Penulis Marsitiningsih, SH., MH.
Abstrak
Perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan
secara
sepihak, yakni oleh kreditur dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (masal), sehingga pihak lain hanya memiliki
dua pilihan yaitu menyetujui atau
menolak. Perjanjian dapat memiliki kekuatan mengikat, maka perjanjian
tersebut harus memiliki obyek tertentu dan diperkenankan oleh undang-undang
serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum
dan tata susila.
A. Pendahuluan
Buku III BW terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian
umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang
bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai
perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai
nama-nama tertentu, misal jual-beli, sewa- menyewa, perjanjian perburuhan dan
lain-lain.
|
1. Ada kata sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya.
2.
Cakap untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu obyek tertentu.
4. Suatu sebab atau kausa yang halal.
Pada prinsipnya, perjanjian
timbul karena didahului adanya kesepakatan antara para pihak. Kesepakatan
tersebut dibuat oleh para pihak yang telah dewasa yang telah mengerti apakah sesuatu dianggap salah atau benar, oleh karena itu
apa yang akan diperjanjikan harus tertentu dan jelas serta tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Untuk itu setiap perjanjian yang melanggar
ketentuan undang-undang kesusilaan dapat dikatakan perjanjian yang
dilarang. Hal tersebut dikarenakan berdampak merugikan masyarakat.
Dalam pasal
1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, disebutkan bahwa: kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjarnmerninjarn antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga. Dari isi pasal tersebut mewajibkan
adanya perjanjian dalam pemberian kredit,
akan tetapi Undang-undang Perbankan tidak menjelaskan lebih lanjut apa
itu perjanjian kredit.
Menurut Hukum Perdata Indonesia, perjanjian kredit adalah
salah satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam. Oleh karena itu perjanjian ini tunduk
pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata pada pasal 1754 sampai dengan pasal 1769 tentang perjanjian
pinjam-meminjam. Selain itu perbuatan perjanjian kredit dapat mendasarkan
kepada ketentuan-ketentuan umum tentang perikatan yang diatur dalam dalam buku
III KUHPerdata.
Menurut Prof. Dr. Mariam Darus
Badrulzaman, perjanjian kredit bank adalah perjanjian pendahuluan (voorovereenkornst) dari penyerahan uang.
Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan
penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Penyerahan
uangnya sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan baru berlaku ketentuan yang dituangkan
dalam model perjanjian kredit kedua
pihak. Untuk itu dalam perjanjian kredit mengandung dua fase, yaitu
konsensuil dan riil (Mariam Darus dalam Joni Emirzon : 1998; 109).
Dalam praktek perbankan, setiap pemberian kredit bank wajib menggunakan
akad perjanjian kredit secara tertulis sebagai alat bukti. Biasanya perjanjian tersebut berbentuk
baku atau
standard, yaitu perjanjian yang telah dibuat secara sepihak oleh bank,
sedangkan debitur hanya menyetujui atau menyepakati
isi perjanjian tersebut. Perjanjian kredit dapat dibuat secara autentik
maupun dibawah tangan. Akta perjanjian kredit sangat penting dan mempunyai beberapa fungsi, antara lain: (CH.Gatot
Wardoyo dalam Joni Emirzon: 1998; 109).
1. Sebagai perjanjian pokok, artinya
perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya
pedanjian lain yang mengikuti,
2. Sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan
hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur,
3. Sebagai alat untuk
melakukan monitoring.
B. Permasalahan
Dari uraian tersebut di atas timbul
suatu permasalahan: bagaimana kekuatan mengikat secara yuridis perjanjian baku atau standart contract
bagi para pihak (debitur dan kreditur) dalam dunia perbankan?
C. Tinjauan Pustaka
Dalam Buku III KUHPerdata
disebutkan bahwa "perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan
harta, benda) antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut
barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu".
Buku II mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum antara orang dengan benda (hak-hak kebendaan). Buku
III mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak
perorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Oleh karena
sifat hukum yang termuat dalam Buku III selalu berupa suatu tuntut-menuntut,
maka isi Buku III itu juga. dinamakan " hukum perhutangan". Pihak
yang berhak menuntut dinamakan pihak
berpiutang atau "kreditur", sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau
"debitur". Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan
"prestasi", yang menurut undang-undang dapat berupa:
1. menyerahkan suatu barang;
2. melakukan suatu perbuatan;
3. tidak melakukan suatu perbuatan.
D. Kerangka Teori
Hukum perjanjian tidak terlepas
dari faham individualisme, seperti yang dijumpai
dalam BW (lama) tahun l838. BW (baru) tahun 1992, maupun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagai
ciri khas hukum perjanjian atau kontrak, yaitu dalam hal kebebasan,
kesetaraan dan keterikatan kontraktual (Dr. Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu:
2003; 51) .
Sejumlah prinsip atau asas hukum,
merupakan dasar bagi hukum kontrak. Dari sejumlah prinsip hukum tersebut
perhatian tercurahkan kepada tiga prinsip atau asas utama. Prinsip-prinsip atau
asas-asas fundamental yang menguasai hukum kontrak
adalah: prinsip atau asas konsensualitas, dimana persetujuan-persetujuan
dasar terjadi karena persesuaian kehendak (consensus)
para pihak. Pada umumnya persetujuan-persetujuan itu dapat dibuat secara
"bebas bentuk" dan dibuat tidak secara formal melainkan konsensual.
Menurut Prof Subekti, perjanjian adalah "suatu
peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. Perjanjian menurut sistem common law, dipahami sebagai suatu perjumpaan nalar, yang
lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian adalah perjumpaan dari dua atau lebih
nalar tentang suatu hal yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan
(Dr. Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu: 2003; 42).
Sedangkan kontrak
yang berasal dari bahasa Inggris "contract"
adalah : "An agreement between two or
more person which create an obligation to do or not to do a particular thing.
Its essential are competent parties, subject matter, a legal consideration,
mutuality agreement, an mutuality obligation, the writing which contains the agreement of parties, which the
terms and condition, and which serves as a proof of the obligation."
Dengan demikian, kontrak adalah
suatu perjanjian (tertulis) antara dua atau
lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan
atau tidak melakukan suatu hal tertentu. Istilah "kontrak" atau
"perjanjian" dalam sistem hukum nasional Indonesia memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan
antara pengertian "contract"
dan overeenkomst".
Suatu
kontrak atau perjanjian dengan demikian memiliki unsure-unsur, yaitu pihak-pihak yang kompeten, pokok yang disetujui,
pertimbangan hukum, perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban
timbal balik. Ciri utama kontrak adalah bahwa
kontrak merupakan suatu tulisan yang memuat janji dari para pihak secara lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan
serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya seperangkat kewajiban.
Unsur-unsur kontrak seperti tersebut dengan_demikian secara tegas membedakan
kontrak dari suatu pernyataan sepihak ( Dr. Johanes: 2003; 43).
Para pihak melakukan
kontrak dengan beberapa kehendak, yaitu:
1.
kebutuhan terhadap janji atau janji janji;
2.
kebutuhan terhadap janji atau
janji- janji antara dua atau lebih pihak dalam suatu perjanjian;
3.
kebutuhan terhadap janji-janji yang
dirumuskan dalam bentuk kewajiban; dan kebutuhan terhadap kewajiban bagi
penegakan hukum.
Menurut P.S. Atiyah, kontrak memiliki
tiga tujuan yaitu:
1.
janji yang telah diberikan harus
dilaksanakan dan memberikan perlindunngan terhadap suatu harapan yang pantas;
2.
agar tidak terjadi suatu penambahan kekayaan yang tidak
halal;
3. agar dihindarinya suatu kerugian.
Gr. Van der Burght mengemukakan bahwa selain teori kehendak
sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan,
terdapat beberapa teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu
kesepakatan, yaitu :
1. Ajaran kehendak (wilsleer), di mana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan
terbentuk-tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin yang ada dalam kehendak subyektif para calon
kontraktan;
2.
Pandangan Normative van Dunne,
dalam ajaran ini kehendak sedikitpun tidak
memainkan peranan; Apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada
hakekatnya tergantung pada suatu penafsiran normative para pihak pada persetujuan ini tentang keadaan dan peristiwa
yang dihadapi bersama;
3.
Ajaran kepercayaan (vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan
kepercayaan yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa
ia sepakat dan oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi
terbentuknya suatu persetujuan ( DrJohanes: 2003; 40).
E. Pembahasan
Upaya manusia untuk memenuhi
berbagai kepentingan, salah satu wujudnya berupa
kontrak. Mendasari urgensi kontrak, perlu untuk mengkaji perkembangan hukum
kontrak yang tedadi sepanjang abad XIX di Amerika Serikat dan Inggris.
Perkembangan yang terjadi dikarenakan dua sebab yaitu ;
1.
pengembangan prinsip kontrak secara
luas telah mengambil tempat selama periode tersebut dan
2.
pandangan ekonomi pada periode tersebut telah mengangkat
kontrak pada suatu posisi yang memiliki arti
sangat penting dalam hukum.
Salah satu teori dari hukum kontrak
klasik adalah teori kehendak. Menurut teori kehendak, suatu kontrak
menghadirkan suatu ungkapan kehendak di antara para pihak, yang harus dihormati
dan dipaksakan oleh pengadilan. Dalam teori kehendak
terdapat asumsi bahwa suatu kontrak melibatkan kewajiban yang dibebankan
terhadap para pihak. Para pihak dalam suatu kontrak memiliki hak untuk memenuhi
kepentingan pribadinya sehingga melahirkan
suatu perikatan. Pertimbangannya adalah bahwa individu harus memiliki
kebebasan dalam setiap penawaran dan mempertimbangkan
kemanfaatannya bagi dirinya. Pengadilan harus memberikan kemudahan terhadap individu atas setiap penawaran untuk membuat
kontrak.
Menurut pasal 1233 KUHPerdata "
tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian dan undang-undang".
Pengertian perikatan menurut Subekti adalah: ”suatu
hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu".
Perikatan merupakan suatu hukum yang terjadi baik karena perjanjian atau karena hukum.
Dinamakan sebagai perikatan karena hubungan hukum itu mengikat, yaitu
kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan dapat dipaksakan secara
hukum. Jadi suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat dipaksakanadalah bukan perikatan. Hubungan
hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum yaitu adanya hak dan
kewajiban. Hubungan hukum dari perikatan terbagai dua:
1. yang berasal dari perjanjian
adalah hubungan hukum yang terjadi karena persetujuan atau kesepakatan para
pihaknya:
2. yang
terjadi karena hukum dikarenakan Undang-Undang atau hokum yang
menentukan tanpa perlua adanya persetujuan atau kesepakatan terlebih dahulu.
Asas-asas hukum perjanjian sebagai landasan pemikiran dalam hukum perjanjian terdapat baik dalam sistem hukum Indonesia (civil law) ataupun sistem common
law.
Dalam hukum perjanjian Indonesia dikenal beberapa asas hukum , antara lain yaitu :
1. Asas Konsensualisme
Dalam perjanjian, hal utama yang harus ditonjolkan ialah bahwa kita berpegang pada asas
konsensualisme, yang merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian modern dan
bagi terciptanya kepastian hukum. Asas
konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan
perjanjian adalah cukup dengan dicapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dari
perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat
atau detik tercapainya consensus atau kesepakatan. Dengan perkataan
lain, perjanjian itu sudah sah apabila
hal-hal yang pokok sudah disepakati dan tidak diperlukan suatu formalitas.
2. Asas Kekuatan Mengikat
|
Janji terhadap kata, yang diucapkan sendiri adalah mengikat. Persetujuan
ini pada hakikatnya
diletakkan oleh para pihak itu sendiri di atas pundak masing-masing dan
menetapkan ruang lingkup dan dampaknya. Persetujuan mempunyai akibat hukum dan
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Setiap
perjanjian yang telah disepakati dan telah memenuhi ketentuan perundang-undangan,
kebiasaan, kepatutan akan mengikat para pihak.
3. Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak
dikenal dengan istilah open system
atau freedom of
contract. Berdasarkan asas ini para pihak berhak menentukan apa saja yang ingin
diperjanjikan dan sekaligus untuk menetukan apa yang tidak
dikehendaki untuk
dicantumkan di dalam perjanjian, namun tidak berarti tidak tanpa batas. Dalam
hal ini Negara turut campur untuk melindungi pihak yang lemah atau untuk
mencapai tujuan-tujuan kepentingan umum yang lebih luas. Dalam KUHPerdata, asas
kebebasan berkontrak diatur dalam pasal 1338, yang menentukan:
a.
Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belch pihak, atau karena
alasan-alasan yang undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
c. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
4. Asas Kepribadian
Asas
kepribadian tercantum dalam pasal 1340 KUHPerdata, yaitu "Suatu perjanjian hanya berlaku antara
pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada
pihak-pihak ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya
selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317".
Ruang lingkup ini hanya
terbatas bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian sebagaimana dalam
pasal 1340 ayat 1. Sedangkan dalam ayat 2 menyebutkan bahwa
perjanjian-perjanjian tidak dapat merugikan atau memberi manfaat kepada pihak
ketiga kecuali untuk hal yang diatur dalam pasal 1317 KUHPerdata, yaitu janji
untuk kepentingan pihak ketiga yaitu menyerahkan haknya kepada pihak ketiga.
Hukum keperdataan secara
substansial merupakan area hukum yang sangat luas dan sangat dinamis. Dinamika
hukum perdata selaras dengan perkembangan hidup
seperti makin banyaknya bentuk-bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak (individu dan individu, lembaga dan
lembaga, individu dan lembaga).
Transaksi kredit pada dunia
perbankan merupakan suatu perikatan, yang terutama bersangkut paut dengan perikatan
keperdataan. Dalam kaca mata hukum perdata, perikatan
transaksi kredit perbankan itu tidak serta merta terjadi begitu saja, ada
prolog yang mendahuluinya. Dalam tahap pelaksanaan dari transaksi kredit
perbankan , isu yang banyak dipermasalahkan adalah eksistensi dari perjanjian
standar atau perjanjian baku. Perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh
kreditur/produsen, dan mengandung
ketentuan yang berlaku urnum (masal) sehingga pihak lain (debitur)
hanya memiliki dua pilihan yakni menyetujui (take it) atau menolak (leave it). Biasanya debitur tidak punya
pilihan lain kecuali menerima alternatif
yang pertama, sebab kepada bank manapun ia pergi, ia akan disodorkan
perjanjian baku dengan substansi yang hampir sama.
Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan, perjanjian standar
tidak melanggar asas kebebasan berkontrak (pasal
1320 jo 1338 KUHPerdata). Artinya
bagaimanapun pihak debitur masih diberi hak untuk menyetujui atau menolak
perjanjian yang diajukan padanya. Jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan
kehadiran perjanjian standar, adalah karena dicantumkannya klausula eksonerasi
(exemption clause) dalam perjanjian
tersebut. Klausula eksonerasi adalah
klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapuskan sama
sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak kreditur.
KUHPerdata juga menyebutkan tiga alasan yang dapat menyebabkan suatu perjanjian dapat ditarik kembali
yaitu : paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan (bedrog). Ketiga alasan ini dimaksudkan
oleh undang-undang sebagai pembatasan terhadap berlakunya asas kebebasan .
Suatu
perjanjian yang memenuhi keabsahan memiliki kekuatan yang mengikat bagi para
pihak, dan akibat hukum dari adanya perikatan itu adalah :
a.
Para pihak terikat
pads isi perjanjian dan juga berdasarkan kepatutan, kebiasaan dan
undang-undang.
b.
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
c.
Kreditur dapat memintakan pembatalan
perbuatan debitur yang merugikan kreditur.
F. Kesimpulan
Agar
perjanjian memiliki kekuatan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memiliki
obyek tertentu (pasal 1320 ayat (3) dan (4) KUHPerdata) dan diperkenankan oleh
undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tata susila. Perjanjian standar adalah
perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh kreditur dan
mengandung ketentuan yang berlaku umum
(masal), sehingga pihak lain hanya memiliki dua pilihan yaitu menyetujui atau menolak. Adanya unsur pilihan ini
oleh sementara pihak dikatakan,
perjanjian standar tidak melanggar asas kebebasan berkontrak. Perjanjian
standar yang memenuhi keabsahan, maka memiliki kekuatan yang mengikat bagi para
pihak yang membuatnya.
Daftar Pustaka
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis, Penerbit PT Fafika
Aditama, Bandung, 2003.
Joni Emirson, Hukum Bisnis
Indonesia, Fakultas Hukum Univesitas Sriwijaya, 2002.
R. Subekti, Aneka
Perjanjian, Penerbit PT. Aditya Bakti, Bandung, 1992.
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Penerbit
PT. Intermasa, Bandung, 1982.
0 komentar:
Posting Komentar