Penulis MARSIDAH, SH. MH
A.
PENDAHULUAN
Masyarakat terdiri dari manusia, baik sebagai perorangan
(individu) atau kelompok-kelompok manusia yang telah terhimpun untuk berbagai
keperluan dan tujuan. Unsur-unsur dari masyarakat tersebut dalam menjalankan
kehidupannya selalu berinteraksi antara satu dengan lainnya, antara kelompok
satu dengan drmgan individu lainnya atau kelompok lainnya. Interaksi ini muncul didasarkan atas
adanya kebutuhan dan ketergantungan antara satu dengan lainnya tersebut.
Salah satu bentuk hubungan antara
individu dalam masyarakat adalah hubungaseorang perempuan dan seorang laki-laki
yang melakukan perkawinan untuk membentuk suatu keluarga. Perkawinan adalah hubungan hukum yang
merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang
telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.[1]
Perkawinan telah diatur dalam hukum positif Indonesia yaitu undang – undang nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam ketentuan pasal 2 Undang– Undang Nomor
1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya dann tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini ssuai dengan
ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) kompilasi hukum Islam yang menyatakan bahwa
perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah. Pada dasarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
merupakan sumber hukum materiil dalam lingkungan peradilan. Namun saat ini
dalam perkara peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada Undang-Undang tersebut. Sebagai contoh dalam masalah
Itsbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d)
dijelaskan bahwa Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas ketika
adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974.[2]
Artinya jika mengacu kepada Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) & Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
ketika seseorang menikah sebelum adanya Undang-Undang Perkawinan, maka
diperkenankan untuk melakukan Itsbath nikah (permohonan pengesahan nikah yang
diajukan ke Pengadilan Agama untk dinyatakan sahnya pernikahan dan memiliki
kekuatan hukum), karena pada saat itu tidak ada aturan tentang pencatatan
Nikah. Akan tetapi fakta yang terjadi saat ini banyak sekali perkara Itsbath
nikah yang masuk dalam lingkungan Peradilan Agama walaupun pernikahan Siri
tersebut terjadi setelah adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Untuk mengetahui proses istbath nikah tersebut maka
permasalahn dalm penulisan ini adalah Bagaimana proses pengajuan permohonan
itsbat nikah dan kaitannya dengan pencatatan perkawinan menurut Undang–Undang Nomor
1 Tahun 1974?
B. PEMBAHASAN
1.
Proses Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama
a.
Pengertian Itsbat Nikah
Perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah
dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Itsbat berasal dari bahasa Arab atsbata-yutsbitu-itsbatan
yang artinya adalah penguatan. Sedang dalam kamus ilmiah populer kata
itsbat diartikan sebagai memutuskan atau menetapkan[3]. Sedang Nikah dalam kamus hukum diartikan sebagai akad
yang memberikan faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja, kehalalan seorang
laki laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang
menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.[4]
Itsbat Nikah dapat diartikan permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke
Pengadilan Agama untuk dinyatakan sahnya suatu pernikahan dan memiliki kekuatan
hukum.
Ketentuan pasal undang-undang yang menjadi landasan
yuridis bagi Pengadilan Agama untuk melakukan itsbat nikah adalah
penjelasan Pasal 49 Ayat (2) angka 22 dan Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) huruf d
Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan kedua ketentuan tersebut membatasi perkawinan
yang dapat dimohonkan itsbat ke Pengadilan Agama hanya perkawinan yang
dilangsungkan sebelum berlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Dengan pembatasan tersebut, maka Pengadilan Agama tidak
mempunyai payung hukum untuk menjalankan fungsinya secara optimal melakukan itsbat
nikah. Sedangkan animo masyarakat untuk mengajukan permohonan itsbat
nikah ke Pengadilan Agama terus meningkat seiring dengan adanya persyaratan
administrasi dari sekolah-sekolah yang mewajibkan setiap anak yang akan masuk
sekolah melampirkan foto kopi Akta Kelahiran, dan salah satu syarat
adminsitrasi yang harus dipenuhi untuk mendapatkan Akta Nikah adalah Buku Nikah
orang tua yang bersangkutan[5].
Namun oleh karena itsbat nikah sangat dibutuhkan
oleh masyarakat, maka hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan
menyimpangi tersebut, kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan
ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam[6], Apabila perkawinan yang dimohonkan
untuk diitsbatkan itu tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Pengadilan Agama akan
mengabulkan permohonan itsbat nikah meskipun perkawinan itu dilaksanakan
pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Padahal,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak termasuk dalam hierarki Peraturan
Perundang-Undangan yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu,
penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama tersebut, tidak lebih hanya
sebagai kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur tentang itsbat
nikah terhadap perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kebijakan tersebut diambil karena ternyata itsbat
nikah oleh Pengadilan Agama itu, karena pertimbangan mashlahah bagi
umat Islam. Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk
mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen
pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan
perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami istri,
termasuk perlindungan terhadap status anak yang lahir dari perkawinan itu, dan
perlindungan terhadap akibat hukum yang akan muncul kemudian.
Dari kenyataan tersebut itu pula, Dirjen Badilag kemudian
menjadikannya sebagai salah satu justice for all, khususnya bagi
masyarakat Muslim yang miskin dan mereka yang termarjinalkan dalam bentuk
sidang keliling di dalam maupun di luar negeri.
b.
Proses Pengajuan Permohonan Itsbat Nikah
Perkara pengesahan (itsbat) nikah adalah adanya
perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) yang berwenang yang diajukan oleh suami istri atau
salah satu dari suami atau istri, anak, wali nikah dan pihak yang
berkepentingan dengan perkawinan tersebut yang diajukan kepada pengadilan
tempat tinggal Pemohon dengan menyebutkan alasan dan kepentingan yang jelas;
Tata cara proses pemeriksaan permohonan itsbat
nikah:
1.
Jika permohonan itsbat nikah
diajukan oleh suami istri, maka permohonan bersifat voluntair, produknya berupa
penetapan, apabila isi penetapan tersebut menolak permohonan itsbat nikah, maka
suami dan istri bersama-sama atau suami, istri masing-masing dapat mengajukan
upaya hukum kasasi;
2.
Jika permohonan itsbat nikah
diajukan oleh salah seorang suami atau istri, maka permohonan bersifat
kontensius dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak mengajukan permohonan
sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut
dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi;
3.
Jika itsbat nikah dalam angka 1
dan 2 tersebut di atas, diketahui suami masih terikat dalam perkawinan yang sah
dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak
dalam perkara, apabila istri terdahulu tidak dimasukkan, maka permohonan harus
dinyatakan tidak dapat diterima;
4.
Jika permohonan itsbat nikah
diajukan oleh anak, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan harus bersifat
kontensius dengan mendudukkan suami dan istri dan/atau ahli waris lain sebagai
Termohon;
5.
Jika suami atau istri yang telah
meninggal dunia, maka suami atau istri dapat mengajukan itsbat nikah dengan
mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak Termohon, produknya berupa
putusan;
6.
Jika suami atau istri tidak
mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka permohonan itsbat nikah
diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan;
7.
Jika ada orang lain yang
mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan itsbat
nikah tersebut pada angka 1 dan 5, dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan
Agama setelah mengetahui ada penetapan itsbat nikah;
8.
Jika ada orang lain yang
mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan
itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4 dapat mengajukan intervensi
kepada Pengadilan Agama selama perkara belum diputus;
9.
Jika pihak lain yang mempunyai
kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak dalam perkara itsbat nikah tersebut
dalam angka 2, 3, dan 4, sedang permohonan tersebut telah diputus oleh
Pengadilan Agama dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang telah disahkan
oleh Pengadilan Agama.
2. Hubungan Itsbat Nikah Dengan Pencatatan
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pada dasarnya memang tidak kita temui dalam ayat-ayat
al-Qur’an yang membahas secara khusus tentang perintah pencatatan nikah,
dan hal ini tidak pernah dicontohkan oleh baginda Rasulullah Muhammad
SAW. Pencatatan nikah yang dilakukan saat ini sebenarnya sebagai upaya
pemerintah untuk menertibkan pelaksanaan perkawinan. Dengan adanya
pencatatan nikah maka pemerintah akan lebih mudah mensensus penduduk. Terutama
terhadap jumlah penduduk yang sudah menikah.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
merupakan Undang-undang yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan segala
permasalahan yang terkait dengan perkawinan atau nikah, talak, cerai dan
rujuk (NTCR), yang ditandatangani pengesahannya pada tanggal 2 Januari
1974 oleh Presiden Soeharto, agar Undang-undang perkawinan dapat dilaksanakan
dengan seksama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9
Tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hasil Usaha untuk menciptakan
hukum nasional dan merupakan hasil unifikasi hukum yang menghormati
adanya variasi.
Itsbat Nikah adalah sebuah proses Pencatatan Nikah
terhadap pernikahan Sirri yang telah dilakukan, untuk mendapatkan akta
nikah sebagai bukti keabsahan pernikahan yang telah dilakukan. Seperti
yang telah dijelaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) bahwa
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam, serta
dijelaskan pula dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan Perkawinan dalam pelaksanaanya diatur dengan
PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975
bab II pasal 2 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, pencatatan Perkawinan dari
mereka yang melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh pegawai
pencatat, sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang No. 3 Tahun 1954,
tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah
merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan) perkawinan. Tanpa akta perkawinan
yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada perkawinan. Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Akta Nikah dan
pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat bukti keberadaan atau keabsahan
perkawinan, karena itu, walaupun sebagai alat bukti tetapi bukan sebagai alat
bukti yang menentukan sahnya perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah yang
menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan[7]. Kalau demikian, fungsi dan kedudukan
pencatatan perkawinan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (bagi
pasangan suami istri yang beragama Islam) adalah untuk menjamin ketertiban
hukum[8] (legal order).
Tidak ada yang meragukan pentingnya ketertiban hukum
sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, di samping sebagai salah
satu alat bukti adanya perkawinan. Karena itu, bagi pasangan suami istri yang
telah melangsungkan perkawinan menurut hukum agamanya[9], tetapi belum dicatat, cukup dilakukan
pencatatan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan
dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan
Agama.
Dari uraian di atas, jelas bahwa perkawinan yang
diitsbatkan oleh Pengadilan Agama adalah perkawinan yang dilakukan menurut
hukum agama (syari’at Islam), akan tetapi tidak tercatat atau dicatatkan.
Dengan kata lain, Pengadilan Agama hanya akan mengabulkan permohonan itsbat
nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan itu memenuhi rukun dan
syarat perkawinan secara syariat Islam dan tidak melanggar larangan perkawinan
yang diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dinyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam,
menyatakan : “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
sesuai denngan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, jelas bahwa
bagi orang Islam, sahnya perkawinan yang dilakukan harus memenuhi ketentuan
hukum perkawinan dalam Islam, yaitu terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya serta
tidak melanggar larangan-larangan perkawinan.
Pada dasarnya kewenangan perkara itsbat nikah bagi
pengadilan agama dalam sejarahnya diperuntukkan bagi mereka yang
melakukan pernikahan dibawah tangan sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan., jo. Peraturan Pemerintah tentang Nomor 9 Tahun
1975; penjelasan pasal 49 ayat (2) yang berbunyi: “Mulai berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan secara efektif dari
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, serta dalam Pasal
64 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi : “Untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini
berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah”.
Namun kemudian kewenangan ini berkembang dan diperluas
dengan dipakainya ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat (2)
dan (3). Dalam ayat (2) disebutkan : ”Dalam hal perkawinan tidak dapat
dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke
Pengadilan Agamanya”. Pada ayat (3) disebutkan : Itsbat nikah yang diajukan ke
Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan ; a.
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya
akta nikah; c. Adanya keraguan
tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; dan e.
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-undang nomor 1 Tahun 1974.[10]
Dengan melihat uraian dari pasal 7 ayat (2) dan (3) KHI
tersebut, berarti bahwa KHI Telah memberikan kewenangan lebih dari yang
diberikan oleh Undang-undang, baik oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan maupun Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 14 Tahun 1970 beserta
penjelasannya menentukan bahwa adanya kewenangan suatu Peradilan untuk
menyelesaikan perkara yang tidak mengandung unsur sengketa (voluntair)
adalah dengan syarat apabila dikehendaki (adanya ketentuan/penunjukan)
oleh Undang-undang. Mengenai itsbat nikah ini ada PERMENAG Nomor 3 Tahun
1975 yang dalam pasal 39 ayat (4) menentukan jika KUA tidak bisa
membuatkan duplikat akta nikah karena catatannya telah rusak atau
hilang atau karena sebab lain, maka untuk menetapkan adanya nikah,
talak, cerai, maupun rujuk, harus dibuktikan dengan keputusan (dalam
arti penetapan) Pengadilan Agama; akan tetapi hal ini berkaitan dengan
pernikahan yang dilaksanakan sebelum Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bukan
terhadap perkawinan yang terjadi sesudahnya.
Permohonan itsbat nikah diajukan ke Pengadilan
Agama oleh mereka yang tidak dapat membuktikan perkawinannya dengan Akta Nikah
yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah[11] karena tidak tercatat. Permohonan itsbat
nikah yang diajukan oleh Pemohon, oleh Pengadilan Agama akan diproses
sesuai ketentuan hukum acara. Dalam buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis
Peradilan Agama 2008 yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI disebutkan
“Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan permohonan itsbat nikah,
sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah
secara syariat Islam dan perkawinan tersebut tidak melanggar larangan
perkawinan yang diatur dalam Pasal 8 s/d Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 jo. Pasal 39 s/d Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam”.
Atas dasar pengesahan atau penetapan itsbat nikah oleh
Pengadilan Agama itu, selanjutnya oleh pemohon akan digunakan atau dijadikan
dasar untuk mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan, dan atas dasar penetapan itu pula Pegawai Pencatat Nikah
akan mengeluarkan Buku Nikah atau Kutipan Akta Nikah.
Menurut penjelasan Pasal 49 Ayat (2) angka 22
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diamandemen dengan Undang-Undang No.
3 Tahun 2003 dan terakhir di rumah dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama bahwa salah satu kewenangan atau kompetensi absolut
Pengadilan Agama di bidang perkawinan adalah pernyataan sahnya perkawinan yang
terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain. Dan Pasal 7 Ayat (3) huruf d Kompilasi
Hukum Islam menegaskan, itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan
Agama terbatas pada adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Berdasarkan penjelasan pasal undang-undang tersebut dan
ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI), dapat dipahami
bahwa permohonan itsbat nikah yang dapat dimohonkan ke Pengadilan Agama
pada dasarnya hanya terhadap perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga secara a
contrario (mafhum mukhalafah) perkawinan yang dilaksanakan pasca
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengadilan agama tidak
berwenang untuk mengitsbatkannya.
Kenyataan di masyarakat masih banyak ditemukan perkawinan
yang dilakukan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang tidak
dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dengan berbagai
sebab dan alasan sehingga mereka tidak mempunyai Buku Nikah, yang kemudian
dimohonkan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.
Dari kenyataan tersebut, jelas bahwa pasangan suami istri
yang tidak mempunyai Buku Nikah karena perkawinannya tidak tercatat atau
dicatatkan, tidak dapat memperoleh hak-haknya untuk mendapatkan dokumen pribadi
yang dibutuhkan, termasuk anak-anak mereka tidak akan memperoleh Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil. Kalaupun kemudian Kantor Catatan Sipil menerbitkan
Akta Kelahiran, akan tetapi nama ayahnya tidak dicantumkan. Solusi yang dapat
ditempuh oleh mereka adalah mengajukan permohoan itsbat nikah ke
Pengadilan Agama[12].
Penetapan itsbat nikah yang dikeluarkan oleh
pengadilan agama itu, kemudian digunakan atau akan dijadikan dasar untuk
mencatatkan perkawinan mereka pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama,
dan selanjutnya Kantor Urusan Agama akan menerbitkan Buku Nikah atau Kutipan
Akta Nikah.
Kendala utama bagi Pengadilan Agama untuk dapat
menjalankan fungsinya secara optimal melakukan itsbat nikah terhadap
perkawinan yang tidak tercatat atau dicatatkan adalah tidak adanya payung hukum
yang kuat.
C. PENUTUP
Perkawinan
telah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Pada dasarnya UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sumber hukum materiil dalam lingkungan
peradilan. Namun saat ini dalam perkara peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada
UU tersebut. Sebagai contoh dalam masalah Itsbat Nikah dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) dijelaskan bahwa Itsbat nikah yang diajukan
ke Pengadilan Agama terbatas ketika adanya perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.
Perkawinan
telah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Pada dasarnya UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sumber hukum materiil dalam lingkungan
peradilan. Namun saat ini dalam perkara peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada
UU tersebut. Sebagai contoh dalam masalah Itsbat Nikah dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) dijelaskan bahwa Itsbat nikah yang diajukan
ke Pengadilan Agama terbatas ketika adanya perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.
Namun oleh
karena itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka hakim
Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi tersebut, kemudian
mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat
(3) huruf e Kompilasi Hukum Islam.
Penetapan itsbat
nikah yang dikeluarkan oleh pengadilan agama itu, kemudian digunakan atau
akan dijadikan dasar untuk mencatatkan perkawinan mereka pada Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama, dan selanjutnya Kantor Urusan Agama akan menerbitkan
Buku Nikah atau Kutipan Akta Nikah.
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo,
Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Pisafat Hukum, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Kartaapoetra,
Rien G. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Bina Aksara,1988.
M. Zein,
Satria Efendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta:
Kencana, 2005.
Manan, Bagir, Keabsahan
dan Syarat-Syarat Perkawinan Antar Orang Islam Menurut UU No.1 Tahun 1974, makalah
yang disampaikan dalam Seminar Nasional “Problematika Hukum Keluarga dalam
Sistem Hukum Nasional Antara Realitas dan Kepastian Hukum” di Jakarta 1 Agustus
2009.
Menteri Agama
Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan, Waris
Perwakafan, Impres No. 1 TH 1991 berikut penjelasan, Surabaya: Karya Anda,
1991.
Partanto, Pius
A dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Akola, 1994.
Purbacaraka,
Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perih Kaidah Hukum, Bandung: Alumini,
1978.
Rasyid, Chatib
dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan
Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009.
Salim,
Nashruddin. “Itsbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (tinjauan yuridis,
filosofis, dan sosiologis),” Mimbar Hukum, September-Oktober, 2003.
Siswosoediro,
Henry S. Pintar Pengurusan Perizinan & Dokumen (Panduan untuk Pelaku
Usaha dan Masyarakat Umum), Jakarta: Visimedia, 2008.
Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[5] Henry S. Siswosoediro, Pintar Pengurusan Perizinan
& Dokumen (Panduan untuk Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum), (Jakarta:
Visimedia, 2008), h. 146.
[6] Pasal tersebut berbunyi “ Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai hangan perkawinan menurut menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
[7] Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan
Antar Orang Islam Menurut UU No.1 Tahun 1974, makalah yang disampaikan
dalam Seminar Nasional “Problematika Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional
Antara Realitas dan Kepastian Hukum” di Jakarta 1 Agustus 2009 : 5-6.
[8]Sedangkan menurut Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto, hukum bertujuan untuk memberikan kedamaian hidup
antarpribadi yang meliputi ketertiban eksternal antarpribadi dan ketenangan
inter pribadi. Lihat: Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perih
Kaidah Hukum, (Bandung: Alumini, 1978), h. 67. Sedangkan menurut Roscoe Pound,
salah seorang pendukung Sociological Jurisprudence yang dikutip
pendapatnya oleh Prof. Darji Darmodiharjo, SH., bahwa hukum berfungsi sebagai
alat untuk merekayasa masyarakat dan menjadi instrumen untuk mengarahkan
masyarakat menuju tujuan yang diinginkan, bahkan kalau perlu menurutnya,
menghilangkan kebiasaan masyarakat yang dipandang negatif. Lihat Pula: Darji
Darmodiharjo, dan Shidarta, Pokok-Pokok Pisafat Hukum, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 197.
[9]Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
[10] Nashruddin Salim, “Itsbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum
Islam (tinjauan yuridis, filosofis, dan sosiologis),” Mimbar Hukum, 62
(September-Oktober, 2003), 70.
[12] Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press,
2009), h. 21.
0 komentar:
Posting Komentar