Oleh Fitriah
Fitriah 241171@yahoo.com
Fakultas Hukum
Universtas Palembang
This study aims to determine the evidentiary Copyright
including folklore According to Law No.19 of 2002 and how the role of the state
in an effort to provide protection of folklore and other cultural products to
run optimally. This research is a normative or doctrinal law, also called the
research literature or studies document the approach legislation and a
systematic approach, a method based approach to collecting materials that
already exist, the material is done kondifikasi into golongan- groups
systematically. The data obtained in this study were collected using data
collection methods, namely the method of approach to the study of literature.
The results of the research that Copyright is essentially a monopoly of its
exclusive rights, which rights were obtained automatically when a creature is
born. Proof of copyright is only required if a dispute arises, if there is no
denying that the creation of property rights over its someone he does not need
to prove that the creation of hers. And to protect folklore and works of popular
culture, the government can prevent monopoly or the commercialization and
actions that undermine or exploit without the permission of the Republic of Indonesia as a copyright holder.
Protection of copyright in folklore is only given to the folklore that has been
documented by the state.
Keywords: Right Folklore
ABSTRAK
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pembuktian Hak Cipta yang termasuk folklor Menurut UU No.19 Tahun 2002
serta
bagaimanakah peranan negara
dalam upaya memberikan
perlindungan terhadap folklor
dan
hasil kebudayaan lainnya agar dapat berjalan secara optimal . Penelitian ini adalah penelitian
hokum normative atau doktriner, yang disebut juga penelitian kepustakaan atau
studi dokumen dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan sistematik, yaitu
suatu metode pendekatan yang didasarkan dengan menghimpun bahan-bahan yang
sudah ada, terhadap bahan ini dilakukan kondifikasi ke dalam golongan-golongan
secara sistematis. Data yang diperoleh dalam penelitian ini yang dihimpun
dengan menggunakan metode pengumpulan data, yaitu metode pendekatan studi
kepustakaan. Hasil penelitian bahwa Hak Cipta pada
hakekatnya merupakan hak eksklusif yang sifatnya monopoli, dimana hak itu
didapat secara otomatis tatkala suatu ciptaan dilahirkan. Pembuktian terhadap
hak cipta hanya diperlukan apabila timbul suatu perselisihan, jika tidak ada
yang menyangkal bahwa hak milik seseorang atas ciptaan yang dimilikinya maka ia
tidak perlu membuktikan bahwa ciptaan tersebut miliknya. Dan untuk melindungi folklor dan hasil
kebudayaan rakyat, pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau
komersialisasi serta tindakan yang
merusak atau memanfaatkan tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai pemegang
hak cipta. Perlindungan hak cipta atas folklor hanya diberikan pada folklor
yang telah didokumentasikan oleh negara.
Kata Kunci : Hak
Folklor
I. LATAR
BELAKANG
Indonesia
sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat
kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa, dan agama yang
secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan
seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang
dapat dan perlu dilindungi oleh Undang-undang.Kekayaan itu tidak semata-mata
untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kemampuan dibidang perdagangan dan industri yang melibatkan para
penciptanya.Dengan demikian kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat
meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para penciptanya seja, tetapi juga
bangsa dan negara.
Indonesia telah
ikut serta dalam pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota dalam
Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade Related
Aspect of Intellectual Property Rights ( Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang
Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya disebut TRIPs, melalui Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1994. Selain itu Indonesia meratifikasi Konvensi Berne tentang
Perlindungan Karya Seni dan sastra, melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun
1997 dan World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (
perjanjian Hak Cipta WIPO),selanjutnya disebut WTC melalui Keputusan Presiden
Nomor 19 Tahun 1997.
Saat ini
Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta
sebagaimana telah beberapa kali mengalami perubahan, terakhir dengan Unda
TRIPs,namun masih terdapat beberapa hal yang perlu dissempurnakan untuk
memberikan perlindungan bagi karya-karya intelektual dibidang Hak Cipta.
Hak Cipta lahir
bersamaan dengan lahirnya suatu karya cipta/ciptaan. Hak Cipta yang dilindungi
adalah ciptaan dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra lahir bukan karena
diberikan yang dianggap telah ada sejak pertama kali diumumkan. Artinya sejak
dibacakan atau disuarakan atau disiarkan atau disebarluaskan dengan alat apapun
dan dengan cara apapun, sehingga dapat dibaca, didengar, atau dilihat oleh
orang lain. Hak Cipta tidak pula diberikan oleh Undang-undang termasuk
Undang-undang Hak Cipta (UUHC) itu sendiri,dan bahwa Undang-undang Hak Cipta hanya
mengakui dan memberi perlindungan Hukum.
Undang-undang
Hak Cipta tidak mewajibkan pendaftaran suatu hak cipta, tanpa pendaftaran hak
cipta tetap ada dan pendaftaran hanya bersifat fisilitatif dan hanya sebagai
bukti awal jika terjadi sengketa di Pengadilan. Hak Cipta harus original atau
berasal dari diri sendiri dan tidak mengenal copy atau meniru ciptaan orang
lain.
Tidak ada hak
cipta atas ide dan hak cipta karya ada pada wujud akhir, dan kelahirannya tidak
terkena pembatasan-pembatasan, kecuali bertentangan dengan kebijaksaan
Pemerintah sebagaimana maksud pasal 17 Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun
2002 bahwa “Pemerintah melarang Pengumuman setiap Ciptaan yang bertentangan
dengan kebijaksanaan Pemerintah dibidang agama, pertahanan dan keamanan Negara,
kesusilaan, serta ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak
Cipta”.
Hak Cipta
dianggap sebagai benda bergerak meskipun sifatnya tidak berwujud dan oleh
karena manunggal dengan penciptanya maka hak Cipta pada
prinsipnya tidak dapat disita kecuali jika perolehanya secara melawan hukum.
Mengenai hak
ini,Lili Rasjidi mengemukakan bahwa hak dapat bersifat moral dan dapat pula
sebagai suatu isi dari hukum. Hak dari segi moral merupakan suatu kepentingan
yang pelanggaran terhadapnya akan dikatakan sebagai kesalahan dari segi moral
dan mentaatinya dikatakan sebagai kewajiban moral. Hak dari segi hukum
merupakan kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh suatu peraturan
perundangan yang pelanggaran terhadapnya akan merupakan kesalahan dari segi hukum.
Berdasarkan
pasal 10 Undang-undang Hak Cipta, ayat (1) bahwa negara memegang Hak Cipta atas
kekayaan peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya,ayat
(2) Negra memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi
milik bersama, seperti cerita hikayat,dongeng, legenda, babad,lagu, kerajinan
tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya, dan untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat (2) ,orang yang bukan
warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang
terkait dalam maslah tersebut.
Folklor
dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh
kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial
dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti
secara turun temurun, termasuk :
a.
Cerita rakyat, puisi rakyat
b.
Lagu-lagu rakat dan musik instrumen tradisional.
c
Tari-tarian rakyat, permainan tradisional
d.
Hasil
seni antara lain berupa : lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, musik,
perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional.
Menyinggung sistem Hak
kekayaan Intelektual ke dalam ranah otonomi daerah, namun sebelum itu perlu
ditegaskan bahwa jauh sebelumnya sudah ada kebijakan untuk memberikan otonomi
daerah, Departemen Hukum dan HAM telah
mendelegasikan beberapa kewenangan dalam kaitan dengan pendaftaran Hak Kekayaan
Intelektual, dengan tujuan pokok untuk memudahkan masyarakat mendapatkan hak atas
karya intelektual mereka.
Sejak tahun 2001,
permohonan pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual dapat didaftarkan melalui
Kantor Wilayah Depertemen Hukum dan HAM disetiap provinsi, akan tetapi
keputusan final tetap berada di Direktorat Jenderal Hak kekayaan Intelektual
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di Tanggerang, ini
berarti kedudukan Kantor Wilayah depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Provinsi Sumatera Selatan ataupun provinsi lain dalam wilayah Republik
Indonesia hanya sebagai tempat pendaftarannya dan
meneruskannya berkas tersebut ke kantor pusat,
proses pemeriksaan administratif dan subtantif serta penerbitan sertifikatnya
tetap berada di Direktorat Hak Cipta Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual departemen Hukum dan Hak Asasi manusia republik Indonesia.
Kasus yang terjadi di
kota Palembang dimana Pemerintah telah mengusulkan pendaftaran HKI untuk produk
batik dan tenun tradisional kota Palembang, melalui Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Sumatera selatan sebanyak 71 (tujuh puluh satu) motif
songket, akan tetapi sampai saat ini belum menerima tanggapan tertulis terhadap
usulan pendaftaran HKI, karena motif batik tersebut termasuk kategori folklor.
Dalam hal penolakan
pendaftaran Hak Cipta yang dialami pihak Pemerintah Kota Palembang dan Dewan
kerajinan Nasional Daerah Kota Palembang, dimana upaya pihak pemerintah Kota Palembang dan
Deskranada Kota Palembang untuk mendaftarkan motif-motif tenun songket
tradisional masyarakat Palembang menemui kendala. Berdasarkan uraian diatas,
penulis tertarik untuk mengambil judul : PERANAN NEGARA DALAM MELINDUNGI HAK CIPTA
ATAS FOLKLOR
MENURUT UNDANG- UNDANG NO.19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA “.
A.
Permasalahan
Berdasarkan uraian pada
latar belakang di atas, maka permasalahan
dalam penelitian ini
adalah: Bagaimana
Pembuktian Hak
Cipta yang termasuk folklor Menurut
UU No.19 Tahun 2002 serta bagaimanakah peranan negara dalam upaya
memberikan perlindungan terhadap folklor dan
hasil kebudayaan lainnya agar dapat berjalan secara optimal .
B. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini termasuk bertujuan
untuk mengetahui pembuktian atas suatu hak ciptaan folklor dan kabudayaan lainnya menurut UU No.
19 tahun 2002 serta
peranan
negara agar dapat menjalankan hak ciptanya atas folklor
dan hasil kebudayaan lainnya secara optimal berdasarkan Undang-undang Nomor
19 tahun 2002 Tentang hak Cipta.
C. Metode Penelitian
Penelitian yang
akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara mempelajari, memahami,serta meneliti bahan-bahan
kepustakaan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan
yang akan diteliti.
1.
Pendekatan masalah
Dalam melakukan pembahasan tentang
identifikasi perbuatan pelanggaran hak cipta atas folklor, maka pendekatan
terhadap masalah dalam penulisan ini dilakukan dengan cara identifikasi dan
inventarisasi data. Identifikasi adalah keterangan lengkap tentang sesuatu
objek yang sedang diteliti. Sedangkan inventarisasi adalah pencatatan atau
pengumpulan data setelah diidentifikasi.
2.
Sumber Data
Data yang digunakan dalam penulisan
ini adalah data sekunder . Data sekunder adalah data yang bersumber dari studi
kepustakaan mengenai peraturan perundang-undangan. peraturan-peraturan lain,
buku-buku yang berkaitan dengan pokok bahasan yang akan diteliti.
3.
Metode Pengumpulan Data
Dalam memperoleh suatu data untuk
mengkaji atau memecahkan masalah dalam penulisan ini, maka metode yang
digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan studi pustaka, yaitu dengan
mempelajari buku-buku atau literatur dan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang diteliti dengan cara membaca,
mencatat, mengutip, memilih dan mengumpulkan data.
4.
Metode Pengolahan Data
Data yang diperoleh kemudian diolah
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
a.
Seleksi data, yaitu untuk memilih dan memeriksa
data yang diperoleh mengenai kelengkapan, kejelasan, dan kebenaran atas jawaban
data.
b.
Klasifikasi data, yaitu menempatkan data-data
menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan sesuai pokok pembahasan.
c.
Penyusunan data, yaitu menyusun dan menempatkan
data pada setiap pokok bahasan sistimatis sesuai dengan tujuan penulisan.
5.
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara
kualitatif yaitu dengan cara menguraikan hasil penelitian ke dalam bentuk
kalimat secara terperinci dan sistimatis. Dari uraian tersebut dilakukan
interprestasi data sehingga dapat diperoleh gambaran secara jelas dan
terperinci tentang pokok bahasan yang diteliti.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pembuktian
Terhadap
Hak Cipta Folklor Menurut UU No. 19 tahun 2002
Memahami
perlindungan hak cipta harus diawali dengan pemahaman terhadap konsepsi dasar
hak cipta. Di dalam Hak Cipta dikenal beberapa pelaku yang disebut dengan
pencipta. Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan ke dalam
bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Sangat jelas pencipta dapat dilakukan
terdiri dari perorangan yang bersifat individual atau kelompok yang terdiri
dari beberapa orang secaa bersama-sama.
Pencipta apabila mengekspresikan kreatifitas
dan imajinasinya akan melahirkan apa yang disebut dengan Ciptaan. Menurut
ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 19 Tahun 2002, Ciptaan adalah hasil
setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu
pengetahuan, seni dan sastra. Suatu ciptaan yang telah diekspresikan secara
nyata akan melahirkan hak cipta. Hak Cipta merupakan dasar kepemilikan atas
ciptaan yang telah diwujudkan oleh si pencipta. Secara lengkap Pasal 2 ayat ( 1
) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 menegaskan : “ Hak Cipta merupakan hak
eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
Dari penjelasan pasal di atas, maka dapat
dipertegas bahwa hak cipta pada hakekatnya merupakan hak eksklusif yang
sifatnya monopoli, dimana hak itu didapat secara otomatis tatkala suatu ciptaan
dilahirkan.
Teori Hak menurut Satjipto Rahardjo, “ bahwa
hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu
kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut.
Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan
keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak.”
Keberadaan
Hak Cipta pada awalnya sangat dipengaruhi oleh sistem hukum. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Carolyn Hotchkiss yang menyatakan :
Copyright law has used there different approaches in
its development. For civil law countries, copyright has protected both the
economic and moral rights of authors. Under civil law systems, owner of
copyrights still may have to recognize the rights of the original
authors…Common law legal systems tend to view copyrights as a protection solely
of economic interes. Socialist legal systems have historically been less
concerned with payment to authors than
with the management of culture for the purpose of the revolution.
Melihat pada pernyataan ini, sangat jelas
bahwa hak cipta juga sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang berlaku di suatu
Negara. Di sana dikatakan bahwa sistem hukum civil law sangat mengedepankan pada perlindungan hukum atas hak
moral dan hak ekonomi, sistem hukum common
law mengarah pada perlindungan kepentingan ekonomi si penerbit dan sistem
hukum sosialis justru tidak memperhatikan pada hak ekonomi si pengarang, namun
semua itu diorientasikan pada kepentingan revolusi. Namun demikian, kini hak
cipta dikenal juga sebagai hak monopoli. Di dalam hak monopoli ini ada dua hak
utama, yakni hak moral dan hak ekonomi.
Hak moral adalah hak yang melekat pada diri
si pencipta, sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi
dari ciptaannya.
Hak Cipta disusun untuk melindungi karya budaya, dan karena itu sedikit berbeda dari
hak-hak yang lain. Misalnya, bila seseorang memiliki sesuatu, ia biasanya
diakui sebagai pemegang hak kekayaan intelektual, Hak Kekayaan Intelektual
dapat dialihkan kepada orang lain.[1]
Hak Cipta merupakan hak kekayaan intelektual
dan juga dapat dialihkan kepada orang lain, karena itu hak cipta juga dinamakan
“ Hak Kekayaan Intelektual “. Dengan kata lain, Hak Cipta adalah hak yang dapat
dijadikan uang. Selain itu, Hak Cipta melekat pada ciptaan kreatif yang
dihasilkan oleh intelektualitas manusia, maka hak cipta juga dianggap hak milik
intelektual ( right of intellectual
ownership ) seperti hak paten, hak desain industri, dan hak merek.
Sistem hukum di Negara Inggris dan Amerika
sepanjang perjalanan sejarah menekankan segi hak kekayaan intelektual dari hak
cipta. Istilah hak cipta ( copyright
) dalam Bahasa Inggris artinya persis itu, yaitu hak menyalin ( the right to copy ), dan hak cipta pada
dasarnya adalah hak memperbanyak suatu ciptaan. Sebagai perbandingan,
Negara-negara yang lain, seperti Perancis dan Jerman, lebih menekankan hak
moral, sebuah konsep yang dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran sosial di
Eropa. Karena itu terjemahan harfiah istilah
Hak Cipta dalam Bahasa
Perancis dan Jerman adalah “ Hak Cipta” ( rights
of the author ). Singkatnya, Negara-negara ini lebih mementingkan konsep
melindungi alam intelektual si pencipta, yaitu falsafah dan prinsip-prinsipnya,
daripada konsep menaikkan nilai hak kekayaan intelektual atas suatu ciptaan
dengan cara membuat salinannya banyak-banyak dan menjualnya. Oleh karena itu
ide bahwa hak cipta memiliki dua ciri khas, yaitu hak kekayaan intelektual dan
hak moral, berkembang terutama di Eropa.
Di Asia, ide ini baru diperkenalkan baru-baru ini saja. Undang-undang hak
cipta, kecuali di beberapa Negara, baru diperkenalkan sejak pertengahan hingga
akhir abad ke-20.
Hak kekayaan intelektual atas ciptaan dapat
dikelompokkan ke dalam kategori-kategori berikut :[2]
1)
Hak Perbanyakan ( right of reproduction )
2)
Hak Mempertunjukkan ( right of performance )
3)
Hak Menyajikan ( right of presentation )
4)
Hak Menyebarkan ( right of public transmission )
5)
Hak Menuturkan ( right of recitation )
6)
Hak Memamerkan ( right of exhibition )
7)
Hak Distribusi, mengalihkan hak milik dan
meminjamkan ( right of distribution,
transfer of ownership and lending )
8)
Hak Menerjemahkan, Mengaransemen,
Mentransformasi, dan Mengadaptasi right
of translation, arrangement, transformation and adaptation )
9)
Hak Mengeksploitasi Ciptaan Turunan ( right in the exploitation of a derivative
work )
Pembuktian hanyalah diperlukan, apabila
timbul suatu perselisihan. Jika tidak ada seseorang yang menyangkal bahwa hak
milik seseorang atas ciptaan yang dimilikinya, maka ia tidak perlu membuktikan
bahwa ciptaan tersebut itu adalah
miliknya.
Teori Pembuktian menurut ketentuan dalam
Pasal 1865 B.W yang menyatakan “ Setiap orang yang mendalikan bahwa ia
mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah
suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan adanya hak atau
peristiwa tersebut.” Teori Hukum Pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat
bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di
pengadilan diperlukan beberapa syarat-syarat sebagai berikut:[3]
1.
Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai
sebagai alat bukti.
2.
Reability, yakni alat bukti tersebut dapat
dipercaya keabsahannya
( misalnya tidak palsu )
3.
Necessity, yakni alat bukti tersebut memang
diperlukan untuk membuktikan suatu fakta
4.
Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai
relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan
Dalam Hukum Acara Pidana dikenal sistem pembuktian
negatif dimana yang dicari adalah
kebenaran yang materiil atau kebenaran yang sesungguhnya sedangkan dalam hukum
Acara Perdata berlaku sistem pembuktian positif dimana yang dicari adalah
kebenaran yang formal. Sistem negatif adalah sistem pembuktian di depan
pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh Hakim, haruslah memenuhi dua
syarat mutlak :
1.
Alat bukti yang cukup, dan
2.
Keyakinan hakim
Menurut Prof. Kollewijn sebagaimana dikutip
oleh Soekardono ada dua jenis cara pendaftaran yaitu, Pendaftaran Konstruktif dan Pendaftaran
Deklaratif. [4]
Pendaftaran
Konstitutif, berarti bahwa hak atas ciptaan baru terbit karena pendaftaran yang
telah mempunyai kekuatan, sedangkan Pendaftaran Deklaratif adalah bahwa
pendaftaran itu bukanlah menerbitkan hak; melainkan hanya memberikan dugaan
atau sangkaan saja menurut undang-undang bahwa orang yang hak ciptaannya
terdaftar itu adalah ia berhak sebenarnya sebagai pencipta dari hak yang
didaftarkannya.
Dalam pendaftaran cara konstitutif letak
titik berat ada tidaknya hak cipta tergantung pada pendaftarannya, jika
didaftarkan dengan cara ini maka hak cipta itu diakui keberadaannya, jika
didaftarkan dengan cara ini maka Hak Cipta itu diakui keberadaanya secara de jure dan de facto, berbeda dengan cara deklaratif titik beratnya diletakkan
pada anggapan sebagai pencipta terhadap hak yang didaftarkan itu, sampai orang
lain dapat membuktikan sebaliknya, dengan kata lain pada sistem deklaratif
sekalipun hak cipta itu didaftarkan undang-undang hanya mengakui seolah-olah
yang bersangkutan sebagai pemiliknya, secara de jure harus dibuktikan lagi, jika ada orang lain yang menyangkal
hak tersebut.
B.
Peranan Negara Dalam Menjalankan Hak Ciptanya atas
Folklor Secara Optimal.
Pada bagian penjelasan Pasal 10 UUHC dikatakan bahwa untuk
melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah
adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan
komersial tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta.
Lebih lanjut disebutkan bahwa ketentuan
itu dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai
kebudayaan tersebut.
Paul Kuruk, yang tulisannya dimuat di American University Law
Review, berpendapat bahwa nilai kebudayaan dianggap rusak apabila terjadi
kehilangan permanen atas benda-benda yang tidak dapat digantikan ( permanent loss of irreplaceable property
). Hal-hal lain yang dianggapnya juga dapat merusak nilai kebudayaan adalah
penggunaan atau penunjukkan folklor di luar wilayah tradisional masyarakatnya,
penggunaan folklor untuk tujuan yang berbeda dengan tujuan awalnya, pembuatan
tiruan-tiruan komersial yang gagal untuk mewakili nilai-nilai komunal ( commercial copies of cultural works
misrepresent communal ).
Pasal 10 Undang-undang Hak Cipta menjadi dasar bagi Negara
untuk memegang Hak Cipta atas folklor. Dalam pasal tersebut juga ditetapkan
bahwa untuk mengumumkan atau memperbanyak folklor, orang yang bukan warga
Negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait
dalam masalah tersebut. Sampai saat ini pengaturan lebih lanjut mengenai sistem
perizinan tersebut belum ada.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, perlindungan Hak Cipta
hanya diberikan pada Ciptaan yang telah selesai dibuat. Dengan demikian,
perlindungan Hak Cipta atas folklor seharusnya hanya diberikan pada
folklor yang telah didokumentasikan oleh
Negara. Hanya Negara yang berhak untuk menentukan mana Ciptaan yang termasuk
folklor dan mana yang bukan. Opini
seorang ahli tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menetapkan suatu Ciptaan
sebagai folklor, walaupun opini tersebut
dilandasi oleh penelitian yang berkualitas. Oleh karena itu, beranjak dari hal
tersebut adalah penting untuk mempertanyakan, apakah seseorang dapat dianggap
melanggar Hak Cipta atas folklor, jika Ciptaan yang dianggap sebagai folklor
belum ditetapkan oleh Negara dan ketika peraturan mengenai izin penggunaan folklor
belum dibuat, ini adalah sesuatu yang harus dipikirkan secara mendalam oleh
para pembuat hukum.
Untuk membuat upaya perlindungan
terhadap folklor berjalan secara lebih optimal, maka ada beberapa hal yang
dapat dilakukan yaitu :
1. Pengaturan mengenai folklor harus
diperbaiki secara total. Perancangan ulang ketentuan-ketentuan mengenai folklor
harus mempertimbangkan penerapan perlindungan dalam format sistem sui
generis.
2. Pemerintah harus lebih aktif dalam
melakukan upaya perlindungan folklor, minimal dengan mengeluarkan pernyataan
atau dokumentasi resmi mengenai hal-hal yang dianggap folklor. Dokumentasi
tersebut seyogyanya dikeluarkan berdasarkan hasil penelitian ilmiah.
3. Pemerintah harus lebih banyak dan
lebih kreatif dalam melakukan kegiatan sosialisasi mengenai hak kekayaan
intelektual dan khususnya mengenai perlindungan folklor kepada masyarakat,
karena sebagian besar masyarakat masih sangat awam dengan itu.
4. Pemerintah harus dapat menempatkan
diri secara arif di tengah masyarakat, yaitu minimal dengan menjaga
netralitasnya dari berbagai konflik sosial atau sengketa hukum yang terkait hak
kekayaan intelektual atau perlindungan folklor.
III. PENUTUP
Dari uraian pada pembahasan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Hak Cipta
pada hakekatnya merupakan hak eksklusif yang sifatnya monopoli, dimana hak itu
didapat secara otomatis tatkala suatu ciptaan dilahirkan. Pembuktian terhadap
hak cipta hanya diperlukan apabila timbul suatu perselisihan, jika tidak ada
yang menyangkal bahwa hak milik seseorang atas ciptaan yang dimilikinya maka ia
tidak perlu membuktikan bahwa ciptaan tersebut miliknya.
2.
Untuk melindungi folklor dan hasil kebudayaan
rakyat, pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta
tindakan yang merusak atau memanfaatkan tanpa seizin negara Republik Indonesia
sebagai pemegang hak cipta. Perlindungan hak cipta atas folklor hanya diberikan
pada folklor yang telah didokumentasikan oleh negara.
DAFTAR PUSTAKA
Andar Purba, Penegakan Hukum HKI dalam
Perspektif Badan Peradilan, Makalah Seminar DJHKI,2005.
Budi Agus Riswandi, Perlindungan Data
Base Dalam Konteks Hukum Hak Cipta Indonesia www.google.com/akses Tgl 27/3/09
Bambang Waluyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar
Grafika, Jakarta, 1991.
Ditjen HKI Departemen
Hukum dan HAM RI-JICA, Kompilasi UU RI dibidang
HKI,Jakarta,2005.
Edy Damain, Hukum Hak Cipta, Bandung, Alumni, 2002.
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Remaja Rosdakarya, Bandung,1991.
Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah, Hak Kekayaan Intelektual (Sejarah Teori dan
Pratiknya di Indonesia), Bandung,Citra Aditya Bakti,1997.
O.K., Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1995.
R.Subekti,Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT.Intermasa,2005,
R. Subekti dan R.Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta,
PT. Pradnya Paramita, 2005.
Retnowulan S dan
Iskandar O,Hukum Acara Perdata Dalam
Teori Dan Praktek, Bandung, CV.Mandar Maju, 2005.
Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2000.
Tamotsu Hozomi, Asian Copyright Handbook, Terjemahan, ACCU-IKAPI, Jakarta, 2006.
0 komentar:
Posting Komentar