaak dapat berarti urusan, sehingga apabila dihubungkan dengan perjanjian terapeutik maka yang menjadi objek dari perjanjian terapeutik adalah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Dalam upaya penyembuhan juga ada hal-hal yang perlu dijelaskan atau dikomunikasikan oleh dokter terhadap pasien atau juga sebaliknya ada hal-hal yang harus dijelaskan oleh pasien terhadap dokter sehingga upaya penyembuhan tersebut dapat tercapai.
4.      Suatu Sebab Yang Halal
Pada Pasal 1336 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu sebab yang halal adalah sebab yang tidak dilarang oleh Undang-Undang, kesusilaan atau ketertiban umum.  Pada perjanjian terapeutik suatu sebab yang halal adalah sesuai dengan ketentuan standar medik ataupun kode etik kedokteran, sehingga apabila ada perjanjian yang dibuat antara dokter dan pasien yang bertentangan dengan Undang-Undang maka perjanjian tersebut menjadi  tidak sah.

B.     Akibat Hukum Perjanjian Terapeutik Antara Dokter Dan Pasien
Akibat hukum dari suatu perjanjian pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum karena suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Hubungan hukum antara dokter dan pasien dinyatakan sah , maka pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang merupakan suatu bentuk akibat hukum dari suatu perjanjian. Adapun hak dan kewajiban dokter serta hak dan kewajiban pasien yaitu :
1.     Hak Dan Kewajiban Dokter
a.      Hak Dokter
Pasal 50 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam melaksanakan praktik kedokteran,dokter mempunyai hak :
1.      Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
2.      Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional.
3.      Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien/keluarga tentang penyakitnya.
Informasi tentang penyakit terdahulu dan keluhan pasien yang sekarang dideritanya, serta riwayat pengobatan sebelumnya sangat membantu dokter untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Setelah diperoleh anamnesis, dokter berhak melanjutkan pemeriksaan dan pengobatan walaupun untuk prosedur tertentu memerlukan Persetujuan Tindakan Medis (PTM).
Pasien yang mengetahui kehidupan pribadi dokter, perlu menahan diri untuk tidak menyebarluaskan hal-hal yang sangat pribadi dari dokternya.
4.      Menerima imbalan jasa

b.     Kewajiban Dokter
Dokter yang membaktikan hidupnya untuk perikemanusiaan tentulah akan selalu mengutamakan kewajiban di atas hak-hak ataupun kepentingan pribadinya. Dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 51 dinyatakan kewajiban dokter atau dokter gigi adalah :
1)    Memberikan  pelayanan  medis  sesuai  dengan  standar  profesi dan         
    standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
2)  Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai 
     keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu 
     melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
3)  Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan 
     juga setelah pasien itu meninggal dunia.
 4)  Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali
bila   yakin pada orang lain yang  bertugas dan mampu melakukannya, 
     dan;
5)  Menambah   ilmu   pengetahuan  dan  mengikuti   perkembangan  ilmu 
    kedokteran atau kedokteran gigi.

2.  Hak Dan Kewajiban Pasien
a.     Hak Pasien
Menurut Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga memberikan perlindungan bagi pasien. Hak-hak pasien diatur dalam    pasal :
Pasal 52 :
Pasien , dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunayi hak :
(1)    Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis 
 sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);
(2)   Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain ;
(3)   Mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis;
(4)   Menolak tindakan medis;
(5)   Mendapatkan isi rekam medis.

         Secara umum beberapa hak yang dimiliki oleh seorang pasien adalah :[29]
1)      Hak atas informasi
Keputusan akhir mengenai penentuan nasibnya sendiri dapat diberikan jika untuk mengambil keputusan tersebut memperoleh informasi yang lengkap tentang segala untung dan ruginya dari pasien.
2)       Hak atas Second Opinion (pendapat Kedua)
Adalah hak pasien yang dapat digunakan jika si pasien ingin menyakinkan dirinya akan kebenaran diagnosis dan tindakan dokter pertama yang telah ditemuinya.
3)      Hak memilih dokter.
Walaupun dokter dianggap memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan tindakan medis dalam bidangnya, pasien tetap berhak memilih dokter yang dikehendakinya, biarpun berbagai konsekuensi yang harus ditanggungnya, misalnya biaya.
4)      Hak memilih rumah sakit/layanan Medis lain.
5)        Hak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. Pasien berhak meminta pelayan medis sesuai dengan kebutuhannya.
6)        Hak memberikan persetujuan,
Pasien berhak memberikan persetujuan , baik secara lisan maupun tertulis (sebaiknya ditulis) tentang pengobatan yang akan diberikan. Sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medis, sebaiknya pasien mendapatkan dulu informasi penting , meliputi :
a)      Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai.
b)     Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang ditimbulkan.
c)      Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh  pasien.
d)       Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung.
e)       Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka jelek mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
f)         Akibat mengenai kondisi madis pasien bila ia menolak tindakan medis tersebut.
7)        Hak menolak pengobatan dan menolak tindakan medis tertentu serta hak untuk menghentikan pengobatan. Setelah pasien mendapatkaan informasi mengenai manfaat/resiko pengobatan yang seharusnya dilakukan, pasien berhak menolak semua/sebagian pengobatan atau tindakan medis yang hendak diberikan.
8)        Hak atas rahasia kedokteran.
Pasien berhak atas kerahasiaan dari segala informasi mengenai dirinya maupun penyakit yang dideritanya.
9)        Hak melihat rekam medis (medical record)
Pasien adalah pemilik rekam medis serta bertanggung jawab sepenuhnya atas rekam medis tersebut. Apabila pasien menghendaki keluarga atau pengacaranya untuk mengetahui isi rekam tersebut, pasien harus meminta izin dokter/rumah sakit agar dapat memberikan ringkasan atau fotokopi rekam medis tersebut.
10)    Hak pasien atas pelayanan kefarmasian
Dalam menjalankan profesinya, apoteker atau farmasis di apotek wajib mematuhi standar kompetensi farmasis yang erat kaitannya dengan pelayanan kepada pasien  dalam memberikan pelayanan obat serta memastikan ketepatan resep, kesesuaian dosis, karakteristik pasien dan memberikan informasi yang dibutuhkan pasien agar penggunaan obat benar-benar tepat.
11)    Hak pasien terhadap pelayanan perawat
Peran penting perawat adalah memberikan pelayanan perawatan (care) bukan untuk mengobati ( cure).  Kesalahan dalam pemberian obat, perawat harus turut bertanggung jawab meskipun tanggung jawab utama ada pada pemberi tugas atau atasan perawat.

b.      Kewajiban Pasien
Keseimbangan antara hak dan kewajiban adalah tolok ukur rasa keadilan terhadap diri seseorang. Dalam hal hubungan dari dua pihak, maka hak pihak yang satu akan diimbangi pihak yang lain, demikian pula sebaliknya. Untuk mendapatkan pelayanan yang diharapkan, seorang pasien harus memiliki kewajiban yang harus dipenuhinya. Hal ini dimuat dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, yaitu :
1)      Memberikan  informasi  yang  lengkap   dan   jujur   tentang   masalah    
  kesehatannya;
2)  Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi ;
3)  Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
4)  Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

 Informasi yang jujur dari pasien kepada dokter merupakan unsur utama dalam menentukan tindakan medis, hal ini dikarenakan adanya itikad baik atau kepercayaan antara dokter dan pasien pada awal memberikan pelayanan kesehatan.  Dalam UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik kedokteran (Pasal 39) disebut sebagai kesepakatan antara dokter dengan pasien. Ukuran perlakuan berbuat sesuatu secara maksimal atau sebaik-baiknya didasarkan pada standar profesi medik dan standar prosedur operasional. (Pasal 44)
Dengan adanya prestasi yang merupakan isi dari perjanjian (Pasal 1313 KUH Perdata) apabila dokter tidak memenuhi sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian, maka ia dikatakan wanprestasi. Dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien, disamping melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak juga membentuk pertanggungjawaban hukum . Pertanggungjawaban perdata seorang dokter didasarkan atas :
1.    Setiap tindakan yang mengakibatkan kerugian atas diri orang lain.
2.    Seseorang harus bertanggungjawab tidak hanya kerugian yang dilakukan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati.
3.    Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas dirinya sendiri melainkan juga atas tindakan orang yang berada di bawah pengawasannya.

Sedangkan ganti rugi yang diderita oleh pasien karena dokter melakukan kesalahan dalam hubungan kontrak terapeutik dapat dalam bentuk :
1.      Melakukan wanprestasi (Pasal 1239, Pasal 1234 KUH Perdata)
2.      Melakukan Perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata)
3.      Melakukan kelalaian (Pasal 1366 KUH Perdata)
Jadi akibat hukum apabila tidak terpenuhinya prestasi ditujukan kepada dokter, yang mana dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien, dokter berada dalam posisi sebagai debitur yang harus melaksanakan prestasinya.
E.     Kesimpulan
1.      Perjanjian terapeutik berawal dari hubungan antara dokter dan pasien,hal ini dimulai sejak kedatangan pasien kepada dokter dengan menginformasikan segala sesuatau yang berkaitan dengan sakitnya (penyakitnya). Apabila diperlukan suatu tindakan medis maka dokter wajib memberikan informasi atau penjelasan kepada pasien.
2.      Akibat hukum dari suatu perjanjian pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum karena suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban,  apabila tidak terpenuhinya suatu prestasi,maka hal ini hanya  ditujukan kepada dokter, yang mana dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien, dokter berada dalam posisi sebagai debitur yang harus melaksanakan prestasinya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, ,Raja Grafindo Persada,  Jakarta,2007
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter,Rineka Cipta, Bandung, 2005
________________, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008
Ery Rustiyanto, Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009
  Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009
Eddi Junaidi, Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Medik, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
Hadi Siswanto, Heru Subaris Kasjono, Mardjan Mantariputra, Etika Profesi Sanitarian, Graha Ilmu, 2010
M.Jusuf Hanafiah&Amri Amir,Etika Kedokteran &Hukum Kesehatan,Edisi 4, Buku Kedokteran, 2009
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Hukum Perjanjian, Internusa, Jakarta,1987



[1] / Dr. Veronica Komalawati,S.H.,M.H., Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik,  PT. Citra Aditya Bakti,Bandung,2002,hal.146.
[2] / Endang Kusuma Astuti, Transaksi Teraupetik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal.97
[3] / Herliene Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,hal. 397
[4] / Pitono Soeparto, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, Airlangga, Surabaya, 2006, hal. 133
[5] / R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas hukum Perjanjian, CV Mnadar maju, bandung, 2000,hal.7
[6]/ Kartini Mulyadi &Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, jakarta, 2003,hal. 1
[7] / Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001,hal.36
[8]/ R. Setiawan, Hukum Perikatan-perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987,hal 49
[9] /Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,2007,hal.4.
[10] / R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 3
[11]  Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Pratik Kedokteran, Pasal 1 ayat (2 dan 11).
[12] Hadi Siswanto, Heru Subaris kasjono, Mardjan Mantariputra, Etika Profesi Sanitarian dan Pembangunan Berwawasan Kesehatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010,hal.64.
[13]  Ibid, hal 65.
     [14]  Willa Chandra Supriadi, Hukum Kedokteran,Mandar Maju,Bandung,2001, hal. 52
[15] Endang Kusuma Astuti,Op. Cit,. hal 33.
[16] M.Jusuf Hanafiah&Amri Amir,Etika Kedokteran &Hukum Kesehatan,Edisi 4, Buku Kedokteran, 2009,hal.1.
[17]  Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Pratik Kedokteran, Pasal 1 butir 11.
[18]  Ibid, hal. 2.
[19]  Endang Kusuma Astuti,Op. Cit,. hal.38.
[20] Hadi Siswanto, Heru Subaris kasjono, Mardjan Mantariputra,Op.Cit,. hal.69.
[21] Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayan Medis, Mandar Maju, Bandung, 2010, hal.9.
   [22]  Hadi Siswanto, Heru Subaris kasjono, Mardjan Mantariputra,Op.Cit,.hal.71.
[23]  Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Pasal 1 butir 10.
[24]  Endang Kesuma Astuti,.Op. Cit,.hal. 87.
[25]  Marcel Seran dan Anna maria Setyowati,. Op.Cit., hal. 79
[26]  Indra Bastian, Suryono,Op Cit,. hal. 37
[27] Naraya Dira, Pasien Berhak Tahu, Padi Pressindo, Jakarta,2010, hal.5
[28] Indra Bastian, Suryono,Op. Cit,.hal. 39.


[29]  Naraya Dira, Pasien Berhak Tahu, Padi Pressindo, Jakarta,2010,.hal.20

0 komentar:

Posting Komentar