Minggu, 13 Agustus 2017

PENGATURAN NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA DALAM PILKADA



Oleh  Barhamudin
Fakultas Hukum Universitas Palembang
bsuryaigama@yahoo.com

 

ABSTRACT

The purpose of this study is to find out how the Regulation of Civil Servant Neutrality (PNS) in General Election of Regional Head (Pemilukada) and to know the form of supervision conducted by Panwaslu in relation to Civil Servant Neutrality. The method used in this study is the method of normative (legal research) is the study of doctrinal law, which is also called literature research or document studies. By using several approaches method, namely: Method of systematic approach, that is an approach method based on collecting materials that have been available, the material is done to the classification of the classification systematically. Type of research in the writing of this study is to use exploratory research, which is a study conducted to obtain information, explanations, and data about things that have not been known. The results showed that the arrangement of neutrality listed in Article 2 of Law No. 5 of 2014 on State Civil Apparatus states that one of the principles in this law is the principle of neutrality. The meaning of "principle of neutrality" is that every ASN Employee is impartial from any form of influence and is impartial to any interests. This principle of tentunnya very important because the civil apparatus Neagra domiciled as an element of the state apparatus that served to provide services to the community professionally, honestly, justly and equitably in the implementation of state tasks, government and development. In such positions and duties, public servants should be neutral from the influence of all political parties and parties and not discriminatory in providing services to the public. To ensure the neutrality of public servants, civil servants are prohibited from becoming members and or administrators of political parties. Legislation regulating the civil servant's impartial position as a State Civil Apparatus in Pilkada is sufficient and can guarantee legal certainty. In some cases in the regions it is often found that the involvement of civil servants in succeeding one of the candidate pairs of heads of regions, for getting the lure of promotion or get promoted positions, if the candidate diusungnya sit as to the selected areas. The result is that the promotion of a civil servant is not based on objective judgment, and without regard to the quality and capability in question.

Said Kunnci: Netralital, State Civil Apparatus, Pilkada

ABSTRAK

 

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) dan untuk mengetahui bentuk pengawasan yang dilakukan panwaslu dalam kaitannya dengan Netralitas Pegawai Negeri Sipil. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif (legal research) yaitu  penelitian hukum doktriner, yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen.[1] dengan menggunakan beberapa metode pendekatan, yaitu : Metode pendekatan sistematik, yaitu  suatu metode pendekatan yang didasarkan dengan menghimpun bahan bahan yang sudah tersedia, terhadap bahan ini dilakukan kondifikasi kedalam golongan golongan secara sistematis. Tipe penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah menggunakan penelitian yang bersifat ekploratoris,  yaitu  suatu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan, dan data mengenai hal hal yang belum diketahui. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan netralitas tercantum pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa salah satu asas dalam undang-undang ini yaitu asas netralitas. Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Asas ini tentunnya sangat penting karena Aparatur Sipil Neagra berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas seperti itu, pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak deskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas pegawai negeri, maka pegawai negeri  dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang posisi tidak memihak PNS sebagai Aparatur Sipil Negara dalam Pilkada sudah cukup memadai dan dapat menjamin kepastian hukum. Dalam beberapa kasus di daerah seringkali dijumpai keterlibatan PNS dalam mensukseskan salah satu pasangan calon kepala daerah, karena mendapat iming-iming kenaikan jabatan atau mendapat promosi jabatan, jika calon yang diusungnya duduk sebagai kepada daerah terpilih. Akibatnya adalah kenaikan pangkat seorang PNS tidak didasarkan pada penilaian yang objektif, dan tanpa mempertimbangkan kualitas dan kemampuan yang bersangkutan.

Kata Kunnci : Netralital, Aparatur Sipil Negara,  Pilkada

 


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara sebagai satu organisasi besar, baik sebagai wadah (organisasi dalam pengertian statis) maupun sebagai proses kerja sama (organisasi dalam penger­tian dinamis) sejumlah besar manusia (yang disebut bangsa) untuk mencapai tujuan atau cita-cita bangsanya memerlukan proses pengendalian yang efektif dan efisien. Proses pengendalian itu disebut Administrasi Negara dan diseleng­garakan oleh aparatur pemerintah yang harus menyelenggarakan kegiatan administrasi atau manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien bagi pen­capaian tujuan atau cita-cita bangsanya.[2]
Pemerintah atau Negara sebagai organisasi besar diselenggarakan oleh sejumlah besar manusia yang disebut aparatur pemerintah dan  tersebar dalam bentuk kelompok ­kelompok yang cukup besar pula jumlahnya. Setiap kelompok itu mendapat sebagian tugas dari keseluruhan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan dan bekerja di lingkungan suatu satuan organisasi kerja dan  setiap orang, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama harus menger­jakan pekerjaan tertentu yang terarah pada tujuan tertentu, dalam rangka terwujudnya tujuan atau cita-cita bangsa. Satuan organi­sasi kerja yang tidak sedikit jumlahnya itu tersebar dari tingkat yang tertinggi yang disebut pemerintah pusat sampai ke daerah-daerah menjadi satuan organisasi unit kerja yang lebih kecil dan lebih rendah tingkatannya di dalam kep­emerintahan suatu negara.[3]
Sejumlah orang yang tergabung dalam satu satuan organisasi di lingkungan pemerintah tersebut dalam melaksanakan tugasnya dapat bekerja sendiri-sendiri dan dapat pula bersama-sama dalam hubungan kerja itu harus diatur untuk  melaksana­kan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan secar sitematis, agar pekerjaan berlangsung efektif dan efisien dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Pengaturan hubungan kerja itu, di lingkungan setiap satu satuan organisasi menghasilakn prosedur kerja atau  tata hubungan dan pentahapan kerjasama yang digunakan secara sistematis untuk melaksanakan tugas pokok dan tugas-tugas lainnya dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sistem manajemen pegawai yang sesuai dengan ­kondisi pemerintahan saat ini, tidak murni menggunakan unified system namun sebagai kon­sekuensi digunakannya kebijakan desentralisasi maka dalam hal ini menggunakan gabung antara unified system dan separated system, artinya ada bagian-bagian kewenangan yang telah menjadi kewenangan pemerintah, dan ada bagian-­bagian kewenangan yang diserahkan kepada Daerah untuk selanjutnya dilaksanakan oleh pembina kepegawaian daerah. Prinsip lain yang dianut adalah memberikan suatu keielasan dan ketegasan bahwa ada pemisahan antara pejabat politik dan pejabat karier baik mengenai tata cara rekruitmennya maupun kedudukan, tugas, wewe­nang, fungsi, dan pembinaannya. Berdasarkan prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier tertinggi pada pe­merintah daerah.
Berkaitan dengan pelaksanaan Pilkada, peran dan fungsi PNS sebagai pelayan masyarakat kembali menjadi sorotan. Beberapa kasus Pilkada menunjukkan adanya keterlibatan PNS dalam menyukseskan salah satu pasangan calon kepala daerah, karena adanya iming-iming kenaikan jabatan atau mendapat promosi basah jika calon yang diusungnya kelak duduk sebagai kepala daerah terpilih. Implikasi lebih jauh adalah kenaikan pangkat seorang PNS selanjutnya tidak didasarkan pada penilaian yang objektif dan tanpa mempertimbangkan kualitas dan kemampuan yang bersangkutan. Jika keterlibatan PNS dalam politik praktis seperti itu dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada semakin buruk kualitas pelayanan masyarakt serta semakin menterpurukan citra pemerintah dimata masyarakat.
Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaran tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Konsekuensi dari kedudukan dan tugas seperti itu, pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralisasi pegawai negeri, maka pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik demikan dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. hal yang demikian juga dinyatakan dalam  Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara sebagai landasan hukum masalah kepegawaian yang baru dan mengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 junto Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.
Dalam penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen Aparatur Sipil Negara  berdasarkan pada asas:[4]
a. kepastian hukum;
b. profesionalitas;
c. proporsionalitas;
d. keterpaduan;
e. delegasi;
f. netralitas;
g. akuntabilitas;
h. efektif dan efisien;
i. keterbukaan;
j. nondiskriminatif;
k. persatuan dan kesatuan;
l. keadilan dan kesetaraan; dan
m. kesejahteraan.
Berkaitan dengan pelaksanaan Pilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) di beberapa daerah di Indonesia, posisi pegawi negeri sipil (PNS) masih dianggap cukup terhormat dan diperhitungkan. Pada posisi seperti itu, menempatkan PNS pada ranah yang strategis menjadi rebutan para kandidat kepala daerah. Para kandidat kepada daerah yakin, satu PNS mampu manarik 5 sampai 10 orang bahkan bisa lebih. Kondisi semacam inilah yang ditengarai menjadi titik rawan PNS tidak netral.
B. Permasalahan
Bagaimana pengaturan netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pilkada ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a.         Untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).
b.         Untuk mengetahui bentuk pengawasan yang dilakukan panwaslu dalam kaitannya dengan Netralitas Pegawai Negeri Sipil.
D. Manfaat  penelitian
Adapun Manfaat   dari penelitian  ini adalah:
a.         Diharapkan dapat memahami Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pemilhan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). 
b.        Sebagai sumbangsih dan referensi dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan, pada khususnya dalam studi ilmu hukum tata Negara dan administrasi negara.
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif (legal research) yaitu  penelitian hukum doktriner, yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen.[5] dengan menggunakan beberapa metode pendekatan, yaitu :
1.      Metode pendekatan sistematik, yaitu  suatu metode pendekatan yang didasarkan dengan menghimpun bahan bahan yang sudah tersedia, terhadap bahan ini dilakukan kondifikasi kedalam golongan golongan secara sistematis. [6]
2.      Tipe penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah menggunakan penelitian yang bersifat ekploratoris,  yaitu  suatu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan, dan data mengenai hal hal yang belum diketahui.
Data yang diperoleh dalam penelitian yang di himpun dengan menggunakan metode pengumpulan data, yaitu metode pendekatan studi kepustakaan yang merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian normatif dan di dalam   penelitian   ini   digunakan   pula   data   skunder,   yang   memiliki   kekuatan  mengikat kedalam dan dibedakan dalam :[7]
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, yaitu : Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara ;  Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Undang-Undang  No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang  No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nnomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang,  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nnomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.  PP No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, PP Nomor 12 Tahun 1999 tentang PNS yang Menjadi Pengurus/Anggota Partai Politik, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan lain-lain.
2. Bahan skunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan okum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan okum primer, seperti rancangan, hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan bahan hukum skunder, seperti kamus dan ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.
Data yang berhasil dihimpun kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menguraikan data secara sistimatis sehingga dapat menjawab permasalahan yang ada.
II. PEMBASAN
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 22 E (1) (2) dan Pasal 18, Pilkada termasuk dalam kategori pemilu. Hal ini berarti bahwa Pilkada (Pemilu) merupakan sarana kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan kepala daerahnya sendiri secara otonom dan mandiri, terbukanya ruang publik (public sphere) sebagai medium partisipasi publik untuk menyalurkan berbagai pendapat dan pikiran rakyat serta tebentuknya ruang/wahana untuk mengembangkan demokratisasi kehidupan sosial. Sebagaimana dikemukakan diatas, menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014    tentang ASN, bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan salah satu jenis dari apartur sipil negara disamping itu ada Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). PNS sebagai penyelenggara pemerintahan harus tanggap terhadap perkembangan yang terjadi pada semua aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik dan ketertiban serta mampu mengendalikan, membimbing dan mengarahkan seluruh dimensi kehidupan bermasyarakat. Untuk mewujudkan semua itu, maka diperlukan PNS yang profesional, mandiri dan tidak terlibat dalam kekuatan sosial politik manapun (netral). Dengan demikian, dalam menyelenggarakan pemerintahan, PNS harus menjunjung tinggi prinsip netralitas. Prinsip ini merupakan basis idealisme pengabdian pelayanan publik yang prima dan disinilah tanggungjawab, moralitas dan disiplin PNS diuji.
Sebenarnya persoalan netralitas birokrasi  sudah menjadi pembicaraan lama di antara para ahli.  Hegel menyatakan bahwa terdapat  tiga kelompok dalam masyarakat, yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang dalam hal ini diwakili oleh para pengusaha dan profesi, kemudian kelompok kepentingan umum (general interest) yang diwakili oleh negara, dan kelompok ketiga adalah kelompok birokrasi.[8] Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam  masyarakat di atas menginginkan birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum yang dalam hal ini diwakili negara dengan kelompok pengusaha dan profesi sebagai kelompok kepentingan khusus. Jadi dalam hal ini birokrasi,  harus netral.
Pada sisi lain Wilson dan Goodnow menyatakan perlunya memisahkan antara administrasi dengan politik yang arahnya adalah menjaga agar masing-masing bertugas dan berfungsi sebagaimana mestinya. Admisnistrasi sebagai lembaga implementasi kebijakan, sedang politik sebagai lembaga pembuat kebijakan. Sebagai lembaga implementasi pelaksana kebijakan politik, birokrasi menurut Wilson dalam kaitannya dengan kenetralannya berada di luar bagian politik. Sehingga permasalahan administrasi atau birokrasi hanya terkait dengan persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala urusan politik (the hurry and strife of politics). Menurut   Goodnow sendiri mengatakan bahwa ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain, yaitu politik dan administrasi. Politik berkaitan dengan   membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan sedangkan administrasi berhubungan dengan pelaksanaan Kebijakan.[9]
Dalam perspektif lain, netralitas birokrasi dikemukakan oleh Francis Rourke yang mengatakan walaupun birokrasi pada mulanya hanya berfungsi untuk melaksanakan kebijakan politik akan tetapi birokrasi bisa berperan membuat kebijakan politik. Menurut Rourke, netralitas birokrasi dari politik adalah hampir tidak mungkin, sebab jika partai politik mampu memberikan alternatif program pengembangan dan mobilisasi dukungan maka birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan mencari dukungan politik di luar partai yang dapat membantunya dalam merumuskan kebijakan politik. Dukungan politik itu menurut Rourke dapat diperoleh melalui tiga konsentrasi yakni pada masyarakat luar, pada legislatif dan pada diri birokrasi sendiri (executive branch). Masyarakat luar itu berupa kalangan pers, pengusaha dan  mahasiswa. Legislatif dari kalangan DPR, dan birokrasi sendiri, misalnya dari kalangan perguruan tinggi.[10] Sedangkan menurut Nicholas Henry birokrasi mempunyai kekuatan (power). Kekuasaan itu adalah kekuasaan untuk tetap tinggal hidup selamanya (staying power) dan kekuasaan untuk membuat keputusan (policy-making power).
PNS semata-mata hanya berkewajiban untuk memberhasilkan politik negara yang tidak  dilaksanakan presiden secara berjenjang sampai ke level bawah. Hal ini mengisyaratkan PNS harus benar-benar memahami politik negara atau pemerintahan, sehingga dapat berperan maksimal dalam semua proses kebijakan yang diorientasikan dalam rangka mencapai cita-cita negara. Sejalan dengan  hal tersebut, pemerintah telah mengatur bahwa PNS yang tidak netral atau berpihak kepada salah satu kandidat kepala daerah akan ditindak tegas. Hal itu menimbulkan rasa skeptis dan pesimis, karena pada tahap implementasi sangat sulit. Peringatan tinggal peringatan, pelanggaran jalan terus. Pada tahap implementasi instrumen yang tersedia, menjadi macan ompong menghadapi kenyataan di lapangan. Pada sisi lain, keberpihakan birokrasi pemerintah kepada kekuatan politik atau pada golongan yang dominan membuat birokrasi tidak steril.[11] Banyak virus yang terus menggerogotinya seperti pelayanan yang memihak, jauh dari obyektifitas, terlalu birokratis (bertele-tele) dan sebagainya. Akibatnya birokrasi merasa lebih kuat sendiri, kebal dari pengawasan dan kritik.
Netralitas PNS dalam Pilkada bisa dilihat dari dua aspek. Pertama, PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai kandidat kepala daerah. Kedua, PNS yang terlibat baik karena dilibatkan atau melibatkan diri. Untuk PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kandidat kepala daerah, menurut Pasal  119 Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.[12] Sedangkan menurut Pasal  121 Pegawai ASN dapat menjadi pejabat negara. Adapun yang dimaksud pejabat Negara  menurut ketentuan Pasal  122 terdiri dari :
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;
e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
f. Ketua,   wakil   ketua,   dan   anggota   Mahkamah Konstitusi;
g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
j. Menteri dan jabatan setingkat menteri;
k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
l. Gubernur dan wakil gubernur;
m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan
n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 junto Undang-undang Nomor  Tahun 2015 menyatakan, bahwa  mengenai persyaratan calon sebagimana dinyatakan dalam Pasal 7 yaitu Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bertakwa _kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia _epada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat;
d. dihapus;
e. Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
f. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan _okum tetap;
i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang  dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian;
j. menyerahkan daftar kekayaan pribadi;
k. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan Negar yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan Negara;
l. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan _okum tetap;
m.  memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi;
n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota;
p.  berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon;
q.  tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota;
r.  tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana;
s. memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada  Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
t. mengundurkan diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon; dan
u. berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon.
Dalam penjelasan pasal 7 Huruf g menjelaskan, bahwa Persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah   selesai   menjalankan   pidananya,  terhitung 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini.
Pasal 204 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nnomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menyatakan, bahwa pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang  ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan  yang merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang  tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 Pasal 42 ayat (2) huruf f menegaskan bahwa pasangan yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol wajib melampirkan surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari PNS. Sedangkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 terutama pada lampiran bila kita cermati formulir model B6-KWK yang harus dilampirkan untuk melengkapi berkas pencalonan, tentang surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
Menurut Pasal 123 ayat (1) Pegawai ASN dari PNS yang diangkat menjadi ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan setingkat menteri; Kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh diberhentikan sementara dari jabatannya dan tidak kehilangan status sebagai PNS. Dalam ayat (2) dinyatakan  Pegawai ASN dari PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaktifkan kembali sebagai PNS.
Pada ayat (3) ditentukan, bahwa Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.
Pasal  124 ayat (1) PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dapat menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, atau Jabatan Fungsional, sepanjang tersedia lowongan jabatan. Ayat (2) Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.
Pasal  125 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan, pemberhentian, pengaktifan kembali, dan hak kepegawaian PNS yang diangkat menjadi pejabat negara dan pimpinan atau anggota lembaga nonstruktural diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dalam ketentuan Bab Penutup pada Pasal 139 merupakan ketentuan peralihan menyatakan, bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang Undang ini.
Pegawai Negeri  Sipil yang diangkat menjadi Pejabat Negara (termasuk Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah seperti Bupati, Wakil Bupati) diberhentikan dari jabatan organiknya selama menjadi Pejabat Negara tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri. Pegawai Negeri yang diangkat menjadi Pejabat Negara tertentu tidak perlu diberhentikan dari jabatan organiknya setelah selesai menjalankan tugasnya dapat diangkat kembali dalam jabatan organiknya. Sementara itu, pada Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 5 Tahun 2005 2005 tentang PNS yang menjadi Calon Kepala Daerah/Calon Wakil Kepala Daerah, semakin rinci diatur tentang PNS yang akan menjadi kandidat dalam Pilkada. Hal ini sangat beralasan, mengingat BKN adalah institusi yang paling berkompeten terhadap keberadaan PNS.
Pada pasal 6 ayat (1) Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2005 menyatakan bahwa (a) apabila PNS terpilih dan diangkat menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah diberhentikan dari jabatan organiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (b) apabila tidak terpilih menajdi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah diaktifkan kembali dalam jabatan negeri. Dari aturan ini jelas PNS tidak perlu mundur, bahkan yang bersangkutan diaktifkan kembali dalam jabatan negeri. Jangankan mundur dari PNS, yang bersangkutan tidak perlu kehilangan jabatan. Bandingkan dengan aturan lain, apabila menjadi anggota legislatif dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) PNS diwajibkan mundur.
Pada konteks ini posisi PNS semakin kokoh, karena syaratnya sangat sederhana. Pasal 6 ayat (2) menyatakan, pengaktifan kembali dilakukan setelah yang bersangkutan mengajukan permohonan pengaktifan dalam jabatan negeri kepada pejabat Pembina Kepegawaian, yang diberi tenggang waktu selama 14 hari kerja setelah hasil Pilkada ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), sebagaimana pasal 6 ayat (3). Sedangkan pada Pasal 6 ayat (4), posisi PNS yang menjadi kandidat dan gagal memenangkan Pilkada, diberi peluang yang sangat bagus yaitu pejabat pembina kepegawaian paling lambat 14 hari kerja setelah menerima permohonan, menetapkan pengaktifan kembali PNS yang tidak berhasil memenangkan Pilkada dalam jabatan semula. Ini semua menggambarkan bahwa PNS yang gagal memenagkan Pilkada kalau masih berminat, nyaris tanpa kesulitan, jabatan akan diperoleh kembali karena pejabat pembina kepegawaian langsung menetapkan kembali tanpa syarat, kecuali tidak melebihi masa tenggang 14 hari. Tidak diperlukan persyaratan yang rumit dan pertimbangan lainnya.
Jika diperbandingkan dengan ketentuan Pada pasal 123 ayat (3) tersebut diatas,   ketentuan mengenai Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon lebih menjamin kepastian hukum. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 sebagai instrumen petunjuk pelaksana (juklak) dan peraturan BKN sebagai instrumen petunjuk teknis (juknis) yang pro dan mengakomodasi PNS untuk ikut berpartisipasi pada Pilkada sangat menguntungkan PNS, tetapi bisa menjadi bumerang manakala kemudian hari ada sengketa hukum atau ada pihak-pihak yang kalah lalu mempermasalahkan dengan cara judical review ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam manajemen kepegawaian di lingkungan PNS, netralitas tercantum pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa salah satu asas dalam undang-undang ini yaitu asas netralitas. Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
 Asas ini tentunnya sangat penting karena Aparatur Sipil Neagra berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas seperti itu, pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak deskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas pegawai negeri, maka pegawai negeri  dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Untuk menjamin pelaksanaan netralitas PNS, sebelumnya telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999 tentang PNS yang menjadi penggurus/anggota partai politik. Dalam peraturan pemerintah tersebut ditentukan antara lain bahwa setiap PNS yang akan menjadi anggota parpol harus terlebih dahulu mendapat izin dari atasan/pejabat yang berwenang dan apabila diizinkan maka PNS yang bersangkutan harus melepaskan jabatan negerinya dan kemudian berhenti sebagai PNS. Dari mekanisme tersebut, maka seharusnya tidak terjadi seorang anggota/pengurus parpol masih berstatus PNS dan menduduki jabatan negeri. Maka PNS yang menjadi anggota partai politik harus menetapkan pilihannya untuk tetap PNS atau berhenti menjadi PNS.
Pada sisi lain, dalam SE. MENPANRB Nomor: B/2355/M.PANRB/07/2015  tanggal 22 Juli 2015  tentang Netralitas ASN dan Larangan Penggunaan Aset Pemerintah Dalam pemilihan Kepala Daerah Serentah dan Surat Edaran Menpan Nomor SE/08/M.PAN/3/2005 tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam pemilihan kepada daerah antara lain dinyatakan bahwa PNS yang menjadi calon kepala dan atau wakil kepada daerah dilarang menggunakan anggaran pemerintah, fasilitas yang terkait dengan jabatan dan melibatkan PNS lain guna memberi dukungan kampanye. Sedangkan bagi PNS yang bukan calon kepala atau wakil kepala daerah pada dasarnya SE Menpan tersebut berisi dua larangan. Pertama, dari sisi internal dan instutusinya, PNS dilarang terlibat kegiatan kampanye mendukung salah satu calon peserta pilkada dan menggunakan fasilitas yang terkait jabatannya. Kedua, dari sisi penyelenggaraan pilkada, PNS dilarang menjadi bagian dari Panitia Pengawasan Pemilihan (Panwas) dan menjadi anggota Panitia Pemilihak Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Larangan yang dimaksudkan SE Menpan 08 Tahun 2005 tersebut agar PNS dalam Pilkada bersikap netral yaitu  dengan melarangnya menjadi PPK, PPS dan KPPS diragukan kebenarannya di lapangan. Akar masalah netralitas PNS dalam Pilkada tidak hanya bertumpu menjadi PPK, PPS, dan KPPS atau tidak. Bila anggota PPK, PPS dan KPPS berbuat curang dengan mendukung salah satu calon. Secara langsung masyarakat dapat mengetahuinya. Yang patut diragukan netralitasnya adalah pejabat birokrat langsung maupun tidak langsung untuk mendukung calon tertentu. Dukungan dapat melalui kebijakan, fasilitas, dan mobilitas PNS, serta fasilitas seperti dilakukan beberapa kepala daerah saat pemilihan Presiden.
Sebenarnya, yang harus mendapat titik tekan pelarangan PNS terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada langsung adalah dalam konteks sebagai peserta, baik sebagai calon kepala daerah maupun tim kampanye pendukung kepala daerah. Mereka memposisikan diri pada salah satu pihak; keberpihakan merekalah yang sebetulnya harus "diharamkan" karena ketika mereka memutuskan menjadi PNS keberpihakan mereka hanya kepada kepentingan rakyat; mereka harus mengabdi demi rakyat, bukan demi satu-dua kelompok atau satu-dua kepentingan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pergawai Negeri Sipil yang memuat larangan bagi PNS adalah :[13]
Setiap PNS dilarang:
1.  Menyalahgunakan wewenang;
2. Menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang  lain      dengan menggunakan kewenangan orang lain;
3. Tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional;
4. Bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing;
5. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah;
6. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;
7. Memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan;
8. Menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya;
9. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
10. Melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;
11.Menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
12. Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:
      a. Ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
      b. Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut  PNS;
      c. Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
      d. Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
13. Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara:
a. Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
b. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat;
14. Memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundangundangan; dan
15. Memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:
     a.  Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
     b. Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
     c. Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
     d. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan  calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Adapun sanksi bagi PNS yang tidak netral atau menunjukan keberpihakan pada Pilkada dikenakan sanksi yaitu :
Dalam Pasal 7  ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pergawai Negeri Sipil memuat tingkat hukuman disiplin terdiri dari:
a. hukuman disiplin ringan;
b.hukuman disiplin sedang; dan
c. hukuman disiplin berat.
Dalam kaitanya dengan Pilkada langsung ketidaknetralan PNS merupakan tindakan yang dapat dikenakan hukuman disiplin sedang dan berat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 12 dan pasal 13.
Pasal 12
Hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap larangan:
1.  memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan;
2.   melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan;
3.   bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 9, apabila pelanggaran dilakukan dengan sengaja;
4.   melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 10, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
5.   menghalangi berjalannya tugas kedinasan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 11, apabila pelanggaran berdampak negatif bagi instansi;
6.   memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara ikut serta sebagai pelaksana kampanye, menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS, sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf a, huruf b, dan huruf c;
7.   memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf b;
8.   memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 14; dan
9.   memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf a dan huruf d.
Pasal 13
Hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap larangan:
1.  menyalahgunakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 1;
2. menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain   dengan menggunakan kewenangan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 2;
3.   tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 3;
4.   bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 4;
5.   memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara;
6.   melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara;
7.   memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 7;
8.   menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 8;
9.   melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 10, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
10. menghalangi berjalannya tugas kedinasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 11, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara;
11. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf d;
12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf a; dan
13. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf b dan huruf c.
Demikian pula hal yang sama terdapat  dalam SE Menpan No. 5 Tahun 2005 sanksi dimaksud adalah :
a.       Hukuman disiplin tingkat berat berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun.
1)      Bagi PNS yang melibatkan PNS lainnya untuk memberikan dukungan dalam kampanye.
2)      Bagi PNS yang duduk sebagai Panitia Pengawas Pemilihan, kecuali dari unsur Kejaksaan dan Perguruan Tinggi atau kecuali di daerah pemilihan tersebut tidak terdapat unsur sebagaimana dimaksud.
b.      Hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS dengan hak-hak kepegawaian sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
1)      Bagi PNS yang terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung kepala atau wakil kepala daerah.
2)      Bagi PNS yang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dalam kegiatan kampanye.
3)      Bagi PNS calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak mematuhi kewajiban menjalani cuti selama proses pemilihan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
4)      Bagi PNS yang menjadi anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), kecuali di daerah pemilihan tersebut tidak ada tokoh masyarakat yang independen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.
c.       Hukuman  disiplin tingkat berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil;
1)      Bagi PNS yang tidak membuat surat pernyataan kesanggupan menggundurkan diri dari jabatan negeri apabila terpilih menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang diserahkan kepada instansinya.
2)      Bagi PNS yang menggunakan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah dalam proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3)      Bagi PNS yang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dalam proses pemilihan Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah.
4)        Bagi PNS yang membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
BAB III PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :  Dalam manajemen kepegawaian di lingkungan PNS, netralitas tercantum pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa salah satu asas dalam undang-undang ini yaitu asas netralitas. Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Asas ini tentunnya sangat penting karena Aparatur Sipil Neagra berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas seperti itu, pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak deskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas pegawai negeri, maka pegawai negeri  dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang posisi tidak memihak PNS sebagai Aparatur Sipil Negara dalam Pilkada sudah cukup memadai dan dapat menjamin kepastian hukum. Dalam beberapa kasus di daerah seringkali dijumpai keterlibatan PNS dalam mensukseskan salah satu pasangan calon kepala daerah, karena mendapat iming-iming kenaikan jabatan atau mendapat promosi jabatan, jika calon yang diusungnya duduk sebagai kepada daerah terpilih. Akibatnya adalah kenaikan pangkat seorang PNS tidak didasarkan pada penilaian yang objektif, dan tanpa mempertimbangkan kualitas dan kemampuan yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Batinggi. 1999. Manajemen Pelayanan Umum. Jakarta: Universitas Terbuka.
Albrow, Martin. 1989. Birokrasi, Alih Bahasa M. Rusli Karim dan Toto Daryanto. Yogyakarta: Tiara Wacana
Menpan, 1995 Peranan Birokrasi Dalam  Penyelenggaraan Pelayanan, Pengayoman, dan Pengembangan, Prakarsa dan Peran Serta Aktif Masyarakat Dalam Pembanguan. Makalah
Ryaas Rasyid, Muhammad, 1997, Kajian awal Birokrasi Pemerintahan Politik Orde Baru, Jakarta mipi Yarsif Watampone.
Thoha, Miftah, 1993, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Birokrasi, Yogyakarta: MW Mandala.
Hadari Nawari, Pengawasan Melekat Dilingkungan Aparatur Pemerintah, Erlangga, Jakarta, 1989,
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991,
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, 
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2005,
Miftah Thoha, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Cetakan Ke-5. Jakarta: Penerbit Prenadamedia Group, 2014,
 Moh. Mahfud  MD,  Politik Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo  Persada,    Jakarta,1988
Miftah Thoha, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Cetakan Ke-5. Jakarta: Penerbit Prenadamedia Group, 2014,
Surjono Sukanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Graphindo Persada,    1982,
Sarwoto, Dasar-Dasar Organisasi dan Manajemen, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986,
Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta, 1985.
DR. Winardi, Asas-Asas Manajemen, Alumni, Bandung, 1979, .
I. GK. Manila, Praktek Manajemen Pemerintahan Dalam Negeri, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996,
Miftah Thoha, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Birokrasi, MW Mandala, Yogyakarta, 1993,
 Achmad Batinggi, Manajemen Pelayanan Umum, Universitas Terbuka, Jakarta, 1999,
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nnomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nnomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.   Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentan Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.    .
PP Nomor 12 Tahun 1999 tentang PNS yang Menjadi Pengurus/Anggota Partai Politik
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Surat Edaran Menpan Nomor SE/08/MPAN/3/2005 tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan Kepala Daerah
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 5/2005 tentang PNS yang menjadi Calon Kepala Daerah/Wa

kil Kepala Daerah


[1] . Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, Hal. 13.
[2] Hadari Nawari, Pengawasan Melekat Dilingkungan Aparatur Pemerintah, Erlangga, Jakarta, 1989, hlm. 23.
[3] Ibid, hlm. 50.
[4] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara,
[5] . Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, Hal. 13.
[6]  Ibid. Hal.70
[7]  Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, Hal. 116.
[8] Miftah Thoha, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Birokrasi, MW Mandala, Yogyakarta, 1993, hlm. 19
[9] Miftah Thoha, Op.Cit, hlm. 24
[10] Achmad Batinggi, Manajemen Pelayanan Umum, Universitas Terbuka, Jakarta, 1999, hlm. 42
[11] Mifta Toha, Op.Cit. hlm. 20
[12] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
[13] Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pergawai Negeri Sipil

0 komentar:

Posting Komentar