Oleh Abuyazid Bustomi
ABSTRACT
Before the entry
into force of the Basic Agrarian Law, customary land still belongs to an
alliance and an individual. The customary land they use in accordance with
their needs in utilizing and cultivating the land, the members of the
fellowship in taking action to use the customary land must first seek
permission from the customary head. The customary law referred to in the LoGA
is the original law of the indigenous people, which is a living law in an
unwritten form and contains the original national elements of social and
kinship, which are based on balance and are covered by religious atmosphere.
The customary law statements can be found in the LoGA on: UUPA Considerations
which argue that the Land Law is prepared under customary law. Customary Law
inherent in the community of Customary Law is not only interpreted as a
positive law as a series of legal norms. However, when further observed,
customary law is structured in a single order or system, with legal
institutions constantly changing and necessary in meeting the concrete needs of
indigenous and tribal peoples concerned. And it depends on the situation and
circumstances of the customary law community concerned.
Keywords: Land Law Based on Customary Law
ABSTRAK
Sebelum berlakunya
UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan perseorangan.
Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan
dan mengolah tanah, para anggota persekutuan dalam melakukan tindakan untuk
menggunakan tanah adat tersebut harus terlebih dahulu meminta izin dari
kepala adat. Hukum adat yang
dimaksud dalam UUPA adalah hukum asli golongan rakyat pribumi yang merupakan
hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur
nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan
keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. Pernyataan hukum adat dapat
dijumpai dalam UUPA pada : Konsiderans UUPA yang berpendapat Bahwa Hukum Tanah
disusun berdasarkan Hukum Adat. Hukum Adat yang melekat pada masyarakat Hukum
Adat tidak hanya diartikan sebagai hukum positif yakni sebagai rangkaian
norma-norma hukum. Namun apabila ditinjau lebih lanjut maka hukum adat disusun
dalam satu tatanan atau sistem, dengan lembaga-lembaga hukum yang senantiasa
berubah dan diperlukan dalam memenuhi kebutuhan kongkrit masyarakat-masyarakat
hukum adat yang bersangkutan. Dan hal tersebut sangat tergantung pada situasi dan keadaan masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.
Kata Kunci : Hukum Tanah Berdasarkan
Hukum Adat
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak
tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk
menjalani kelanjutan dalam kehidupan.
Oleh karena itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat, sehingga
sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah
– kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah. Di dalam Hukum
Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia
dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tanah
sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.
Hukum adat merupakan keseluruhan aturan adat yang tidak tertulis
dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang
mempunyai akibat hukum.[1] Dengan demikian hukum adat yang berlaku itu
hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para
ahli-ahli hukum. Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dinegara kita masih berlaku
dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan yaitu hukum Adat dan
Hukum Barat, Sehingga ada dua macam Hukum Tanah yaitu Hukum Tanah Adat atau
disebut Tanah Indonesia dan tanah Barat
yang biasanya disebut Tanah Erofah.[2]
Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan
terkenal bersifat ‘dualisme’, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas
tanah, ada yang dikuasai oleh hukum Eropa di satu pihak, dan yang dikuasai oleh
hukum adat, di pihak lain.[3]
Kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria salah
satunya dimaksudkan untuk mengakhiri dualisme hukum agraria di Indonesia dengan
menanggalkan kebhinekaan hukum di bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah
nasional yang tunggal. UUPA juga mengunifikasi hak-hak penguasaan atas tanah
maupun hak-hak atas tanah maupun hak-hak jaminan atas tanah. Hukum adat sebagai hukum yang dianut oleh
sebagian besar bangsa/masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan yang
istimewa dalam politik hukum agraria
nasional.
Pembangunan
hukum agraria nasional diarahkan pada berlakunya satu sistem hukum (unifikasi
hukum).[4] Hukum adat Indonesia dikenal sebagai perangkat hukum
yang beraneka ragam baik isi maupun norma-norma hukumnya. Tetapi kenyataanya yang beragam itu adalah
perangkat hukum yang mengatur bidang kekeluargaan dan warisan. Hukum adat
masyarakat yang mengatur pertanahan pada dasarnya ada keseragaman, karena
mewujudkan konsepsi, asas-asas hukum dan pengaturan yang sama dengan hak
penguasaan yang tinggi, yang di dalam perundag-undangan dikenal sebagai hak
ulayat.[5]
Lembaga-lembaga hukumnya bisa berbeda, karena ada perbedaan keadaan dan
kebutuhan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hukum Adat diartikan Hukum
Indonesia Asli, yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik
Indonesia yang disana sini mengandung unsur agama.[6]
B. Permasalahan
Bertitik
tolak dari penjelasan tersebut diatas, maka kita dapat melihat adanya dualisme
hukum adat di Indonesia. Sifat seperti ini adalah hal yang perlu dihindari
dalam lapangan hukum, sebab sifat dualisme dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum, suatu keadaan yang bertentangan dengan falsafah dan tujuan dari Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan (UUPA 1960), yang bertujuan untuk
mengunifikasi hukum pertanahan nasional, yang pada gilirannya munculkan
pertanyaan antara lain adalah :
1. Bagaimana kedudukan hukum
tanah adat setelah berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 ?
2. Apakah dualisme hukum tanah di
Indonesia benar-benar sudah ditiadakan dengan
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Thaun 1960 ?
C. Tujuan Penelitian
Selain berusaha untuk
pengembangkan substansi bidang ilmu, tujuan penelitian dan penulisan ini adalah
:
1. Untuk mengetahui mengenai Kedudukan Tanah Adat
dalam hukum Nasional menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
2. Untuk mengetahui dan
memahami apakah dualisme hukum tanah di Indonesia sudah benar-benar ditiadakan.
D. Manfaat
Penelitian
Hasil penelitian dan
penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat, baik untuk
kepentingan ilmu pengetahuan (teoritis) maupun kepentingan praktis dalam
bidang Pertanahan, antara lain sebagai
berikut :
1. Kegunaan Teoritis, memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan tentang Kedudukan Tanah khususnya mengenai bentuk perlindungan hukum Tanah Adat.
2. Kegunaan Praktis, hasil penlitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dan sekaligus meberikan cakrawala bagi aparatur pemerintah khusnya aparat Badan Pertanahan Nasional
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan
Bahan Hukum
Penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif (normative-legal research). Penelitian
normatif dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum berupa teori-teori,
konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang ada hubungannya
dengan pokok bahasan. Bahan hukum penelitian menggunakan satu macam data, yaitu
data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Sumber
bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer yang meliputi peraturan
perundang-undangan seperti
Undang-Undang Nomor 5 tahaun
1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
b.
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang dapat memberikan
penjelasan bahan hukum primer, berupa buku-buku, literatur hasil karya ilmiah
sarjana dan hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan dalam
penelitian.
c.
Bahan hukum tersier bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri
dari majalah, jurnal hukum dan literatur-literatur yang berhubungan dengan
penelitian.
2. Analisis Bahan Hukum
Pengumpulan dan analisa bahan hukum yang
digunakan, yaitu studi Kepustakaan yang berupa asas-asas, teori-teori hukum,
konsep-konsep, doktrin, serta kaidah hukum yang diperoleh. baik dari bahan
hukum primer maupun dari bahan hukum sekunder dan tersier. Dalam kegiatan studi
kepustakaan, dilakukan melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip
dan menyusun secara sistematis ataupun melakukan pengelompokan (klasifikasi)
bahan hukum baik peraturan perundang-undangan, doktrin maupun informasi lainnya
yang berhubungan dengan penelitian. Dan analisis bahan hukum tersebut dilakukan
penarikan kesimpulan dan selanjutnya dari beberapa kesimpulan tersebut akan
diajukan saran-saran.
F. Tinjauan Umum Tentang
Tanah Hukum Adat
1. Konsepsi Tanah Hukum
Adat
Konsepsi Hukum Adat Komunalistik religious, yang memungkinkan
penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat
pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Manifestasi lebih lanjut pada
konsepsi ini ialah dengan adanya Tanah Ulayat yang memiliki unsur kebersamaan
dan terdapat fungsinya untuk kepentingan bersama.
Dasar
pembentukan utama sifat kebersamaan pada hak-hak ulayat terletak pada hubungan
timbal balik antara hak-hak bersama dan hak-hak individu. Jika seseorang
menanam usaha secara individu pada sebidang tanah, dia menciptakan suatu
hubungan antara dirinya sendiri dan tanah yang dikuasainya. Pada
derajat tertentu dimana dia mengintensifkan kegiatannya, pada saat itu
terjadi suatu hubungan hukum, maka kekuatan komunal masyarakat hukum adat
khususnya atas tanah yang dimiliki anggotanya akan berkurang. Jika ia menelantarkan
tanah miliknya dan membiarkan kegunaan tanahnya berkurang, maka kekuatan
komunal masyarakat hukum adat akan muncul dan terbentuk kembali.
Hak
ulayat mempunyai kekuatan ke luar sebagai suatu kumpulan dari pembatasan untuk
menguasai tanah komunal oleh pihak luar. Pihak luar dapat mengeksploitasi tanah
tersebut setelah membayar lebih dahulu uang adat untuk penggunaan tanah-tanah
tersebut dan sesudah itu melanjutkan membayar sewa. Mereka dapat memperoleh hak
pakai, tetapi tidak pernah membayar dapat menjual atau mewariskan tanah serupa
itu maupun menerima tanah seperti itu sebagai jaminan. Selanjutnya menurut hukum adat pihak-pihak
luar dilarang memasuki tanah komunal.[7]
Menurut
Prof. Boedi Harsono, SH., Hak Ulayat adalah nama yang diberikan Undang-Undang
dan para ahli hukum merupakan hubungan hukum antara suatu masyarakat hukum adat
tertentu dengan suatu wilayah tertentu, yang merupakan ”lebens raum” bagi para
warganya sepanjang masa. Masyarakat hukum
adat sendiri tidak memberi nama pada lembaga tersebut. Dalam hukum adat yang dikenal adalah sebutan
tanahnya atau sebutan hutannya yang berada dalam masyarakat hukum adat yang
bersangkutan dalam bahasa adat setempat.[8]
Misalnya ; tanah ulayat menurut ajaran adat Minangkabau adalah sebidang tanah
yang pada kawasan terdapat ulayat penghulu.
Didaerah ini dikenal 4 (empat) macam tanah ulayat yakni tanah ulayat
Rego, tanah ulayat Nagari, tanah ulayat Suku dan tanah Ulayat Kaum (yang lebih
dikenal dengan nama tanah Pusako tinggi)[9]
Hak
ulayat dalam pengertian hukum merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan
ulayatnya. Wewenang dan kewajiban tersebut timbul dari hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Hubungan itu selain merupakan hubungan lahiriah, juga merupakan
hubungan batiniah yang bersifat religion magisch. Yaitu berdasarkan kepercayaan
para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, bahwa wilayah tersebut pemberian suatu kekuatan yang gaib atau
peninggalan nenek moyang yang diperuntukan bagi kelangsungan hiudp dan
penghidupannya sepanjang masa. Maka hubungan itu pada dasarnya merupakan hubungan
abadi.[10]
Pemegang
Hak ulayat adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan, terdiri atas
orang-orang yang merupakan warganya; sedangkan pelaksana Hak Ulayat adalah
Penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu kepala adat
sendiri atau bersama-sama dengan para tertua adat masing-masing. Penguasa adat
dalam huibungannya dengan tanah ulayat melaksanakan tugas kewenangan yang
termasuk bidang hukum publik sebagai petugas masyarakat hukum adatnya.
2. Hak
Ulayat Dalam Hukum Adat
Tanah dan masyarakat hukum adat
mempunyai hubungan erat satu sama lain. Hubungan hukum antara masyarakat hukum
adat dengan tanahnya menciptakan hak yang memberikan masyarakat sebagai suatu
kelompok hukum, hak untuk menggunakan tanah bagi keuntungan masyarakat.[11] Ini
adalah hak yang asli dan utama dalam hukum tanah adat dan meliputi semua
tanah dilingkungan masyarakat hukum adat, yang juga dianggap sebagai sumber hak
atas tanah lainnya di dalam lingkungan masyarakat hukum adat dan dapat dipunyai
oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat tersebut.
Menurut hukum adat
di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas tanah, antara lain yaitu:
- Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih lanjut, hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.
- Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh seseorang anggota dari persekutuan tertentu.
Secara umum, Prof.Ter Haar Bzn
mengatakan bahwa hubungan antara hak persekutuan dengan hak perseorangan adalah
seperti ‘teori balon’. Artinya, semakin besar hak persekutuan, maka semakin
kecillah hak perseorangan. Dan sebaliknya, semakin kecil hak persekutuan, maka
semakin besarlah hak perseorangan. Ringkasnya, hubungan diantara keduanya
bersifat kembang kempis. Hukum tanah adat dalam hal hak persekutuan atau hak
pertuanan : Dapat dilihat dengan jelas bahwa umat manusia itu ada yang berdiam
di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau
mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat–pusat kediaman yang sama
nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka dalam hal ini
merupakan suatu masyarakat wilayah. Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak
atas tanah itu, mempunyai hak–hak tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak
itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan.[12]
Hak Ulayat merupakan serangkaian
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan
tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama
penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.[13]
Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan ada pengaruh timbal balik yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh
seseorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Hukum
Adat sebagai Sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional
adalah berupa konsepsi, asas, dan lembaga hukumnya, sebagaimana dimaksud pasal (1) ayat (2) ialah komunalistik dan religious, sedangkan asasnya meliputi asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, asas pemerataan dan keadilan social, asas pemeliharaan tanah, asas pemisahan horizontal.
adalah berupa konsepsi, asas, dan lembaga hukumnya, sebagaimana dimaksud pasal (1) ayat (2) ialah komunalistik dan religious, sedangkan asasnya meliputi asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, asas pemerataan dan keadilan social, asas pemeliharaan tanah, asas pemisahan horizontal.
Hukum Adat sebagai Pelengkap Hukum
Tanah Nasional positif yang tertulis. Dan jika sesuatu soal dalam Hukum Tanah
tertulis belum lengkap maka berlakulah Hukum Adat setempat, dengan ketentuan hukum
Adat tersebut sudah semestinya untuk tidak bertentangan dengan Kepentingan
Nasional Negara.
Hukum kebiasaan baru yang bukan Hukum adat dan lahir dari Yurisprudensi
Pengadilan ataupun Hukum Adat yang lahir dari Praktik Administrasi tidaklah
dianggap sebagai Hukum Adat. Begitu juga dengan pembentukan hukum baru karena
adanya kekosongan hukum tidak dianggap sebagai hukum ada.
II. PEMBAHASAN
1. Hukum Tanah Adat Setelah berlakunya UUPA.
Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu
persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai
dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggota
persekutuan mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang melarang.
Pembangunan hukum adat sebagai dasar
pembentukan hukum nasional memang menghadapi kesulitan, yang berkaitan dengan
sifat pluralitas dari hukum adat itu
sendiri, masing-masing masyarakat hukum adat mempunyai hukum adatnya
sendiri-sendiri yang tentunya terdapat perbedaan. Untuk itu perlu dicari persamaan-persamaan,
yaitu dengan merumuskan asas-asasnya/konsepsinya, lembaga-lembaga hukumnya dan
sistem hukumnya.[14]
Hukum adat yang dimaksud dalam UUPA
adalah hukum asli golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam
bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi
oleh suasana keagamaan. Pernyataan hukum adat dapat dijumpai dalam UUPA pada :
Konsiderans UUPA berpendapat ” Bahwa Hukum Tanah disusun berdasarkan Hukum Adat
” dan dalam Penjelasan Umum angka III (1),dinyatakan sebagai berikut :
”Dengan sendirinya hukum Agraria
yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum
dari pada rakyat Indonesia sebagian besar hukum tunduk pada hukum adat, maka Hukum Agraria baru tersebut
akan didasarkan pula pada ketentuan- ketentuan
hukum adat itu, sebagai hukum asli, yang disempurnakan dan disesuiakan dengan kepentingan
masyarakat dalam negara yang modern dan dalam
huabungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana
dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya
tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalia dan masyarakat
swapraja yang feoda ”.
Dalam
pasal 5 UUPA dinyatakan bahwa Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini ” C. Van Vollenhoven
” menyebut hukum adat sebagai hukum adat sebagai hukum adat golongan pribumi (Golongan III Pasal 131 IS) atau hukum
adat golongan timur asing (Golongan II
Pasal 131 IS). Sementara itu dalam Penjelasan Umum III angka 1
mengisyaratkan bahwa hukum adat yang dimaksud ialah hukum aslinya golongan
pribumi, yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsure-unsur
nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan
keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan, dan unsur Pengejah wantahan
Hukum Adat. Setelah
berlakunya ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan tanah–tanah
oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada
masa–masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan mengenai persoalan
tanah terpusat pada kekuasaan negara. kalau demikian bagaimana kewenangan
masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, apakah juga
masih diakui berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan
ketentuan–ketentuan hukum adat tentang tanah. Mengenai hal tersebut dapat
dilihat dalam beberapa ketentuan dari UUPA, antara lain :
- Pasal 2 ayat (4) “Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah – daerah swantanra dan masyarakat–masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut Peraturan Pemerintah.”
- Pasal 3 “ Dengan mengugat ketentuan – ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak–hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang – undang dan peraturan–peraturan yang lebih tinggi.
- Pasal 22 ayat (1) “Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan Pemerintah.”
Seperti yang telah disebutkan di
atas, bahwa setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia mengalami
perubahan. Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak
ulayat, tentang jual beli tanah dan sebagainya mengalami perubahan. Jika dulu
sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat
yang sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu masih diakui dan
tetap berlaku, hal ini dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak–hak
yang serupa dari masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan
di masyarakat masih ada.
Hukum Adat yang melekat pada
masyarakat Hukum Adat tidak hanya diartikan sebagai hukum positif yakni sebagai
rangkaian norma-norma hukum. Namun apabila ditinjau lebih lanjut maka hukum
adat disusun dalam satu tatanan atau sistem, dengan lembaga-lembaga hukum yang
senantiasa berubah dan diperlukan dalam memenuhi kebutuhan kongkrit
masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa hukum
tanah adat di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam berbagai hal, karena
ini disesuaikan dengan adanya perkembangan zaman tidak tertulis, tepat
keberadaannya masih tetap dipandang kuat oleh para masyarakat. Begitu juga
kiranya dengan tanah adat yang sudah merupakan bagian dari diri mereka dan tetap
dipertahankan kelestariannya jika ada pihak–pihak yang ingin merusaknya.
Memang, setelah perkembangan zaman ditambah lagi setelah berlakunya UUPA, hukum
tanah adat masih tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
Nasional dan Negara.
2. Kedudukan Hukum Tanah Adat Dalam Undang-Undang Pokok Agraria
Indonesia Dalam Pennanggulangan permasalahan pertanahan.
Dalam banyak peraturan perundang–undangan
yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki
sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang
nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat
memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan
keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan
keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien,
efektif, aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan
masyarakat moderen dewasa ini. Namun, kenyataan ini tidak dengan sendirinya
membuat hukum adat bebas dari permasalahan dalam penerapan, khususnya apabila
kita melihat dalam bidang hukum tanah adat.
Ada banyak perbedaan prinsip antara
hukum tanah adat regional dan hukum agraria nasional, yang tentu saja dapat
menimbulkan konflik yang cukup serius. Dalam ketentuan UUPA 1960, hukum adat
dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari
lembaga–lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari
hak–hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa :
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional danegara , yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini, dan dengan
peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini , dan denga
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur – unsur
yang bersandar pada hukum agama.”[15]
Dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan dualisme hukum
pertanahan dengan menempatkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai
landasan utama hukum agraria nasional. Namun. Perlu diingat bahwa hukum agraria
nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan
hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan
hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara,
dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat.
Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam
lapangan hukum tanah adat.
Untuk itu, dalam substansi Pasal 5
UUPA 1960 kita dapat menarik kesimpulan, sebagaimana yang diuraikan oleh Prof.
Dr. A. P. Parlindungan,SH bahwa hukum
adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agraria adalah yang terhadap
kepentingan nasional (prinsip nasionalitas) , pro kepada kepentingan negara,
pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan undang–undang atau
peraturan yang lebih tinggi, dan ditambah dengan unsur agama.[16]
Jadi, motivasi dari hukum agraria nasional, dalam hal ini UUPA 1960 sebagai
induknya, benar–benar akan mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul
sebagai akibat penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan.
Di sisi lain dapat dilihat bahwa
semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan
perundang–undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa). Bahkan dalam
Undang–Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
No.23 Tahun 1997), hukum adat juga dijadikan dasar penetapan dan
pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23 Tahun 1997 disebutkan bahwa
pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan
hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai – nilai agama, adat
istiadat, dan lain – lain yang hidup dalam masyarakat.[17]
Dalam hal ini kita bisa mendapati
bahwa pengelolaan dan penataan lingkungan hidup, yang bagian utamanya adalah
tanah, juga mengandalkan hukum adat yang berlaku secara nasional untuk menjadi
dasar pengaturannya. Untuk kesekian kalinya hukum adat (hukum tanah adat)
mendapat kedudukan yang tepat dalam hal ini. Oleh karena itu peran hukum tanah adat
mulai memiliki porsi yang cukup besar. Hukum tanah adat yang dibahas dalam
pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan
tanah perseorangan menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial, yang serupa diatur dalam UUPA. 1960.[18]
II. PENUTUP
1. Kesimpulan
Hukum Adat sebagai sumber utama
dalam pembentukan Hukum yang diberlakukan sebagai Hukum Tanah Nasional adalah
konsepsi, asas dan lembaga hukumnya. Hukum Adat atau adat istiadat yang menyangkut masalah pertanahan dan
bersifat regional masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentanggan dengan
kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsan, dengan
sosialisme Indonesia serta peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Dengan berlakunya Undang-Undang
Pokok Agraria Tahun 1960, kita meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan
menempatkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama
pembentukan hukum agraria nasional. Namun. Perlu diingat bahwa hukum agraria
nasional, berdasarkan atas hukum tanah adat yang bersifat nasional, bukan hukum
adat yang bersifat kedaerahan atau regional.
I. Saran
Perlunya sosialisasi mengenai pendaftaran hak atas tanah, dan peningkatan
hak-hak atas tanah, sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum
yang lebih optimal terhadap hak-hak tanah adat, dengan proses dan pembiayaan
yang terjangkau, sehingga diharapkan menguranggi benturan-benturan hak-hak adat
dengan ketentuan hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad Fauzie
Ridwan, ; Hukum Tanah Adat – Multi disiplin Pembudayaan
Pancasila; Dewaruci Press; Jakarta; 1982.
Arie S
Hutagalung, Tebaran
Seputar Masalah Hukum Tanah,
Lembaga Pemberdayaan Hukum
Indonesia, Jakarta, 2005.
A.P. Parlindungan, Komentar
Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998.
Boedi Harsono,
Hukum Agraria Indonesia,
Jilid I, Bagian I, Penerbit
Jambatan, Jakarta, 1973.
Boedi Harsono, Hukum Agraria
Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, Jilid 1,
Djambatan, Jakarta, 2003..
Boedi Harsono, Penyempurnaan
Hukum Tanah Nasional, Penerbit
Universitas Trisakti, Cet. 1, 2002.
B.Ter.Haar.Bzn;Asas – Asas
dan Susunan Hukum Adat; Pradnya Paramita; Jakarta; 981.
K. Wantjik Saleh,
Hak Atas Tanah, Ghalia,
Jakrta, 1982,
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan; Gadjah
Mada University Press; Yogyakarta; 2000.
Muchsin, Imam Koeswahyono dan
Soimin, Hukum
Agraria Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah, Refika Aditama, Bandung,
2007
Muhammad Hatta, Hukum Tanah
Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Media Abadi, Yogyakarta,
2005
Muchsin,
Hukum
Agraria Indonesia,
PT. Refika Aditama, Bandung, 2007.
Nurullah
Dt. Perpatih Nantuo, Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat Minangkabau,
Cet. I (Sumatera Barat, PT. Singgalang Press, 1999.
Samijo,
Pengantar
Hukum Indonesia, Armico,
Bandung, 1985.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
Undang–Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hello gan, save link nya ini...
BalasHapusNonton Bokep Streaming Online Terbaru di SMBOKEP