Penulis FITRIAH,SH.,MH
ABSTRAK
Hubungan
hukum antara dokter dan pasien dinyatakan sah , maka pemenuhan hak dan
kewajiban merupakan suatu bentuk akibat hukum dari suatu perjanjian terapeutik.
Adapun hak dan kewajiban dokter serta hak dan kewajiban pasien di atur
dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Dengan tidak terpenuhinya prestasi ini, ditujukan hanya kepada
dokter, yang mana dalam perjanjian teraupeutik antara dokter dan pasien, dokter
berada dalam posisi sebagai debitur yang harus melaksanakan prestasinya.
Kata Kunci : Perjanjian Teraupetik
A. Pendahuluan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi diberbagai bidang pada saat ini semakin pesat khususnya perkembangan
ilmu dan teknologi di bidang kedokteran. Seiring dengan berkembangnya ilmu
kedokteran dan pusat-pusat pelayanan kesehatan serta pusat-pusat pelayanan
medik di negara kita, maka semakin lama banyak orang yang berhubungan dengan
tenaga, sarana dan teknik kedokteran. Hal ini juga ditandai dengan meningkatnya
sistem pelayanan kesehatan dan pelayanan medik baik secara kualitatif dan
secara kuantitatif. Sistem pelayanan kesehatan dan pelayanan medik yang
dijalankan oleh profesi dokter harus berhadapan dengan etik kedokteran serta
masalah-masalah yang timbul dalam etik kedokteran tersebut.
Hal demikian berlaku karena profesi
dokter berbeda dengan profesi bisnis, di mana profesi dokter merupakan suatu
profesi yang disertai dengan moralitas tinggi, di mana setiap dokter harus siap
setiap saat memberikan pertolongan kepada siapa saja, kapan saja dan di tempat
mana saja sesuai dengan standar profesi. Profesi dokter harus dijalankan sesuai
dengan kode etik kedokteran. Dalam Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 Tahun tentang Kesehatan, bahwa : “Pelayanan
kesehatan harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding
kepentingan lainnya”.
Seiring dengan berkembangnya
pelayanan kesehatan dan pelayanan medik tersebut maka peranan hukum dalam
pelayanan kesehatan dan pelayanan medik semakin meningkat. Pelayanan kesehatan
dibedakan atas dua macam yaitu pelayanan kesehatan masyarakat (Public Health
Service) dan pelayanan kesehatan kedokteran (Medical Service), untuk pelayanan
kedokteran dapat diselenggarakan sendiri dengan tujuan utamanya yaitu untuk
mengobati (Kuratif) penyakit dan memulihkan (Rehabilitatif) kesehatan serta
sasaran utamanya adalah perseorangan. Sedangkan pelayanan kesehatan masyarakat,
umumnya diselenggarakan bersama-sama dalam suatu organisasi, bahkan harus
mengikutsertakan potensi masyarakat dan mencegah penyakit serta sasaran
utamanya adalah masyarakat secara keseluruhan.
Di samping Pelayanan kesehatan juga
ada pelayanan Medik di mana pelayanan ini mencakup semua upaya dan kegiatan
berupa pencegahan (Preventif), pengobatan (Kuratif), peningkatan (Promotif),
dan pemulihan (Rehabilitatif) kesehatan yang didasarkan atas hubungan
individual antara para ahli di bidang kedokteran dengan individu yang
membutuhkannya.
Seiring dengan tuntutan perkembangan
kesadaran hukum masyarakat yang didapat dilihat dengan indikator peningkatan
pada pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap terhadap hukum dan perilaku
hukum , maka perlunya peningkatan kualitas pelayanan medis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Segi hukum dalam pelayanan kesehatan
dan pelayanan medik akan selalu berhubungan, karena pada saat seorang pasien
menyatakan kehendaknya untuk menceritakan riwayat penyakitnya kepada dokter dan
dokter yang menyatakan kehendaknya untuk mendengar keluhan pasien, maka telah
terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Kedatangan pasien ke tempat
praktek dokter, atau Rumah Sakit atau Klinik, atau sarana pelayanan medik
lainnya dapat ditafsirkan bertujuan untuk mengajukan penawaran (Offer, Aanbod) kepada dokter untuk
diminta pertolongan dalam mengatasi keluhan yang dideritanya. [1]
Begitu pula sebaliknya dari dokter
juga akan melakukan pelayanan medik yang berupa rangkaian tindakan yang
dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang terdiri dari diagnostik dan
terapeutik yang didasarkan pada persetujuan. Oleh karena itu hubungan hukum
antara dokter dan pasien disebut transaksi terapeutik atau perjanjian
terapeutik, karena timbul dari adanya kesesuaian pernyataan kehendak sebagaimana dimaksud dalam
rumusan Pasal 1320 KUH Perdata.
Perjanjian terapeutik merupakan
perkembangan dalam hukum perdata, yaitu masuk dalam kategori perjanjian lain
sebagaimana yang diterangkan pada Pasal 1319 KUH Perdata, bahwa untuk semua
perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum mengenai perikatan pada
umumnya (Bab I Buku III KUH Perdata) dan pada peraturan umum mengenai perikatan
yang bersumber pada perjanjian (Bab II Buku III KUH Perdata).
Hubungan hukum antara
dokter dan pasien yang dilaksanakan dengan rasa kepercayaan dari pasien
terhadap dokter disebut dengan “transaksi terapeutik”.[2]
Dalam transaksi terapeutik ini, yang
menjadi objek adalah upaya penyembuhan. Hal ini sering ditafsirkan oleh
masyarakt bahwa kesembuhan pasien yang menjadi objek transaksi terapeutik.
Objek transaksi terapeutik adalah upaya dokter bukan kesembuhan pasien karena
jika kesembuhan pasien dijadikan objek, akan menyudutkan dokter.
Hubungan ini terjadi
karena adanya suatu landasan kepercayaan yang dapat diterima nalar atau patut
diberikan, karena dokter memiliki pengetahuan untuk itu.[3]/.
Dalam hal ini, dokter secara hati-hati dan teliti berusaha mempergunakan ilmu,
kepandaian, ketrampilan dan pengalamannya untuk mengusahakan kesembuhan bagi
pasien. Jarang sekali bahkan hampir tidak pernah dokter berjanji memberikan
hasil tertentu, karena setiap tindakan medik sekecil apapun tindakan itu,
selalu menimbulkan risiko, yang dilakukan dokter ada kemungkinan pasien sembuh,
tetap sakit atau bahkan meninggal dunia.
Hubungan di atas
merupakan suatu hubungan dalam memberikan pelayanan, yang dipandang oleh dokter
sebagaimana lazimnya pelayanan medik yang dilakukan oleh dokter, yang berarkar
dari abad ke abad perkembangan medik, yaitu sejak berkembangnya ilmu kedokteran
modern yang dipelopori oleh Hippocrates. Keistimewaan kelompok profesi dokter
ialah bahwa tumpuan utamanya, justru terletak dalam integrasi etik yang tercermin
melalui dedikasinya terhadap perilaku etik, seperti menghargai hak orang lain
(pasien).[4]
Landasan etik inilah yang merupakan dasar bagi kepercayaan masyarakat,
khususnya pasien dan yang merupakan dimensi moral sehingga status terhormat dan
terpercaya dalam masyarakat.
Menurut kaidah hukum
hubungan dokter dengan pasiennya merupakan interaksi terapeutik yang dalam
hukum dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian untuk melakukan jasa-jasa
tertentu. Dengan adanya perjanjian ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil dari
suatu tujuan tertentu yang dikehendaki pasien dengan harapan minimal dokter
dapat memberikan pelayanan yang memadai sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
pasien.
Di sisi lain pihak
pasien sering tidak menyadari arti kontrak terapeutik, khususnya mengenai isi
atau objek perjanjian tersebut. Sehingga saringkali terdengar pasien menuntut
dokter karena penyakinya tidak berhasil disembuhkan, padahal dalam kontrak
teraupetik objek perjanjian adalah usaha sebaiki-baiknya dari dokter dan sama
sekali bukanlah sembuh atau tidak sembuhnya pasien.
Dalam hubungan medik
dikatakan bahwa kedudukan dokter dan pasien cenderung tidak seimbang, dimana
dokter memiliki pengetahuan kedokteran sedang pasien tidak dan bersikap
menerima saja, karena atas dasar kepercayaan maka dokter berupaya semaksimal
mungkin menyembuhkan penyakinya. Sementara dalam hubungan hukum akan selalu
menimbulkan hak dan kewajiban antara dokter dan pasien, oleh karena itu
kedudukan dokter dan pasien adalah sama, yakni dalam hubungan jasa pelayanan
kesehatan.
Dalam perjanjian terapeutik yang
diperjanjikan adalah agar dokter mengupayakan penyembuhan pasien melalui
pencarian terapi yang paling tepat berdasarkan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya dan pasien berkewajiban secara jujur menyampaikan apa yang
dikeluhkannya, agar dapat ditemukan beberapa alternatif pilihan terapi, untuk akhirnya pasien berhak
memilih jenis terapi yang diinginkan berdasarkan informasi dari dokter
tersebut. Apapun terapi yang digunakan tentu tidak menjanjikan suatu hal yang
pasti, namun dalam menemukan atau mencari penyembuhan itu harus dilakukan
secara cermat dan hati-hati .
B.
Permasalahan
Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah :
Apakah akibat hukum yang timbul dari adanya perjanjian terapeutik antara dokter
dan pasien tersebut menurut Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran
C. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian yuridis-normatif bersifat
eksplanatoris dengan pendekatan Perundang-undangan, dan pendekatan kasus.
Bahan hukum yang telah dikumpul dianalisis secara
deskriptif-kualitatif. Setelah diperoleh gambaran yang jelas, maka akan
disimpulkan induksi dan metode deduksi.
D.
Pembahasan
Hukum adalah
rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota
suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib di antara anggota-anggota
masyarakat itu. Ini berarti bahwa hukum baru dapat dianggap ada, apabila suatu
tingkah laku seseorang sedikit banyak menyinggung atau mempengaruhi tingkah
laku dan kepentingan orang lain. Maka bila seorang berjanji melakukan sesuatu,
janji ini dalam hukum pada hakekatnya ditunjukan pada orang lain.[5]/
Sehingga dikatakan bahwa sifat pokok dari hukum perjanjian adalah mengatur
perhubungan antara orang dan orang.
Perikatan
adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada
hubungan hukum, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada
salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut.[6]/
Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu
peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[7]/
R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.[8]/
Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan
b. Satu
orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
c. Mengikatkan
dirinya,
1.
Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut
Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat,
yaitu:
a. Adanya kata sepakat;
b. Kecakapan untuk membuat
perjanjian;
c. Adanya suatu hal tertentu;
d. Adanya causa yang halal.
2.
Asas-Asas Perjanjian
Dalam Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal
ini terdapat azas-azas :
a. Asas
kebebasan berkontrak
Asas
kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum
kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya
didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian
pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menerangkan tentang
syarat-syarat sahnya perjanjian. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan
kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan
dengan perjanjian, yaitu :[9]/
1. bebas
menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
2. bebas
menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
3. bebas menentukan isi atau klausul
perjanjian;
4. bebas menentukan bentuk perjanjian;
dan
5. kebebasan-kebebasan lainnya yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
b. Asas
konsensualisme
Asas ini
dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320
KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan
dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang
diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik
untuk menciptakan perjanjian. Asas itikad baik
c. Asas
kepribadian
Asas
kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada
perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.
3.
Jenis-jenis Perjanjian
1. Perjanjian
bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata.
Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa
menyewa, dan lain-lain.
2. Perjanjian-perjanjian
yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang
menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.
Macam-macam
perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu: [10]
1. Perikatan
bersyarat,
2. Perikatan
yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling) .
3. Perikatan yang memperbolehkan memilih
(alternatif)
4. Perikatan
tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair
5. Perikatan
yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi,
6. Perikatan
dengan penetapan hukum (strafbeding),
7. Perjanjian
kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir
E. Hapusnya suatu perjanjian
a. Ditentukan
dalam perjanjian oleh kedua belah pihak.
b.Ditentukan oleh
Undang-Undang.
c.Ditentukan oleh para pihak
dan Undang-undang.
d.Pernyataan menghentikan
perjanjian.
e.Ditentukan oleh Putusan
Hakim.
f.Tujuan Perjanjian telah tercapai.
g.Dengan Persetujuan Para
Pihak.
2. Pengertian
Dokter dan Etika Profesi Dokter
a. Dokter
Dokter
merupakan orang yang memiliki kewenangan dan izin untuk melakukan pelayanan
kesehatan, khususnya memeriksa, dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut
hukum dalam bidang kesehatan. Dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Prakik Kedokteran disebut bahwa :[11]
“ Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter
spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran
ataukedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
“ Profesi
kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau
kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang
diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat
melayani masyarakat”.
Profesi merupakan suatu
pekerjaan yang dilandasi oleh suatu ilmu pengetahuan dan diperoleh melalaui
program pendidikan (tinggi profesional) yang khas atau spesifik dengan standar
kualitas tertentu dan terukur, dan dapat melakukannya dengan mandiri dengan
imbalan jasa dari klien yang dilayani dan dengan kode etik dan aturan yang
berlaku yang telah disusun dan disepakati oleh organisasi profesinya. [12]
Ilmu pengetahuan dicari dan
dikembangkan untuk menguak rahasia alam dan diamalkan untuk kehidupan manusia
demi meningkatkan martabat dan kesejahteraan serta keberlanjutan alam semesta
ini. Seseorang yang memiliki pekerjaan yang profesional harus memiliki
syarat-syarat sebagai berikut :
1)
Memiliki pengetahuan dan teknologi
yang hanya diketahui dan dimiliki oleh orang-orang tertentu saja karena proses
pendidikan dan atau pelatihan;
2)
Memiliki otonomi dalam melaksanakan
pekerjaan berdasarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang khusus dan spesifik
yang diperoleh dari proses pendidikan dan pelatihan tersebut. Pekerjaan khusus
atau spesifik tersebut tidak diketahui oleh masyarakat yang lebih luas;
3)
Mendapat izin dari negara atau
organisasi profesi untuk melakukan suatu tindakan tertentu, seperti sertifikasi
dan akreditasi;
4)
Memiliki dan menjadi anggota
organisasi profesi yang sama-sama mempunyai hak dan suara yang menyebarkan
standar atau cita-cita prilaku dan yang saling mendisiplinkan diri sesuai
dengan standar tersebut;
5)
Di muka publik mereka mengucapkan
sumpah atau janji untuk memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan.[13]
Seorang tenaga kesehatan
(dokter) dalam melakukan pekerjaannya harus sesui dengan pedoman atau ukuran
tertentu yang dikenal dengan standar profesi medik, yang berpegang pada tiga
ukuran umum, yaitu :[14]
1)
Kewenangan
Kewenangan
seorang tenaga kesehatan adalah kewenangan hukum (rechtsbevoegheid). Kewenangan ini memberikan hak kepada tenaga
kesehatan untuk bekerja sesuai dengan bidangnya. Kewenangan menjalankan
profesinya didapat dari Departemen Kesehatan
yang merupakan syarat administratif yang diberikan kepada dokter untuk
melaksanakan profesinya, karena tanpa kewenangan tenaga kesehatan tersebut
melanggar salah satu standar profesi tenaga kesehatan.
2)
Kemampuan Rata-rata
Untuk
mengukur atau menentukan kemampuan atau kecakapan rata-rata seorang tenaga
kesehatan sangat sulit, banyak faktor yang mempengaruhinya. Misalnya seorang
tenaga kesehatan yang baru lulus pendidikan tentunya tidak dapat disamakan
dengan tenaga kesehatan yang telah menjalankan pekerjaannya di bidang kesehatan
selama dua puluh tahun. Penentuan tentang kemampuan rata-rata seorang tenaga
kesehatan tergantung dari situasi dan kondisi dari negara yang bersangkutan.
3)
Keseksamaan
Ukuran
keseksamaan atau ketelitian yang umum, adalah ketelitian yang akan dilakukan
oleh setiap tenaga kesehatan dalam melaksanakan pekerjaannya yang sama.
Keseksamaan ini menjadi ukuran apakah seorang tenaga kesehatan telah bekerja
dengan seksama atau telah melakukan kesalahan / kelalaian.
Kewajiban
yang timbul dari standar profesi kedokteran, terus menerus menambah pengetahuan
medis dengan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran pada umumnya dan ilmu
kategori spesialisasi sendiri pada khususnya, dan selalu membuat rekam medis
yang baik secara berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien, diagnosa,
terapi, riwayat medis dokter dan lainnya yang berhubungan dengan penyakit dan
perawatan pasien.
Rumusan
standar profesi kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia (PB IDI), yaitu :[15]
1) Standar
ketrampilan :
a)
Ketrampilan kedaruratan medis
Ketrampilan
kedaruratan merupakan sikap yang diambil
oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya dengan sarana yang sesuai
dengan standar di tempat pratiknya. Jika tindakan yang dilakukan tidak
berhasil, penderita perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.
b) Ketrampilan
umum
Meliputi
penanggulangan terhadap berbagai penyakit yang tercantum dalam kurikulum inti
pendidikan dokter Indonesia.
2) Standar sarana
a)
Sarana medis, meliputi sarana
alat-alat medis dan obat-obatan
b)
Sarana nonmedis,
meliputi tempat dan
peralatan lainnya yang
diperlukan oleh seorang dokter dalam melaksanakan profesinya.
3) Standar
perilaku
Berdasarkan
pada sumpah jabatan, sumpah dokter, dan pedoman kode etik kedokteran Indonesia,
meliputi perilaku dokter dalam hubungannya dengan pasien, yaitu :
a)
Pasien harus diperlakukan manusiawi;
b)
Semua pasien diperlakukan sama;
c)
Semua keluhan pasien diusahakan agar dapat
diperiksa secara
menyeluruh;
d)
Pada pemeriksaan pertama diusahakan
untuk memeriksa secara
menyeluruh;
e)
Pada pemeriksaan ulangan diperiksa
menurut indikasinya;
f)
Penentuan uang jasa dokter diusahakan agar
tidak memberatkan
pasien;
g)
Dalam ruang praktik tidak boleh
ditulis tarif dokter;
h)
Untuk pemeriksaan pasien wanita,
sebaiknya agar keluarganya
disuruh masuk ke
dalam
ruang praktik atau disaksikan oleh
perawat, kecuali dokternya wanita;
i)
Dokter tidak boleh melakukan
perzinaan dalam ruang praktik,
melakukan abortus, kecanduan, dan
alkoholisme;
j)
Papan nama terpasang dalam ukuran
pantas.
4) Standar
catatan medis
Pada semua
penderita, sebaiknya dibuatkan catatan medis. Dalam catatan medis perlu
dicantumkan identitas penderita, alamat, anmnesis, pemeriksaan, diagnonis,
terapi dan obat yang menimbulkan alergi terhadap pasien.
b. Etika Kedokteran
Etik (Ethics) berasal dari kata Yunani ethos,
yang berarti akhlak, adat kebiasaan, watak, perasaan sikap, yang baik, yang
layak.[16]
Dalam pekerjaan profesi sangat dihandalkan etik profesi dalam memberikan
pelayanan kepada publik.
Profesi
kedokteran merupakan profesi yang
dikenal sebagai profesi yang mulia karena berhadapan dengan hal yang
paling berharga dalam hidup seseorang yaitu kesehatan dan kehidupan.
Menurut
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu
pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakn berdasarkan suatu
keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenjeng dan kode etik
yang bersifat melayani masyarakat.[17]
Pengalaman
etika membuat kelompok menjadi baik dalam arti moral, ciri-ciri etik profesi
adalah :[18]
1)
Berlaku untuk lingkungan profesi ;
2)
Disusun oleh organisasi profesi
bersangkutan ;
3)
Mengandung kewajiban dan larangan ;
4)
Menggugah sikap manusiawi.
Menurut Durkheim,
etika profesi sebagai sumber suatu aturan moral yang baru, yang lebih maju selangkah dengan menjelaskan isi
moralitas yang lahir dari profesi tersebut. Misalnya profesi dapat dibedakan
dari pekerjaan-pekerjaan lain yang tercermin dalam “pelayanan” oleh kaum
profesionalisme.[19]
Hakikat
profesi kedokteran merupakan panggilan jiwa (calling), untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan
moralitas. Prinsip kejujuran, keadilan, keikhlasan, kepedulian kepada sesama
dalam rasa kemanusiaan, rasa kasih sayang dan ikut merasakan penderitaan orang
lain. Dengan demikian kalau arti, fungsi, isi dan bentuk dari kode etik
kedokteran dipahami, dimengerti oleh para dokter, maka yang diutamakan adalah kepentingan orang
lain.
Hippocrates adalah dokter Yunani kuno, yang
digelari bapak ilmu kedokteran. Beliau hidup dalam abad ke-5 SM, tidak
memandang penderita penyakit sebagai orang yang dikutuk oleh Tuhan. Hal
tersebut terbukti dari sumpahnya yang terkenal, yang dijadikan sumpah dokter di
berbegai dunia.[20]
Asas
pokoknya diantara dokter dan pasien seharusnya terjalin hubungan kepercayaan,
tanpa ada tempat untuk pertimbangan ekonomi, apalagi komersialisasi. Prinsip
yang menyatakan bahwa apapun yang dilakukan oleh seorang dokter adalah untuk
kebaikan pasien. Tercermin dalam lafal sumpah dokter, keselamatan penderita
akan selalu saya utamakan :[21]
1)
Prinsip non nocere, yaitu prinsip
yang menyatakan bahwa niat pertama adalah tidak untuk mencederai, menyakiti
atau merugikan pasien.
2)
Prinsip jujur , mengharuskan dokter
untuk tidak membohongi pasien, serta mengkonsultasikan kepada yang lebih ahli
jika tidak sanggup mengatasi sendiri.
3)
Prinsip adil adalah menuntut dokter
untuk tidak membedakan perlakuan kepada pasien atas dasar tingkat sosial, sukuk
bangsa, ekonomi, agama, dan pandangan politik, usia, ataupun jenis kelamin.
4)
Prinsip menghargai otonomi pasien
meminta dokter untuk memberi informasi yang jujur agar pasien dapat mengambil
keputusan tentang diri dan kemudian dokter menghormati keputusan tersebut.
Dalil Hippocrates, pada dasarnya ada tiga
pokok yang dipersyaratkan bagi mereka yang ingin menjadi dokter : pertama, setiap dokter harus berusaha
menguasai ilmunya sebaik mungkin. Ia harus meningkatkan mutu profesinya,
melalui belajar yang terus menerus dan pengalaman-pengalaman yang diperolehnya.
Kedua, seorang dokter harus menjaga
martabat profesinya. Dan ketiga,
seorang dokter harus menjadi seorang yang suci yang mengabdikan diri sepenuh
waktunya untuk profesinya.
Adapun
fungsi dari kode etik profesi, yaitu :[22]
1)
Kode etik profesi memberikan pedoman
bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan ;
2)
Kode etik profesi merupakan sarana
kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan ;
3)
Kode etik profesi mencegah campur
tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam
keanggotaan profesi.
Penilaian terhadap pelayanan
dan ketrampilan dokter, ditentukan oleh bagaimana berhubungan secara hangat dan
pribadi dengan pasien. Hal ini dilakukan sambil berupaya mencari kepastian
sesuai dengan diagnosis yang ditentukan agar dapat memberikan pengobatan yang
secukupnya. Oleh karena itu, pelayanan
kesehatan dalam melaksanakan profesi dokter sudah seharusnya didasarkan pada
pengahargaan atas martabat manusia dan upaya pelayanan yang menjunjung tinggi
kemanusiaan seutuhnya.
3. Pengertian Pasien
Pasien
adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.[23]
Ketika seorang individu
mendaftarkan diri sebagai pasien di sebuah rumah sakit dan mendapatkan penangannan
dari dokter, perawat, dan pekerja kesehatan lainnya, maka semua pihak yang
terlibat telah terikat dalam perikatan hukum yang disebut dengan kontrak
terapeutik, dimana setiap pihak yang terlibat memikul hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi dan terikat oleh hukum.
Perubahan
sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat saat ini membawa konsekuensi pada
perubahan hubungan antar manusia. Komunikasi
merupakan bentuk nyata yang kita rasakan, baik dari aspek media yang
digunakan maupun dari fungsi yang ditimbulkannya.
Dalam
hal hubungan antara dokter dan pasien, komunikasi memegang peranan penting
dalam melakukan perawatan terhadap pasien. Banyaknya kasus ketidakpuasan
terhadap pelayanan kesehatan maupun upaya untuk menjatuhkan keberadaan lembaga
kesehatan ataupun dokter disebabkan karena kurangnya komunikasi.
Pasien dalam
praktik sehari-hari sering dikelompokkan dalam :[24]
a.
Pasien dalam
Yaitu pasien
yang memperoleh pelayanan tinggal atau rawat pada suatu unit pelayanan
kesehatan tertentu, atau dapat juga disebut dengan pasien yang dirawat di rumah
sakit.
b.
Pasien jalan/luar
Yaitu
pasien yang hanya memperoleh pelayanan kesehatan tertentu.
c.
Pasien opname
Yaitu
pasien yang memperoleh pelayanan kesehatan dengan cara menginap dan dirawat di
rumah sakit atau disebut juga pasien rawat inap.
Relasi
pasien dan dokter adalah proses utama dari praktik kedokteran. Dokter
mempelajari tanda-tanda, masalah, dan nilai-nilai dari pasien, memeriksa dan
membuat diagnosis yang kemudian digunakan sebagai penjelasan kepada pasien dan merencanakan perawatan atau pengobatan.
A.
Terjadinya
Perjanjian Terapeutik Antara Dokter Dan Pasien
Perjanjian
terapeutik berawal dari hubungan antara dokter dan pasien,hal ini dimulai sejak
kedatangan pasien kepada dokter dengan menginformasikan segala sesuatau yang
berkaitan dengan sakitnya (penyakitnya). Apabila diperlukan suatu tindakan
medis maka dokter wajib memberikan informasi atau penjelasan kepada pasien.
Penjelasan dokter kepada pasien dapat berupa :[25]
1.
Diagnosis;
2.
Terapi dengan kemungkinan
alternatifnya;
3.
Tentang cara kerja dan pengalaman;
4.
Risiko;
5.
Kemungkinan perasaan sakit atau
perasaan lain;
6.
Keuntungan terapi;
7.
Prognosa.
Hubungan antara
dokter dan pasien adalah hubungan yang berlangsung antara selama proses
pemeriksaan/pengobatan/ perawatan yang terjadi di ruang pratik perorangan,
poliklinik, rumah sakit dan puskesmas,
dapat dibedakan :
a.
Berdasarkan intesitas harmoni atau adanya konflik antara kedua pihak.
Dokter
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi atau lebih kuat karena pengetahuannya,
sedangkan pasien pada situasi emosional yaitu sakit, bingung, depresif atau
bahkan tidak dapat berkomunikasi karena tidak sadar membuat pasien bekerja sama
dan tidak menentang kehendak dokter sehingga konsensus dapat dicapai. Namun hal
ini tidak berarti pasien memahami apa yang disarankan dokter melainkan karena
pasien percaya bahwa dokter melakukannya demi kebaikan pasien.
b.
Berdasarkan jenis penyakit atau kondisi kesehatan pasien, dapat dibedakan
menjadi tiga model :[26]
1)
Hubungan aktif-pasif, terjadi bila pasien berada dalam kondisi yang tidak
mungkin bereaksi atau turut berperan serta dalam relasi tersebut. Dalam hal ini
pasien benar-benar menjadi obyek yang hanya menerima saja yang diberikan
padanya.
2)
Hubungan pemimpin pengikut, terjadi jika pasien mengalami penyakit infeksi atau
sakit yang bersifat akut, di mana dokter memberikan intruksi dan pasien
mematuhi intruksi tersebut.
3)
Hubungan setara, terjadi jika dokter membantu pasien untuk menolong dirinya
sendiri, pasien dapat aktif memutuskan apa yang akan dilakukannya demi
kesembuhan dan kebaikan diri sendiri. Biasanya hubungan ini terjadipada
kasus-kasus penyakit kronis atau dalam upaya mengatasi kebiasaan yang merusak
kesehatannya.
Hubungan
antara dokter dengan pasien yang seimbang atau setara disebut hubungan
kontraktual. Hubungan kontraktual atau kontrak terapeutik terjadi karena para pihak mempunyai kebebasan dan kedudukan yang
setara. Kedua belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di
mana masing-masing pihak harus melaksanakan peranan dan fungsinya berupa hak
dan kewajiban. Merupakan perikatan / kontrak terapeutik, yaitu pihak dokter
berupaya secara maksimal menyembuhkan pasien (inspanningsverbintenis), dan bukan kontrak berdasarkan kepastian
hasil (resultaatsverbintenis)[27].
Proses
hubungan kontrak atau kontrak terapeutik dokter dan pasien dimulai dengan tanya
jawab (anamnesis) antara dokter-pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan
fisik. Kadang-kadang dokter membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang
dan membantu menegakkan diagnosisnya yang berupa pemeriksaan radiologi atau
laboratorium, sebelum akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis.
Hubungan antara dokter dan pasiennya
secara yuridis dapat digolongkan ke dalam kontrak, bentuk hubungan kontrak
antara dokter-pasien, yaitu :[28]
a.
Kontrak yang nyata (expressed contract)
Dalam
bentuk ini sifat atau luas jangkauan pemberian pelayanan pengobatan sudah
ditawarkan oleh sang dokter yang dilakukan secara nyata dan jelas, baik secara
tertulis maupun lisan.
b.
Kontrak yang tersirat (implied contract)
Dalam
bentuk ini adanya kontrak disimpulkan dari tindakan-tindakan kedua pihak.
Timbul bukan karena ada persetujuan, tetapi dianggap oleh hukum berdasarkan
akal sehat dan keadilan. Jika seorang
pasien datang ke suatu klinik medis dan sang dokter mengambil riwayat
penyakinya, memeriksa, dan memberikan pengobatan maka dianggap secara tersirat
sudah ada hubungan kontrak pasien.
Ketentuan
mengenai perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa
perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak
berjanji kepada seorang atau pihak lain atau dimana dua orang atau dua pihak
itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Oleh karenanya,
perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling
mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut
yang dinamakan perikatan.
Pasien berdasarkan penjelasan dari dokter dapat menyetujui atau
menolak suatu tindakan medis yang akan dilakukan atau disebut Informed Consent. Jadi kalau ternyata
tidak sembuh setelah memperoleh pelayanan kesehatan, pasien tidak dapat
menuntut ganti rugi kepada dokter. Pasien dapat menuntut ganti rugi apabila
dokter tidak atau kurang berupaya dalam pelayanan kesehatan atau tidak sesuai
dengan standar profesi medik.
Pada transaksi terapeutik (penyembuhan) bertumpu pada dua macam
hak asasi : pertama, hak dasar sosial adalah hak atas pemeliharaan kesehatan (The right of Health Care), kedua, hak dasar individu untuk
menentukan nasib sendiri (The Right of
Selfdetermination). Dengan kedua hak dasar tersebut maka dokter dan pasien
dapat bersama-sama menentukan terapi yang paling tepat yang akan digunakan.
Istilah transaksi atau perjanjian terapeutik memang tidak dikenal dalam KUH Perdata tetapi dalam
perjanjian lain sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1319 KUHPerdata, bahwa
untuk semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak
terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum mengenai
perikatan pada umumnya yang bersumber pada perjanjian .
Di dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran disebutkan bahwa : “Praktik
kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau
dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan”.
Jadi
syarat sahnya perjanjian antara dokter
dan pasien harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Mengenai kesepakatan dalam hukum perjanjian
disebut dengan asas konsesualitas, karena kedua pihak telah setuju atau sepakat
mengenai sesuatu hal. Kedua belah pihak dalam perjanjian terapeutik adalah pasien dan
dokter, kedua pihak ini disebut juga sebagai subjek dalam perjanjian dasarnya
suatu perjanjian atau perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah
apabila sudah sah mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan untuk membuat perikatan adalah
kewenangan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh Undang-Undang.
Dalam perjanjian terapeutik,
pihak penerima pelayanan medik terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk
bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak yang memerlukan
persetujuan dari pengampunya, anak yang berada dibawah umur, tetapi telah
dianggap dewasa atau matang, anak dibawah umur yang memerlukan persetujuan dari
orang tuanya atau walinya.
3. Suatu Hal Tertentu
Dari Pasal 1333 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
suatu hal tertentu adalah objek perjanjian. Yang menjadi objek di dalam Pasal
tersebut adalah barang (zaak), tetapi dilain pihak zaak dapat
berarti urusan, sehingga apabila dihubungkan dengan perjanjian terapeutik maka yang menjadi objek
dari perjanjian terapeutik adalah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh
dokter terhadap pasien. Dalam upaya penyembuhan juga ada hal-hal yang perlu
dijelaskan atau dikomunikasikan oleh dokter terhadap pasien atau juga
sebaliknya ada hal-hal yang harus dijelaskan oleh pasien terhadap dokter
sehingga upaya penyembuhan tersebut dapat tercapai.
4. Suatu Sebab Yang Halal
Pada Pasal 1336 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa suatu sebab yang halal adalah sebab yang tidak dilarang oleh
Undang-Undang, kesusilaan atau ketertiban umum.
Pada perjanjian terapeutik
suatu sebab yang halal adalah sesuai dengan ketentuan standar medik ataupun
kode etik kedokteran, sehingga apabila ada perjanjian yang dibuat antara dokter
dan pasien yang bertentangan dengan Undang-Undang maka perjanjian tersebut
menjadi tidak sah.
B.
Akibat
Hukum Perjanjian Terapeutik Antara Dokter Dan Pasien
Akibat hukum dari suatu
perjanjian pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum karena suatu
perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Hubungan hukum antara dokter
dan pasien dinyatakan sah , maka pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang
merupakan suatu bentuk akibat hukum dari suatu perjanjian. Adapun hak dan kewajiban dokter serta hak dan kewajiban pasien yaitu :
1. Hak Dan Kewajiban Dokter
a. Hak Dokter
Pasal 50 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam melaksanakan
praktik kedokteran,dokter mempunyai hak :
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional.
2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional.
3. Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien/keluarga tentang
penyakitnya.
Informasi tentang penyakit terdahulu dan keluhan pasien yang sekarang
dideritanya, serta riwayat pengobatan sebelumnya sangat membantu dokter untuk
menegakkan diagnosis yang pasti. Setelah diperoleh anamnesis, dokter berhak melanjutkan pemeriksaan dan pengobatan
walaupun untuk prosedur tertentu memerlukan Persetujuan Tindakan Medis (PTM).
Pasien yang
mengetahui kehidupan pribadi dokter, perlu menahan diri untuk tidak
menyebarluaskan hal-hal yang sangat pribadi dari dokternya.
4. Menerima imbalan jasa
b. Kewajiban Dokter
Dokter yang
membaktikan hidupnya untuk perikemanusiaan tentulah akan selalu mengutamakan
kewajiban di atas hak-hak ataupun kepentingan pribadinya. Dalam Undang-undang
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 51 dinyatakan kewajiban
dokter atau dokter gigi adalah :
1) Memberikan pelayanan medis sesuai
dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien.
2)
Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan.
3) Merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga
setelah pasien itu meninggal dunia.
4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali
bila yakin
pada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya,
dan;
5) Menambah ilmu
pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
2. Hak Dan Kewajiban Pasien
a. Hak Pasien
Menurut
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga memberikan
perlindungan bagi pasien. Hak-hak pasien diatur dalam pasal :
Pasal 52 :
Pasien , dalam
menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunayi hak :
(1) Mendapatkan penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);
(2) Meminta pendapat dokter atau dokter
gigi lain ;
(3) Mendapatkan pelayanan sesuai
kebutuhan medis;
(4) Menolak tindakan medis;
(5) Mendapatkan isi rekam medis.
Secara umum beberapa hak
yang dimiliki oleh seorang pasien adalah :[29]
1) Hak atas informasi
Keputusan akhir
mengenai penentuan nasibnya sendiri dapat diberikan jika untuk mengambil
keputusan tersebut memperoleh informasi yang lengkap tentang segala untung dan
ruginya dari pasien.
2) Hak atas Second Opinion (pendapat Kedua)
Adalah hak pasien
yang dapat digunakan jika si pasien ingin menyakinkan dirinya akan kebenaran diagnosis
dan tindakan dokter pertama yang telah ditemuinya.
3) Hak memilih dokter.
Walaupun dokter
dianggap memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan tindakan medis dalam
bidangnya, pasien tetap berhak memilih dokter yang dikehendakinya, biarpun
berbagai konsekuensi yang harus ditanggungnya, misalnya biaya.
4) Hak memilih rumah sakit/layanan Medis lain.
5)
Hak mendapatkan
pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. Pasien berhak meminta pelayan medis sesuai dengan
kebutuhannya.
6)
Hak memberikan
persetujuan,
Pasien berhak
memberikan persetujuan , baik secara lisan maupun tertulis (sebaiknya ditulis)
tentang pengobatan yang akan diberikan. Sebelum memberikan persetujuan atas
tindakan medis, sebaiknya pasien mendapatkan dulu informasi penting , meliputi
:
a) Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan
medis yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai.
b) Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang
ditimbulkan.
c) Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pasien.
d) Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung.
e) Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa
adanya prasangka jelek mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
f)
Akibat mengenai kondisi madis pasien bila ia
menolak tindakan medis tersebut.
7)
Hak menolak pengobatan
dan menolak tindakan medis tertentu serta hak untuk menghentikan pengobatan. Setelah
pasien mendapatkaan informasi mengenai manfaat/resiko pengobatan yang
seharusnya dilakukan, pasien berhak menolak semua/sebagian pengobatan atau
tindakan medis yang hendak diberikan.
8)
Hak atas rahasia
kedokteran.
Pasien berhak
atas kerahasiaan dari segala informasi mengenai dirinya maupun penyakit yang
dideritanya.
9)
Hak melihat rekam medis
(medical record)
Pasien adalah
pemilik rekam medis serta bertanggung jawab sepenuhnya atas rekam medis
tersebut. Apabila pasien menghendaki keluarga atau pengacaranya untuk
mengetahui isi rekam tersebut, pasien harus meminta izin dokter/rumah sakit
agar dapat memberikan ringkasan atau fotokopi rekam medis tersebut.
10) Hak pasien atas pelayanan kefarmasian
Dalam menjalankan
profesinya, apoteker atau farmasis di apotek wajib mematuhi standar kompetensi
farmasis yang erat kaitannya dengan pelayanan kepada pasien dalam memberikan pelayanan obat serta
memastikan ketepatan resep, kesesuaian dosis, karakteristik pasien dan
memberikan informasi yang dibutuhkan pasien agar penggunaan obat benar-benar
tepat.
11) Hak pasien terhadap pelayanan perawat
Peran penting
perawat adalah memberikan pelayanan perawatan (care) bukan untuk mengobati (
cure). Kesalahan dalam pemberian
obat, perawat harus turut bertanggung jawab meskipun tanggung jawab utama ada
pada pemberi tugas atau atasan perawat.
b. Kewajiban Pasien
Keseimbangan
antara hak dan kewajiban adalah tolok ukur rasa keadilan terhadap diri
seseorang. Dalam hal hubungan dari dua pihak, maka hak pihak yang satu akan
diimbangi pihak yang lain, demikian pula sebaliknya. Untuk mendapatkan
pelayanan yang diharapkan, seorang pasien harus memiliki kewajiban yang harus
dipenuhinya. Hal ini dimuat dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 29 tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran, yaitu :
1) Memberikan informasi yang
lengkap dan jujur
tentang masalah
kesehatannya;
2) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter
atau dokter gigi ;
3) Mematuhi ketentuan yang berlaku
di sarana pelayanan kesehatan; dan
4) Memberikan imbalan jasa atas
pelayanan yang diterima.
Informasi yang jujur dari pasien
kepada dokter merupakan unsur utama dalam menentukan tindakan medis, hal ini
dikarenakan adanya itikad baik atau kepercayaan antara dokter dan pasien pada
awal memberikan pelayanan kesehatan. Dalam
UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik kedokteran (Pasal 39) disebut sebagai
kesepakatan antara dokter dengan pasien. Ukuran perlakuan berbuat sesuatu
secara maksimal atau sebaik-baiknya didasarkan pada standar profesi medik dan
standar prosedur operasional. (Pasal 44)
Dengan adanya
prestasi yang merupakan isi dari perjanjian (Pasal 1313 KUH Perdata) apabila
dokter tidak memenuhi sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian, maka ia
dikatakan wanprestasi. Dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien,
disamping melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak juga membentuk
pertanggungjawaban hukum . Pertanggungjawaban perdata seorang dokter didasarkan
atas :
1. Setiap tindakan yang mengakibatkan kerugian atas diri orang lain.
2. Seseorang harus bertanggungjawab tidak hanya kerugian yang dilakukan dengan
sengaja atau karena kurang hati-hati.
3. Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas dirinya
sendiri melainkan juga atas tindakan orang yang berada di bawah pengawasannya.
Sedangkan ganti rugi yang diderita oleh pasien karena
dokter melakukan kesalahan dalam hubungan kontrak terapeutik dapat dalam bentuk
:
1. Melakukan wanprestasi (Pasal 1239, Pasal 1234 KUH Perdata)
2. Melakukan Perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata)
3. Melakukan kelalaian (Pasal 1366 KUH Perdata)
Jadi akibat hukum
apabila tidak terpenuhinya prestasi ditujukan kepada dokter, yang mana dalam
perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien, dokter berada dalam posisi
sebagai debitur yang harus melaksanakan prestasinya.
E. Kesimpulan
1.
Perjanjian terapeutik berawal dari
hubungan antara dokter dan pasien,hal ini dimulai sejak kedatangan pasien
kepada dokter dengan menginformasikan segala sesuatau yang berkaitan dengan
sakitnya (penyakitnya). Apabila diperlukan suatu tindakan medis maka dokter
wajib memberikan informasi atau penjelasan kepada pasien.
2.
Akibat hukum dari suatu perjanjian
pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum karena suatu perikatan, yaitu
dalam bentuk hak dan kewajiban, apabila tidak terpenuhinya suatu prestasi,maka
hal ini hanya ditujukan kepada dokter,
yang mana dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien, dokter berada
dalam posisi sebagai debitur yang harus melaksanakan prestasinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak
& Perancangan Kontrak, ,Raja Grafindo Persada, Jakarta,2007
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter,Rineka Cipta, Bandung,
2005
________________, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008
Ery Rustiyanto, Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2009
Endang
Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam
Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009
Eddi Junaidi, Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Medik, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011.
Hadi Siswanto, Heru Subaris Kasjono, Mardjan
Mantariputra, Etika Profesi Sanitarian,
Graha Ilmu, 2010
M.Jusuf Hanafiah&Amri Amir,Etika
Kedokteran &Hukum Kesehatan,Edisi 4, Buku Kedokteran, 2009
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Hukum Perjanjian, Internusa, Jakarta,1987
[1] / Dr. Veronica Komalawati,S.H.,M.H., Peranan Informed Consent Dalam
Transaksi Terapeutik, PT. Citra Aditya
Bakti,Bandung,2002,hal.146.
[2] / Endang Kusuma
Astuti, Transaksi Teraupetik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal.97
[3] / Herliene
Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006,hal. 397
[4] / Pitono
Soeparto, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, Airlangga, Surabaya, 2006, hal.
133
[5] / R. Wirjono
Prodjodikoro, Azas-azas hukum Perjanjian, CV Mnadar maju, bandung, 2000,hal.7
[6]/ Kartini
Mulyadi &Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, PT. Raja
Grafindo Persada, jakarta, 2003,hal. 1
[7] / Subekti,
Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001,hal.36
[8]/ R. Setiawan,
Hukum Perikatan-perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987,hal 49
[9] /Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta,2007,hal.4.
[10] / R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 3
[11] Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang
Pratik Kedokteran, Pasal 1 ayat (2 dan 11).
[12] Hadi Siswanto,
Heru Subaris kasjono, Mardjan Mantariputra, Etika
Profesi Sanitarian dan Pembangunan Berwawasan Kesehatan, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2010,hal.64.
[13] Ibid,
hal 65.
[15] Endang Kusuma
Astuti,Op. Cit,. hal 33.
[16] M.Jusuf Hanafiah&Amri Amir,Etika
Kedokteran &Hukum Kesehatan,Edisi 4, Buku Kedokteran, 2009,hal.1.
[17] Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Pratik Kedokteran, Pasal 1 butir 11.
[18] Ibid,
hal. 2.
[19] Endang
Kusuma Astuti,Op. Cit,. hal.38.
[20] Hadi Siswanto,
Heru Subaris kasjono, Mardjan Mantariputra,Op.Cit,.
hal.69.
[21] Marcel Seran
dan Anna Maria Wahyu Setyowati, Dilema
Etika dan Hukum Dalam Pelayan Medis, Mandar Maju, Bandung, 2010, hal.9.
[23] Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, Pasal 1 butir 10.
[24] Endang Kesuma Astuti,.Op. Cit,.hal. 87.
[25] Marcel Seran dan Anna maria Setyowati,. Op.Cit., hal. 79
[26] Indra Bastian, Suryono,Op Cit,. hal. 37
[27] Naraya Dira, Pasien Berhak Tahu, Padi Pressindo,
Jakarta,2010, hal.5
[29] Naraya Dira, Pasien Berhak Tahu, Padi Pressindo, Jakarta,2010,.hal.20
0 komentar:
Posting Komentar