Selasa, 19 Januari 2016

PROSES PERMOHONAN ITSBAT NIKAH DAN KAITANNYA DENGAN PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974



Penulis  MARSIDAH, SH. MH

A.       PENDAHULUAN

Masyarakat terdiri dari manusia, baik sebagai perorangan (individu) atau kelompok-kelompok manusia yang telah terhimpun untuk berbagai keperluan dan tujuan. Unsur-unsur dari masyarakat tersebut dalam menjalankan kehidupannya selalu berinteraksi antara satu dengan lainnya, antara kelompok satu dengan drmgan individu lainnya atau kelompok lainnya. Interaksi ini muncul didasarkan atas adanya kebutuhan dan ketergantungan antara satu dengan lainnya tersebut.
Salah satu bentuk hubungan antara individu dalam masyarakat adalah hubungaseorang perempuan dan seorang laki-laki yang melakukan perkawinan untuk membentuk suatu keluarga. Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.[1]
Perkawinan telah diatur dalam hukum positif Indonesia yaitu undang – undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam ketentuan pasal 2 Undang– Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dann tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini ssuai dengan ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) kompilasi hukum Islam yang menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Pada dasarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sumber hukum materiil dalam lingkungan peradilan. Namun saat ini dalam perkara peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada Undang-Undang tersebut. Sebagai contoh dalam masalah Itsbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) dijelaskan bahwa Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas ketika adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.[2]
Artinya jika mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) & Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ketika seseorang menikah sebelum adanya Undang-Undang Perkawinan, maka diperkenankan untuk melakukan Itsbath nikah (permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama untk dinyatakan sahnya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum), karena pada saat itu tidak ada aturan tentang pencatatan Nikah. Akan tetapi fakta yang terjadi saat ini banyak sekali perkara Itsbath nikah yang masuk dalam lingkungan Peradilan Agama walaupun pernikahan Siri tersebut terjadi setelah adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Untuk  mengetahui proses istbath nikah tersebut maka permasalahn dalm penulisan ini adalah Bagaimana proses pengajuan permohonan itsbat nikah dan kaitannya dengan pencatatan perkawinan menurut Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974?

B.  PEMBAHASAN

1.   Proses Permohonan Itsbat Nikah  Di Pengadilan Agama

a.    Pengertian Itsbat Nikah
Perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Itsbat berasal dari bahasa Arab atsbata-yutsbitu-itsbatan yang artinya adalah penguatan. Sedang dalam kamus ilmiah populer kata itsbat diartikan sebagai memutuskan atau menetapkan[3]. Sedang Nikah dalam kamus hukum diartikan sebagai akad yang memberikan faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja, kehalalan seorang laki laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.[4] Itsbat Nikah dapat diartikan permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk dinyatakan sahnya suatu pernikahan dan memiliki kekuatan hukum.
Ketentuan pasal undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi Pengadilan Agama untuk melakukan itsbat nikah adalah penjelasan Pasal 49 Ayat (2) angka 22 dan Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan kedua ketentuan tersebut membatasi perkawinan yang dapat dimohonkan itsbat ke Pengadilan Agama hanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dengan pembatasan tersebut, maka Pengadilan Agama tidak mempunyai payung hukum untuk menjalankan fungsinya secara optimal melakukan itsbat nikah. Sedangkan animo masyarakat untuk mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama terus meningkat seiring dengan adanya persyaratan administrasi dari sekolah-sekolah yang mewajibkan setiap anak yang akan masuk sekolah melampirkan foto kopi Akta Kelahiran, dan salah satu syarat adminsitrasi yang harus dipenuhi untuk mendapatkan Akta Nikah adalah Buku Nikah orang tua yang bersangkutan[5].
Namun oleh karena itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi tersebut, kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam[6], Apabila perkawinan yang dimohonkan untuk diitsbatkan itu tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Pengadilan Agama akan mengabulkan permohonan itsbat nikah meskipun perkawinan itu dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Padahal, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama tersebut, tidak lebih hanya sebagai kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur tentang itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kebijakan tersebut diambil karena ternyata itsbat nikah oleh Pengadilan Agama itu, karena pertimbangan mashlahah bagi umat Islam. Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami istri, termasuk perlindungan terhadap status anak yang lahir dari perkawinan itu, dan perlindungan terhadap akibat hukum yang akan muncul kemudian.
Dari kenyataan tersebut itu pula, Dirjen Badilag kemudian menjadikannya sebagai salah satu justice for all, khususnya bagi masyarakat Muslim yang miskin dan mereka yang termarjinalkan dalam bentuk sidang keliling di dalam maupun di luar negeri.

b.   Proses Pengajuan Permohonan Itsbat Nikah
Perkara pengesahan (itsbat) nikah adalah adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berwenang  yang diajukan oleh suami istri atau salah satu dari suami atau istri, anak, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut yang diajukan kepada pengadilan tempat tinggal Pemohon dengan menyebutkan alasan dan kepentingan yang jelas;
Tata cara proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah:
1.    Jika permohonan itsbat nikah diajukan oleh suami istri, maka permohonan bersifat voluntair, produknya berupa penetapan, apabila isi penetapan tersebut menolak permohonan itsbat nikah, maka suami dan istri bersama-sama atau suami, istri masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi;
2.    Jika permohonan itsbat nikah diajukan oleh salah seorang suami atau istri, maka permohonan bersifat kontensius dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi;
3.    Jika itsbat nikah dalam angka 1 dan 2 tersebut di atas, diketahui suami masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara, apabila istri terdahulu tidak dimasukkan, maka permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima;
4.    Jika permohonan itsbat nikah diajukan oleh anak, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan harus bersifat kontensius dengan mendudukkan suami dan istri dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon;
5.    Jika suami atau istri yang telah meninggal dunia, maka suami atau istri dapat mengajukan itsbat nikah dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan;
6.    Jika suami atau istri tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka permohonan itsbat nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan;
7.    Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut pada angka 1 dan 5, dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama setelah mengetahui ada penetapan itsbat nikah;
8.    Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan  dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4 dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama selama perkara belum diputus;
9.    Jika pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak dalam perkara itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4, sedang permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama.

2.   Hubungan Itsbat Nikah Dengan Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pada dasarnya memang tidak kita temui dalam ayat-ayat al-Qur’an yang membahas secara khusus tentang perintah pencatatan nikah, dan hal ini tidak pernah dicontohkan oleh baginda Rasulullah Muhammad SAW. Pencatatan nikah yang dilakukan saat ini sebenarnya sebagai upaya pemerintah untuk menertibkan pelaksanaan perkawinan. Dengan adanya pencatatan nikah maka pemerintah akan lebih mudah mensensus penduduk. Terutama terhadap jumlah penduduk yang sudah menikah.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merupakan Undang-undang yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan segala permasalahan yang terkait dengan perkawinan atau nikah, talak, cerai dan rujuk (NTCR), yang ditandatangani pengesahannya pada tanggal 2 Januari 1974 oleh Presiden Soeharto, agar Undang-undang perkawinan dapat dilaksanakan dengan seksama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hasil Usaha untuk menciptakan hukum nasional dan merupakan hasil unifikasi hukum yang menghormati adanya variasi.
Itsbat Nikah adalah sebuah proses Pencatatan Nikah terhadap pernikahan Sirri yang telah dilakukan, untuk mendapatkan akta nikah sebagai bukti keabsahan pernikahan yang telah dilakukan. Seperti yang telah dijelaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam, serta dijelaskan pula dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan Perkawinan dalam pelaksanaanya diatur dengan PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975 bab II pasal 2 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat, sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang No. 3 Tahun 1954, tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan) perkawinan. Tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada perkawinan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Akta Nikah dan pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat bukti keberadaan atau keabsahan perkawinan, karena itu, walaupun sebagai alat bukti tetapi bukan sebagai alat bukti yang menentukan sahnya perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah yang menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan[7]. Kalau demikian, fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (bagi pasangan suami istri yang beragama Islam) adalah untuk menjamin ketertiban hukum[8] (legal order).
Tidak ada yang meragukan pentingnya ketertiban hukum sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, di samping sebagai salah satu alat bukti adanya perkawinan. Karena itu, bagi pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan menurut hukum agamanya[9], tetapi belum dicatat, cukup dilakukan pencatatan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.
Dari uraian di atas, jelas bahwa perkawinan yang diitsbatkan oleh Pengadilan Agama adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama (syari’at Islam), akan tetapi tidak tercatat atau dicatatkan. Dengan kata lain, Pengadilan Agama hanya akan mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan secara syariat Islam dan tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam, menyatakan : “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai denngan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, jelas bahwa bagi orang Islam, sahnya perkawinan yang dilakukan harus memenuhi ketentuan hukum perkawinan dalam Islam, yaitu terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya serta tidak melanggar larangan-larangan perkawinan.
Pada dasarnya kewenangan perkara itsbat nikah bagi pengadilan agama dalam sejarahnya diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pernikahan dibawah tangan sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan., jo. Peraturan Pemerintah tentang Nomor 9 Tahun 1975; penjelasan pasal 49 ayat (2) yang berbunyi: “Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, serta dalam Pasal 64 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi :  “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah”.
Namun kemudian kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan dipakainya ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat (2) dan (3). Dalam ayat (2) disebutkan : ”Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agamanya”. Pada ayat (3) disebutkan : Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan ; a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya akta nikah;         c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; dan e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang nomor 1 Tahun 1974.[10]
Dengan melihat uraian dari pasal 7 ayat (2) dan (3) KHI tersebut, berarti bahwa KHI Telah memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh Undang-undang, baik oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 14 Tahun 1970 beserta penjelasannya menentukan bahwa adanya kewenangan suatu Peradilan untuk menyelesaikan perkara yang tidak mengandung unsur sengketa (voluntair) adalah dengan syarat apabila dikehendaki (adanya ketentuan/penunjukan) oleh Undang-undang. Mengenai itsbat nikah ini ada PERMENAG Nomor 3 Tahun 1975 yang dalam pasal 39 ayat (4) menentukan jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat akta nikah karena catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab lain, maka untuk menetapkan adanya nikah, talak, cerai, maupun rujuk, harus dibuktikan dengan keputusan (dalam arti penetapan) Pengadilan Agama; akan tetapi hal ini berkaitan dengan pernikahan yang dilaksanakan sebelum Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bukan terhadap perkawinan yang terjadi sesudahnya.
Permohonan itsbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama oleh mereka yang tidak dapat membuktikan perkawinannya dengan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah[11] karena tidak tercatat. Permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh Pemohon, oleh Pengadilan Agama akan diproses sesuai ketentuan hukum acara. Dalam buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama 2008 yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI disebutkan “Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah secara syariat Islam dan perkawinan tersebut tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam Pasal 8 s/d Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 s/d Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam”.
Atas dasar pengesahan atau penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama itu, selanjutnya oleh pemohon akan digunakan atau dijadikan dasar untuk mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, dan atas dasar penetapan itu pula Pegawai Pencatat Nikah akan mengeluarkan Buku Nikah atau Kutipan Akta Nikah.
Menurut penjelasan Pasal 49 Ayat (2) angka 22 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2003 dan terakhir di rumah dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama bahwa salah satu kewenangan atau kompetensi absolut Pengadilan Agama di bidang perkawinan adalah pernyataan sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Dan Pasal 7 Ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam menegaskan, itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas pada adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Berdasarkan penjelasan pasal undang-undang tersebut dan ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI), dapat dipahami bahwa permohonan itsbat nikah yang dapat dimohonkan ke Pengadilan Agama pada dasarnya hanya terhadap perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga secara a contrario (mafhum mukhalafah) perkawinan yang dilaksanakan pasca Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengadilan agama tidak berwenang untuk mengitsbatkannya.
Kenyataan di masyarakat masih banyak ditemukan perkawinan yang dilakukan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dengan berbagai sebab dan alasan sehingga mereka tidak mempunyai Buku Nikah, yang kemudian dimohonkan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.
Dari kenyataan tersebut, jelas bahwa pasangan suami istri yang tidak mempunyai Buku Nikah karena perkawinannya tidak tercatat atau dicatatkan, tidak dapat memperoleh hak-haknya untuk mendapatkan dokumen pribadi yang dibutuhkan, termasuk anak-anak mereka tidak akan memperoleh Akta Kelahiran dari Kantor Catatan Sipil. Kalaupun kemudian Kantor Catatan Sipil menerbitkan Akta Kelahiran, akan tetapi nama ayahnya tidak dicantumkan. Solusi yang dapat ditempuh oleh mereka adalah mengajukan permohoan itsbat nikah ke Pengadilan Agama[12].
Penetapan itsbat nikah yang dikeluarkan oleh pengadilan agama itu, kemudian digunakan atau akan dijadikan dasar untuk mencatatkan perkawinan mereka pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama, dan selanjutnya Kantor Urusan Agama akan menerbitkan Buku Nikah atau Kutipan Akta Nikah.
Kendala utama bagi Pengadilan Agama untuk dapat menjalankan fungsinya secara optimal melakukan itsbat nikah terhadap perkawinan yang tidak tercatat atau dicatatkan adalah tidak adanya payung hukum yang kuat.

C.  PENUTUP
Perkawinan telah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Pada dasarnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sumber hukum materiil dalam lingkungan peradilan. Namun saat ini dalam perkara peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada UU tersebut. Sebagai contoh dalam masalah Itsbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) dijelaskan bahwa Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas ketika adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.
Perkawinan telah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Pada dasarnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sumber hukum materiil dalam lingkungan peradilan. Namun saat ini dalam perkara peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada UU tersebut. Sebagai contoh dalam masalah Itsbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) dijelaskan bahwa Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas ketika adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.
Namun oleh karena itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi tersebut, kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam.
Penetapan itsbat nikah yang dikeluarkan oleh pengadilan agama itu, kemudian digunakan atau akan dijadikan dasar untuk mencatatkan perkawinan mereka pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama, dan selanjutnya Kantor Urusan Agama akan menerbitkan Buku Nikah atau Kutipan Akta Nikah.

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Pisafat Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Kartaapoetra, Rien G. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Bina Aksara,1988.
M. Zein,  Satria Efendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2005.
Manan, Bagir, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan Antar Orang Islam Menurut UU No.1 Tahun 1974, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional “Problematika Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional Antara Realitas dan Kepastian Hukum” di Jakarta 1 Agustus 2009.
Menteri Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan, Waris Perwakafan, Impres No. 1 TH 1991 berikut penjelasan, Surabaya: Karya Anda, 1991.
Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Akola, 1994.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perih Kaidah Hukum, Bandung: Alumini, 1978.
Rasyid, Chatib dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009.
Salim, Nashruddin. “Itsbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (tinjauan yuridis, filosofis, dan sosiologis),” Mimbar Hukum, September-Oktober, 2003.
Siswosoediro, Henry S. Pintar Pengurusan Perizinan & Dokumen (Panduan untuk Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum), Jakarta: Visimedia, 2008.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan







[1] Rien G. Kartaapoetra, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Bina Aksara,1988), Cetakan I h. 9

[2] Menteri Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan, Waris

[3] Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Akola, 1994), h. 273.
[4] Kamus Hukum (Bandung: Citra Umbara, 2008), h. 271.

[5] Henry S. Siswosoediro, Pintar Pengurusan Perizinan & Dokumen (Panduan untuk Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum), (Jakarta: Visimedia, 2008), h. 146.
[6] Pasal tersebut berbunyi “ Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai hangan perkawinan menurut menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
[7] Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan Antar Orang Islam Menurut UU No.1 Tahun 1974, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional “Problematika Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional Antara Realitas dan Kepastian Hukum” di Jakarta 1 Agustus 2009 : 5-6.
[8]Sedangkan menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, hukum bertujuan untuk memberikan kedamaian hidup antarpribadi yang meliputi ketertiban eksternal antarpribadi dan ketenangan inter pribadi. Lihat: Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perih Kaidah Hukum, (Bandung: Alumini, 1978), h. 67. Sedangkan menurut Roscoe Pound, salah seorang pendukung Sociological Jurisprudence yang dikutip pendapatnya oleh Prof. Darji Darmodiharjo, SH., bahwa hukum berfungsi sebagai alat untuk merekayasa masyarakat dan menjadi instrumen untuk mengarahkan masyarakat menuju tujuan yang diinginkan, bahkan kalau perlu menurutnya, menghilangkan kebiasaan masyarakat yang dipandang negatif. Lihat Pula: Darji Darmodiharjo, dan Shidarta,  Pokok-Pokok Pisafat Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 197.
[9]Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

[10] Nashruddin Salim, “Itsbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (tinjauan yuridis, filosofis, dan sosiologis),” Mimbar Hukum, 62 (September-Oktober, 2003), 70.
[11] Pasal 7 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI).

[12] Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 21.

0 komentar:

Posting Komentar