Minggu, 13 Agustus 2017

KEDUDUKAN TANAH ADAT DALAM HUKUM TANAH NASIONAL (UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960)



Oleh Abuyazid  Bustomi

ABSTRACT
 
            Before the entry into force of the Basic Agrarian Law, customary land still belongs to an alliance and an individual. The customary land they use in accordance with their needs in utilizing and cultivating the land, the members of the fellowship in taking action to use the customary land must first seek permission from the customary head. The customary law referred to in the LoGA is the original law of the indigenous people, which is a living law in an unwritten form and contains the original national elements of social and kinship, which are based on balance and are covered by religious atmosphere. The customary law statements can be found in the LoGA on: UUPA Considerations which argue that the Land Law is prepared under customary law. Customary Law inherent in the community of Customary Law is not only interpreted as a positive law as a series of legal norms. However, when further observed, customary law is structured in a single order or system, with legal institutions constantly changing and necessary in meeting the concrete needs of indigenous and tribal peoples concerned. And it depends on the situation and circumstances of the customary law community concerned.

Keywords: Land Law Based on Customary Law

ABSTRAK

            Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah, para anggota persekutuan dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat tersebut harus terlebih dahulu meminta izin dari kepala adat. Hukum adat yang dimaksud dalam UUPA adalah hukum asli golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. Pernyataan hukum adat dapat dijumpai dalam UUPA pada : Konsiderans UUPA yang berpendapat Bahwa Hukum Tanah disusun berdasarkan Hukum Adat. Hukum Adat yang melekat pada masyarakat Hukum Adat tidak hanya diartikan sebagai hukum positif yakni sebagai rangkaian norma-norma hukum. Namun apabila ditinjau lebih lanjut maka hukum adat disusun dalam satu tatanan atau sistem, dengan lembaga-lembaga hukum yang senantiasa berubah dan diperlukan dalam memenuhi kebutuhan kongkrit masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dan hal tersebut sangat tergantung pada situasi dan keadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Kata Kunci : Hukum Tanah Berdasarkan Hukum Adat


I. PENDAHULUAN
A.  Latar  Belakang

Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani  kelanjutan dalam kehidupan. Oleh karena itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah – kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah. Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.
            Hukum adat merupakan  keseluruhan aturan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat  hukum.[1]  Dengan demikian hukum adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para ahli-ahli hukum. Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dinegara kita masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan yaitu hukum Adat dan Hukum Barat, Sehingga ada dua macam Hukum Tanah yaitu Hukum Tanah Adat atau disebut  Tanah Indonesia dan tanah Barat yang biasanya disebut Tanah Erofah.[2] Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat ‘dualisme’, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah, ada yang dikuasai oleh hukum Eropa di satu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat, di pihak lain.[3]
 Kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria salah satunya dimaksudkan untuk mengakhiri dualisme hukum agraria di Indonesia dengan menanggalkan kebhinekaan hukum di bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah nasional yang tunggal. UUPA juga mengunifikasi hak-hak penguasaan atas tanah maupun hak-hak atas tanah maupun hak-hak jaminan atas tanah. Hukum adat sebagai hukum yang dianut oleh sebagian besar bangsa/masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan yang istimewa  dalam politik hukum agraria nasional.
Pembangunan hukum agraria nasional diarahkan pada berlakunya satu sistem hukum (unifikasi hukum).[4] Hukum adat  Indonesia dikenal sebagai perangkat hukum yang beraneka ragam baik isi maupun norma-norma hukumnya.  Tetapi kenyataanya yang beragam itu adalah perangkat hukum yang mengatur bidang kekeluargaan dan warisan. Hukum adat masyarakat yang mengatur pertanahan pada dasarnya ada keseragaman, karena mewujudkan konsepsi, asas-asas hukum dan pengaturan yang sama dengan hak penguasaan yang tinggi, yang di dalam perundag-undangan dikenal sebagai hak ulayat.[5]  Lembaga-lembaga hukumnya bisa berbeda, karena ada perbedaan keadaan dan kebutuhan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hukum Adat diartikan Hukum Indonesia Asli, yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana sini mengandung unsur agama.[6]

B. Permasalahan
              Bertitik tolak dari penjelasan tersebut diatas, maka kita dapat melihat adanya dualisme hukum adat di Indonesia. Sifat seperti ini adalah hal yang perlu dihindari dalam lapangan hukum, sebab sifat dualisme dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, suatu keadaan yang bertentangan dengan falsafah dan tujuan dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan (UUPA 1960), yang bertujuan untuk mengunifikasi hukum pertanahan nasional, yang pada gilirannya munculkan pertanyaan  antara lain adalah :
1.      Bagaimana kedudukan hukum tanah adat  setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 ?
2.      Apakah dualisme hukum tanah di Indonesia benar-benar sudah ditiadakan dengan
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Thaun  1960 ?

C.  Tujuan Penelitian  
            Selain berusaha untuk pengembangkan substansi bidang ilmu, tujuan penelitian dan penulisan  ini adalah  : 
       1. Untuk mengetahui mengenai Kedudukan Tanah Adat dalam hukum Nasional         menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. 
       2. Untuk mengetahui dan memahami apakah dualisme hukum tanah di Indonesia        sudah benar-benar ditiadakan.

D.  Manfaat  Penelitian 
            Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat, baik untuk kepentingan ilmu pengetahuan (teoritis) maupun kepentingan praktis dalam bidang  Pertanahan, antara lain sebagai berikut :

      1.   Kegunaan Teoritis, memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan tentang        Kedudukan Tanah khususnya mengenai bentuk perlindungan hukum Tanah Adat.       

      2.   Kegunaan Praktis, hasil penlitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dan          sekaligus meberikan cakrawala bagi aparatur pemerintah khusnya aparat Badan   Pertanahan  Nasional 

E.     Metode Penelitian

1.      Jenis Penelitian  dan  Bahan  Hukum
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative-legal research). Penelitian normatif dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum berupa teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang ada hubungannya dengan pokok bahasan. Bahan hukum penelitian menggunakan satu macam data, yaitu data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Bahan Hukum Primer yang meliputi peraturan perundang-undangan seperti
Undang-Undang Nomor 5 tahaun 1960  tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok  Agraria
b.      Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan bahan hukum primer, berupa buku-buku, literatur hasil karya ilmiah sarjana dan hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian.
c.       Bahan hukum tersier bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari majalah, jurnal hukum dan literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian.
2.       Analisis Bahan Hukum
Pengumpulan dan analisa bahan hukum yang digunakan, yaitu studi Kepustakaan yang berupa asas-asas, teori-teori hukum, konsep-konsep, doktrin, serta kaidah hukum yang diperoleh. baik dari bahan hukum primer maupun dari bahan hukum sekunder dan tersier. Dalam kegiatan studi kepustakaan, dilakukan melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip dan menyusun secara sistematis ataupun melakukan pengelompokan (klasifikasi) bahan hukum baik peraturan perundang-undangan, doktrin maupun informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian. Dan analisis bahan hukum tersebut dilakukan penarikan kesimpulan dan selanjutnya dari beberapa kesimpulan tersebut akan diajukan saran-saran.
F. Tinjauan  Umum  Tentang  Tanah  Hukum  Adat
1. Konsepsi  Tanah  Hukum  Adat
            Konsepsi Hukum Adat  Komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Manifestasi lebih lanjut pada konsepsi ini ialah dengan adanya Tanah Ulayat yang memiliki unsur kebersamaan dan terdapat fungsinya untuk kepentingan bersama.
            Dasar pembentukan utama sifat kebersamaan pada hak-hak ulayat terletak pada hubungan timbal balik antara hak-hak bersama dan hak-hak individu. Jika seseorang menanam usaha secara individu pada sebidang tanah, dia menciptakan suatu hubungan  antara dirinya  sendiri dan tanah yang dikuasainya. Pada  derajat tertentu dimana dia mengintensifkan kegiatannya, pada saat itu terjadi suatu hubungan hukum, maka kekuatan komunal masyarakat hukum adat khususnya atas tanah yang dimiliki anggotanya akan berkurang. Jika ia menelantarkan tanah miliknya dan membiarkan kegunaan tanahnya berkurang, maka kekuatan komunal masyarakat hukum adat akan muncul dan terbentuk kembali.
            Hak ulayat mempunyai kekuatan ke luar sebagai suatu kumpulan dari pembatasan untuk menguasai tanah komunal oleh pihak luar. Pihak luar dapat mengeksploitasi tanah tersebut setelah membayar lebih dahulu uang adat untuk penggunaan tanah-tanah tersebut dan sesudah itu melanjutkan membayar sewa. Mereka dapat memperoleh hak pakai, tetapi tidak pernah membayar dapat menjual atau mewariskan tanah serupa itu maupun menerima tanah seperti itu sebagai jaminan.  Selanjutnya menurut hukum adat pihak-pihak luar dilarang memasuki tanah komunal.[7]
            Menurut Prof. Boedi Harsono, SH., Hak Ulayat adalah nama yang diberikan Undang-Undang dan para ahli hukum merupakan hubungan hukum antara suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan suatu wilayah tertentu, yang merupakan ”lebens raum” bagi para warganya sepanjang masa.  Masyarakat hukum adat sendiri tidak memberi nama pada lembaga tersebut.  Dalam hukum adat yang dikenal adalah sebutan tanahnya atau sebutan hutannya yang berada dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan dalam bahasa adat setempat.[8] Misalnya ; tanah ulayat menurut ajaran adat Minangkabau adalah sebidang tanah yang pada kawasan terdapat ulayat penghulu.  Didaerah ini dikenal 4 (empat) macam tanah ulayat yakni tanah ulayat Rego, tanah ulayat Nagari, tanah ulayat Suku dan tanah Ulayat Kaum (yang lebih dikenal dengan nama tanah Pusako tinggi)[9]
            Hak ulayat dalam pengertian hukum merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulayatnya. Wewenang dan kewajiban tersebut timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah  turun temurun antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.  Hubungan itu selain  merupakan hubungan lahiriah, juga merupakan hubungan batiniah yang bersifat religion magisch. Yaitu berdasarkan kepercayaan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, bahwa wilayah tersebut  pemberian suatu kekuatan yang gaib atau peninggalan nenek moyang yang diperuntukan bagi kelangsungan hiudp dan penghidupannya sepanjang masa. Maka hubungan itu pada dasarnya merupakan hubungan abadi.[10]
            Pemegang Hak ulayat adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan, terdiri atas orang-orang yang merupakan warganya; sedangkan pelaksana Hak Ulayat adalah Penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para tertua adat masing-masing. Penguasa adat dalam huibungannya dengan tanah ulayat melaksanakan tugas kewenangan yang termasuk bidang hukum publik sebagai petugas masyarakat hukum adatnya.
2. Hak  Ulayat  Dalam Hukum  Adat
            Tanah dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan erat satu sama lain. Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya menciptakan hak yang memberikan masyarakat sebagai suatu kelompok hukum, hak untuk menggunakan tanah bagi keuntungan masyarakat.[11]  Ini  adalah hak yang asli dan utama dalam hukum tanah adat dan meliputi semua tanah dilingkungan masyarakat hukum adat, yang juga dianggap sebagai sumber hak atas tanah lainnya di dalam lingkungan masyarakat hukum adat dan dapat dipunyai oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat tersebut.
             Menurut hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas tanah, antara lain yaitu:
  1. Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih lanjut, hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.
  2.  Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh seseorang anggota dari persekutuan tertentu.
            Secara umum, Prof.Ter Haar Bzn mengatakan bahwa hubungan antara hak persekutuan dengan hak perseorangan adalah seperti ‘teori balon’. Artinya, semakin besar hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan sebaliknya, semakin kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak perseorangan. Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang kempis. Hukum tanah adat dalam hal hak persekutuan atau hak pertuanan : Dapat dilihat dengan jelas bahwa umat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat–pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah. Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak–hak tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan.[12]      
            Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.[13] Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan ada pengaruh timbal balik  yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh seseorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas tanah tersebut.                Hukum Adat sebagai Sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional
adalah berupa konsepsi, asas, dan lembaga hukumnya, sebagaimana dimaksud pasal (1) ayat (2) ialah komunalistik dan religious, sedangkan asasnya meliputi asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, asas pemerataan dan keadilan social, asas pemeliharaan tanah, asas pemisahan horizontal. 
            Hukum Adat sebagai Pelengkap Hukum Tanah Nasional positif yang tertulis. Dan jika sesuatu soal dalam Hukum Tanah tertulis belum lengkap maka berlakulah Hukum Adat setempat, dengan ketentuan hukum Adat tersebut sudah semestinya untuk tidak bertentangan dengan Kepentingan Nasional Negara.
            Hukum kebiasaan baru yang bukan  Hukum adat dan lahir dari Yurisprudensi Pengadilan ataupun Hukum Adat yang lahir dari Praktik Administrasi tidaklah dianggap sebagai Hukum Adat. Begitu juga dengan pembentukan hukum baru karena adanya kekosongan hukum tidak dianggap sebagai hukum ada.
II. PEMBAHASAN
1. Hukum  Tanah Adat Setelah berlakunya  UUPA.
              Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggota persekutuan mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang melarang.
            Pembangunan hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum nasional memang menghadapi kesulitan, yang berkaitan dengan sifat pluralitas dari hukum adat  itu sendiri, masing-masing masyarakat hukum adat mempunyai hukum adatnya sendiri-sendiri yang tentunya terdapat perbedaan. Untuk itu perlu dicari persamaan-persamaan, yaitu dengan merumuskan asas-asasnya/konsepsinya, lembaga-lembaga hukumnya dan sistem hukumnya.[14]  
            Hukum adat yang dimaksud dalam UUPA adalah hukum asli golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. Pernyataan hukum adat dapat dijumpai dalam UUPA pada : Konsiderans UUPA berpendapat ” Bahwa Hukum Tanah disusun berdasarkan Hukum Adat ” dan dalam Penjelasan Umum angka III (1),dinyatakan sebagai berikut :
            ”Dengan sendirinya hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran    hukum dari pada rakyat Indonesia sebagian besar hukum tunduk pada hukum           adat, maka Hukum Agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-        ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum asli, yang disempurnakan dan             disesuiakan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan          dalam huabungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan            sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam      pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial             yang kapitalia dan masyarakat swapraja yang feoda ”.
            Dalam pasal 5 UUPA dinyatakan bahwa  Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini ” C. Van Vollenhoven ” menyebut hukum adat sebagai hukum adat sebagai hukum adat golongan pribumi (Golongan III Pasal 131 IS) atau hukum adat golongan timur asing (Golongan II Pasal 131 IS). Sementara itu dalam Penjelasan Umum III angka 1 mengisyaratkan bahwa hukum adat yang dimaksud ialah hukum aslinya golongan pribumi, yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsure-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan, dan unsur Pengejah wantahan Hukum Adat. Setelah berlakunya ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan tanah–tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada masa–masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan mengenai persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara. kalau demikian bagaimana kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, apakah juga masih diakui berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan ketentuan–ketentuan hukum adat tentang tanah. Mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dari UUPA, antara lain :
  1. Pasal 2 ayat (4) “Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah – daerah swantanra dan masyarakat–masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut Peraturan Pemerintah.”
  2. Pasal 3 “ Dengan mengugat ketentuan – ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak–hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang – undang dan peraturan–peraturan yang lebih tinggi.
  3. Pasal 22 ayat (1) “Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan Pemerintah.”
            Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia mengalami perubahan. Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, tentang jual beli tanah dan sebagainya mengalami perubahan. Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu masih diakui dan tetap berlaku, hal ini dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak–hak yang serupa dari masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada.
            Hukum Adat yang melekat pada masyarakat Hukum Adat tidak hanya diartikan sebagai hukum positif yakni sebagai rangkaian norma-norma hukum. Namun apabila ditinjau lebih lanjut maka hukum adat disusun dalam satu tatanan atau sistem, dengan lembaga-lembaga hukum yang senantiasa berubah dan diperlukan dalam memenuhi kebutuhan kongkrit masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
             Dengan demikian jelaslah sudah bahwa hukum tanah adat di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam berbagai hal, karena ini disesuaikan dengan adanya perkembangan zaman tidak tertulis, tepat keberadaannya masih tetap dipandang kuat oleh para masyarakat. Begitu juga kiranya dengan tanah adat yang sudah merupakan bagian dari diri mereka dan tetap dipertahankan kelestariannya jika ada pihak–pihak yang ingin merusaknya. Memang, setelah perkembangan zaman ditambah lagi setelah berlakunya UUPA, hukum tanah adat masih tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara.

2. Kedudukan Hukum Tanah Adat Dalam Undang-Undang Pokok Agraria  
    Indonesia Dalam  Pennanggulangan permasalahan pertanahan.       
            Dalam banyak peraturan perundang–undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat moderen dewasa ini. Namun, kenyataan ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas dari permasalahan dalam penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang hukum tanah adat.
            Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agraria nasional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Dalam ketentuan UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga–lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak–hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa :
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional danegara , yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini, dan dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini , dan denga peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur – unsur yang bersandar pada hukum agama.”[15]
           
             Dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan menempatkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum agraria nasional. Namun. Perlu diingat bahwa hukum agraria nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara, dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
            Untuk itu, dalam substansi Pasal 5 UUPA 1960 kita dapat menarik kesimpulan, sebagaimana yang diuraikan oleh Prof. Dr. A. P. Parlindungan,SH  bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agraria adalah yang terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas) , pro kepada kepentingan negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan undang–undang atau peraturan yang lebih tinggi, dan ditambah dengan unsur agama.[16] Jadi, motivasi dari hukum agraria nasional, dalam hal ini UUPA 1960 sebagai induknya, benar–benar akan mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul sebagai akibat penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan.
            Di sisi lain dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan perundang–undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa). Bahkan dalam Undang–Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997), hukum adat juga dijadikan dasar penetapan dan pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23 Tahun 1997 disebutkan bahwa pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai – nilai agama, adat istiadat, dan lain – lain yang hidup dalam masyarakat.[17]
            Dalam hal ini kita bisa mendapati bahwa pengelolaan dan penataan lingkungan hidup, yang bagian utamanya adalah tanah, juga mengandalkan hukum adat yang berlaku secara nasional untuk menjadi dasar pengaturannya. Untuk kesekian kalinya hukum adat (hukum tanah adat) mendapat kedudukan yang tepat dalam hal ini. Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Hukum tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan tanah perseorangan menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam UUPA. 1960.[18]

II. PENUTUP
1. Kesimpulan  
            Hukum Adat sebagai sumber utama dalam pembentukan Hukum yang diberlakukan sebagai Hukum Tanah Nasional adalah konsepsi, asas dan lembaga hukumnya. Hukum Adat atau adat istiadat  yang menyangkut masalah pertanahan dan bersifat regional masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentanggan dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsan, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
            Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, kita meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan menempatkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama pembentukan hukum agraria nasional. Namun. Perlu diingat bahwa hukum agraria nasional, berdasarkan atas hukum tanah adat yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional.

I. Saran
            Perlunya sosialisasi mengenai  pendaftaran hak atas tanah, dan peningkatan hak-hak atas tanah, sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih optimal terhadap hak-hak tanah adat, dengan proses dan pembiayaan yang terjangkau, sehingga diharapkan menguranggi benturan-benturan hak-hak adat dengan ketentuan hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
DAFTAR  KEPUSTAKAAN

Ahmad Fauzie Ridwan, ; Hukum Tanah Adat – Multi disiplin Pembudayaan        Pancasila;  Dewaruci Press; Jakarta; 1982.
Arie  S  Hutagalung,  Tebaran  Seputar  Masalah Hukum  Tanah,  Lembaga Pemberdayaan  Hukum Indonesia,  Jakarta,  2005.
A.P.  Parlindungan,  Komentar  Atas  Undang-Undang Pokok  Agraria, Mandar Maju,   Bandung,  1998.
Boedi Harsono,  Hukum  Agraria  Indonesia,  Jilid I,  Bagian I,  Penerbit  Jambatan,         Jakarta,  1973.
Boedi  Harsono,  Hukum  Agraria  Indonesia, Sejarah Pembentukan  Undang-undang Pokok Agraria,  Isi dan  Pelaksanaannya,  Jilid 1,  Djambatan,  Jakarta,  2003..
Boedi Harsono, Penyempurnaan  Hukum  Tanah Nasional, Penerbit Universitas  Trisakti, Cet. 1,  2002.
B.Ter.Haar.Bzn;Asas – Asas dan Susunan Hukum Adat; Pradnya Paramita; Jakarta; 981.
K. Wantjik Saleh,  Hak  Atas Tanah,  Ghalia,  Jakrta, 1982,           
Koesnadi Hardjasoemantri,  Hukum Tata Lingkungan; Gadjah Mada University Press; Yogyakarta; 2000.
Muchsin,  Imam Koeswahyono  dan  Soimin,  Hukum  Agraria  Indonesia Dalam  Perspektif  Sejarah, Refika  Aditama,  Bandung,  2007
Muhammad Hatta,  Hukum  Tanah  Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan,            Media  Abadi, Yogyakarta, 2005
 
Muchsin,  Hukum  Agraria  Indonesia,  PT. Refika  Aditama, Bandung,   2007.
Nurullah Dt. Perpatih Nantuo,  Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat Minangkabau, Cet. I (Sumatera Barat, PT. Singgalang Press, 1999.
Samijo,  Pengantar  Hukum  Indonesia,  Armico,  Bandung,  1985.
Undang-Undang Nomor 5  Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria.
Undang–Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.          
             
                         
           
           



                [1].  Samijo,  Pengantar  Hukum  Indonesia,  Armico,  Bandung,  1985,  Hlm. 54.
            [2] . K. Wantjik Saleh,  Hak  Atas Tanah,  Ghalia,  Jakrta, 1982, Hlm. 8       .           4. Prof.Dr.Ahmad Fauzie Ridwan, SH; Hukum Tanah Adat – Multi disiplin Pembudayaan Pancasila;  Dewaruci Press; Jakarta; 1982; halaman 12.

                [4]. H. Muchsin,  Imam Koeswahyono  dan  Soimin,  Hukum  Agraria  Indonesia Dalam  Perspektif  Sejarah, Refika  Aditama,  Bandung,  2007  Hlm. 66.
                [5]. Muhammad Hatta, SH.,MKn,  Hukum  Tanah  Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan,  Media  Abadi, Yogyakarta, 2005,  Hlm.127.
                [6].A.P.  Parlindungan,  Komentar  Atas  Undang-Undang  Pokok  Agraria, Mandar Maju, Bandung,  1993,  Hlm. 52.
                [7]. Boedi Harsono,  Hukum  Agraria  Indonesia,  Jilid I,  Bagian I,  Penerbit  Jambatan,  Jakarta,  1973 Hlm. 95
                [8].Boedi Harsono, Penyempurnaan  Hukum  Tanah Nasional, Penerbit Universitas  Trisakti, Cet. 1,  2002,  Hlm.  54.
                [9].H. Nurullah Dt. Perpatih Nantuo,  Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat Minangkabau, Cet. I (Sumatera Barat, PT. Singgalang Press, 1999, Hal. 7.
                [10].Boedi Harsono, Opcit, Hal  54
                [11]. Arie  S  Hutagalung,  Tebaran  Seputar  Masalah Hukum  Tanah,  Lembaga Pemberdayaan  Hukum  Indonesia,  Jakarta,  2005,  Hlm. 120.
                [12]. Mr.B.Ter.Haar.Bzn;Asas – Asas dan Susunan Hukum Adat; Pradnya Paramita; Jakarta; 1981; halaman 71
                [13]. Boedi  Harsono,  Hukum  Agraria  Indonesia, Sejarah Pembentukan  Undang-undang Pokok Agraria,  Isi dan  Pelaksanaannya,  Jilid 1,  Djambatan,  Jakarta,  2003,  Hlm.185.
                [14]. H. Muchsin,  Hukum  Agraria  Indonesia,  PT. Refika  Aditama, Bandung,   2007,  Hlm.  67.
                [15]. Prof Dr. A.P. Parlindungan, SH; Komentar Atas Undang – Undang Pokok Agraria; Mandar Maju; Bandung; 1998; halaman 56.
                [16]. Prof. Dr.A.P.Parlindungan,SH; Ibidt,halaman 58,67.
                [17]. Prof.Dr.Koesnadi Hardjasoemantri, SH,ML; Hukum Tata Lingkungan; Gadjah Mada University Press; Yogyakarta; 2000; halaman 559.
                [18]. Prof.Dr.A.P. Parlindungan,SH;  Loc.cit. halaman 65.

1 komentar:

  1. Hello gan, save link nya ini...

    Nonton Bokep Streaming Online Terbaru di SMBOKEP

    BalasHapus