Oleh Marsitiningsih
Fakultas
Hukum Universitas Palembang
Email:
ningpriyanto@gmail.com
Abstract
Food products are not harmful products, but they can be
harmful because they are easily contaminated or toxic, if they are negligent or
not careful in their manufacture or are negligent to keep distributing or
deliberately unattractive food products that have expired. The government is
authorized to establish requirements on food composition, in the consumer side
should be a smart consumer to avoid being harmed in choosing food products on
the market.
Keywords: Consumer Protection, Food Products
Abstak
Produk pangan bukanlah
produk yang membahayakan, tetapi dapat berbahaya karena mudah tercemar atau
mengandung racun, apabila lalai atau tidak berhati-hati dalam pembuatannya atau
lalai untuk tetap mengedarkan atau sengaja tidak menarik produk pangan yang
sudah kadaluarsa. Pemerintah berwenang untuk menetapkan persyaratan tentang
komposisi pangan, disisi konsumen harus menjadi konsumen cerdas agar tidak
dirugikan dalam memilih produk pangan
yang beredar di pasaran.
Kata Kunci: Perlindungan
Konsumen, Produk Pangan
I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Balai Besar Pengawasan Obat dan
Makanan (BBPOM) Palembang
mengimbau masyarakat untuk untuk ikut terlibat aktif melindungi diri dari obat
dan pangan yang berisiko terhadap kesehatan. Kita diajak untuk senantiasa cek
sebelum membeli produk obat dan pangan, yakni cek kemasan dalam keadaan baik,
baca informasi produk dalam label, lalu pastikan memiliki izin edar dan cek
masa kadaluarsanya. Hal ini disampaikan oleh Arnold Sianipar, Kepala BBPOM
Palembang dalam peringatan Hari Ulang Tahun BBPOM ke -16 di Jalan Tasik Palembang.[1]
Pesan edukasi yang disampaikan ini merupakan
bentuk komunikasi pihaknya dengan dalam membangun masyarakat menjadi konsumen
yang cerdas dalam membeli sebuah produk.
Cerdas khususnya dalam memilih obat dan pangan yang aman.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa Pangan sebagai kebutuhan dasar
manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus
senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi dan beragam
dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Untuk mencapai semua itu
perlu diselenggarakan suatu actor pangan yang memberikan perlindungan, baik
bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengonsumsi pangan, serta tidak
bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
Sumber daya yang manusia berkualitas
selain actor terpenting yang perlu memperoleh prioritas dalam pembangunan, juga
sebagai salah satu actor penentu keberhasilan pembangunan. Peningkatan kualitas
sumber daya manusia sangat ditentukan antara lain oleh kualitas pangan yang
dikonsumsinya.
Kegiatan atau proses produksi pangan
untuk diedarkan atau diperdagangkan
harus memenuhi ketentuan tentang
sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, residu cemaran dan kemasan pangan. Hal
lain yang patut diperhatikan oleh setiap orang yang memproduksi pangan adalah
penggunaan metode tertentu dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang
memiliki kemungkinan timbulnya risiko yang dapat merugikan atau membahayakan
kesehatan manusia.
Sedangkan dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan
bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan,
dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau
pembuatn makanan atau minuman.
Dalam kegiatan perdagangan pangan,
masyarakat yang mengonsumsi perlu
diberikan sarana yang memadai agar memperoleh informasi yang benar dan tidak
menyesatkan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan ketentuan
mengenai label dan iklan tentang pangan.
Dengan demikian, masyarakat yang mengonsumsi pangan dapat mengambil
keputusan berdasarkan informasi yang akurat, sehingga tercipta perdagangan
pangan yang jujur dan bertanggung jawab, yang pada gilirannya menumbuhkan
persaingan yang sehat di kalangan para pengusaha pangan.Khusus menyangkut label
atau iklan tentang pangan yang mencantumkan pernyataan bahwa pangan telah
sesuai dengan persyaratan atau kepercayaan tertentu, maka orang yang membuat
pernyataan tersebut harus bertanggung jawab terhadap kebenaran pernyataan
dimaksud.
B. Permasalahan
Setiap orang yang memproduksi pangan untuk
diperdagangkan perlu memperhatikan ketentuan mengenai mutu dan gizi pangan yang ditetapkan. Dalam
upaya meningkatkan kandungan gizi pangan
olahan tertentu, Pemerintah berwenang untuk menetapkan persyaratan tentang
komposisi pangan tersebut. Dari sisi konsumen, bagaimana langkah atau tindakan yang
harus dilakukan supaya menjadi konsumen yang tidak dirugikan dalam memilih produk pangan yang beredar di
pasaran?
II. PEMBAHASAN
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang
tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makan dan minum
yang cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan
aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan
kesehatan baik jasmani maupun rohani.
Banyak pihak sangat berkepentingan
dengan konsumen terutama bagaimana konsumen dapat memenuhi kebutuhan konsumsi makannya. Pemerintah sangat memperhatikan agar pangan/makanan dapat tersedia dengan cukup di segala pelosok
tanah air agar semua lapisan konsumen dapat menjangkau dan mampu membeli
makanan tersebut. Dilain pihak , bagi organisasi bisnis terutama industri
makanan, jumlah konsumen yang banyak merupakan potensi pasar bagi berbagai
produk makanan yang dihasilkannya. Sektor swasta atau industri makanan perlu
memahami kebiasaan dan perilaku makan konsumen , sehingga mereka mengetahui makanan apa yang seharusnya diproduksi dan
dipasarkan kepada konsumen.
Konsumen harus dilindungi dari berbagai makanan
yang tidak aman dan merugikan konsumen.[2]
Keamanan pangan merupakan salah satu onsum penting yang harus diperhatikan
dalam konsumsi sehari-hari. Dengan demikian, sesungguhnya pangan selain harus tersedia
dalam jumlah yang cukup, harga yang
terjangkau juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu sehat, aman, dan
halal. Jadi, sebelum pangan tersebut didistribusikan, harus
memenuhi persyaratan kualitas, penampilan, dan cita rasa, maka terlebih dahulu
pangan tersebut harus benar-benar aman
untuk dikonsumsi. Artinya, pangan tidak boleh mengandung onsum bahan berbahaya,
seperti cemaran pestisida, logam berat,
mikroba pathogen ataupun tercemar oleh bahan-bahan yang dapat mengganggu
kepercayaan ataupun keyakinan masyarakat.
Menurut Undang-Undang Pangan,
keamanan pangan diartikan sebagai kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dan kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat
mengganggu , merugikan dan membahayakan kesehatan. Dalam Undang-Undang pangan
tersebut terlihat jelas bahwa keamanan pangan terkait langsung dengan kesehatan
manusia, yang dapat terjadi sebagai akibat cemaran biologis, seperti L bakteri,
virus, parasit dan cendawan; pencemaran kimia seperti: pestisida, toksin (racun) dan logam berat
serta pencemaran fisik seperti radiasi.
Keamanan pangan di Indonesia masih jauh dari keadaan
aman, yang dapat dilihat dari keracunan makanan yang banyak terjadi belakangan
ini. Dalam kondisi demikian , konsumen pada
umumnya belum mempedulikan atau belum mempunyai kesadaran tentang
keamanan makanan yang mereka konsumsi, sehingga belum banyak menuntut pelaku
usaha untuk menghasilkan produk makanan
yang aman. Hal ini menyebabkan produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan
konsumen demi untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebagai
contoh : masih banyak produsen makanan yang senang menggunakan zat pewarna
teksil untuk bernagai produk makanan dan minuman karena pertimbangan ekonomis.
Berkembangnya industry teksil di Indonesia menyebabkan zat pewarna
teksil semakin murah dan disalahgunakan pemanfaatannya oleh kalangan produsen
makanan. Di lain pihak, konsumen memiliki kemampuan yang terbatas dalam
mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang dikonsumsinya,
sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam makanan dan sulit untuk
menghindari resiko dari produk-produk makanan yang tidak bermutu dan tidak aman
bagi kesehatan. Akhirnya konsumen dengan senang dan tanpa sadar mengonsumsi
produk-produk makanan tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga yang
lebih murah. Padahal pewarna tersebut merupakan bahan yang berbahaya yang
menjadi sumber dari penyebab keracunan.
Karena keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan dalam memperoleh informasi, konsumen seringkali beranggapan bahwa
pangan dengan harga tinggi identik dengan mutu yang tinggi pula. Bagi golongan
ekonomi lemah, mereka akan memilih harga yang murah yang mampu mereka beli.
Golongan ini lebih menitik beratkan pada harga yang terjangkau dari pada
pertimbangan lainnya.
Mereka sudah merasa puas jika dapat membeli
makan dengan harga murah meskipun produk tersebut bermutu rendah dan tidak
terjamin keamanannya. Bagi golongan ekonomi tinggi, memilih pangan dengan harga
yang tinggi atau memilih produk import juga menjadi perhatian . Namun, produk
tersebut sesuai atau tidak dengan kondisi di
Indonesia
dan bagaimana cara mereka memperlakukan makanan tersebut sehingga aman untuk
dikonsumsi.[3]
Perkembangan teknologi pengolahan
pangan, di satu pihak memang membawa hal- hal yang positif, seperti peningkatan
pengawasan mutu, perbaikan sanitasi, standardisasi pengepakan dan labeling serta grading. Namun di sisi lain, teknologi pangan akan menyebabkan
semakin tumbuhnya kekhawatiran, semakin tinggi risiko tidak aman bagi makanan yang
dikonsumsi. Teknologi pangan telah mampu membuat makanan-makanan sintesis,
menciptakan bernagai macam zat pengawet makanan, zat additives dan zat-zat
flavor. Zat-zat kimia tersebut merupakan zat-zat yang ditambahkan pada produk- produk makanan sehingga produk tersebut lebih
awet, lebih indah, lebih lembut dan lebih lezat. Produk-produk inilah yang
lebih disukai konsumen untuk dikonsumsi.[4]
Akan tetapi di balik semua itu, zat-zat kimia tersebut mempunyai dampak yang
tidak aman bagi kesehatan. Dalam hal ini jarang sekali disadari konsumen,
sehingga konsumen tetap mengonsumsinya dan semakin sering mengonsumsinya, zat-zat
tersebut semakin menumpuk dan akhirnya menjadi racun.
Agar pangan yang aman tersedia
secara memadai, perlu diupayakan terwujudnya suatu onsum pangan yang mampu
memberikan perlindungan kepada masyarakat yang mengonsumsi pangan sehingga
pangan yang diedarkan dan/atau diperdagangkan tidak merugikan serta aman bagi
kesehatan jiwa manusia. Produk pangan yang dikonsumsi masyarakat pada dasarnya
melalui suatu mata rantai proses yang meliputi produksi, penyimpanan,
pengangkutan, peredaran hingga tiba di tanagn konsumen.[5]
Agar keseluruhan mata rantai tersebut
memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan, maka perlu diwujudkan
suatu onsum pengaturan, pembinaan dan pengawasan yang efektif di bidang keamanan, mutu dan
gizi pangan.[6]
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah dinyatakan secara tegas klausul
tentang tanggung jawab yang harus diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen.
Dalam pasal 19 ayat (1) disebutkan,
bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan .
Mengacu pada onsum onsu yang
dikembangkan oleh Friedman tentang tanggung jawab, terdapat terdapat 3 (tiga)
substansi onsu tanggung jawab produk yang menjadi dasar tuntutan ganti kerugian
konsumen. Ketiga dasar tuntutan tersebut
adalah:
1.
tuntutan
karena kelalaian (negligence),
2.
tuntutan
karena wanprestasi ,
3.
atau
ingkar janji (breach of warranty).
Hai
ini dilakukan karena secara alamiah kedudukan atau posisi konsumen tidak sama dengan produsen sebagai
pelaku usaha .
Akan tetapi, di dalam pasal 27
Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 dirumuskan bahwa pelaku usaha yang
memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita
konsumen, apabila :
a.
barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan;
b.
cacat
timbul akibat tidak ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
c.
kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen;
d.
lewatnyajangka
waktu penuntutan yaitu 4 ( empat ) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka
waktu yang diperjanjikan;
e.
cacat
timbul di kemudian hari.
Perlu dipahami, bahwa onsu perlindungan konsumen
timbul akibat adanya posisi konsumen yang sangat lemah , sehingga perlu mendapat
perlindungan onsu. Salah satu sifat sekaligus tujuan onsu itu adalah memberikan
perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat. onsu perlindungan konsumen
merupakan bagian dari onsu konsumen yang memuat azas-azas dan kaidah-kaidah
yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan
konsumen. Hukum perlindungan konsumen tidak dapat berdiri sendiri sebagai suatu
system tetapi harus terintegrasi juga ke dalam suatu onsum perekonomian yang di
dalamnya terlibat para pelaku usaha.
Sistem perekonomian yang semakin
kompleks berdampak pada perubahan konstruksi onsu dakam hubungan antara
produsen dan konsumen. Perubahan konstruksi onsu diawali dengan perubahan
paradigma hubungan antara konsumen dan produsen. Hubungan yang semula dibangun
atas prinsip caveat emptor (yang menekankan
konsumen harus berhati-hati dalam melakukan transaksi dengan produsen), berubah
menjadi prinsip caveat venditor (yang
menekankan kesadaran produsen untuk melindungi konsumen).[7]
Ketidakseimbangan posisi antara
produsen dan konsumen sangat perlu dikompensasi dengan berbagai upaya, baik
melalui gerakan perlindungan konsumen, perangkat kelembagaan dan onsu maupun
melalui berbagai upaya lain agar konsumen ons mengonsumsi produk barang atau
jasa, khususnya pangan yang diinginkan secara lebih aman. Perlindungan untuk sejumlah
besar konsumen di dalam usaha produksi pangan seperti ini merupakan keharusan. Karena
perkembangan ekonomi dan industri yang maju membawa implikasi lain yang
bersifat negative.[8]
Untuk melindungi konsumen dari
situasi tersebut, Pemerintah wajib untuk memikirkan berbagai kebijakan yang
arahnya adalah untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen. Di Indonesia,
melalui undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di dalam
pasal 4 (empat) menetapkan 9 (Sembilan) hak konsumen yaitu :
1.
Hak
atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan /atau
jasa;
2.
Hak
untuk memilih barang dan /atau jasa serta mendapatkan barang dan /atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.
Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan /atau jasa;
4.
Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.
Hak
untuk mendpatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
6.
Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan onsume;
7.
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.
Hak
untuk mendapatkan kompensasi , ganti rugi dan /atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9.
Hak-hak
yang diaatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.
III. PENUTUP
Beberapa jenis produk seperti pangan dan obat-obatan
pada dasarnya bukanlah produk yang membahayakan, tetapi mudah tercemar atau
mengandung racun, yang apabila lalai atau tidak berhati-hati dalam pembuatannya
atau lalai untuk tetap mengedarkan atau sengaja tidak menarik produk pangan
yang sudah kadaluarsa. Kelalaian tersebut erat kaitannya dengan kemajuan di
bidang industri yang menggunakan pola industry dan distribusi barang dan/atau
jasa yang semakin kompleks.
Untuk melindungi konsumen agar menjadi konsumen
yang tidak dirugikan dalam memilih
produk pangan yang beredar di pasaran, maka pemerintah wajib untuk memikirkan
berbagai kebijakan yang arahnya adalah untuk melindungi masyarakat sebagai
konsumen. Di Indonesia, signifikansi hak-hak konsumen melalui undang-undang merupakan
bagian dari implementasi sebagai suatu Negara kesejahteraan, karena Undang-Undang
Dasar 1945 beserta amandemennya di samping sebagai konstitusi politik juga
disebut sebagai konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide Negara
kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme abad ke 19.
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen menetapkan 9 (Sembilan) hak
konsumen, sebagai penjabaran dari
Pasal 27 ayat ( 2 ) dan Pasal 33 Undang
–Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Harian Sriwijaya Post,
Senin 27 Februari 2017
Celina Tri
Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan
Konsumen, Jakarta:
Sinar Grafika, 2008
Rudyanti
Dovotea Tobing, Hukum Konsumen dan
Masyarakat Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta:
Lalitbang Mediatama
Wahyu
Sasangko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum
Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung: Unila, 2007
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2012
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang P
angan
[1] Harian Sriwijaya Post, Senin 27 Februari
2017
[2] Ujang Sumarwan dalam Celina Tri Siwi
Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen,
Jakarta: Sinar
Grafika, 2008
[3]
Ujang Sumarwan dalam Celina Tri
Siwi Kristiyanti , Ibid, hlm 79-80
[4]
Ibid
[5] John Pieris dan Wiwik
Sri Widiarty dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti , Ibid, hlm.171
[6] Ibid
[8]
Didik j.Rahbini dalam Celina Tri
Siwi Kristiyanti, Ibid