Minggu, 13 Agustus 2017

MENJADI KONSUMEN BIJAK DALAM MEMILIH PRODUK PANGAN



Oleh Marsitiningsih
Fakultas Hukum Universitas Palembang

Abstract

Food products are not harmful products, but they can be harmful because they are easily contaminated or toxic, if they are negligent or not careful in their manufacture or are negligent to keep distributing or deliberately unattractive food products that have expired. The government is authorized to establish requirements on food composition, in the consumer side should be a smart consumer to avoid being harmed in choosing food products on the market.
Keywords: Consumer Protection, Food Products

Abstak
Produk pangan bukanlah produk yang membahayakan, tetapi dapat berbahaya karena mudah tercemar atau mengandung racun, apabila lalai atau tidak berhati-hati dalam pembuatannya atau lalai untuk tetap mengedarkan atau sengaja tidak menarik produk pangan yang sudah kadaluarsa. Pemerintah berwenang untuk menetapkan persyaratan tentang komposisi pangan, disisi konsumen harus menjadi konsumen cerdas agar tidak dirugikan  dalam memilih produk pangan yang beredar di pasaran.

Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Produk Pangan



I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Palembang mengimbau masyarakat untuk untuk ikut terlibat aktif melindungi diri dari obat dan pangan yang berisiko terhadap kesehatan. Kita diajak untuk senantiasa cek sebelum membeli produk obat dan pangan, yakni cek kemasan dalam keadaan baik, baca informasi produk dalam label, lalu pastikan memiliki izin edar dan cek masa kadaluarsanya. Hal ini disampaikan oleh Arnold Sianipar, Kepala BBPOM Palembang dalam peringatan Hari Ulang Tahun BBPOM ke -16 di Jalan Tasik Palembang.[1]
Pesan edukasi yang disampaikan ini merupakan bentuk komunikasi pihaknya dengan dalam membangun masyarakat menjadi konsumen yang cerdas dalam membeli sebuah produk.  Cerdas khususnya dalam memilih obat dan pangan yang aman.
            Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Untuk mencapai semua itu perlu diselenggarakan suatu actor pangan yang memberikan perlindungan, baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengonsumsi pangan, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
            Sumber daya yang manusia berkualitas selain actor terpenting yang perlu memperoleh prioritas dalam pembangunan, juga sebagai salah satu actor penentu keberhasilan pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan antara lain oleh kualitas pangan yang dikonsumsinya.
            Kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan atau diperdagangkan  harus memenuhi ketentuan  tentang sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, residu cemaran dan kemasan pangan. Hal lain yang patut diperhatikan oleh setiap orang yang memproduksi pangan adalah penggunaan metode tertentu dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.    
Sedangkan dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan  disebutkan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatn makanan atau minuman.
Dalam kegiatan perdagangan pangan, masyarakat  yang mengonsumsi perlu diberikan sarana yang memadai agar memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan ketentuan mengenai label dan iklan tentang pangan.  Dengan demikian, masyarakat yang mengonsumsi pangan dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat, sehingga tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, yang pada gilirannya menumbuhkan persaingan yang sehat di kalangan para pengusaha pangan.Khusus menyangkut label atau iklan tentang pangan yang mencantumkan pernyataan bahwa pangan telah sesuai dengan persyaratan atau kepercayaan tertentu, maka orang yang membuat pernyataan tersebut harus bertanggung jawab terhadap kebenaran pernyataan dimaksud.

B. Permasalahan
Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan perlu memperhatikan ketentuan mengenai mutu  dan gizi pangan yang ditetapkan. Dalam upaya  meningkatkan kandungan gizi pangan olahan tertentu, Pemerintah berwenang untuk menetapkan persyaratan tentang komposisi pangan tersebut. Dari sisi konsumen, bagaimana langkah atau tindakan yang harus dilakukan supaya menjadi konsumen yang tidak dirugikan  dalam memilih produk pangan yang beredar di pasaran?  
 
II. PEMBAHASAN
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makan dan minum yang cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan kesehatan baik jasmani maupun rohani.
            Banyak pihak sangat berkepentingan dengan konsumen terutama bagaimana konsumen dapat memenuhi kebutuhan konsumsi  makannya. Pemerintah sangat memperhatikan  agar pangan/makanan  dapat tersedia dengan cukup di segala pelosok tanah air agar semua lapisan konsumen dapat menjangkau dan mampu membeli makanan tersebut. Dilain pihak , bagi organisasi bisnis terutama industri makanan, jumlah konsumen yang banyak merupakan potensi pasar bagi berbagai produk makanan yang dihasilkannya. Sektor swasta atau industri makanan perlu memahami kebiasaan dan perilaku makan konsumen , sehingga mereka mengetahui  makanan apa yang seharusnya diproduksi dan dipasarkan kepada konsumen.
Konsumen harus dilindungi dari berbagai makanan yang tidak aman dan merugikan konsumen.[2] Keamanan pangan merupakan salah satu onsum penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari. Dengan demikian, sesungguhnya pangan selain harus tersedia dalam jumlah yang cukup,  harga yang terjangkau juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu sehat, aman, dan halal.  Jadi,  sebelum pangan tersebut didistribusikan, harus memenuhi persyaratan kualitas, penampilan, dan cita rasa, maka terlebih dahulu pangan tersebut harus  benar-benar aman untuk dikonsumsi. Artinya, pangan tidak boleh mengandung onsum bahan berbahaya, seperti  cemaran pestisida, logam berat, mikroba pathogen ataupun tercemar oleh bahan-bahan yang dapat mengganggu kepercayaan ataupun keyakinan masyarakat.
            Menurut Undang-Undang Pangan, keamanan pangan diartikan sebagai kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dan kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu , merugikan dan membahayakan kesehatan. Dalam Undang-Undang pangan tersebut terlihat jelas bahwa keamanan pangan terkait langsung dengan kesehatan manusia, yang dapat terjadi sebagai akibat cemaran biologis, seperti L bakteri, virus, parasit dan cendawan; pencemaran kimia seperti:  pestisida, toksin (racun) dan logam berat serta pencemaran fisik seperti radiasi.
             Keamanan pangan di Indonesia masih jauh dari keadaan aman, yang dapat dilihat dari keracunan makanan yang banyak terjadi belakangan ini. Dalam kondisi demikian , konsumen pada  umumnya belum mempedulikan atau belum mempunyai kesadaran tentang keamanan makanan yang mereka konsumsi, sehingga belum banyak menuntut pelaku usaha untuk menghasilkan produk  makanan yang aman. Hal ini menyebabkan produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan konsumen demi untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebagai contoh : masih banyak produsen makanan yang senang menggunakan zat pewarna teksil untuk bernagai produk makanan dan minuman karena pertimbangan ekonomis. Berkembangnya industry teksil di Indonesia menyebabkan zat pewarna teksil semakin murah dan disalahgunakan pemanfaatannya oleh kalangan produsen makanan. Di lain pihak, konsumen memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang dikonsumsinya, sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam makanan dan sulit untuk menghindari resiko dari produk-produk makanan yang tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatan. Akhirnya konsumen dengan senang dan tanpa sadar mengonsumsi produk-produk makanan tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga yang lebih murah. Padahal pewarna tersebut merupakan bahan yang berbahaya yang menjadi sumber dari penyebab keracunan.
            Karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dalam memperoleh informasi, konsumen seringkali beranggapan bahwa pangan dengan harga tinggi identik dengan mutu yang tinggi pula. Bagi golongan ekonomi lemah, mereka akan memilih harga yang murah yang mampu mereka beli. Golongan ini lebih menitik beratkan pada harga yang terjangkau dari pada pertimbangan lainnya.
Mereka sudah merasa puas jika dapat membeli makan dengan harga murah meskipun produk tersebut bermutu rendah dan tidak terjamin keamanannya. Bagi golongan ekonomi tinggi, memilih pangan dengan harga yang tinggi atau memilih produk import juga menjadi perhatian . Namun, produk tersebut sesuai atau tidak dengan kondisi di  Indonesia dan bagaimana cara mereka memperlakukan makanan tersebut sehingga aman untuk dikonsumsi.[3]
            Perkembangan teknologi pengolahan pangan, di satu pihak memang membawa hal- hal yang positif, seperti peningkatan pengawasan mutu, perbaikan sanitasi, standardisasi pengepakan dan labeling serta grading. Namun di sisi lain, teknologi pangan akan menyebabkan semakin tumbuhnya kekhawatiran, semakin tinggi risiko tidak aman bagi makanan yang dikonsumsi. Teknologi pangan telah mampu membuat makanan-makanan sintesis, menciptakan bernagai macam zat pengawet makanan, zat additives dan zat-zat flavor. Zat-zat kimia tersebut merupakan zat-zat yang ditambahkan pada produk-  produk makanan sehingga produk tersebut lebih awet, lebih indah, lebih lembut dan lebih lezat. Produk-produk inilah yang lebih disukai konsumen untuk dikonsumsi.[4] Akan tetapi di balik semua itu, zat-zat kimia tersebut mempunyai dampak yang tidak aman bagi kesehatan. Dalam hal ini jarang sekali disadari konsumen, sehingga konsumen tetap mengonsumsinya dan semakin sering mengonsumsinya, zat-zat tersebut semakin menumpuk dan akhirnya menjadi racun.
            Agar pangan yang aman tersedia secara memadai, perlu diupayakan terwujudnya suatu onsum pangan yang mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat yang mengonsumsi pangan sehingga pangan yang diedarkan dan/atau diperdagangkan tidak merugikan serta aman bagi kesehatan jiwa manusia. Produk pangan yang dikonsumsi masyarakat pada dasarnya melalui suatu mata rantai proses yang meliputi produksi, penyimpanan, pengangkutan, peredaran hingga tiba di tanagn konsumen.[5] Agar keseluruhan mata rantai  tersebut memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan, maka perlu diwujudkan suatu onsum pengaturan, pembinaan dan pengawasan  yang efektif di bidang keamanan, mutu dan gizi pangan.[6]
            Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah dinyatakan secara tegas klausul tentang tanggung jawab yang harus diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen. Dalam pasal 19 ayat (1) disebutkan,  bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan .
            Mengacu pada onsum onsu yang dikembangkan oleh Friedman tentang tanggung jawab, terdapat terdapat 3 (tiga) substansi onsu tanggung jawab produk yang menjadi dasar tuntutan ganti kerugian konsumen.  Ketiga dasar tuntutan tersebut adalah:
1.      tuntutan karena kelalaian  (negligence),
2.      tuntutan karena wanprestasi ,
3.      atau ingkar janji (breach of warranty).
Hai ini dilakukan karena secara alamiah kedudukan atau posisi  konsumen tidak sama dengan produsen sebagai pelaku usaha .
            Akan tetapi, di dalam pasal 27 Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 dirumuskan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
a.       barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b.      cacat timbul akibat tidak ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
c.       kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
d.      lewatnyajangka waktu penuntutan yaitu 4 ( empat ) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan;
e.       cacat timbul di kemudian hari.
Perlu dipahami, bahwa onsu perlindungan konsumen timbul akibat adanya posisi konsumen yang sangat lemah , sehingga perlu mendapat perlindungan onsu. Salah satu sifat sekaligus tujuan onsu itu adalah memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat. onsu perlindungan konsumen merupakan bagian dari onsu konsumen yang memuat azas-azas dan kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen. Hukum perlindungan konsumen tidak dapat berdiri sendiri sebagai suatu system tetapi harus terintegrasi juga ke dalam suatu onsum perekonomian yang di dalamnya terlibat para pelaku usaha.
            Sistem perekonomian yang semakin kompleks berdampak pada perubahan konstruksi onsu dakam hubungan antara produsen dan konsumen. Perubahan konstruksi onsu diawali dengan perubahan paradigma hubungan antara konsumen dan produsen. Hubungan yang semula dibangun atas prinsip caveat emptor (yang menekankan konsumen harus berhati-hati dalam melakukan transaksi dengan produsen), berubah menjadi prinsip caveat venditor (yang menekankan kesadaran produsen untuk melindungi konsumen).[7]
            Ketidakseimbangan posisi antara produsen dan konsumen sangat perlu dikompensasi dengan berbagai upaya, baik melalui gerakan perlindungan konsumen, perangkat kelembagaan dan onsu maupun melalui berbagai upaya lain agar konsumen ons mengonsumsi produk barang atau jasa, khususnya pangan yang diinginkan secara lebih aman. Perlindungan untuk sejumlah besar konsumen di dalam usaha produksi pangan seperti ini merupakan keharusan. Karena perkembangan ekonomi dan industri yang maju membawa implikasi lain yang bersifat negative.[8]
            Untuk melindungi konsumen dari situasi tersebut, Pemerintah wajib untuk memikirkan berbagai kebijakan yang arahnya adalah untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen. Di Indonesia, melalui undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di dalam pasal 4 (empat) menetapkan 9 (Sembilan) hak konsumen yaitu :
1.      Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan /atau jasa;
2.      Hak untuk memilih barang dan /atau jasa serta mendapatkan barang dan /atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.      Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan /atau jasa;
4.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.      Hak untuk mendpatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6.      Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan onsume;
7.      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.      Hak untuk mendapatkan kompensasi , ganti  rugi dan /atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9.      Hak-hak yang diaatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

III. PENUTUP
            Beberapa  jenis produk seperti pangan dan obat-obatan pada dasarnya bukanlah produk yang membahayakan, tetapi mudah tercemar atau mengandung racun, yang apabila lalai atau tidak berhati-hati dalam pembuatannya atau lalai untuk tetap mengedarkan atau sengaja tidak menarik produk pangan yang sudah kadaluarsa. Kelalaian tersebut erat kaitannya dengan kemajuan di bidang industri yang menggunakan pola industry dan distribusi barang dan/atau jasa yang semakin kompleks.
Untuk melindungi konsumen agar menjadi konsumen yang tidak dirugikan  dalam memilih produk pangan yang beredar di pasaran, maka pemerintah wajib untuk memikirkan berbagai kebijakan yang arahnya adalah untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen. Di Indonesia, signifikansi hak-hak konsumen melalui undang-undang merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu Negara kesejahteraan, karena Undang-Undang Dasar 1945 beserta amandemennya di samping sebagai konstitusi politik juga disebut sebagai konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide Negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme abad ke 19. Indonesia melalui  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen menetapkan 9 (Sembilan) hak konsumen,  sebagai penjabaran dari Pasal  27 ayat ( 2 ) dan Pasal 33 Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA   
Harian Sriwijaya Post, Senin 27 Februari 2017
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Rudyanti Dovotea Tobing, Hukum Konsumen dan Masyarakat Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Lalitbang Mediatama
Wahyu Sasangko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung: Unila, 2007
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang P

angan


[1] Harian Sriwijaya Post, Senin 27 Februari 2017
[2] Ujang Sumarwan dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
[3] Ujang Sumarwan dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti , Ibid, hlm 79-80
[4] Ibid
[5] John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti , Ibid, hlm.171
[6] Ibid
[7] Inosentius Samsul dalam dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti , Ibid, hlm. 173.
[8] Didik j.Rahbini dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Ibid

0 komentar:

Posting Komentar