Senin, 01 Agustus 2016

Perlindungan Hukum Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Indonesia Pasca Undang-Undang Kehutanan



Penulis : Marsitiningsih, SH, MH

I. Latar Belakang
            Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat dengan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai manausia sangat terbatas, sedangkan jumlah manusia yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin bertambah. Kondisi yang tidak seimbang antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu telah menimbulkan berbagai persoalan dan kasus-kasus persengketaan tanah yang memerlukan penyelesaian yang baik, benar dan memberikan perlindungan serta kepastian hukum juga keadilan.
            Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat menurut Philipus M, Hadjon yang dalam rumusan berbahasa Belanda berbunyi “rechtsbescherming van de burgers tegen de overhead“ dan dalam rumusan bahasa Inggris berbunyi “legal protection of the individual in relation to acts of administrative authorities“ (Philipus M.Hardjon : 1987). Hal ini berarti bahwa perlindungan hukum bagi rakyat ada kaitannya dengan suatu tindakan Pemerintah yang bisa melakukan perbuatan sewenang wenang atau melampaui  wewenang yang ada padanya. Perlindungan hukum bagi rakyat pemegang hak ulayat tidak terlepas dari konsepsi pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang secara tegas Negara mengakui dan memberikan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya.
            Untuk memberikan perlindungaan terhadap warga Negara yang benar-benar mempunyai hak atas tanah tersebut, maka Negara mengaturnya di dalam Undang-Undang Pokok Agraria dalam pasal 26 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberiaan menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”.  Namun kenyataan yang terjadi, banyak tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat (hak ulayat) diambil oleh Pemerintah dengan cara-cara kekerasan.
            Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai: kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan (Sorjono Wignyodipuro,  1983).
            Hak Ulayat merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur, yaitu pertama unsure hukum perdata; sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercaya berasal dari peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan ghaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan, serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu  sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “ orang luar “ .
            Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial) maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya; subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat .
            Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur yaitu : ( Perat Ka BPN No . 5 tahun 1999)
Unsur Masyarakat Adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan suasanahukum adatnya sebagai warga  bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Unsur Wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.
Unsur hubungan antara masyarakaat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Di dalam Penjelasan pasal 67 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003  tentang Kehutanan, menyatakan bahwa “sebagai masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur, antara lain :
Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban  (rechsgemeenschap);
Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
Ada wilayah hukum adatnya yang jelas;
Ada pranata perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati;
Masih mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting, karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang perlindungan persekutuan dan roh para leluhur persekutuan. (Soerjono Wignyodipuro : 1983).
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak secara gamblang dijelaskan tentang adanya dasar hukum dan aturan-aturan yang mengatur, melainkan hak ulayat diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria serta hukum adat yang berlaku.

II. Permasalahan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bagaimanakah Perlindungan hukum  hak ulayat masyarakat kaum adat di Indonesia setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 41  tahun 1999 tentang  Kehutanan?  

III. Pembahasan.      
            Sebagaimana disebutkan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun  1945, bahwa “ Bumi  dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat “. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebut tanah melainkan bumi.  Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut pasal 1 ayat ( 3 ) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), bahwa “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah  hubungan yang bersifat abadi “.
Dalam  pasal 1 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) UUPA menyebutkan bahwa  seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah  air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.  Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam pasal 4 ayat ( 1 )  UUPA, sebagai dasar hak menguasai dari Negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Mengingat pentingnya tanah dalam kehidupan, jauh sebelum diundangkannya UUPA telah dikenal sistem penguasaan sumber daya alam di berbagai daerah  di Indonesia yang dikenal dengan hak ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya yang merupakan oendukung utama kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut. (BPN Kanwil Provinsi Kalteng: seminar langkah-langkah Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007)
Apabila ditelaah, terdapat kesamaan  mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan tempat tinggal dayang-dayang yang memberikan perlindungan kepada persekutuan dan roh para leluhur persekutuan (Soerjono Wigjodipuro : 1983).
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu , yaitu “eksistensi“  dan mengenai pelaksaannya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak ulayat tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkaan kembali.
Pelaksanaan hak ulayat dalam UUPA diatur dalam pasal 3 yang menyebutkan bahwa: “Pelaksanaan harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum ( Angka  H/3 ) ditegaskan bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih tinggi dan lebih luas “.  
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak seakan akan anggota-anggota masyarakat itu sendirilah yang berhak atas tanah wilayah itu, dan seakan akan hanya diperuntukan bagi masyarakat hukum adat itu sendiri tidak diperkenankan, karena dianggap bertentangan dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal  1 dan pasal 2 UUPA.
Dalam UUPA disebutkan juga bahwa hak ulayat diakui eksistensinya selama menurut kenyataannya masih ada, artinya jika hak ulayat yang pada kenyataanya sudah tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional, tugas kewenangan yang merupakan unsure hak ulayat telah menjadi tugas kewenangan Negara. Pada kenyataannya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Oleh karena itu, hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan untuk diatur, karena pengaturan hak ulayat tersebut akan berakibat melestarikan eksistensinya.
Hak ulayat diisyaratkan sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah yang merupakan wilayah suatu masyarakat hukum adat (pasal  3 UUPA). Pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sedangkan pelaksananya adalah Penguasa Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu Kepala Adat sendiri atau bersama-sama para tetua adat masing-masing.
Pengambil alihan hak ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana tertuang dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum  adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah“. Kepemilikan tanah rakyat adalah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Internasional maupun hukum nasional. Dalam hukum Internasional, hak milik ini diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ( DUHAM ), yaitu :
Pasal 17 ayat (1): Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain “,
Pasal 17 ayat (2):  Tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara sewenang-wenang  “,
Pasal  30 : Tidak ada satu ketentuan pun dalam deklarasi ini yang dapat ditafsirkan sebagaimemberikan hak pada suatu Negara, kelompok atau orang untuk terlibat dalam aktivitas  atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebasan apapun yang diatur dalam deklarasi ini “.
Di dalam pasal 67 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Kehutanan  menyebutkan :  “ Masyarkata hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya , berhak untuk :
Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat adat yang bersangkutan;
Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang Undang, dan
Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 67 Undang Undang Nomor 24 tahun 2003, menyebutkan bahwa “ sebagai masyarakat hukum adat, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur, antara lain :
Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap),
Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya,
Ada wilayah hukum adat yang jelas,
Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati,
Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”. 
Bahkan penjelasan pasal 67 ayat (2)  memberikan kesempatan pada pertimbangan hasil penelitian para pakar hukum adat , aspirasi masyarakat setempat dan tokoh masyarakat adat  setempat.
            Dari segi hak asasi manusia yang terelaborasi dengan beberapa peraturan perundangan dan konstitusi, maka tampak bahwa eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionilnya termasuk hak ulayat, telah diakui keberadaannya, bukan hanya secara nasional tetapi secara universal melalui Deklarasi Unversal Hak Azasi Manusia. Dengan demikian perampasan hak ulayat dan hak-hak lain yang menyerupainya dari masyarakat hukum adat merupakan bentuk pelanggaran konstitusional dan pelanggaran HAM sebagaimana tercantum dalam pasal 17 DUHAM.
            Fakta empiris di lapangan menunjukan bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya justru turut serta menjaga dan melindungi hutan, salah satunya adalah masyarakat desa Tenganan  Bali.  Masyarakat Bali memiliki perlindungan kawasan melalui sejarah yang panjang karena pengaruh dan akulturasi kebudayaan Hindu serta perkembangannya.
            Pola pengkeramatan kawasan berlaku pada berbagai tingkatan wilayah sampai satuan pulau dan tingkat pekarangan.  Masyarakat adat desa Tenganan merupakan satu kelompok yang memiliki keunikan tradisi perlindungan hutan. Keunikan bertumpu pada kesederhanaan struktur kelembagaan dan kekuatan memegang komitmen dan bertanggung jawab atas segala tindakannya. Perlindungan kawasan hutan sebagai bentuk penghormatan terhadap pelindung alam dan kemanusiaan. Dalam agama Hindu terdapat mitologi hutan sebagai pelindung manusia yaitu : “Tumbuh-tumbuhan memiliki semua sifat dewa, dan tumbuhan adalah juru selamat kemanusiaan. Jika manusia mengahancurkan tetumbuhan, maka ia menghancurkan “penjaga kemanusiaan” nya. Siapapun, apakah manusia maupun hewan akan hidup selamat dan sejahtera di bumi kalau kebersihan atmosfir bumi terpelihara dengan segala cara untuksuksesnya tujuan hidup ini “ ( Arthavaveda VII.2.25 , dalam Titib 2004 dalam IGP Suryadarma , www.staf .uny.ac.id  hal 50-51).
            Keberadaan desa Adat Tenganan sebagai hasilkombinasi sumber daya manusia dan sumber daya alam memberikan berbagai kontribusi dan jasa ekosistem kepada masyarakat secara luas. Keunikan jasanya antara llain berupa jasa tangkapan air hujan (watershed), jasa menjaga kestabilan iklim , jasa penyerap berbagai bentuk panas dan polutan dari luar, mengikuti proses source-sink.
Sistem watershed kawasan desa Adat Tenganan, tidak hanya berfungsi sebagai tangkapan air hujan tetapi berfungsi sebagai penjernih air yang tersimpan. Vegetasi hutannya memberikan penjernihan terhadap kualitas udara dan stabilitas iklim ( IGP Suryadarma www.staf.uny.ac.id hal 53 )
            Penelitian yang pernah dikaukan oleh yayasan Sejati di 4 Provinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Irian jaya dan Nusa Tenggara Timur) menunjukan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain, namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat yaitu antara lain :
Masih hidup selaras  alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya;
Adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (communal tenure/ property rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan;
Adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan  (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan;
Ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar (Nababan, 1995).
Sangat ironis justru  hutan yang dikelola oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah semakin rusak dan tidak terlindungi. Hal ini bisa terlihat bahwa sampai awal  tahun 1970, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelososk Nusantara, khususnya di luar Jawa.
            Masyarakat adat yang belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatra Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak zaman kolonial Belanda.
Perubahan yang sangat drastic baru mulai terjadi di awal tahun 1970-an ketika Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH). Sampai bulan Juli tahun 2000 Departemen Kehutanan dan Perkebunan mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat.
Konsep pelepasan hak atas tanah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 sebagaimana telah diubah denan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan Umum. Selain itu, berkenaan dengan konsep kawasan  hutan lindung, kita perlu mencermati ketentuan dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Wilayah Nasional.
Urgensi adanya pelepasan hak ulayat dalam kawasan hutan lindung tidak terlepas dari ketentuan UUD 1945 pasal 33 ayat ( 3 ) yang menyatakan : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat “. Pasal 2 UUPA merupakan aturan pelaksanaan dari pasal 33 ayat ( 3 ) UUD 1945 dan wewenang yang bersumber pada hak menguasai Negara sebagaimana tersebut dalam pasal 2 UUPA tersebut  digunakan untuk mencapai sebesar besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia  yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Hubungan hukum antara Negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh Negara, hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat dan gabungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak hak perorangaan atas tanah (AP Parlindungan, h 11 ). Idealnya, hubungan ketiga hak tersebut terjalin secara harmonis dan seimbang, artinya ketiga hak tersebut sama kedudukan dan kekuatannya dan tidak saling merugikan.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 65 tahun 2006 dinyatakan bahwa: “Pengadaan tanah bagi pelaksaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan haak atas tanah “. Sedangkan criteria yang termasuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :
Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api ( di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi ;
Waduk, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
Tempat pembuangan sampah dan cagar budaya;
Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Jika dikaji mengenai hutan lindung berkaitan dengan kepentingan umum, maka sejatinya kawasan hutan lindung bukan merupakan bagian dari aspek kepentingan umum, karena ketentuan pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 bersifat limitative sehingga tidak terbuka penafsiran lain selain yang disebut dalam peraturan tersebut.
Berdasarkan ketentuaanaa pasal 20 ayat ( 1 ) huruf c Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat rencana pola ruanag wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis  nasional. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 khususnya pasal 51 huruf a disebutkan bahwa kawasan  lindung nasional terdiri atas salah satunya berupa kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 52 ayat ( 1 0 yang menyatakan : “ Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri atas:
 Kawasan hutan lindung;
Kawasan bergambut;
Kawasan resapan air.
Jadi, jelas berdasarkan ketentuan beberapa peraturan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kawasa hutan lindung merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilaya nasional dan tidak termasuk dalam criteria kepentingan umum.  Karena bukan bagian dari kepantingan umum, maka dalam pengadaan kawasan hutan lindung dimana di dalam hutan tersebut  terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat berlaku ketentuan pasal 2 ayat (2)  Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 yakni “Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan“.
Sedangkan bila dikaji kedudukan hak ulayat dalam Undang Undang Kehutanan menggunakan sekaligus istilah “masyarakat hukum adat“ dan istilah “masyarakat setempat“. Undang-Undang Kehutanan tidak membuat definisi mengenai masyarakat setempat tetapi ada dalam peraturan pelaksanaannya, sementara untuk mengukur keberadaan masyarakat hukum adat ditentukan 5 unsur.
Namun, masyarakat hukum adat terkadang diartikan sebagai bagian dari masyarakat  setempat (pasal 17 ayat 2). Sebagai pemangku hak, Undang Undang Kehutanan mengakui kenyataan penguasaan hutan oleh masyarakat adat (hutan ulayat, hutan marga).

IV. Kesimpulan
            Pasal 3 Undang-Undang pokok Agraria mengakui adanya hak ulayat. Pengakuan terhadap tanah merupakan suatu hal yang memang dilindungi sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat  an prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia.  Namun pengakuan hak ulayat tersebut dibatasi, yaitu hak ulayat yang masih selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban sebagimana pasal 28 I UUD 1945 dan tidak didaftar.
            Bentuk perlindungan hukumnya bila diperlukaan untuk kepentingan umum sebagaimana pasal 18 UUPA. maka masyarakat pemegang hak ulayat diberi penggantian berupa pembangunan fasilitas umum atau bentu lain yang bermanfaat bagi rakyat setempat sesuai dengan pasal 14 Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006, yang penggunaannya untuk kepentingan seluruh pemegang hak ulayat atas tanah tersebut.
            Prinsip penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya mengandung kosekuensi apabila Pemerintah hendak melepaskan hak ulayat masyarakat hukum adat, harus sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada. Bentuk penghormatan tersebut adalah : Pertama,  bahwa konsep “pencabutan“ tidak berlaku bagi pengadaan tanah untuk penetapan kawasan hutan lindung di atas hak ulayat karena berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 hutan lindung bukan merupakan kepentingan umum. Kedua, dengan tidak berlakunya konsep “pencabutan“ berarti Pemerintah tidak dapat serta merta menghapus hak ulayat masyarakat hukum adat. Ketiga, hak ulayat hanya bisa dilepaskan jika masyarakat adat menghendaki, dan hanya bisa dilakukan melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
            Kawasan hutan lindung tidak termasuk dalam kriteria kepentingan umum seperti yang tercantum dalam pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006, hanya saja kawasan hutan lindung termasuk dalam lingkup Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Untuk itu,  apabila di dalam kawasan hutan lindung terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat, maka ketentuan mengenai penyerahan dan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum tidak berlaku

DAFTAR  PUSTAKA
Bestari Raden dan Abdon Nababan, Pengelolaan Hutan berbasis masyarakat Adat : Antara Konsep dan Realitas, www.dte.gn.apc.org.2003
Boedi Harsono, Hukum Agaria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya), Djambatan, Jakarta, 2003
Parlindungan AP, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria,  Mandar Maju, Bandung, 1993
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat  di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987
Suryadarma. I.G.P, Peran Hutan Masyarakat Adat Dalam Menjaga Stabilitas Iklim, Suatu Kajian Perspektif Deep Ecology (Kasus masyarakat desa Adat Tenganan, Bali) jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Jogyakarta.
Soerjono Wignyodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983
Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang Undang Nomor  41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999
Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, Seminar Langkah langkah Administrasi Perlindungan Tanah adat, Palangkaraya, 2007.   

 

            

Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas Dalam Penggabungan Perusahaan (Merger) menurut UU No. 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas



Penulis : Fitriah, SH.,M.H

Abstrak

            Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan prosedur dan tata cara  penggabungan perusahaan (Merger) seta mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas dalam merger menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari, memahami, serta meneliti bahan-bahan kepustakaan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan yang akan diteliti.Study kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu bahan hukum yang terdiri :  1. Bahan hukum primer, bahan hukum yang mengikat seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang perseroan terbatas nomor 40tahun 2007 . 2. Bahan hukum sekunder terdiri dari kepustakaan  yang berhubungan erat dengan pemegang saham minoritas dalam merger. Hasil penelitian ilmiah yang ada kaitannya dengan materi penelitian. 3. Bahan hukum tersier, terdiri dari kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia dll. Hasil penelitian menunjukan bahwa Prosedur dalam penggabungan perusahaan (merger) hanya bersifat Prosedural dan protektif. Tata cara penggabungan merger menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 yaitu berdasarkan Pasal 89 (halaman 42) yaitu terlebih dahulu harus dilaksanakan rapat umum pemegang saham (RUPS) dan keharusan kuorum rapat paling sedikit  ¾ dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit  ¾ bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Disamping itu pula adanya kewajiban disclosure (keterbukaan informasi) melalui pengumuman di surat kabar dengan maksud agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui telah dilakukan penggabungan, peleburan atau pengambilalihan (pasal 133 undang-undang Nomor 40 tahun 2007). UUPT memberikan perlindungan bagi pemengang saham minoritas untuk melindungi kepentingannya  antara lain :: Personal Right (Hak Perseorangan) . Secara umum, semua orang adalah sama kedudukannya dalam hukum, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Appraisal Right, adalah hak pemegang saham minoritas untuk membela  kepentingannya dalam rangka menilai harga saham. Pre-Emptive Right, adalah  hak  untuk  meminta  didahulukan  atau   hak  untuk memiliki lebih dahulu atas saham yang ditawarkan. Derivative Right,  Kewenangan   pemegang   saham   minoritas      untuk   menggugat Direksi dan Komisaris yang mengatasnamakan perseroan. Enquete Recht (Hak Enquete) atau hak angket adalah hak untuk melakukan pemeriksaan. Hak angket diberikan kepada pemegang saham minoritas untuk mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan melalui pengadilan, mengadakan pemeriksaan berhubung terdapat dugaan adanya kecurangan-kecurangan atau hal-hal yang disembunyikan oleh Direksi, Komisaris atau pemegang saham mayoritas.

I. PENDAHULUAN
Undang-undang Republik Indonesia  No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) adalah pengganti Undang-undang No. 1 tahun1995 yang merupakan tonggak sejarah tentang merger. Merger menjadi trend dalam suatu grup usaha konglomerat yang ingin memperluas jaringan bagi usahanya, terutama bagi kelompok usaha yang ingin berkembang cepat dalam waktu yang relatif singkat. Dengan metode merger ini suatu kelompok usaha tidak perlu membesarkan suatu perusahaan dari kecil sehingga menjadi besar, tetapi cukup membeli perusahaan yang sudah besar atau sedang berjalan. Di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 ayat (9) : “Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.[1]/
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1998 disebutkan bahwa:  Merger dapat diartikan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar.
Ada kalanya suatu perusahaan tidak dapat menghadapi pesaing-pesaingnya yang kuat, sehingga posisi perusahaan yang lemah di dalam pasar menjadi terancam. Produsen mengahadapi situasi ketidakpastian, pesaing yang kuat dalam suatu pasar tidak hanya memiliki keunggulan dalam kualitas produk tetapi mereka memiliki modal yang besar untuk melayani sejumlah besar konsumen. Menghadapi situasi yang tidak menguntungkan tersebut perusahaan kecil melakukan strategi agar dapat bertahan di pasar yaitu melalui merger.
Merger terjadi ketika dua perusahaan sepakat untuk bergabung dan membentuk perusahaan baru, konsekuensinya kedua perusahaan tersebut menyerahkan saham mereka dan perusahaan baru itu akan menerbitkan saham sebagai gantinya. Dengan melakukan merger ini mereka berharap bisa memperoleh banyak manfaat, karena ini bisa mencakup banyak hal, mulai dari penghematan biaya, perluasan pasar, penguasaan teknologi, akses dana yang lebih besar dan masih banyak lagi.
Jadi secara umum merger perusahaan dilatar belakangi oleh beberapa faktor, yaitu : [2]
Meningkatkan efisiensi, karena akan melahirkan sinergi manajemen, sinergi operasional, dan sinergi keuangan serta mendatangkan keuntungan.
Penganekaragaman bidang usaha atau diversifikasi, dengan memiliki bidang usaha yang beraneka ragam maka suatu perusahaan dapat menjaga stabilitas pendapatan.
Meningkatkan penguasaan pangsa pasar.
Pengurangan kewajiban pembayaran pajak.
Penilaian harta yang lebih rendah dari harga sebenarnya.
Ingin meningkatkan prestise.
Dalam melakukan merger, bagi dua perusahaan bukanlah hal yang mudah, bahkan dapat menimbulkan masalah hukum yang sangat sensitif dalam pelaksanaannya, antara lain :[3]
Masalah Perpajakan
Dalam merger bagi dua perusahaan masalah pajak belum ada ketentuan yang tegas, hanya diserahkan kepada kebijaksanaan manajemen perusahaan sepanjang tidak bertentangan dengan dengan praktik akutansi yang lazim dan didasarkan atas pertimbangan yang sehat. Di dalam UUPT Pasal 102 (2) huruf c, bahawa Direksi perusahaan-perusahaan yang terlibat merger diberikan kebebasan untuk menentukan cara-cara konversi saham-saham pada perusahaan penerima gabungan.
Masalah Perlindungan Bagi Pemegang Saham Minoritas
Masalah perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas  menurut UUPT  Pasal 104 menentukan :
Perbuatan hukum  penggabungan, peleburan  dan pengambilalihan harus     Memperhatikan  kepentiangan  perseorangan,  pemegang  saham  minoritas   dan karyawan perseroan.
Penggabungan, peleburan dan   pengambilalihan  tidak   mengurangi  hak     pemegang  saham  minoritas  untuk menjual sahamnya sesuai dengan harga   yang wajar.
Masalah Intern dari perusahaan yang digabungkan Kondisi perusahaan yang digabungkan meliputi beberapa masalah yaitu :
Keadaan Saham/Pemegang Saham
Hal ini perlu diketahui kondisi pemegang saham di perusahaan tersebut, apakah ada saham yang digunakan/dijaminkan dan jumlah saham dalam akta-akta perusahaan.
Kedudukan dan Wewenang Direksi serta Dewan Komisaris
Hal ini perlu diketahui apakah para komisaris dan direksi telah diangkat sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam anggaran dasar perusahaan yang bersangkutan.
Aktiva dan pasiva
Yaitu keadaan sebenarnya dari harta maupun kewajiban perusahaan yang digabungkan secara jelas, mengingat hal ini sangat penting dalam penentuan harga merger.
Perizinan
Bagi perusahaan yang akan digabungkan memiliki izin yang lengkap dan masih berlaku, baik mengenai status perusahaan, atau pun izin untuk melakukakan kegiatan perusahaannya.
 Masalah Buruh
Dengan diadakannya merger mau tak mau terjadi masalah perubahan kedudukan dan pengurangan pegawai/buruh yang tidak potensial, karena tidak mustahil buruh dari dua perusahaan yang melakukan merger jumlahnya berbeda.
          Saham merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah Perseroan Terbatas. Saham merupakan tanda penyertaan modal dalam suatu perusahaan (PT) sebagai tanda bukti kepemilikan modal.[4]/  Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) UUPT, saham tersebut dikeluarkan atas nama pemilikinya sehingga menjadi tanda bukti kepemilikan atas saham suatu PT.
            Kepentingan  pemegang saham minoritas dalam suatu perusahaan, seringkali diabaikan atau bahkan dirugikan. Hal ini disebabkan karena adanya persepsi kuat bahwa yang paling berjasa memperbesar pundi-pundi keuangan perusahaan, adalah pemegang saham mayoritas. Penguasaan persentase volume saham atau pemasukan modal kepada perusahaan, memberi dukungan kuat atau bukti kelak terhadap persepsi ini.   Persepsi tersebut diperkuat lagi dengan dianutnya prinsip  one share one vote  dalam hukum perseroan terbatas. Sehingga, dalam setiap RUPS pemegang saham minoritas tidak akan mungkin pernah memenangkan keputusan yang diambil melalui voting.  Dalam tataran operasional, komposisi direksi atau komisaris senantiasa dikuasai atau dikendalikan oleh pemegang saham mayoritas.   Namun demikian, hukum perseroan terbatas memberikan hak-hak tertentu atau hak derivatif kepada pemegang saham minoritas yang memiliki minimal 10 % saham, untuk melindungi hak-hak dan kepentingannya dalam perusahaan, terutama terhadap kesewenang-wenangan pemegang saham mayoritas.  Bahkan, dalam hal-hal tertentu, pemegang saham minoritas dapat bertindak mewakili perusahaan untuk menggugat direksi yang karena kesalahannya telah bertindak merugikan perusahaan. Selain itu, masih ada sejumlah hak-hak lain yang dapat dipergunakan oleh pemegang saham minoritas untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya, agar tidak dirugikan kepentingannya dalam perusahaan. [5]/ Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dengan judul Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas Dalam Penggabungan Perusahaan (Merger) menurut  UUPT No. 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permaslahan dalam penelitian ini,  adalah : Bagaimanakah Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Saham Minoritas Dalam Merger Menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk :
Mengetahui dan menjelaskan prosedur dan tata cara  penggabungan perusahaan (Merger) menurut UU Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perserosn Terbatas
Mengetahui dan memahami bentuk perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas dalam Merger Menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Metode Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis, seperti buku-buku (kitab), majalah dan jurnal yang berkaitan. Study kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu penelitian bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan ini yang terdiri :
Bahan Hukum Primer :
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Dagang
Peraturan  Pemerintah  Nomor  27  tahun 1998 tentang Penggabungan,   Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.
Peraturan   Pemerintah   Nomor   28   Tahun  1999   tentang     merger,   konsilidasi,  dan akuisisi bank.
Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dalam hal ini hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum yang ada relevansinya dengan topik penelitian ini.
Bahan Hukum Tersier
Kamus hukum
Kamus besar bahasa Indonesia

II. PEMBAHASAN
Pengertian Perseroan Terbatas
Perseroan terbatas merupakan suatu artificialperson, yaitu suatu badan hukum yang dengan sengaja diciptakan, yang pada dasarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan manusia. Bila manusia mempunyai anggota tubuh, perseroan memiliki organ-organseperti komisaris, direksi dan RUPS. Hak dan kewajiban organ-organperseroan ini tidak hanya diatur oleh undang-undang, anggaran dasar, dandoktrin. Perubahan anggaran dasar perseroan hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam anggaran dasar. [6]/
Di dalam Pasal-pasal KUHD yang mengatur mengenai perseroan terbatas, tidak ditemukan pengertian perseroan terbatas. akan tetapi, dari Pasal 36,40,42, dan 45 KUHD dapat disimpulkan bahwa suatu perseroan terbatas mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
Adanya kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi masing-masing pendiri perseroan terbatas (pemegang saham) dengan tujuan untuk membentuk sejumlah modal sebagai jaminan bagi semua perikatan perseroan terbatas.
Adanya pemegang saham yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya.
Para persero ini tergabung dalam Rapat Umum Pemegang Saham sebagai organ perseroan terbatas yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan terbatas, yang berwenang mengangkat direksi dan komisaris, menetapkan kebijakan umum perseroan terbatas yang akan dijalankan oleh direksi, dan menetapkan kewenangan atau hal-hal lainnya yang tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris. [7]/
Adanya pengurus yang dinamakan direksi dan pengawas, yang dinamakan komisaris yang juga merupakan organ perseroan terbatas, yang tugas, kewenangan dan kewajibannya diatur lebih lanjut dalam Anggaran dasar perseroan terbatas atau keputusan RUPS .
Dalam Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebelum lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, yaitu: “Perseroan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini, serta peraturan pelaksanaanya” (pasal 1 angka (1)).
Dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 1 angka (1) dinyatakan bahwa: “Perseroan terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaanya”. Dari batasan yang diberikan tersebut diatas ada beberapa hal pokok yang dapat kita tarik kesimpulannya: [8]/
Perseroan terbatas merupakan suatu badan hukum
Didirikan berdasarkan perjanjian
Melakukan kegiatan usaha
Modalnya terdiri dari saham-saham
Dengan demikian Perseroan Terbatas sebagai badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian dalam melakukan kegiatannya dari modal Perseroan yang terdiri  dari  saham-saham,  maka secara  hukum pada prinsipnya  harta bendanya terpisah  dari  harta  benda  pendirinya/pemiliknya.  Karena  itu  tanggung  jawab secara hukum juga dipisahkan dari harta benda pribadi pemilik perusahaan yang berbentuk badan hukum tersebut. Apabila  suatu  Perseroan  Terbatas  melakukan  suatu  perbuatan  dengan pihak  lain,  yang  bertanggung  jawab  adalah  Perseroan  tersebut  dan  tanggung jawabnya sebatas harta benda yang dimiliki oleh Perseroan tersebut. Harta benda pribadi  pemilik  Perseroan/pemegang  sahamnya  tidak  dapat  disita  atau  digugat untuk dibebankan tanggung jawab Perseroan tersebut.  Ini  adalah  prinsip yang berlaku umum dalam keadaan normal.[9]/
Suatu badan hukum merupakan Perseroan Terbatas yang modalnya terdiri atas  saham-saham,  maka  tanggung  jawab  pemegang  saham dalam Perseroan Terbatas  tersebut  terbatas  pada  modal  yang  disetor  dalam  Perseroan  tidak bertanggung jawab sampai kekayaan pribadinya.

 Modal Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan  Terbatas  (PT)  semula  diatur  dalam Kitab  Undang-Undang Hukum Dagang  (KUHD)  yang  dulu  disebut  dengan  Naamloze  Vennootschap (NV),  adalah  merupakan  suatu  persekutuan  untuk  menjalankan  usaha  yang memiliki  modal,  terdiri  atas  saham-saham dimana pemiliknya  memiliki  bagian sebanyak saham yang dimilikinya.  Karena modalnya  terdiri  atas  saham-saham yang dapat diperjualbelikan, perubahan kepemilikan perusahaan dapat dilakukan tanpa perlu membubarkan perusahaan.[10]/
Perseroan Terbatas merupakan badan usaha dan besarnya modal Perseroan tercantum dalam Anggaran Dasar.  Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi pemilik perusahaan, sehingga Perseroan Terbatas memiliki harta kekayaan sendiri. Setiap orang dalam Perseroan Terbatas  dapat  memiliki  lebih dari  satu saham yang  menjadi  bukti  pemilikan  perusahaan.  Pemilik  saham mempunyai tanggung jawab terbatas  yaitu  sebanyak  saham yang  dimiliki.  Apabila  hutang perusahaan melebihi kekayaan perusahaan, maka kelebihan hutang tersebut tidak menjadi  tanggung jawab para  pemegang saham.  Apabila perusahaan mendapat keuntungan,  maka keuntngan tersebut dibagikan sesuai  dengan ketentuan yang ditetapkan.  Pemilik  saham akan  memperoleh  bagian  keuntungan  yang  disebut deviden,  yang  besarnya  tergantung  pada  besar  kecilnya  keuntungan  yang diperoleh Perseroan Terbatas.
Perseroan  sebagai  subyek  hukum disahkan  oleh  negara  menjadi badan hukum memang  tetap tidak bisa  dilihat  dan tidak dapat  diraba (invicible  and intangible).  Akan  tetapi  eksistensi  riilnya  ada  sebagai  subyek  hukum  yang terpisah  (separate)  dan  bebas  (independent)  dari  pemiliknya  atau  pemegang sahamnya maupun dari pengurus dalam hal ini Direksi Perseroan. Secara terpisah dan independen Perseroan melalui pengurus dapat  melakukan perbuatan hukum (rechsthandeling,  legal  act),  seperti  melakukan  kegiatan  untuk  dan atas  nama Perseroan membuat perjanjian, menggugat dan atau digugat di depan Pengadilan.
Sebagai  badan  hukum  Perseroan  Terbatas  dalam melakukan  kegiatan usahanya  dengan modal  dasar  yang  seluruhnya  terbagi  dalam saham.  Adapun modal dari Perseroan Terbatas terbagi atas modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. [11]/
Modal dasar Perseroan Terbatas sebagaimana ditentukan dalam Pasal  32 UU No. 40 Tahun 2007, modal dasarnya minimal Rp 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah) dan paling sedikit  25% dari  modal  dasar  harus sudah ditempatkan dan disetor penuh, dan dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah sesuai ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2007. Di dalam Perseroan Terbatas dikenal 3 (tiga) jenis modal, yakni : [12]/
Modal dasar, yakni  jumlah  modal  yang disebutkan  dalam Anggaran Dasar   Perseroan   Terbatas  (PT).  Dalam   Pasal   32   Ayat   (1)   Undang-Undang Perseroan Terbatas, disebutkan modal dasar minimal Rp 50.000.000,-.
Modal  ditempatkan,  yakni  sebagian  dari modal dasar Perseroan yang telah disetujui untuk diambil oleh para pendiri. Dalam Pasal 33 Ayat (1), Undang-Undang PT disebutkan minimal  25% dari  modal  dasar  harus disetujui oleh  para pendiri.
Modal disetor, yakni  modal  yang  benar-benar  ada  dan  disetor  penuh dan dapat dibuktikan dengan bukti  penyetoran  yang  sah, seperti  yang  terdapat dalam Pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang PT.
Akan tetapi  dalam Pasal  34 UU No. 40 Tahun 2007 disebutkan modal Perseroan Terbatas tidak harus dalam bentuk uang tunai, akan tetapi bisa :
Boleh  dalam  bentuk  lain,  penilaian  penyetoran  modal  saham ditentukan  berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh para ahli yang tidak terafilisi dengan Perseroan.
Penyetoran dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam satu surat  kabar  atau lebih dalam jangka waktu 14 hari  setelah akta pendirian ditandatangani.
Jadi dengan demikian  dapat  dikatakan  bahwa  modal  Perseroan Terbatas dapat terdiri dari modal dasar, modal yang ditempatkan, modal disetor, dan juga dapat  berupa bentuk lain,  dimana penilaian penyetoran modal  saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar. Di samping  itu  juga  modal  tidak  harus  dengan  bentuk  uang  tunai,  jadi  modal Perseroan  dapat  berupa  benda  tidak  bergerak  yang  penyetorannya  harus diumumkan dalam suatu surat  kabar  dalam jangka waktu 14 hari  setelah Akta Pendirian ditandatangani oleh para pihak di dalam pendirian Perseroan Terbatas.
Pengertian Dan Jenis-Jenis Saham
Saham merupakan tanda penyertaan modal pada suatu Perseroan Terbatas (PT) saham juga di identifikasikan sebagai surat bukti kepemilikan dalam suatu PT yang diperoleh melalui pembelian atau cara lain yang kemudian memberikan hak atas deviden dan lain-lain sesuai dengan besar kecilnya investasi modal pada perusahaan tersebut.
Saham adalah tanda bukti penagambilan bagian atau peserta dalam suatu Perseroan Terbatas. Bagi perusahaan yang bersangkutan, hasil yang diterima dari penjualan sahamnya akan tetap tertanam dalam perusahaan tersebut selama hidupnya, meskipun bagi pemegang saham sendiri itu bukanlah merupakan penanam yang permanen. Karena setiap waktu pemegang saham dapat menjual sahamnya. Saham merupakan surat berharga yang menunjukkan kepemilikan atau penyertaan pasar modal investor dalam suatu perusahaan.[13]/
            Saham memberikan indikasi kepemilikan atas perusahaan sehingga para pemegang saham berhak menentukan menentukan arah kebijaksanaan perusahaan lewat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Para pemegang saham juga berhak memperoleh deviden yang dibagikan oleh perusahaan. Sebaliknya, pemegang sahampun turut menanggung resiko sebesar saham yang dimiliki apabila perusahaan tersebut bangkrut. Modal saham adalah unit kepemilikan dalam sebuah perusahaan, sebagai bukti kepemilikan atas saham, perseroan terbatas menerbitkan sertifikat sahamnya. Saham yang dikeluarkan perusahaan merupakan bukti pembayaran pemegang saham kedalam perusahaan. Jumlah yang terakumulasi dalam perusahaan dinamakan dengan nama modal saham. Perwakilan kepemilikan seseorang didalam suatu perseroan terbatas tercermin dalam sedikit banyaknya lembar saham yang dimiliki. Semakin banyak lembar saham yang dimiliki akan semakin besar derajat kepemilikannya.[14]/
Adapun jenis saham berdasarkan atas cara peralihan hak, terbagi:
Saham atas unjuk (bearer stocks).
            Saham jenis ini sangat mudah dipindahkan seperti halnya mata uang. Oleh karena itu kualitas kertas lembar saham dibuat spesifik agar sulit untuk dapat dipalsukan. Dalam saham jenis ini pada sertifikatnya tidak tercantum nama pemilik saham sehingga manakala pemiliknya ingin menjual atau memindahkan kepada orang lain akan dapat melaksanakannya dengan mudah.
Saham atas nama (registered stocks)
             Saham jenis ini merupakan kebalikan dari saham atas unjuk. Saham ini memuat nama pemiliknya dan nama ini akan tercantum dalam buku perseroan sehingga apabila terjadi pemindahan saham atas nama maka harus menempuh prosedur tertentu yang harus dipenuhi. Saham ini mempunyai tingkat keamanan yang tinggi sebab sudah tercantum dalam buku perseroan sehingg apabila saham ini hilang maka cukup memberitahukan kepada perusahaan untuk meminta penggantian.
Sedangkan jenis saham berdasarkan hak tagihan (klaim), terdiri dari :
Saham biasa (common stocks)
Dengan adanya resiko yang besar tersebut biasanya jika usaha perusahaan berjalan dengan baik maka deviden saham biasa akan lebih besar daripada saham preferen. Tetapi manakala terjadi likuidasi pembagian deviden dan pembagian harta perusahaan serta pemegang saham biasa akan memperoleh pembagian terakhir setelah pemegang saham preferen.
Pembagian deviden untuk saham biasa dapat dilakukan jika perusahaan sudah membayar deviden untuk saham preferen Saham biasa mempunyai hak yang sama bagi pemegangnya yang dapat menentukan jalannya perseroan melalui rapat umum pemegang saham. Kadangkadang hak suara dalam rapat pemegang saham hanya diberikan pada saham biasa, tetapi sering juga saham preferen mempunyai hak suara.
Saham preferen (prefered stock)
Saham preferen merupakan saham yang mempunyai hak khusus melebihi pemegang saham biasa. Saham preferen disebut juga dengan saham istimewa sebab mempunyai banyak keistimewaan. Biasanya keistimewaan ini dihubungkan dalam hal pembagian deviden atau pembagian aktiva pada saat likuiditas.
Saham preferen mempunyai beberapa hak, yaitu hak atas deviden tetap dan hak pembayaran terlebih dahulu jika terjadi likuidasi .Kelebihan dalam hal pembagian deviden adalah bahwa deviden yang dibagi pertama kali harus dibagikan untuk saham preferen, kalau ada kelebihan baru dibagikan kepada pemegang saham biasa. Deviden saham preferen tidak terutang atas dasar waktu, tetapi baru terutang jikasudah diumumkan oleh perusahaan. Dalam hal pimpinan perusahaan tidak mengumumkan pembagian deviden dalam suatu periode maka deviden tidak hilang.
Biasanya saham preferen mempunyai nilai nominal dan devidennya dinyatakan dalam persentase dari nilai nominal. Apabila saham prioritas tidak mempunyai nilai nominal maka devidennya dinyatakan dalam bentuk rupiah dan bukan dalam bentuk persentase.
Suatu perusahaan dapat mengeluarkan lebih dari satu macam saham preferen disebut saham preferen ke satu, saham preferen kedua dan seterusnya, dimana saham preferen kesatu mempunyai klaim yang pertama terhadap laba dan saham preferen kedua mempunyai klaim kedua dan seterusnya. Saham preferen dipisah lagi menjadi:[15]/
Saham preferen kumulatif.
Saham preferen kumulatif adalah saham preferen yang devidennya setiap tahun harus dibayarkan kepada pemegang saham dengan kata lain saham ini merupakan saham yang dijamin akan memperoleh deviden setiap tahunnya. Apabila dalam satu tahun deviden tidak dapat dibayarkan maka pada tahun-tahun berikutnya deviden yang belum dibayar tersebut harus dilunasi dulu sehingga dapat mengadakan pembagian deviden untuk saham biasa.
Saham preferen tidak kumulatif.
Saham ini merupakan kebalikan dari saham preferen kumulatif. Dalam saham preferen tidak kumulatif pemegang saham tidak akan memperoleh pembagian keuntungan secara penuh manakala dalam suatu periode ada deviden yang belum dibayar. Dalam saham jenis ini, pemegang saham preferen akan mendapat proritas akan tetapi hanya sampai pada jumlah tertentu sehingga tidak seluruh deviden yang tidak dibayar akan dipenuhi seluruhnya, kadangkala tidak menutup kemungkinan bahwa deviden yang tidak dibayar pada tahun sebelumnya tidak akan dibayar ditahun kemudian.
Saham preferen partisipasi.
Saham ini merupakan saham preferen dalam hak devidennya tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Ini berarti saham ini disamping memperoleh deviden tetap juga akan memperoleh bonus (tambahan) deviden manakala perusahaan mencapai sasaran yang telah digariskan.
Saham preferen konvertibel (Convertible prefered stocks).
Adalah saham preferen yang dapat diujur dengan surat berharga lain yang dikeluarkan oleh perusahaan lain yang menerbitkan saham ini umumnya hak konversi ditujukan untuk dapat ditukarnya saham preferen dengan saham biasa. Meskipun saham preferen umumnya mempunyai hak yang didahulukan dalam pembagian deviden akan tetapi dalam hubungannya dengan kekuasaan terhadap keberadaan perusahaan sangat jauh lebih kecil dibandingkan dengan saham biasa.
Tinjauan Umum Tentang Merger, Konsilidasi, Akuisisi
            Istilah merger berasal dari kata “merge” yang berarti menggabungkan atau memfusikan. [16]/ Merger lebih dikenal di dalam bidang manajemen, karena istilah ini selalu dikaitkan dengan strategi manajemen dalam rangka pengembangan atau perluasan suatu usaha, termasuk di dalamnya usaha-usaha untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam perusahaan seperti kurangnya modal dan sumber daya manusia. Istilah lain yang sering dipakai dalam literatur manajemen adalah kombinasi bisnis (business combination), yaitu suatu transaksi yang berkaitan dengan kombinasi atau penggabungan badan usaha antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Kombinasi bisnis biasa dialakukan melalui merger, konsolidasi dan akuisisi.
UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) tidak menggunakan istilah merger, konsolidasi, atau akuisisi, melainkan menggunakan istilah penggabungan untuk Merger, peleburan untuk Konsolidasi dan Pengambil alihan (acquisition) untuk akuisisi saham. Istilah dan definisi merger, konsolidasi dan akuisisi digunakan dalam UU Perbankan Pasal 1 angka 25, 26, dan 27 serta disnggung Pasal 28 ayat (1) yang mengharuskan bahwa merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib terlebihdahulu mendapat izin Pimpinan Bank Indonesia. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 dijelaskan mengenai prosedur merger, konsolidasi dan akuisisi bank. Merger Penggabungan (Merger) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum (Pasal 1 angka 9 UUPT).
Dari pengertian tersebut dapat dilihat unsur-unsur dalam merger, yaitu:
Penggabungan perusahaan setidaknya melibatkan dua pihak perusahaan, yaitu yang menerima penggabungan (absorbing company/acquiring company/surviving company) dan pihak perusahaan yang digabungkan atau menggabungkan diri (absorbed company/acquired company/ target company).
Perusahaan yang menerima penggabungan (surviving company) akan menerima atau mengambil alih seluruh hak dan kewajiban, aktiva dan pasiva dari target company.
Perusahaan yang digabungkan (target company) akan hilang statusnya sebagai perusahaan karena hukum.
Peleburan (Konsolidasi) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum (Pasal 1 angka 10 UUPT). Dari pengertian tersebut dapat dilihat unsur-unsur dalam merger, yaitu:
a. Peleburan perusahaan setidaknya melibatkan tiga pihak, yaitu setidaknya ada  dua perusahaan yang melebur (absorbed company) dan kedua pihak perusahaan tersebut membentuk perusahaan baru.
 b. Perusahaan-perusahaan yang  melebur (absorbed company) akan hilang   
     statusnya sebagai perusahaan karena hukum.
c. Perusahaan   baru  akan  menerima  atau   mengambil  alih  seluruh  hak  dan kewajiban, aktiva dan pasiva dari perusahaan-perusahaan yang melebur. Jadi baik  merger  maupun  konsolidasi  kedua-duanya  menghasilkan  kombinasi atau    penggabungan   asset   dan    liabilities   perusahaan-perusahaan   yang  bergabung maupun yang melebur.
Jadi baik merger maupun konsolidasi kedua-duanya menghasilkan kombinasi atau penggabungan asset   dan liabilities perusahaan-perusahaan yang bergabung maupun yang melebur. Perbedaannya hanya terletak pada eksistensihukum. Pada merger the acquiring/surviving  firm  mempertahankan nama dan identitasnya dan mengambilalih semua asset   dan liability   dari the acquired/target company  dan setelah merger, eksistensi target company  sebagai badan hukum berakhir. Sedangkan pada konsolidasi kedua perusahaan yang melebur eksistensinya berakhir dan bergabung menjadi bagian dari perusahaan yang baru.
Di dalam akusisi terdari dari dua jenis, yaitu :  Akuisisi saham, dan Akuisisi aset. Namun UU PT hanya mengatur mengenai akuisisi saham terutama terkait dengan prosedur pengambil aihannya. Berdasarkan undang-undang ini Pengambil alihan (Akuisisi) didefiniskan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut (Pasal 1 angka 11 UUPT).
Akuisisi Saham dapat dilakukan dalam 2 (dua) cara yaitu (Pasal 125 UU PT):
Melalui Direksi PerusahaanTarget.
Secara  langsung  dari  pemegang   saham   Perusahaan  Target,  di mana 
    prosedurnya tidak berbeda dengan jual beli saham pada umumnya.
Akusisi saham langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat Rancangan Pengambil alihan, tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perusahaan yang diambil alih.
UUPT tidak mengatur besarnya ambang batas (treshold ) persentase saham yang diambilalih sehingga dapat disebut sebagai telah terjadi akuisisi atau pengambilalihan yang konsekuensinya harus memenuhi prosedur yang ditentukan dalam undang-undang. Kata kuncinya adalah bahwa pengambil alihan harus dapat mengakibatkan “beralihnya pengendalian”. UUPT sendiri tidak mendefinsikan kriteria “pengendalian”. Namun pengertian “pengendalian” dapat dijumpai dalam ketentuan di bidang pasar modal. Dalam Pasal 1 huruf d Peraturan Bapepam Nomor IX.H.1 tentang Pengambil alihan Perusahaan Terbuka disebutkan bahwa yang disebut “Pengendali” adalah: (i)Pihak yang memiliki saham lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh saham yang disetor penuh, atau (ii) Pihak yang mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidaklangsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijaksanaan Perusahaan Terbuka.
Jadi pengambilalihan dalam perusahaan terbuka terjadi apabila:
Acquiring company menjadi pemegang saham dengan jumlah lebih dari 50% dari saham yang disetor pada perusahaan target; atau
Pengambil alihan  oleh    acquiring    company   dimaksudkan   untuk      mengendalikan target company tanpa  harus  melihat  apakah  threshold 50% kepemilikan saham pada perusahaan target dipenuhi atau tidak.
Ketentuan serupa juga berlaku dalam akuisisi bank sebagaimana diatur dalam Pasal 9 PP No. 28 Tahun 1999. Akuisisi Bank dilakukan dengan cara mengambil alih seluruh atau sebagian saham yang mengakibatkan beralihnya pengendalian Bank kepada pihak yang mengakuisisi. Pengambil alihan saham Bank baik secara langsung maupun melalui Bursa Efek, yang mengakibatkan kepemilikan saham oleh pemegang saham perorangan atau badan hukum menjadi lebih dari 25% (dua puluh lima per seratus) dari saham Bank yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara, dianggap mengakibatkan beralihnya pengendalian kecuali pihak yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya bahwa walaupun yang bersangkutan telah menguasai lebih dari 25% kepemilikan saham pada perusahaan target sepanjang ia tidak bermaksud untuk melakukan pengendalian manajemen perusahaan target atau sekedar untuk melakukan investasi portofolio atau spekulasi perdagangan saham maka tidak dapat dikatakan telah terjadinya pengambil alihan. Demikian pula sebaliknya apabila, acquiring company mengambil alih kepemilikan saham perusahaan target kurang dari 25%, namun sepanjang dapat dibuktikan bahwa yang bersangkutan bermaksud untuk melakukan pengendalian manajemen perusahaan target, maka hal ini sudah dapat disebut telah terjadi pengambilalihan/akuisisi bank.
Sedangkan dari aspek persaingan usaha, akuisisi dilarang apabila akuisisi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan Pasal 28 (1) dan (2) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perusahaan dilarang melakukan pengambil alihan saham perusahaan lain apabila pengambil alihan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Penilaian apakah pengambil alihan dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usahga (“KPPU”) dengan menggunakan beberapa indikator penilaian, yaitu konsentrasi pasar, hambatan masuk pasar, potensi perilaku anti persaingan, efisiensi dan kepailitan. Sedangkan akuisisi  tersirat dari ketentuan Pasal 102 UU PT. Pasal 102 ayat (1) UUPT berbunyi: “Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk:
 Mengalihkan kekayaan Perseroa ; atau
Menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan;  yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak”.
Jadi dalam hal ini target company  harus meminta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham apabila terjadi pengambil alihan aset perusahaan oleh perusahaan lain (acquiring ompany). Pengalihan aset target company harus memperoleh persetujuan dari RUPS dengan korum kehadiran paling sedikit ¾ dari jumlah saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit ¾ dari jumlah suara tersebut. Namun apabila dilakukan tanpa tanpa persetujuan RUPS, pengalihan ini tetap sah mengikat Perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut (dhi. acquiring company) beritikad baik. Prosedur akuisisi aset mengikuti ketentuan dalam KUHPerdata, khususnya terkait dengan perikatan dan jual beli. Jadi walaupun terdapat perbedaan antara pengertian konsolidasi dan akuisisi, namun kesemuanya itu hampir memiliki kesamaan dalam hal maksud dan tujuan, yang pada intinya adalah penggabungan. Merger dan akuisisi juga merupakan konsep yang selalu muncul bersamaan, merger adalah konsep dasarnya, sedangkan akuisisi adalah pelaksanaan konsep itu. Akuisisi adalah salah satu cara menghasilkan merger yang dianggap elegan.
 Kelebihan Merger/Konsolidasi:
Merger/ konsolidasi biasanya lebih murah dibandingkan dengan bentuk akuisisi karena secara hukum semua aktiva dan pasiva kedua (atau lebih) perusahaan otomatis menjadi satu pada saat bergabung/melebur dan bisa dilakukan tanpa melikuidasi acquired company , dimana diketahui bahwa biaya likuidasi akan bisa menjadi sangat mahal.
Merger /konsolidasi selain dapat dilakukan secara murah, juga dapat dilakukan secara cepat dimana dapat dihindari semua proses pengalihan (balik nama, roya atas hak-hak jaminan) yang diperlukan dari masing-masing asset.
Kelemahan Merger/Konsolidasi:
Merger  dan   konsolidasi   memerlukan   persetujuan  dari  pemegang  saham masing-masing   perusahaan  di mana  prosesnya  akan  memakan   biaya  dan  waktu.
Pemegang saham dari acquired company yang tidak setuju memiliki appraisal rights dimana ia dapat meminta aquiring company untuk membeli sahamnya berdasarkan fair value, dimana seringkali tidak tercapai kesepakatan tentang harga fair value yang berakibat kepada proses legal yang menjadi mahal.
Pengambil alihan/Akuisisi Saham
Kelebihannya yaitu :
a. Perusahaan   pengakuisisi   dapat   mem”bypass”  direksi   perusahaan  direksi perusahaan  target  dengan  langsung  melakukan  transaksi dengan pemegang  saham.
b. Perusahan    melakukan   akuisisi    saham    secara    bertahap   (untuk  tujuan melakukan  merger  nantinya) untuk  menghindari pemegang saham minoritas yang  tidak setuju di mana nantinya diharapkan agar secara bertahap akhirnya terjadi “completely absorbed acquisition” yang  pada  hakekatnya  merupakan   merger.
    Kelemahannya yaitu :
Akuisisi saham biasanya berakhir dengan hostile takeover, di mana adanya pertentangan dari pihak manajemen atau pemegang saham minoritas/publik yang dapat mengakibatkan biaya akuisisi yang mahal dibandingkan biaya merger.
 Akuisisi Aset , kelebihannya :
Banyak perusahaan  melakukan akuisisi aset, ketimbang akusisi saham dengan alasan atau pertimbangan sebagai berikut:
a. Untuk   menghindari   keharusan   memikul    utang   yang   tidak  tercatat  dipembukuan (unrecorded liabilities).
b. Menghindarkan   untuk    melaksanakan    perjanjian-perjanjian  yang   tidak diinginkan   oleh    pembeli,  yang   terpaksa   harus    dilaksanakan   apabila   dilakukan   dengan  akuisisi  saham.  Perjanjian-perjanjian tersebut misalnya yang berkaitan dengan perburuhan, perjanjian sewa, perjanjian pembelian dan lain-lain.
c. Menghindari  timbulnya  permasalahan  dengan pemegang saham minoritas,  jika dilakukan melalui akuisisi saham (hostile takeover)
 Kelemahan :
 a. Prosedur yang rumit untuk menentukan pembelian asset tesebut, yaitu yang  menyangkut balik nama, roya atas hak-hak jaminan seperti Hipotik dan Hak tanggungan.
b. Legal  prosedur  untuk  mentransfer asset-aset tersebut akan memakan biaya  yang tinggi
Klasifikasi Merger
Jika dilihat dari jenis usahanya merger terdiri dari: [17]/
 Merger Horizontal,
Kombinasi antara suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya yang kegiatan operasinya masih berada dalam bidang bisnis yang sama (same line of business) yang tadinya saling bersaing. Tujuan utamanya yaitu mewujudkan efisiensi dalam produksi, promosi dan memasuki pasar yang sudah mapan. Misal merger antar bank, merger antara firma akuntan publik.
  Merger Vertikal
Kombinasi antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya yang kegiatan operasional atau bidang usahanya menunjukkan adanya hubungan sebagai produser-supplier. Tujuan dari merger vertikal adalah untuk menjamin pengadaaan bahan baku yang berkesinambungan, menjamin jalur pemasaran atas barang/jasa, serta menekan biaya produksi. Misal merger perusahaan perkebunan karet dengan perusahaan produsen ban.
  Merger Konglomerat
Kombinasi antara suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya yang tidak saling memiliki hubungan, baik dalam jenis usaha (horizontal) maupun tingkat operasi kegiatan (vertikal). Tujuannya bagi perusahaan atau grup perusahaan adalah untuk memperkecil risiko dalam rangka diversifikasi dan memperkecil ketergantungan
Merger Kon-Generik
Dengan merger kon-generik, perusahaan-perusahaan yang bergabung saling berhubungan satu sama lain, yang mempunyai kesamaan sifat produksinya, tetapi belum dapat dikatakan sebagai produsen terhadap produk yang sama (horizontal) dan bukan pula hubungan antara produsen –suplier (vertikal).
Jika dilihat dari segi tata cara bagaimana merger dilakukan, maka merger dapat diklasifikasikan sebagai berikut :[18]/
Merger dengan Likudasi dan Jual Beli Aset
Dalam hal ini terlebih dahulu perusahaan target dilikuidasi, baru kemudian aset-asetnya yang masih tertinggal dibagi-bagikan kepada pemegang saham menurut porsinya masing-masing. Selanjutnya secara individual pemegang saham tersebut menjual aset itu kepada perusahaan merger yang akan membelinya.
Merger dengan Jual Beli Aset dan Likuidasi
Dengan metode ini, justru jual beli aset perusahaan target yang terlebih dahulu dilakukan, selanjunya baru dilakukan likuidasi terhadap perusahaan target tersebut.
Merger dengan Jual Beli saham dan Likuidasi
Dapat juga yang dibeli semua saham perusahaan target dari masing-masing individual pemegang saham. Setelah itu perusahan target dilikuidasi dan asetnya dialihkan kepada perusahaan pembeli. Setelah itu pemegang saham mayoritas dapat melakukan likuidasi, sementara pemegang saham minoritas yang masih tersisa setelah dilikuidasi dapat dipaksakan untuk menerima cash sebagai harga sahamnya.
Selanjutnya apabila merger dilihat dari segi variasinya, terdapat beberapa merger, yaitu :[19]/
 Merger Sederhana (Simple Merger)
Merger ini dilakukan dimana suatu perusahaan merger ke perusahaan lain dan salah satu melebur, dan seluru aktiva dan pasiva perusahaan yang melebur tersebut beralih ke perusahaan yang exist.
 Merger Praktis (Practical Merger)
Merger ini terjadi tidak dengan pembayaran tunai dari harga saham perusahaan target, melainkan ditukar dengan sahamnya pengambil alih.
 Merger Segitiga (Triangular Merger)
Pada merger ini, perusahaan pengambil alih membentuk anak perusahaan penuh (100% saham), dan terhadap anak perusahaan tersebut perusahaan target dibubarkan. Pemegang saham yang melebur menerima saham dari perusahaan induk, bukan dari anak perusahaan.
 Merger Segitiga Terbaik ( Reverse Triangular)
Pada merger ini, justru anak perusahaan penuh baru dibentuk dileburkan ke dalam perusahaan target.
 Merger Anak Induk
Yang melakukan merger adalah anak perusahaan dengan induknya, dimana salah satu diantaranya akan lenyap, merger ini terdiri atas :
Merger Arus ke Bawah, terjadi jika induk perusahaan melebur ke anak      perusahaan.
Merger Arus ke Atas, terjadi justru jika anak perusahaan yang melebur ke induk perusahaan.
Merger Jalan Pintas (Short Form), di mana anak perusahaan yang melebur ke induk perusahaan merupakan subsidinya.
 Merger Kepanjangan Tangan,(Arm’s Length)
Terjadi jika yang akan meleburkan diri adalah anak perusahaan yang merupakan subsidiary penuh dari perusahaan induk.
 Merger De Facto
Kadangkala suatu transaksi dilakukan dengan tidak menyebutkan bahwa yang sedang dilakukan tersebut adalah merger. Tetapi dalam kenyataannya transaksi tersebut membawa akibat seperti halnya merger. Maka menurut doktrin merger de facto, transaksi yang bersangkutan selayaknya juga oleh hukum dianggap merger,. Tetapi Undang-undang tentang Perseroan Terbatas belum dapat menjangkau terhadap merger ini.
Apabila dipakai analisis keuangan sebagai analis, maka merger dapat diklasifikasikan sebagai berikut : [20]/
Merger Permodalam Murni ,adalah : merger dimana perusahaan-perusahaan yang melakukan merger tetap beroperasi sebagai unit-unit yang terpisah sehingga tidak ada penghematan operasional.
  Merger Operasional adalah : merger dimana diharapkan akan ada sinergi dari perusahaan-perusahaan yang melakukan merger lewat integrasi dari operasional perusahaan-perusahaan tersebut.
Jika ditinjau dari sudut akutansi, maka merger dapat diklasifikasikan sebagai berikut : [21]
  Merger dengan Metode Pembelian
Yaitu : merger yang menggunakan metode akutansi yang didasari pada pembelian berdasarkan harga pasar dalam menilai harga perusahaan target.
  Merger dengan Metode Pooling of Interest
Yaitu: merger yang dilakukan dengan mendasarkan kepada metode akutansi yang didasari pada nilai buku dalam memberi nilai kepada perusahaan target.
Pengaturan mengenai prosedur dan tata cara merger sebagai sarana untuk melaksanakan restrukturisasi perusahaan secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pengaturan mengenai merger dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas hanya bersifat prosedural dan protektif.
Pengaturan mengenai penggabungan yang bersifat prosedural dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas meliputi hal-hal sebagai berikut :
Mengenai rancangan penggabungan atau peleburan usaha.
 Syarat penggabungan.
Penggabungan harus mendapat persetujuan dewan komisaris diajukan kepada RUPS untuk disetujui.
Penggabungan berdasarkan ketentuan undang-undang ini, perlu mendapatkan pesetujuan dari instansi terkait.
Ketentuan mengenai penggabungan dalam undang-undang ini berlaku pula untuk perseroan terbuka sepanjang tidak ditentukan lain.
Sedangkan pengaturan mengenai penggabungan yang bersifat protektif dalam undang-undang nomor 40 tahun 2007 adalah bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Adapun pihak-pihak tertentu yang perlu mendapatkan perlindungan meliputi :
Perlindungan perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan.
Perlindungan kreditor, mitra usaha lainnya dari perseroan.
  Perlindungan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha
Berdasarkan ketentuan Pasal 122 undang-undang nomor 40 tahun 2007 penggabungan dan peleburan mengakibatkan perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum. Rencana penggabungan tersebut harus terlebih dahulu dituangkan ke dalam rancangan penggabungan atau peleburan yang disusun oleh direksi dari perseroan yang ingin melakukan penggabungan. Rancangan penggabungan tersebut harus disetujui oleh RUPS dan memuat paling sedikit atau sekurang-kurangnya :
Nama dan tempat kedudukan dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan (merger).
Alasan serta penjelasan masing-masing direksi perseroan yang akan melakukan penggabungan dan persyaratan penggabungan.
 Tata cara penilaian dan konversi saham perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham perseroan yang menerima penggabungan.
Rancangan perubahan anggaran dasar perseroan yang menerima penggabungan apabila ada.
 Laporan keuangan yang meliputi tiga tahun buku terakhir dari tiap perseroan.
 Rencana kelanjutan atau pengakhiran perseroan yang akan melakukan penggabungan.
Neraca proforma perseroan yang menerima penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia.
 Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota direksi, dewan komisaris dan karyawan perseroan yang akan melakukan penggabungan diri.
 Cara penyelesaian hak dan kewajiban perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga.
Cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap penggabungan perseroan.
Nama anggota direksi dan dewan komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota direksi dan dewan komisaris perseroan yang akan melakukan penggabungan.
Perkiraan jangka waktu pelaksanaan penggabungan.
Laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan.
 Kegiatan usaha setiap perseroan yang melakukan penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan.
Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan perseroan yang akan melakukan penggabungan. 
            Sebelum dilaksanakannya suatu penggabungan (merger) perusahaan berdasarkan ketentuan pasal 89 undang-undang nomor 40 tahun 2007 terlebih dahulu harus dilaksanakan rapat umum pemegang saham (RUPS) dan keharusan kuorum rapat paling sedikit  ¾ dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit  ¾ bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan rups yang lebih besar. Disamping itu pula adanya kewajiban disclosure (keterbukaan informasi) melalui pengumuman di surat kabar dengan maksud agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui telah dilakukan penggabungan, peleburan atau pengambil alihan (pasal 133 undang-undang Nomor 40 tahun 2007).
Apabila rancangan penggabungan perseroan yang telah mendapatkan persetujuan RUPS harus dilampirkan pada permohonan perubahan anggaran dasar perseroan. Kemudian dimohonkan untuk mendapatkan persetujuan dari Menteri Kehakiman. Sementara itu pula dalam ketentuan Pasal 133 ayat 1 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 diatur ketentuan sebagai berikut : Direksi Perseroan yang menerima penggabungan atau Direksi Perseroan hasil peleburan wajib mengumumkan hasil penggabungan atau peleburan tersebut dalam satu surat kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya penggabungan dan peleburan.
Hal ini penting agar para pihak yang berkepentingan dapat mengetahuinya dan dapat mengambil langkah-langkah tertentu untuk menlindungi dirinya dari perbuatan merger yang mungkin akan merugikan kepentingannya.[22]/
Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Saham Minoritas Dalam Merger Menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, yaitu dalam anggaran dasar sebuah perusahaan, dapat ditetapkan jenis saham yang berbeda-beda, yaitu saham biasa dan saham preferen. Dalam penjelasan pasal 53 ayat 3 Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) disebutkan bahwa  yang dimaksud saham biasa adalah saham yang mempunyai hak suara untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai segala hal yang berkaitan dengan pengurusan Perseroan, mempunyai hak untuk menerima dividen yang dibagikan, dan menerima sisa kekayaan hasil likuidasi. Jenis-jenis saham lain diluar saham biasa dikategorikan sebagai saham preferen, misalkan saham yang memiliki kewenangan untuk mencalonkan direksi atau komisaris.
Dengan adanya mekanisme saham dalam perseroan ini, maka pemegang saham mayoritas memiliki kewenangan yang lebih besar daripada pemegang saham minoritas. Hal ini memang dinilai wajar karena apabila perusahaan mengalami kerugian maka pemegang saham minoritas mengalami kerugian lebih besar daripada pemegang saham mayoritas. Dengan demikian, wajar jika pemegang saham mayoritas memiliki kekuasaan yang lebih besar. Namun yang menjadi masalah adalah apabila kewenangan tersebut disalahgunakan sehingga menimbulkan kerugian bagi pemegang saham minoritas. Untuk itu UUPT memberikan perlindungan bagi pemengang saham minoritas untuk melindungi kepentingannya  antara lain :
  Personal Right (Hak Perseorangan)
            Secara umum, semua orang adalah sama kedudukannya dalam hukum, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak perseorangan dilindungi oleh hukum, Hak perseorangan adalah relatif. Pemegang saham minoritas sebagai subjek hukum mempunyai hak untuk menggugat Direksi atau Komisaris, apabila Direksi atau Komisaris melakukan kesalahan atau kelalaian yang merugikan pemegang saham minoritas melalui pengadilan negeri.
Personal Right pemegang saham minoritas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) adalah sebagai berikut :
Pasal 61 Ayat (1), Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Setiap pemegang saham dalam pasal ini memberikan pembatasan bagi para pemegang saham yang mempunyai saham minimal 10% (sepuluh persen) dalam perusahaan.
2.    Appraisal Right
    Appraisal Right adalah hak pemegang saham minoritas untuk membela kepentingannya dalam rangka menilai harga saham. Hak ini dipergunakan oleh pemegang saham pada saat meminta kepada perseroan agar sahamnya dinilai dan dibeli dengan harga yang wajar, karena pemegang saham tersebut tidak menyetujui tindakan perseroan yang dapat merugikannya atau merugikan perseroan itu sendiri.
Appraisal Right pemegang saham minoritas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) adalah sebagai berikut :
Pasal 62 Ayat (1), Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa :
1.perubahan anggaran dasar;
2. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau
3. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.
      3.      Pre-Emptive Right
            Pre-Emptive Right adalah hak untuk meminta didahulukan atau hak untuk memiliki lebih dahulu atas saham yang ditawarkan. Dalam anggaran dasar perseroan dapat diatur pembatasan mengenai keharusan menawarkan saham, baik ditawarkan kepada pemegang saham intern maupun ekstern, atau pelaksanaanya harus mendapat persetujuan dahulu dari organ perseroan. Jadi, dalam anggaran dasar perseroan dapat ditentukan bahwa kepada pemegang saham minoritas diberikan hak untuk membeli saham terlebih dahulu daripada pemegang saham lainnya. Harga yang ditawarkan kepada pemegang saham minoritas harus sama dengan harga yang ditawarkan kepada pemegang saham lainnya.
           Pre-Emptive Right pemegang saham minoritas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) adalah sebagai berikut :
            Pasal 43 Ayat (1) dan Ayat (2), :
(1)   Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama.
(2)   Dalam hal saham yang akan dikeluarkan untuk penambahan modal merupakan saham yang klasifikasinya belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli terlebih dahulu adalah seluruh pemegang saham sesuai dengan perimbangan jumlah saham yang dimilikinya.
 4.      Derivative Right
            Kewenangan pemegang saham minoritas untuk menggugat Direksi dan Komisaris yang mengatasnamakan perseroan. Pemegang saham minoritas memiliki hak untuk membela kepentingan perseroan melalui otoritas lembaga peradilan, gugatan melalui lembaga peradilan harus membuktikan adanya kesalahan atau kelalaian Direksi atau Komisaris. Dengan gugatan tersebut, apabila gugatan dimenangkan, maka yang berhak menerima pembayaran ganti rugi dari tergugat adalah perseroan. Hak ini juga meliputi hak untuk menuntut diselenggarakannya RUPS atas nama perseroan.
            Derivative Right pemegang saham minoritas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) adalah sebagai berikut :
Pasal 79 Ayat (2), Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan atas permintaan :   1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; (Pemegang Saham perseroan meminta diselenggarakannya Rapat Umum Pemegang Saham, pemegang saham minoritas hanya sekedar mengusulkan tanpa ada kewenangan untuk memutuskan diadakannya RUPS).
Pasal 144 Ayat (1), Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada RUPS.
            5.      Enquete Recht (Hak Enquete)
            Enquete Recht atau hak angket adalah hak untuk melakukan pemeriksaan. Hak angket diberikan kepada pemegang saham minoritas untuk mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan melalui pengadilan, mengadakan pemeriksaan berhubung terdapat dugaan adanya kecurangan-kecurangan atau hal-hal yang disembunyikan oleh Direksi, Komisaris atau pemegang saham mayoritas. Pada dasarnya, pengawasan terhadap Direksi dalam pengelolaan perseroan dilaksanakan oleh komisaris. Tetapi dalam praktik, sering terjadi Direksi maupun Komisaris karena kesalahan atau kelalaiannya mengakibatkan kerugian pada perseroan, pemegang saham atau pihak ketiga. Oleh karena itu, pemegang saham minoritas berhak melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan operasional perseroan.
Enquete Recht pemegang saham minoritas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) adalah sebagai berikut :
Pasal 97 Ayat (6), Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.
Pasal 114 Ayat (6), Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri.
Pasal 138 Ayat (3), Permohonan pemeriksaan Perseroan dapat diajukan oleh :
a)    1 (satu)  pemegang  saham  atau  lebih yang mewakili paling sedikit 1/10   (satu    persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara;
b)     Pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau
c)     Kejaksaan untuk kepentingan umum. Meminta diadakannya pemeriksaan terhadap perseroan, dalam hal terdapat dugaan bahwa perseroan, anggota Direksi atau Komisaris perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga
     Meskipun terdapat beberapa ketentuan dalam UUPT yang ditujukan untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas, namun cara terbaik adalah dengan melakukan tindakan preventif atau pencegahan. Nama perseroan akan menjadi rusak apabila diketahui bahwa perseroan tersebut digugat oleh salah satu pemegang sahamnya. Untuk itu, seluruh stakeholders dalam perseroan haruslah mengedepankan prinsip good corporate governance. Jangan sampai ada informasi-informasi yang ditutupi untuk menguntungkan diri sendiri.
III. PENUTUP
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
Prosedur Dan Tata Cara  Penggabungan Perusahaan (Merger) Menurut UU Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perserosn Terbatas.
Prosedur dalam penggabungan perusahaan (merger) hanya bersifat Prosedural dan protektif. Bersifat Prosedural yaitu :
a.  Mengenai rancangan penggabungan atau peleburan usaha.
b.  Syarat penggabungan.
c. Penggabungan harus mendapat persetujuan dewan komisaris diajukan  kepada RUPS untuk disetujui.
d. Penggabungan berdasarkan ketentuan undang-undang ini, perlu  mendapatkan pesetujuan dari instansi terkait.
e. Ketentuan mengenai penggabungan dalam undang-undang ini berlaku pula  untuk perseroan terbuka sepanjang tidak ditentukan lain.
Sedangkan penggabungan yang bersifat protektif adalah bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan pihak tertentu, meliputi :
a. Perlindungan perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan.
b.Perlindungan kreditor, mitra usaha lainnya dari perseroan.
c. Perlindungan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha
Tata cara penggabungan merger menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 yaitu berdasarkan Pasal 89 (halaman 42) yaitu terlebih dahulu harus dilaksanakan rapat umum pemegang saham (RUPS) dan keharusan kuorum rapat paling sedikit  ¾ dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit  ¾ bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Disamping itu pula adanya kewajiban disclosure (keterbukaan informasi) melalui pengumuman di surat kabar dengan maksud agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui telah dilakukan penggabungan, peleburan atau pengambilalihan (pasal 133 undang-undang Nomor 40 tahun 2007).
UUPT memberikan perlindungan bagi pemengang saham minoritas untuk melindungi kepentingannya  antara lain :
Personal Right (Hak Perseorangan) . Secara umum, semua orang adalah sama kedudukannya dalam hukum, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
  b. Appraisal Right, adalah hak pemegang saham minoritas untuk membela 
      kepentingannya dalam rangka menilai harga saham.
c. Pre-Emptive Right, adalah  hak  untuk  meminta  didahulukan  atau   hak 
    untuk memiliki lebih dahulu atas saham yang ditawarkan.
d. Derivative Right,  Kewenangan   pemegang   saham   minoritas      untuk 
    menggugat Direksi dan Komisaris yang mengatasnamakan perseroan.
e. Enquete Recht (Hak Enquete) atau hak angket adalah hak untuk melakukan pemeriksaan. Hak angket diberikan kepada pemegang saham minoritas untuk mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap perseroan melalui pengadilan, mengadakan pemeriksaan berhubung terdapat dugaan adanya kecurangan-kecurangan atau hal-hal yang disembunyikan oleh Direksi, Komisaris atau pemegang saham mayoritas.

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Arif Djohan, T,  Aspek Hukum Perseroan Terbatas, Harvarindo, Jakarta, 2008
Chatamarrasjid Ais. Penerobosan Cadar Perseroan Dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti ,2004
Fakhrudin, Purwanto, wiji dan Hendy, Mengenal Permodalan, Salemba Empat. Jakarta,2006
Handri Raharjo, Hukum Perusahaan ,Jakarta:Pustaka Yusticia, 2009
Joni Emirzon, Hukum Bisnis Indonesia, CV Linterata Lintas Media, Jakarta,2007
Munir Fuady Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
Munir Fuady, Hukum Tentang Merger, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
Racmadi Usman,.Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas.PT. Alumni Bandung, 2004
Ridwan Khairandy, Machsun Tabroni, Ery Arifudin, Djohari Santoso, 1999, PengantarHukum Dagang Indonesia I, Gama Media, Yogyakarta, 1999
Simamora, Henry, Akuntansi Basis Pengambilan Keputusan Bisnis, jilid II, cetakan pertama, Salemba Empat. Jakarta,2000
Internet :
http// www.ka-lawoffices.com/articles/article1.html, diakses tanggal, 7 Maret 2015
www.kajian pustaka.com, diakses tanggal, 9 Maret 2015.
http://www.academia.edu/, diakses tanggal 20 Maret 2015









[1].  Pasal 1 (9) Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[2].  Joni Emirzon, Hukum Bisnis Indonesia, CV Linterata Lintas Media, Jakarta,2007, hlm. 109
[3].  Ibid, hlm. 113
[4] . Handri Raharjo, Hukum Perusahaan ,Jakarta:Pustaka Yusticia, 2009, hlm. 8
[5]. http// www.ka-lawoffices.com/articles/article1.html, diakses tanggal, 7 Maret 2015
[6]. Chatamarrasjid Ais. Penerobosan Cadar Perseroan Dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti ,2004,hlm.55
[7]. Racmadi Usman,.Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas.PT. Alumni Bandung, 2004,hlm.48
 [8]. Ridwan Khairandy, Machsun Tabroni, Ery Arifudin, Djohari Santoso, 1999, PengantarHukum Dagang Indonesia I, Gama Media, Yogyakarta, 1999,hal. 33
[9].  Munir Fuady Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 3
[10].  Farida Hasyim,  Hukum Dagang, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,hlm. 149
[11] . Arif Djohan, T,  Aspek Hukum Perseroan Terbatas, Harvarindo, Jakarta, 2008,hlm. 38
[12]. Farida Hasyim, Op. Cit., hlm, 152.
[13]. Fakhrudin, Purwanto, wiji dan Hendy, Mengenal Permodalan, Salemba Empat. Jakarta,2006,hlm. 13
[14]. Simamora, Henry, Akuntansi Basis Pengambilan Keputusan Bisnis, jilid II, cetakan pertama, Salemba Empat. Jakarta,2000, hlm. 408.
[15] . www.kajian pustaka.com, diakses tanggal, 9 Maret 2015.
[16]. http://www.academia.edu/, diakses tanggal 20 Maret 2015
[17] . Munir Fuady, Hukum Tentang Merger, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.85
[18]. Ibid, hlm. 89
[19].  Ibid, hlm. 91
[20]. Ibid, hlm. 99
[21]. Ibid, hlm. 100
[22]. Munir Fuady, Hukum Tentang Merger, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.122