Selasa, 19 Januari 2016

KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN BAKU ATAU STANDART CONTRACT BAGI PARA PIHAK (DEBITUR DAN KREDITUR )





Penulis Marsitiningsih, SH., MH.

Abstrak
Perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh kreditur dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (masal), sehingga pihak lain hanya memiliki dua pilihan yaitu menyetujui atau menolak. Perjanjian dapat memiliki kekuatan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memiliki obyek tertentu dan diperkenankan oleh undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tata susila.

A. Pendahuluan
Buku III BW terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam­-macam perikatan. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu, misal jual-beli, sewa- menyewa, perjanjian perburuhan dan lain-lain.
SOLUSI  Tahun VI Oktober 2010

 
Buku III itu menganut asas "kebebasan" dalam hal membuat perjanjian. Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Maksud dari pasal 1338 tersebut adalah bahwa tiap perjanjian "mengikat" kedua pihak. Orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan., dan pada umumnya juga dibolehkan menyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku III itu. Dengan kata lain, peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam Buku III itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. Intinya, peraturan-peraturan dalam Buku III pada umumnya hanya merupakan "hukum pelengkap", bukan hukum yang memaksa. Suatu perjanjian dianggap sah (valid contract) haruslah memenuhi beberapa persyaratan. Menurut pasal 1320 KUHPerdata, suatu kontrak haruslah memenuhi persyaratan :
1.      Ada kata sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2.      Cakap untuk membuat suatu perikatan.
3.      Suatu obyek tertentu.
4.      Suatu sebab atau kausa yang halal.
Pada prinsipnya, perjanjian timbul karena didahului adanya kesepakatan antara para pihak. Kesepakatan tersebut dibuat oleh para pihak yang telah dewasa yang telah mengerti apakah sesuatu dianggap salah atau benar, oleh karena itu apa yang akan diperjanjikan harus tertentu dan jelas serta tidak melanggar undang­-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Untuk itu setiap perjanjian yang melanggar ketentuan undang-undang kesusilaan dapat dikatakan perjanjian yang dilarang. Hal tersebut dikarenakan berdampak merugikan masyarakat.
Dalam pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, disebutkan bahwa: kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjarn­merninjarn antara bank dengan pihak  lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dari isi pasal tersebut mewajibkan adanya perjanjian dalam pemberian kredit, akan tetapi Undang-undang Perbankan tidak menjelaskan lebih lanjut apa itu perjanjian kredit.
Menurut Hukum Perdata Indonesia, perjanjian kredit adalah salah satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam. Oleh karena itu perjanjian ini tunduk pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada pasal 1754 sampai dengan pasal 1769 tentang perjanjian pinjam-meminjam. Selain itu perbuatan perjanjian kredit dapat mendasarkan kepada ketentuan-ketentuan umum tentang perikatan yang diatur dalam dalam buku III KUHPerdata.
Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian kredit bank adalah perjanjian pendahuluan (voorovereenkornst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Penyerahan uangnya sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan baru berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit kedua pihak. Untuk itu dalam perjanjian kredit mengandung dua fase, yaitu konsensuil dan riil (Mariam Darus dalam Joni Emirzon : 1998; 109).
Dalam praktek perbankan, setiap pemberian kredit bank wajib menggunakan akad perjanjian kredit secara tertulis sebagai alat bukti. Biasanya perjanjian tersebut berbentuk baku atau standard, yaitu perjanjian yang telah dibuat secara sepihak oleh bank, sedangkan debitur hanya menyetujui atau menyepakati isi perjanjian tersebut. Perjanjian kredit dapat dibuat secara autentik maupun dibawah tangan. Akta perjanjian kredit sangat penting dan mempunyai beberapa fungsi, antara lain: (CH.Gatot Wardoyo dalam Joni Emirzon: 1998; 109).
1.      Sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya pedanjian lain yang mengikuti,
2.      Sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur,
3.      Sebagai alat untuk melakukan monitoring.

B. Permasalahan
         Dari uraian tersebut di atas timbul suatu permasalahan: bagaimana kekuatan mengikat  secara yuridis perjanjian baku atau  standart contract bagi para pihak (debitur dan kreditur) dalam dunia perbankan?

C. Tinjauan Pustaka
       Dalam Buku III KUHPerdata disebutkan bahwa "perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta, benda) antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu".
         Buku II mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan benda (hak-hak kebendaan). Buku III mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam Buku III selalu berupa suatu tuntut-menuntut, maka isi Buku III itu juga. dinamakan " hukum perhutangan". Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau "kreditur", sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau "debitur". Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan "prestasi", yang menurut undang-undang dapat berupa:
1.      menyerahkan suatu barang;
2.      melakukan suatu perbuatan;
3.      tidak melakukan suatu perbuatan.

D. Kerangka Teori
Hukum perjanjian tidak terlepas dari faham individualisme, seperti yang dijumpai dalam BW (lama) tahun l838. BW (baru) tahun 1992, maupun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagai ciri khas hukum perjanjian atau kontrak, yaitu dalam hal kebebasan, kesetaraan dan keterikatan kontraktual (Dr. Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu: 2003; 51) .
Sejumlah prinsip atau asas hukum, merupakan dasar bagi hukum kontrak. Dari sejumlah prinsip hukum tersebut perhatian tercurahkan kepada tiga prinsip atau asas utama. Prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menguasai hukum kontrak adalah: prinsip atau asas konsensualitas, dimana persetujuan-persetujuan dasar terjadi karena persesuaian kehendak (consensus) para pihak. Pada umumnya persetujuan-persetujuan itu dapat dibuat secara "bebas bentuk" dan dibuat tidak secara formal melainkan konsensual.
Menurut Prof Subekti, perjanjian adalah "suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. Perjanjian menurut sistem common law, dipahami sebagai suatu perjumpaan nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian adalah perjumpaan dari dua atau lebih nalar tentang suatu hal yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan (Dr. Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu: 2003; 42).
Sedangkan kontrak yang berasal dari bahasa Inggris "contract" adalah : "An agreement between two or more person which create an obligation to do or not to do a particular thing. Its essential are competent parties, subject matter, a legal consideration, mutuality agreement, an mutuality obligation, the writing which contains the agreement of parties, which the terms and condition, and which serves as a proof of the obligation."
Dengan demikian, kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal tertentu. Istilah "kontrak" atau "perjanjian" dalam sistem hukum nasional Indonesia memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara pengertian "contract" dan overeenkomst".
         Suatu kontrak atau perjanjian dengan demikian memiliki unsure-unsur, yaitu pihak-pihak yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum, perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik. Ciri utama kontrak adalah bahwa kontrak merupakan suatu tulisan yang memuat janji dari para pihak secara lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan­-persyaratan serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya seperangkat kewajiban. Unsur-unsur kontrak seperti tersebut dengan_demikian secara tegas membedakan kontrak dari suatu pernyataan sepihak ( Dr. Johanes: 2003; 43).
         Para pihak melakukan kontrak dengan beberapa kehendak, yaitu:
1.      kebutuhan terhadap janji atau janji janji;
2.      kebutuhan terhadap janji atau janji- janji antara dua atau lebih pihak dalam suatu perjanjian;
3.      kebutuhan terhadap janji-janji yang dirumuskan dalam bentuk kewajiban; dan kebutuhan terhadap kewajiban bagi penegakan hukum.
         Menurut P.S. Atiyah, kontrak memiliki tiga tujuan yaitu:
1.    janji yang telah diberikan harus dilaksanakan dan memberikan perlindunngan terhadap suatu harapan yang pantas;
2.    agar tidak terjadi suatu penambahan kekayaan yang tidak halal;
3.    agar dihindarinya suatu kerugian.
         Gr. Van der Burght mengemukakan bahwa selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu :
1. Ajaran kehendak (wilsleer), di mana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan terbentuk-tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin yang ada dalam kehendak subyektif para calon kontraktan;
2.      Pandangan Normative van Dunne, dalam ajaran ini kehendak sedikitpun tidak memainkan peranan; Apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada hakekatnya tergantung pada suatu penafsiran normative para pihak pada persetujuan ini tentang keadaan dan peristiwa yang dihadapi bersama;
3.      Ajaran kepercayaan (vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan kepercayaan yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi terbentuknya suatu persetujuan ( DrJohanes: 2003; 40).

E. Pembahasan
Upaya manusia untuk memenuhi berbagai kepentingan, salah satu wujudnya berupa kontrak. Mendasari urgensi kontrak, perlu untuk mengkaji perkembangan hukum kontrak yang tedadi sepanjang abad XIX di Amerika Serikat dan Inggris. Perkembangan yang terjadi dikarenakan dua sebab yaitu ;
1.    pengembangan prinsip kontrak secara luas telah mengambil tempat selama periode tersebut dan
2.    pandangan ekonomi pada periode tersebut telah mengangkat kontrak pada suatu posisi yang memiliki arti sangat penting dalam hukum.
         Salah satu teori dari hukum kontrak klasik adalah teori kehendak. Menurut teori kehendak, suatu kontrak menghadirkan suatu ungkapan kehendak di antara para pihak, yang harus dihormati dan dipaksakan oleh pengadilan. Dalam teori kehendak terdapat asumsi bahwa suatu kontrak melibatkan kewajiban yang dibebankan terhadap para pihak. Para pihak dalam suatu kontrak memiliki hak untuk memenuhi kepentingan pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan. Pertimbangannya adalah bahwa individu harus memiliki kebebasan dalam setiap penawaran dan mempertimbangkan kemanfaatannya bagi dirinya. Pengadilan harus memberikan kemudahan terhadap individu atas setiap penawaran untuk membuat kontrak.
         Menurut pasal 1233 KUHPerdata " tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian dan undang-undang". Pengertian perikatan menurut Subekti adalah: ”suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu".
Perikatan merupakan suatu hukum yang terjadi baik karena perjanjian atau karena hukum. Dinamakan sebagai perikatan karena hubungan hukum itu mengikat, yaitu kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan dapat dipaksakan secara hukum. Jadi suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat dipaksakanadalah bukan perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban. Hubungan hukum dari perikatan terbagai dua:
1.   yang berasal dari perjanjian adalah hubungan hukum yang terjadi karena persetujuan atau kesepakatan para pihaknya:
2.   yang terjadi karena hukum dikarenakan Undang-Undang atau hokum yang menentukan tanpa perlua adanya persetujuan atau kesepakatan terlebih dahulu.
Asas-asas hukum perjanjian sebagai landasan pemikiran dalam hukum perjanjian terdapat baik dalam sistem hukum Indonesia (civil law) ataupun sistem common law.
Dalam hukum perjanjian Indonesia dikenal beberapa asas hukum , antara lain yaitu :
1. Asas Konsensualisme
Dalam perjanjian, hal utama yang harus ditonjolkan ialah bahwa kita berpegang pada asas konsensualisme, yang merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian modern dan bagi terciptanya kepastian hukum. Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya consensus atau kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila hal-hal yang pokok sudah disepakati dan tidak diperlukan suatu formalitas.

2. Asas Kekuatan Mengikat
SOLUSI  Tahun VI Oktober 2010

 
Baik dalam sistem terbuka yang dianut oleh hukum kontrak ataupun bagi prinsip kekuatan mengikat, kita dapat merujuk pada pasal 1374 ayat 1 BW (lama) atau pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata : "semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Dalam pasal 1339 KUHPerdata dimasukan prinsip kekuatan mengikat yaitu "suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang ". Prinsip bahwa di dalam sebuah persetujuan orang menciptakan sebuah kewajiban hukum dan bahwa ia terikat pada janji-janji ini, dipandang sebagai sesuatu yang sudah dengan sendirinya dan bahkan orang tidak lagi mempertanyakan mengapa hal itu demikian. Suatu pergaulan hidup hanya dimungkinkan antara lain bilamana seseorang dapat mempercayai kata-kata, orang lain.
Janji terhadap kata, yang diucapkan sendiri adalah mengikat. Persetujuan ini pada hakikatnya diletakkan oleh para pihak itu sendiri di atas pundak masing-masing dan menetapkan ruang lingkup dan dampaknya. Persetujuan mempunyai akibat hukum dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Setiap perjanjian yang telah disepakati dan telah memenuhi ketentuan perundang-undangan, kebiasaan, kepatutan akan mengikat para pihak.

3. Kebebasan Berkontrak
       Asas kebebasan berkontrak dikenal dengan istilah open system atau freedom of contract. Berdasarkan asas ini para pihak berhak menentukan apa saja yang ingin diperjanjikan dan sekaligus untuk menetukan apa yang tidak
dikehendaki untuk dicantumkan di dalam perjanjian, namun tidak berarti tidak tanpa batas. Dalam hal ini Negara turut campur untuk melindungi pihak yang lemah atau untuk mencapai tujuan-tujuan kepentingan umum yang lebih luas. Dalam KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak diatur dalam pasal 1338, yang menentukan:
a.       Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b.      Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belch pihak, atau karena alasan-alasan yang undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
c.       Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

4. Asas Kepribadian
Asas kepribadian tercantum dalam pasal 1340 KUHPerdata, yaitu "Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317".
Ruang lingkup ini hanya terbatas bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian sebagaimana dalam pasal 1340 ayat 1. Sedangkan dalam ayat 2 menyebutkan bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat merugikan atau memberi manfaat kepada pihak ketiga kecuali untuk hal yang diatur dalam pasal 1317 KUHPerdata, yaitu janji untuk kepentingan pihak ketiga yaitu menyerahkan haknya kepada pihak ketiga.
Hukum keperdataan secara substansial merupakan area hukum yang sangat luas dan sangat dinamis. Dinamika hukum perdata selaras dengan perkembangan hidup seperti makin banyaknya bentuk-bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak (individu dan individu, lembaga dan lembaga, individu dan lembaga).
Transaksi kredit pada dunia perbankan merupakan suatu perikatan, yang terutama bersangkut paut dengan perikatan keperdataan. Dalam kaca mata hukum perdata, perikatan transaksi kredit perbankan itu tidak serta merta terjadi begitu saja, ada prolog yang mendahuluinya. Dalam tahap pelaksanaan dari transaksi kredit perbankan , isu yang banyak dipermasalahkan adalah eksistensi dari perjanjian standar atau perjanjian baku. Perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh kreditur/produsen, dan mengandung ketentuan yang berlaku urnum (masal) sehingga pihak lain  (debitur) hanya memiliki dua pilihan yakni menyetujui (take it) atau menolak (leave it). Biasanya debitur tidak punya pilihan lain kecuali menerima alternatif yang pertama, sebab kepada bank manapun ia pergi, ia akan disodorkan perjanjian baku dengan substansi yang hampir sama.
Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan, perjanjian standar tidak melanggar asas kebebasan berkontrak (pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata). Artinya bagaimanapun pihak debitur masih diberi hak untuk menyetujui atau menolak perjanjian yang diajukan padanya. Jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, adalah karena dicantumkannya klausula eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapuskan sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak kreditur. KUHPerdata juga menyebutkan tiga alasan yang dapat menyebabkan suatu perjanjian dapat ditarik kembali yaitu : paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan (bedrog). Ketiga alasan ini dimaksudkan oleh undang-undang sebagai pembatasan terhadap berlakunya asas kebebasan .
Suatu perjanjian yang memenuhi keabsahan memiliki kekuatan yang mengikat bagi para pihak, dan akibat hukum dari adanya perikatan itu adalah :
a.       Para pihak terikat pads isi perjanjian dan juga berdasarkan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
b.      Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
c.       Kreditur dapat memintakan pembatalan perbuatan debitur yang merugikan kreditur.

F. Kesimpulan
Agar perjanjian memiliki kekuatan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memiliki obyek tertentu (pasal 1320 ayat (3) dan (4) KUHPerdata) dan diperkenankan oleh undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tata susila. Perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh kreditur dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (masal), sehingga pihak lain hanya memiliki dua pilihan yaitu menyetujui atau menolak. Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan, perjanjian standar tidak melanggar asas kebebasan berkontrak. Perjanjian standar yang memenuhi keabsahan, maka memiliki kekuatan yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya.

Daftar Pustaka

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis, Penerbit PT Fafika Aditama, Bandung, 2003.
Joni Emirson, Hukum Bisnis Indonesia, Fakultas Hukum Univesitas Sriwijaya, 2002.
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit PT. Aditya Bakti, Bandung, 1992.
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Bandung, 1982.





0 komentar:

Posting Komentar