Oleh Barhamudin
Fakultas Hukum Universitas Palembang
bsuryaigama@yahoo.com
ABSTRACT
The purpose of this study is to
find out how the Regulation of Civil Servant Neutrality (PNS) in General
Election of Regional Head (Pemilukada) and to know the form of supervision
conducted by Panwaslu in relation to Civil Servant Neutrality. The method used
in this study is the method of normative (legal research) is the study of
doctrinal law, which is also called literature research or document studies. By
using several approaches method, namely: Method of systematic approach, that is
an approach method based on collecting materials that have been available, the
material is done to the classification of the classification systematically.
Type of research in the writing of this study is to use exploratory research,
which is a study conducted to obtain information, explanations, and data about
things that have not been known. The results showed that the arrangement of
neutrality listed in Article 2 of Law No. 5 of 2014 on State Civil Apparatus
states that one of the principles in this law is the principle of neutrality.
The meaning of "principle of neutrality" is that every ASN Employee
is impartial from any form of influence and is impartial to any interests. This
principle of tentunnya very important because the civil apparatus Neagra domiciled
as an element of the state apparatus that served to provide services to the
community professionally, honestly, justly and equitably in the implementation
of state tasks, government and development. In such positions and duties,
public servants should be neutral from the influence of all political parties
and parties and not discriminatory in providing services to the public. To
ensure the neutrality of public servants, civil servants are prohibited from
becoming members and or administrators of political parties. Legislation
regulating the civil servant's impartial position as a State Civil Apparatus in
Pilkada is sufficient and can guarantee legal certainty. In some cases in the
regions it is often found that the involvement of civil servants in succeeding
one of the candidate pairs of heads of regions, for getting the lure of
promotion or get promoted positions, if the candidate diusungnya sit as to the
selected areas. The result is that the promotion of a civil servant is not
based on objective judgment, and without regard to the quality and capability
in question.
Said Kunnci: Netralital, State Civil Apparatus,
Pilkada
ABSTRAK
Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Netralitas Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) dan untuk
mengetahui bentuk pengawasan yang dilakukan panwaslu dalam kaitannya dengan
Netralitas Pegawai Negeri Sipil. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode normatif (legal research) yaitu penelitian hukum doktriner, yang disebut juga
penelitian kepustakaan atau studi
dokumen.[1] dengan menggunakan beberapa metode
pendekatan, yaitu : Metode pendekatan sistematik, yaitu suatu metode pendekatan yang didasarkan
dengan menghimpun bahan bahan yang sudah tersedia, terhadap bahan ini dilakukan
kondifikasi kedalam golongan golongan secara sistematis. Tipe penelitian dalam
penulisan penelitian ini adalah menggunakan penelitian yang bersifat ekploratoris, yaitu
suatu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan,
dan data mengenai hal hal yang belum diketahui. Hasil penelitian menunjukan
bahwa pengaturan netralitas tercantum pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa salah satu asas dalam
undang-undang ini yaitu asas netralitas. Yang dimaksud dengan “asas netralitas”
adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh
manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Asas ini tentunnya
sangat penting karena Aparatur Sipil Neagra berkedudukan sebagai unsur aparatur
negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,
pemerintah dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas seperti itu, pegawai
negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak
deskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin
netralitas pegawai negeri, maka pegawai negeri
dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang posisi tidak memihak PNS sebagai
Aparatur Sipil Negara dalam Pilkada sudah cukup memadai dan dapat menjamin
kepastian hukum. Dalam beberapa kasus di daerah seringkali dijumpai
keterlibatan PNS dalam mensukseskan salah satu pasangan calon kepala daerah,
karena mendapat iming-iming kenaikan jabatan atau mendapat promosi jabatan,
jika calon yang diusungnya duduk sebagai kepada daerah terpilih. Akibatnya
adalah kenaikan pangkat seorang PNS tidak didasarkan pada penilaian yang
objektif, dan tanpa mempertimbangkan kualitas dan kemampuan yang bersangkutan.
Kata Kunnci : Netralital, Aparatur Sipil Negara, Pilkada
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara sebagai satu organisasi besar, baik
sebagai wadah (organisasi dalam pengertian statis) maupun sebagai proses kerja
sama (organisasi dalam pengertian dinamis) sejumlah besar manusia (yang
disebut bangsa) untuk mencapai tujuan atau cita-cita bangsanya memerlukan
proses pengendalian yang efektif dan efisien. Proses pengendalian itu disebut
Administrasi Negara dan diselenggarakan oleh aparatur pemerintah yang harus
menyelenggarakan kegiatan administrasi atau manajemen pemerintahan yang efektif
dan efisien bagi pencapaian tujuan atau cita-cita bangsanya.[2]
Pemerintah atau
Negara sebagai organisasi besar diselenggarakan oleh sejumlah besar manusia
yang disebut aparatur pemerintah dan tersebar dalam bentuk kelompok kelompok yang
cukup besar pula jumlahnya. Setiap kelompok itu mendapat sebagian tugas dari
keseluruhan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan dan bekerja di
lingkungan suatu satuan organisasi kerja dan
setiap orang, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama
harus mengerjakan pekerjaan tertentu yang terarah pada tujuan tertentu, dalam
rangka terwujudnya tujuan atau cita-cita bangsa. Satuan organisasi kerja yang
tidak sedikit jumlahnya itu tersebar dari tingkat yang tertinggi yang disebut
pemerintah pusat sampai ke daerah-daerah menjadi satuan organisasi unit kerja
yang lebih kecil dan lebih rendah tingkatannya di dalam kepemerintahan suatu
negara.[3]
Sejumlah orang
yang tergabung dalam satu satuan organisasi di lingkungan pemerintah tersebut
dalam melaksanakan tugasnya dapat bekerja sendiri-sendiri dan dapat pula
bersama-sama dalam hubungan kerja itu harus diatur untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan
dan pembangunan secar sitematis, agar pekerjaan berlangsung efektif dan efisien
dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Pengaturan hubungan
kerja itu, di lingkungan setiap satu satuan organisasi menghasilakn prosedur
kerja atau tata hubungan dan pentahapan
kerjasama yang digunakan secara sistematis untuk melaksanakan tugas pokok dan
tugas-tugas lainnya dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sistem manajemen
pegawai yang sesuai dengan kondisi pemerintahan saat ini, tidak murni
menggunakan unified system namun sebagai konsekuensi digunakannya kebijakan
desentralisasi maka dalam hal ini menggunakan gabung antara unified system dan
separated system, artinya ada bagian-bagian kewenangan yang telah menjadi
kewenangan pemerintah, dan ada bagian-bagian kewenangan yang diserahkan kepada
Daerah untuk selanjutnya dilaksanakan oleh pembina kepegawaian daerah. Prinsip
lain yang dianut adalah memberikan suatu keielasan dan ketegasan bahwa ada
pemisahan antara pejabat politik dan pejabat karier baik mengenai tata cara
rekruitmennya maupun kedudukan, tugas, wewenang, fungsi, dan pembinaannya.
Berdasarkan prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat
karier tertinggi pada pemerintah daerah.
Berkaitan dengan
pelaksanaan Pilkada, peran dan fungsi PNS sebagai pelayan masyarakat kembali
menjadi sorotan. Beberapa kasus Pilkada menunjukkan adanya keterlibatan PNS
dalam menyukseskan salah satu pasangan calon kepala daerah, karena adanya
iming-iming kenaikan jabatan atau mendapat promosi basah jika calon yang
diusungnya kelak duduk sebagai kepala daerah terpilih. Implikasi lebih jauh
adalah kenaikan pangkat seorang PNS selanjutnya tidak didasarkan pada penilaian
yang objektif dan tanpa mempertimbangkan kualitas dan kemampuan yang
bersangkutan. Jika keterlibatan PNS dalam politik praktis seperti itu dibiarkan,
tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada semakin buruk kualitas pelayanan
masyarakt serta semakin menterpurukan citra pemerintah dimata masyarakat.
Pegawai Negeri
berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam
penyelenggaran tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Konsekuensi dari
kedudukan dan tugas seperti itu, pegawai negeri harus netral dari pengaruh
semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralisasi pegawai negeri, maka
pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik demikan
dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. hal yang demikian
juga dinyatakan dalam Undang-Undang
Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara sebagai landasan hukum masalah
kepegawaian yang baru dan mengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 junto Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999.
Dalam penyelenggaraan
kebijakan dan Manajemen Aparatur Sipil Negara
berdasarkan pada asas:[4]
a. kepastian hukum;
b. profesionalitas;
c. proporsionalitas;
d. keterpaduan;
e. delegasi;
f. netralitas;
g. akuntabilitas;
h. efektif dan efisien;
i. keterbukaan;
j. nondiskriminatif;
k. persatuan dan kesatuan;
l. keadilan dan kesetaraan; dan
m. kesejahteraan.
Berkaitan dengan pelaksanaan Pilihan Langsung
Kepala Daerah (Pilkada) di beberapa daerah di Indonesia, posisi pegawi negeri
sipil (PNS) masih dianggap cukup terhormat dan diperhitungkan. Pada posisi
seperti itu, menempatkan PNS pada ranah yang strategis menjadi rebutan para kandidat
kepala daerah. Para kandidat kepada daerah yakin, satu PNS mampu manarik 5
sampai 10 orang bahkan bisa lebih. Kondisi semacam inilah yang ditengarai menjadi titik rawan PNS tidak
netral.
B. Permasalahan
Bagaimana pengaturan netralitas Pegawai
Negeri Sipil dalam Pilkada ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a.
Untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Netralitas
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).
b.
Untuk mengetahui bentuk pengawasan yang dilakukan
panwaslu dalam kaitannya dengan Netralitas Pegawai Negeri Sipil.
D. Manfaat penelitian
Adapun
Manfaat dari penelitian ini adalah:
a.
Diharapkan dapat memahami Netralitas Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dalam Pemilhan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).
b.
Sebagai sumbangsih dan referensi dalam pengembangan
ilmu dan pengetahuan, pada khususnya dalam studi ilmu hukum tata Negara dan
administrasi negara.
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode normatif (legal research) yaitu
penelitian hukum doktriner, yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen.[5] dengan menggunakan
beberapa metode pendekatan, yaitu :
1.
Metode pendekatan sistematik, yaitu suatu metode pendekatan yang didasarkan
dengan menghimpun bahan bahan yang sudah tersedia, terhadap bahan ini dilakukan
kondifikasi kedalam golongan golongan secara sistematis. [6]
2.
Tipe penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah
menggunakan penelitian yang bersifat ekploratoris, yaitu
suatu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan,
dan data mengenai hal hal yang belum diketahui.
Data yang diperoleh dalam penelitian yang
di himpun dengan menggunakan metode pengumpulan data, yaitu metode pendekatan
studi kepustakaan yang merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam
penelitian normatif dan di dalam
penelitian ini digunakan
pula data skunder,
yang memiliki kekuatan mengikat kedalam dan dibedakan dalam :[7]
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum
yang mempunyai kekuatan mengikat, yaitu : Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014
Tentang Aparatur Sipil Negara ; Undang-Undang
No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nnomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nnomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. PP No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil, PP Nomor 12 Tahun 1999 tentang PNS yang Menjadi Pengurus/Anggota
Partai Politik, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, dan lain-lain.
2. Bahan skunder, yaitu bahan-bahan yang
erat hubungannya dengan okum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami
bahan okum primer, seperti rancangan, hasil karya ilmiah para sarjana,
hasil-hasil penelitian.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan bahan
hukum skunder, seperti kamus dan ensiklopedia, indeks kumulatif, dan
sebagainya.
Data yang berhasil dihimpun kemudian
dianalisis secara kualitatif dengan menguraikan data secara sistimatis sehingga
dapat menjawab permasalahan yang ada.
II.
PEMBASAN
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 22 E (1) (2) dan
Pasal 18, Pilkada termasuk dalam kategori pemilu. Hal ini berarti bahwa Pilkada
(Pemilu) merupakan sarana kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan kepala
daerahnya sendiri secara otonom dan mandiri, terbukanya ruang publik (public
sphere) sebagai medium partisipasi publik untuk menyalurkan berbagai
pendapat dan pikiran rakyat serta tebentuknya ruang/wahana untuk mengembangkan
demokratisasi kehidupan sosial. Sebagaimana dikemukakan diatas, menurut Pasal 6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang ASN, bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan salah satu jenis
dari apartur sipil negara disamping itu ada Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja (PPPK). PNS sebagai penyelenggara pemerintahan harus tanggap
terhadap perkembangan yang terjadi pada semua aspek kehidupan ekonomi, sosial,
budaya, politik dan ketertiban serta mampu mengendalikan, membimbing dan mengarahkan
seluruh dimensi kehidupan bermasyarakat. Untuk mewujudkan semua itu, maka
diperlukan PNS yang profesional, mandiri dan tidak terlibat dalam kekuatan
sosial politik manapun (netral). Dengan demikian, dalam menyelenggarakan
pemerintahan, PNS harus menjunjung tinggi prinsip netralitas. Prinsip ini
merupakan basis idealisme pengabdian pelayanan publik yang prima dan disinilah
tanggungjawab, moralitas dan disiplin PNS diuji.
Sebenarnya persoalan netralitas birokrasi sudah menjadi pembicaraan lama di antara para
ahli. Hegel menyatakan bahwa
terdapat tiga kelompok dalam masyarakat,
yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang dalam hal
ini diwakili oleh para pengusaha dan profesi, kemudian kelompok kepentingan
umum (general interest) yang diwakili oleh negara, dan kelompok ketiga
adalah kelompok birokrasi.[8] Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam
masyarakat di atas menginginkan birokrasi harus berposisi di tengah
sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum yang dalam hal ini diwakili
negara dengan kelompok pengusaha dan profesi sebagai kelompok kepentingan
khusus. Jadi dalam hal ini birokrasi,
harus netral.
Pada sisi lain Wilson dan Goodnow menyatakan
perlunya memisahkan antara administrasi dengan politik yang arahnya adalah
menjaga agar masing-masing bertugas dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Admisnistrasi sebagai lembaga implementasi kebijakan, sedang politik sebagai
lembaga pembuat kebijakan. Sebagai lembaga implementasi pelaksana kebijakan
politik, birokrasi menurut Wilson dalam kaitannya dengan kenetralannya berada
di luar bagian politik. Sehingga permasalahan administrasi atau birokrasi hanya
terkait dengan persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala urusan politik (the
hurry and strife of politics). Menurut
Goodnow sendiri mengatakan bahwa ada dua fungsi pokok pemerintah yang
amat berbeda satu sama lain, yaitu politik dan administrasi. Politik berkaitan
dengan membuat dan merumuskan
kebijakan-kebijakan sedangkan administrasi berhubungan dengan pelaksanaan
Kebijakan.[9]
Dalam perspektif lain, netralitas birokrasi
dikemukakan oleh Francis Rourke yang mengatakan walaupun birokrasi pada mulanya
hanya berfungsi untuk melaksanakan kebijakan politik akan tetapi birokrasi bisa
berperan membuat kebijakan politik. Menurut Rourke, netralitas birokrasi dari
politik adalah hampir tidak mungkin, sebab jika partai politik mampu memberikan
alternatif program pengembangan dan mobilisasi dukungan maka birokrasi akan
melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan mencari dukungan politik di luar
partai yang dapat membantunya dalam merumuskan kebijakan politik. Dukungan
politik itu menurut Rourke dapat diperoleh melalui tiga konsentrasi yakni pada
masyarakat luar, pada legislatif dan pada diri birokrasi sendiri (executive
branch). Masyarakat luar itu berupa kalangan pers, pengusaha dan mahasiswa. Legislatif dari kalangan DPR, dan
birokrasi sendiri, misalnya dari kalangan perguruan tinggi.[10] Sedangkan menurut Nicholas Henry
birokrasi mempunyai kekuatan (power). Kekuasaan itu adalah kekuasaan
untuk tetap tinggal hidup selamanya (staying power) dan kekuasaan untuk
membuat keputusan (policy-making power).
PNS semata-mata hanya berkewajiban untuk
memberhasilkan politik negara yang tidak
dilaksanakan presiden secara berjenjang sampai ke level bawah. Hal ini
mengisyaratkan PNS harus benar-benar memahami politik negara atau pemerintahan,
sehingga dapat berperan maksimal dalam semua proses kebijakan yang
diorientasikan dalam rangka mencapai cita-cita negara. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengatur bahwa
PNS yang tidak netral atau berpihak kepada salah satu kandidat kepala daerah
akan ditindak tegas. Hal itu menimbulkan rasa skeptis dan pesimis, karena pada
tahap implementasi sangat sulit. Peringatan tinggal peringatan, pelanggaran
jalan terus. Pada tahap implementasi instrumen yang tersedia, menjadi macan
ompong menghadapi kenyataan di lapangan. Pada sisi lain, keberpihakan birokrasi
pemerintah kepada kekuatan politik atau pada golongan yang dominan membuat
birokrasi tidak steril.[11] Banyak virus yang terus menggerogotinya
seperti pelayanan yang memihak, jauh dari obyektifitas, terlalu birokratis
(bertele-tele) dan sebagainya. Akibatnya birokrasi merasa lebih kuat sendiri,
kebal dari pengawasan dan kritik.
Netralitas PNS dalam Pilkada bisa dilihat dari dua
aspek. Pertama, PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai kandidat
kepala daerah. Kedua, PNS yang terlibat baik karena dilibatkan atau melibatkan
diri. Untuk PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kandidat kepala
daerah, menurut Pasal 119 Pejabat
pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan
diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil
walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak
mendaftar sebagai calon.[12] Sedangkan menurut Pasal 121 Pegawai ASN dapat menjadi pejabat negara.
Adapun yang dimaksud pejabat Negara
menurut ketentuan Pasal 122
terdiri dari :
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;
e. Ketua, wakil ketua,
ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan
hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
f. Ketua, wakil ketua,
dan anggota Mahkamah Konstitusi;
g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
j. Menteri dan jabatan setingkat menteri;
k. Kepala perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar
Biasa dan Berkuasa Penuh;
l. Gubernur dan wakil gubernur;
m. Bupati/walikota dan wakil
bupati/wakil walikota; dan
n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 junto
Undang-undang Nomor Tahun 2015
menyatakan, bahwa mengenai persyaratan
calon sebagimana dinyatakan dalam Pasal 7 yaitu Warga negara Indonesia yang
dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon
Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bertakwa _kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
b. setia _epada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau
sederajat;
d. dihapus;
e. Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur
dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan
Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
f. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan
kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan _okum tetap;
i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan
kepolisian;
j. menyerahkan daftar kekayaan pribadi;
k. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
secara badan Negar yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan
Negara;
l. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan _okum tetap;
m. memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi;
n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota selama
2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon
Bupati, dan Calon Walikota;
o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk
Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota;
p. berhenti dari jabatannya
bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil
Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon;
q. tidak berstatus sebagai
penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota;
r. tidak memiliki konflik
kepentingan dengan petahana;
s. memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur,
Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota
Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
t. mengundurkan diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak
mendaftarkan diri sebagai calon; dan
u. berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon.
Dalam penjelasan pasal 7 Huruf g menjelaskan,
bahwa Persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai
menjalankan pidananya, terhitung 5 (lima) tahun sebelum yang
bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang
dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan
terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan
sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Orang yang dipidana penjara karena
alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini.
Pasal
204 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nnomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang menyatakan, bahwa pada saat Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 Pasal 42 ayat (2)
huruf f menegaskan bahwa pasangan yang diajukan oleh parpol atau gabungan
parpol wajib melampirkan surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri
bagi calon yang berasal dari PNS. Sedangkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2005 terutama pada lampiran bila kita cermati formulir model B6-KWK yang
harus dilampirkan untuk melengkapi berkas pencalonan, tentang surat pernyataan
kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah;
Menurut Pasal 123 ayat (1) Pegawai ASN dari PNS
yang diangkat menjadi ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua,
dan anggota Komisi Yudisial; ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi; Menteri dan jabatan setingkat menteri; Kepala perwakilan Republik
Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh diberhentikan sementara dari jabatannya dan tidak kehilangan
status sebagai PNS. Dalam ayat (2) dinyatakan Pegawai ASN dari PNS yang tidak menjabat lagi
sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaktifkan kembali
sebagai PNS.
Pada ayat (3) ditentukan, bahwa Pegawai ASN dari
PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden;
ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua,
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur;
bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran
diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.
Pasal 124
ayat (1) PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dapat menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi,
Jabatan Administrasi, atau Jabatan Fungsional, sepanjang tersedia lowongan
jabatan. Ayat (2) Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang
bersangkutan diberhentikan dengan hormat.
Pasal 125 Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengangkatan, pemberhentian, pengaktifan kembali, dan hak
kepegawaian PNS yang diangkat menjadi pejabat negara dan pimpinan atau anggota
lembaga nonstruktural diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dalam ketentuan Bab Penutup pada Pasal 139
merupakan ketentuan peralihan menyatakan, bahwa pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia
Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890)
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasarkan Undang Undang ini.
Pegawai Negeri Sipil yang diangkat menjadi Pejabat Negara
(termasuk Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah seperti Bupati, Wakil Bupati)
diberhentikan dari jabatan organiknya selama menjadi Pejabat Negara tanpa
kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri. Pegawai Negeri yang diangkat
menjadi Pejabat Negara tertentu tidak perlu diberhentikan dari jabatan
organiknya setelah selesai menjalankan tugasnya dapat diangkat kembali dalam
jabatan organiknya. Sementara itu, pada Peraturan Badan Kepegawaian Negara
(BKN) Nomor 5 Tahun 2005 2005 tentang PNS yang menjadi Calon Kepala
Daerah/Calon Wakil Kepala Daerah, semakin rinci diatur tentang PNS yang akan
menjadi kandidat dalam Pilkada. Hal ini sangat beralasan, mengingat BKN adalah
institusi yang paling berkompeten terhadap keberadaan PNS.
Pada pasal 6 ayat (1) Peraturan BKN Nomor 5 Tahun
2005 menyatakan bahwa (a) apabila PNS terpilih dan diangkat menjadi Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah diberhentikan dari jabatan organiknya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, (b) apabila tidak terpilih menajdi
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah diaktifkan kembali dalam jabatan negeri. Dari
aturan ini jelas PNS tidak perlu mundur, bahkan yang bersangkutan diaktifkan
kembali dalam jabatan negeri. Jangankan mundur dari PNS, yang bersangkutan
tidak perlu kehilangan jabatan. Bandingkan dengan aturan lain, apabila menjadi
anggota legislatif dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) PNS diwajibkan
mundur.
Pada konteks ini posisi PNS semakin kokoh, karena
syaratnya sangat sederhana. Pasal 6 ayat (2) menyatakan, pengaktifan kembali
dilakukan setelah yang bersangkutan mengajukan permohonan pengaktifan dalam
jabatan negeri kepada pejabat Pembina Kepegawaian, yang diberi tenggang waktu
selama 14 hari kerja setelah hasil Pilkada ditetapkan oleh Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD), sebagaimana pasal 6 ayat (3). Sedangkan pada Pasal 6 ayat
(4), posisi PNS yang menjadi kandidat dan gagal memenangkan Pilkada, diberi
peluang yang sangat bagus yaitu pejabat pembina kepegawaian paling lambat 14
hari kerja setelah menerima permohonan, menetapkan pengaktifan kembali PNS yang
tidak berhasil memenangkan Pilkada dalam jabatan semula. Ini semua
menggambarkan bahwa PNS yang gagal memenagkan Pilkada kalau masih berminat,
nyaris tanpa kesulitan, jabatan akan diperoleh kembali karena pejabat pembina
kepegawaian langsung menetapkan kembali tanpa syarat, kecuali tidak melebihi
masa tenggang 14 hari. Tidak diperlukan persyaratan yang rumit dan pertimbangan
lainnya.
Jika diperbandingkan dengan ketentuan Pada pasal
123 ayat (3) tersebut diatas, ketentuan
mengenai Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi
gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota
wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar
sebagai calon lebih menjamin kepastian hukum. Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2005 sebagai instrumen petunjuk pelaksana (juklak) dan peraturan BKN
sebagai instrumen petunjuk teknis (juknis) yang pro dan mengakomodasi PNS untuk
ikut berpartisipasi pada Pilkada sangat menguntungkan PNS, tetapi bisa menjadi
bumerang manakala kemudian hari ada sengketa hukum atau ada pihak-pihak yang
kalah lalu mempermasalahkan dengan cara judical review ke Mahkamah
Konstitusi.
Dalam manajemen kepegawaian di lingkungan PNS,
netralitas tercantum pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara menyatakan bahwa salah satu asas dalam undang-undang ini yaitu
asas netralitas. Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah bahwa setiap
Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak
memihak kepada kepentingan siapapun.
Asas ini
tentunnya sangat penting karena Aparatur Sipil Neagra berkedudukan sebagai
unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan
tugas negara, pemerintah dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas seperti
itu, pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik
serta tidak deskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk
menjamin netralitas pegawai negeri, maka pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus
partai politik. Untuk menjamin pelaksanaan netralitas PNS, sebelumnya telah
ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 1999 tentang PNS yang menjadi penggurus/anggota partai politik. Dalam
peraturan pemerintah tersebut ditentukan antara lain bahwa setiap PNS yang akan
menjadi anggota parpol harus terlebih dahulu mendapat izin dari atasan/pejabat
yang berwenang dan apabila diizinkan maka PNS yang bersangkutan harus
melepaskan jabatan negerinya dan kemudian berhenti sebagai PNS. Dari mekanisme
tersebut, maka seharusnya tidak terjadi seorang anggota/pengurus parpol masih
berstatus PNS dan menduduki jabatan negeri. Maka PNS yang menjadi anggota
partai politik harus menetapkan pilihannya untuk tetap PNS atau berhenti
menjadi PNS.
Pada sisi lain, dalam SE. MENPANRB Nomor:
B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli
2015 tentang Netralitas ASN dan Larangan
Penggunaan Aset Pemerintah Dalam pemilihan Kepala Daerah Serentah dan Surat
Edaran Menpan Nomor SE/08/M.PAN/3/2005 tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil
dalam pemilihan kepada daerah antara lain dinyatakan bahwa PNS yang menjadi
calon kepala dan atau wakil kepada daerah dilarang menggunakan anggaran
pemerintah, fasilitas yang terkait dengan jabatan dan melibatkan PNS lain guna
memberi dukungan kampanye. Sedangkan bagi PNS yang bukan calon kepala atau
wakil kepala daerah pada dasarnya SE Menpan tersebut berisi dua larangan.
Pertama, dari sisi internal dan instutusinya, PNS dilarang terlibat kegiatan
kampanye mendukung salah satu calon peserta pilkada dan menggunakan fasilitas
yang terkait jabatannya. Kedua, dari sisi penyelenggaraan pilkada, PNS dilarang
menjadi bagian dari Panitia Pengawasan Pemilihan (Panwas) dan menjadi anggota
Panitia Pemilihak Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Larangan yang dimaksudkan SE Menpan 08 Tahun 2005 tersebut
agar PNS dalam Pilkada bersikap netral yaitu dengan melarangnya menjadi PPK, PPS dan KPPS
diragukan kebenarannya di lapangan. Akar masalah netralitas PNS dalam Pilkada
tidak hanya bertumpu menjadi PPK, PPS, dan KPPS atau tidak. Bila anggota PPK,
PPS dan KPPS berbuat curang dengan mendukung salah satu calon. Secara langsung
masyarakat dapat mengetahuinya. Yang patut diragukan netralitasnya adalah
pejabat birokrat langsung maupun tidak langsung untuk mendukung calon tertentu.
Dukungan dapat melalui kebijakan, fasilitas, dan mobilitas PNS, serta fasilitas
seperti dilakukan beberapa kepala daerah saat pemilihan Presiden.
Sebenarnya, yang harus mendapat titik tekan
pelarangan PNS terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada langsung adalah dalam
konteks sebagai peserta, baik sebagai calon kepala daerah maupun tim kampanye
pendukung kepala daerah. Mereka memposisikan diri pada salah satu pihak;
keberpihakan merekalah yang sebetulnya harus "diharamkan" karena
ketika mereka memutuskan menjadi PNS keberpihakan mereka hanya kepada
kepentingan rakyat; mereka harus mengabdi demi rakyat, bukan demi satu-dua
kelompok atau satu-dua kepentingan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010
tentang Disiplin Pergawai Negeri Sipil yang memuat larangan bagi PNS adalah :[13]
Setiap PNS dilarang:
1. Menyalahgunakan wewenang;
2. Menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau
orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain;
3. Tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain
dan/atau lembaga atau organisasi internasional;
4. Bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya
masyarakat asing;
5. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau
meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat
berharga milik negara secara tidak sah;
6. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan,
atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk
keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan negara;
7. Memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik
secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat
dalam jabatan;
8. Menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga
yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya;
9. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
10. Melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang
dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga
mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;
11.Menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
12. Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dengan cara:
a. Ikut serta sebagai
pelaksana kampanye;
b. Menjadi peserta kampanye dengan
menggunakan atribut partai atau atribut PNS;
c. Sebagai peserta kampanye
dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
d. Sebagai peserta kampanye
dengan menggunakan fasilitas negara;
13. Memberikan dukungan kepada
calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara:
a. Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
b. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa
kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang
kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat;
14. Memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat
dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda
Penduduk sesuai peraturan perundangundangan; dan
15. Memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah, dengan cara:
a. Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk
mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
b. Menggunakan fasilitas
yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
c. Membuat
keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
d. Mengadakan kegiatan yang
mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum,
selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan,
atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota
keluarga, dan masyarakat.
Adapun sanksi bagi PNS yang tidak netral atau
menunjukan keberpihakan pada Pilkada dikenakan sanksi yaitu :
Dalam Pasal 7
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
Pergawai Negeri Sipil memuat tingkat hukuman disiplin terdiri dari:
a. hukuman disiplin ringan;
b.hukuman disiplin sedang; dan
c. hukuman disiplin berat.
Dalam kaitanya dengan Pilkada langsung ketidaknetralan
PNS merupakan tindakan yang dapat dikenakan hukuman disiplin sedang dan berat
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 12 dan pasal 13.
Pasal 12
Hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap larangan:
1. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan,
menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak,
dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang
bersangkutan;
2. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan,
atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk
keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 6, apabila
pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan;
3. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 9, apabila pelanggaran dilakukan dengan sengaja;
4. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang
dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga
mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
angka 10, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
5. menghalangi berjalannya tugas kedinasan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 11, apabila pelanggaran berdampak negatif bagi instansi;
6. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dengan cara ikut serta sebagai pelaksana kampanye, menjadi peserta kampanye
dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS, sebagai peserta kampanye
dengan mengerahkan PNS lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf
a, huruf b, dan huruf c;
7. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan
cara mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan
calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye
meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS
dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf b;
8. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat
dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda
Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
angka 14; dan
9. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada
keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum,
selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan,
atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota
keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf a
dan huruf d.
Pasal 13
Hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap larangan:
1. menyalahgunakan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 1;
2. menjadi perantara untuk
mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 2;
3. tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara
lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 angka 3;
4. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga
swadaya masyarakat asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 4;
5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau
meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat
berharga milik negara secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka
5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara;
6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan,
atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk
keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 6, apabila
pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara;
7. memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik
secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat
dalam jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 7;
8. menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga
yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 8;
9. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang
dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga
mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
angka 10, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
10. menghalangi berjalannya tugas kedinasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 angka 11, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah
dan/atau negara;
11. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
cara sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf d;
12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara
membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah
satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
angka 13 huruf a; dan
13. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,
dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan
kampanye dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 15 huruf b dan huruf c.
Demikian pula
hal yang sama terdapat dalam SE Menpan
No. 5 Tahun 2005 sanksi dimaksud adalah :
a. Hukuman disiplin tingkat berat berupa
penurunan pangkat setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun.
1) Bagi PNS yang melibatkan PNS lainnya untuk
memberikan dukungan dalam kampanye.
2) Bagi PNS yang duduk sebagai Panitia
Pengawas Pemilihan, kecuali dari unsur Kejaksaan dan Perguruan Tinggi atau
kecuali di daerah pemilihan tersebut tidak terdapat unsur sebagaimana dimaksud.
b. Hukuman disiplin tingkat berat berupa
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS dengan
hak-hak kepegawaian sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
1) Bagi PNS yang terlibat dalam kegiatan
kampanye untuk mendukung kepala atau wakil kepala daerah.
2) Bagi PNS yang menggunakan fasilitas yang
terkait dengan jabatannya dalam kegiatan kampanye.
3) Bagi PNS calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang tidak mematuhi kewajiban menjalani cuti selama proses
pemilihan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
4) Bagi PNS yang menjadi anggota Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK). Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), kecuali di daerah pemilihan tersebut
tidak ada tokoh masyarakat yang independen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.
c. Hukuman
disiplin tingkat berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil;
1) Bagi PNS yang tidak membuat surat
pernyataan kesanggupan menggundurkan diri dari jabatan negeri apabila terpilih
menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang diserahkan kepada
instansinya.
2) Bagi PNS yang menggunakan anggaran
pemerintah dan pemerintah daerah dalam proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
3) Bagi PNS yang menggunakan fasilitas yang
terkait dengan jabatannya dalam proses pemilihan Kepala Daerah danWakil Kepala
Daerah.
4)
Bagi
PNS yang membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan
salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
BAB III PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut : Dalam manajemen
kepegawaian di lingkungan PNS, netralitas tercantum pada Pasal 2 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa salah satu
asas dalam undang-undang ini yaitu asas netralitas. Yang dimaksud dengan “asas
netralitas” adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk
pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Asas ini
tentunnya sangat penting karena Aparatur Sipil Neagra berkedudukan sebagai
unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan
tugas negara, pemerintah dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas seperti
itu, pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik
serta tidak deskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk
menjamin netralitas pegawai negeri, maka pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus
partai politik.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang posisi tidak memihak PNS sebagai Aparatur Sipil Negara dalam Pilkada sudah
cukup memadai dan dapat menjamin kepastian hukum. Dalam beberapa kasus di
daerah seringkali dijumpai keterlibatan PNS dalam mensukseskan salah satu
pasangan calon kepala daerah, karena mendapat iming-iming kenaikan jabatan atau
mendapat promosi jabatan, jika calon yang diusungnya duduk sebagai kepada daerah
terpilih. Akibatnya adalah kenaikan pangkat seorang PNS tidak didasarkan pada
penilaian yang objektif, dan tanpa mempertimbangkan kualitas dan kemampuan yang
bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Batinggi. 1999.
Manajemen Pelayanan Umum. Jakarta: Universitas Terbuka.
Albrow, Martin. 1989. Birokrasi, Alih Bahasa M. Rusli
Karim dan Toto Daryanto. Yogyakarta: Tiara Wacana
Menpan, 1995 Peranan
Birokrasi Dalam Penyelenggaraan
Pelayanan, Pengayoman, dan Pengembangan, Prakarsa dan Peran Serta Aktif
Masyarakat Dalam Pembanguan. Makalah
Ryaas Rasyid, Muhammad,
1997, Kajian awal Birokrasi Pemerintahan Politik Orde Baru, Jakarta mipi Yarsif
Watampone.
Thoha, Miftah, 1993,
Beberapa Aspek Kebijaksanaan Birokrasi, Yogyakarta: MW Mandala.
Hadari Nawari, Pengawasan
Melekat Dilingkungan Aparatur Pemerintah, Erlangga, Jakarta, 1989,
Bambang Waluyo, Penelitian
Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991,
Bambang Sunggono,
Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997,
Hanif Nurcholis, Teori dan
Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2005,
Miftah Thoha, Manajemen
Kepegawaian Sipil di Indonesia, Cetakan Ke-5. Jakarta: Penerbit Prenadamedia
Group, 2014,
Moh. Mahfud
MD, Politik Hukum di Indonesia,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,1988
Miftah Thoha, Manajemen
Kepegawaian Sipil di Indonesia, Cetakan Ke-5. Jakarta: Penerbit Prenadamedia
Group, 2014,
Surjono Sukanto, Sosiologi
Suatu Pengantar, Jakarta: Graphindo Persada,
1982,
Sarwoto, Dasar-Dasar
Organisasi dan Manajemen, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986,
Sondang P. Siagian,
Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta, 1985.
DR. Winardi, Asas-Asas
Manajemen, Alumni, Bandung, 1979, .
I. GK. Manila, Praktek
Manajemen Pemerintahan Dalam Negeri, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996,
Miftah Thoha, Beberapa
Aspek Kebijaksanaan Birokrasi, MW Mandala, Yogyakarta, 1993,
Achmad Batinggi, Manajemen Pelayanan Umum,
Universitas Terbuka, Jakarta, 1999,
Undang-Undang Nomor 5 tahun
2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
UU No. 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nnomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nnomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentan
Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian. .
PP Nomor 12 Tahun 1999
tentang PNS yang Menjadi Pengurus/Anggota Partai Politik
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun
2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Surat Edaran Menpan Nomor
SE/08/MPAN/3/2005 tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan
Kepala Daerah
Peraturan Kepala Badan
Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 5/2005 tentang PNS yang menjadi Calon Kepala
Daerah/Wa
kil Kepala Daerah
[2] Hadari Nawari, Pengawasan Melekat
Dilingkungan Aparatur Pemerintah, Erlangga, Jakarta, 1989, hlm. 23.
[3] Ibid,
hlm. 50.
[4] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5
tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara,
[7] Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian
Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, Hal. 116.
[8] Miftah Thoha, Beberapa Aspek
Kebijaksanaan Birokrasi, MW Mandala, Yogyakarta, 1993, hlm. 19
[9] Miftah Thoha, Op.Cit, hlm. 24
[10] Achmad Batinggi, Manajemen Pelayanan
Umum, Universitas Terbuka, Jakarta, 1999, hlm. 42
[11]
Mifta Toha, Op.Cit. hlm. 20
[12] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara.
[13] Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 53
Tahun 2010 tentang Disiplin Pergawai Negeri Sipil
0 komentar:
Posting Komentar