Minggu, 13 Agustus 2017

MENJADI KONSUMEN BIJAK DALAM MEMILIH PRODUK PANGAN



Oleh Marsitiningsih
Fakultas Hukum Universitas Palembang

Abstract

Food products are not harmful products, but they can be harmful because they are easily contaminated or toxic, if they are negligent or not careful in their manufacture or are negligent to keep distributing or deliberately unattractive food products that have expired. The government is authorized to establish requirements on food composition, in the consumer side should be a smart consumer to avoid being harmed in choosing food products on the market.
Keywords: Consumer Protection, Food Products

Abstak
Produk pangan bukanlah produk yang membahayakan, tetapi dapat berbahaya karena mudah tercemar atau mengandung racun, apabila lalai atau tidak berhati-hati dalam pembuatannya atau lalai untuk tetap mengedarkan atau sengaja tidak menarik produk pangan yang sudah kadaluarsa. Pemerintah berwenang untuk menetapkan persyaratan tentang komposisi pangan, disisi konsumen harus menjadi konsumen cerdas agar tidak dirugikan  dalam memilih produk pangan yang beredar di pasaran.

Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Produk Pangan



I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Palembang mengimbau masyarakat untuk untuk ikut terlibat aktif melindungi diri dari obat dan pangan yang berisiko terhadap kesehatan. Kita diajak untuk senantiasa cek sebelum membeli produk obat dan pangan, yakni cek kemasan dalam keadaan baik, baca informasi produk dalam label, lalu pastikan memiliki izin edar dan cek masa kadaluarsanya. Hal ini disampaikan oleh Arnold Sianipar, Kepala BBPOM Palembang dalam peringatan Hari Ulang Tahun BBPOM ke -16 di Jalan Tasik Palembang.[1]
Pesan edukasi yang disampaikan ini merupakan bentuk komunikasi pihaknya dengan dalam membangun masyarakat menjadi konsumen yang cerdas dalam membeli sebuah produk.  Cerdas khususnya dalam memilih obat dan pangan yang aman.
            Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Untuk mencapai semua itu perlu diselenggarakan suatu actor pangan yang memberikan perlindungan, baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengonsumsi pangan, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
            Sumber daya yang manusia berkualitas selain actor terpenting yang perlu memperoleh prioritas dalam pembangunan, juga sebagai salah satu actor penentu keberhasilan pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan antara lain oleh kualitas pangan yang dikonsumsinya.
            Kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan atau diperdagangkan  harus memenuhi ketentuan  tentang sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, residu cemaran dan kemasan pangan. Hal lain yang patut diperhatikan oleh setiap orang yang memproduksi pangan adalah penggunaan metode tertentu dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.    
Sedangkan dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan  disebutkan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatn makanan atau minuman.
Dalam kegiatan perdagangan pangan, masyarakat  yang mengonsumsi perlu diberikan sarana yang memadai agar memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan ketentuan mengenai label dan iklan tentang pangan.  Dengan demikian, masyarakat yang mengonsumsi pangan dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat, sehingga tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, yang pada gilirannya menumbuhkan persaingan yang sehat di kalangan para pengusaha pangan.Khusus menyangkut label atau iklan tentang pangan yang mencantumkan pernyataan bahwa pangan telah sesuai dengan persyaratan atau kepercayaan tertentu, maka orang yang membuat pernyataan tersebut harus bertanggung jawab terhadap kebenaran pernyataan dimaksud.

B. Permasalahan
Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan perlu memperhatikan ketentuan mengenai mutu  dan gizi pangan yang ditetapkan. Dalam upaya  meningkatkan kandungan gizi pangan olahan tertentu, Pemerintah berwenang untuk menetapkan persyaratan tentang komposisi pangan tersebut. Dari sisi konsumen, bagaimana langkah atau tindakan yang harus dilakukan supaya menjadi konsumen yang tidak dirugikan  dalam memilih produk pangan yang beredar di pasaran?  
 
II. PEMBAHASAN
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makan dan minum yang cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan kesehatan baik jasmani maupun rohani.
            Banyak pihak sangat berkepentingan dengan konsumen terutama bagaimana konsumen dapat memenuhi kebutuhan konsumsi  makannya. Pemerintah sangat memperhatikan  agar pangan/makanan  dapat tersedia dengan cukup di segala pelosok tanah air agar semua lapisan konsumen dapat menjangkau dan mampu membeli makanan tersebut. Dilain pihak , bagi organisasi bisnis terutama industri makanan, jumlah konsumen yang banyak merupakan potensi pasar bagi berbagai produk makanan yang dihasilkannya. Sektor swasta atau industri makanan perlu memahami kebiasaan dan perilaku makan konsumen , sehingga mereka mengetahui  makanan apa yang seharusnya diproduksi dan dipasarkan kepada konsumen.
Konsumen harus dilindungi dari berbagai makanan yang tidak aman dan merugikan konsumen.[2] Keamanan pangan merupakan salah satu onsum penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari. Dengan demikian, sesungguhnya pangan selain harus tersedia dalam jumlah yang cukup,  harga yang terjangkau juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu sehat, aman, dan halal.  Jadi,  sebelum pangan tersebut didistribusikan, harus memenuhi persyaratan kualitas, penampilan, dan cita rasa, maka terlebih dahulu pangan tersebut harus  benar-benar aman untuk dikonsumsi. Artinya, pangan tidak boleh mengandung onsum bahan berbahaya, seperti  cemaran pestisida, logam berat, mikroba pathogen ataupun tercemar oleh bahan-bahan yang dapat mengganggu kepercayaan ataupun keyakinan masyarakat.
            Menurut Undang-Undang Pangan, keamanan pangan diartikan sebagai kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dan kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu , merugikan dan membahayakan kesehatan. Dalam Undang-Undang pangan tersebut terlihat jelas bahwa keamanan pangan terkait langsung dengan kesehatan manusia, yang dapat terjadi sebagai akibat cemaran biologis, seperti L bakteri, virus, parasit dan cendawan; pencemaran kimia seperti:  pestisida, toksin (racun) dan logam berat serta pencemaran fisik seperti radiasi.
             Keamanan pangan di Indonesia masih jauh dari keadaan aman, yang dapat dilihat dari keracunan makanan yang banyak terjadi belakangan ini. Dalam kondisi demikian , konsumen pada  umumnya belum mempedulikan atau belum mempunyai kesadaran tentang keamanan makanan yang mereka konsumsi, sehingga belum banyak menuntut pelaku usaha untuk menghasilkan produk  makanan yang aman. Hal ini menyebabkan produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan konsumen demi untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebagai contoh : masih banyak produsen makanan yang senang menggunakan zat pewarna teksil untuk bernagai produk makanan dan minuman karena pertimbangan ekonomis. Berkembangnya industry teksil di Indonesia menyebabkan zat pewarna teksil semakin murah dan disalahgunakan pemanfaatannya oleh kalangan produsen makanan. Di lain pihak, konsumen memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang dikonsumsinya, sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam makanan dan sulit untuk menghindari resiko dari produk-produk makanan yang tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatan. Akhirnya konsumen dengan senang dan tanpa sadar mengonsumsi produk-produk makanan tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga yang lebih murah. Padahal pewarna tersebut merupakan bahan yang berbahaya yang menjadi sumber dari penyebab keracunan.
            Karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dalam memperoleh informasi, konsumen seringkali beranggapan bahwa pangan dengan harga tinggi identik dengan mutu yang tinggi pula. Bagi golongan ekonomi lemah, mereka akan memilih harga yang murah yang mampu mereka beli. Golongan ini lebih menitik beratkan pada harga yang terjangkau dari pada pertimbangan lainnya.
Mereka sudah merasa puas jika dapat membeli makan dengan harga murah meskipun produk tersebut bermutu rendah dan tidak terjamin keamanannya. Bagi golongan ekonomi tinggi, memilih pangan dengan harga yang tinggi atau memilih produk import juga menjadi perhatian . Namun, produk tersebut sesuai atau tidak dengan kondisi di  Indonesia dan bagaimana cara mereka memperlakukan makanan tersebut sehingga aman untuk dikonsumsi.[3]
            Perkembangan teknologi pengolahan pangan, di satu pihak memang membawa hal- hal yang positif, seperti peningkatan pengawasan mutu, perbaikan sanitasi, standardisasi pengepakan dan labeling serta grading. Namun di sisi lain, teknologi pangan akan menyebabkan semakin tumbuhnya kekhawatiran, semakin tinggi risiko tidak aman bagi makanan yang dikonsumsi. Teknologi pangan telah mampu membuat makanan-makanan sintesis, menciptakan bernagai macam zat pengawet makanan, zat additives dan zat-zat flavor. Zat-zat kimia tersebut merupakan zat-zat yang ditambahkan pada produk-  produk makanan sehingga produk tersebut lebih awet, lebih indah, lebih lembut dan lebih lezat. Produk-produk inilah yang lebih disukai konsumen untuk dikonsumsi.[4] Akan tetapi di balik semua itu, zat-zat kimia tersebut mempunyai dampak yang tidak aman bagi kesehatan. Dalam hal ini jarang sekali disadari konsumen, sehingga konsumen tetap mengonsumsinya dan semakin sering mengonsumsinya, zat-zat tersebut semakin menumpuk dan akhirnya menjadi racun.
            Agar pangan yang aman tersedia secara memadai, perlu diupayakan terwujudnya suatu onsum pangan yang mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat yang mengonsumsi pangan sehingga pangan yang diedarkan dan/atau diperdagangkan tidak merugikan serta aman bagi kesehatan jiwa manusia. Produk pangan yang dikonsumsi masyarakat pada dasarnya melalui suatu mata rantai proses yang meliputi produksi, penyimpanan, pengangkutan, peredaran hingga tiba di tanagn konsumen.[5] Agar keseluruhan mata rantai  tersebut memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan, maka perlu diwujudkan suatu onsum pengaturan, pembinaan dan pengawasan  yang efektif di bidang keamanan, mutu dan gizi pangan.[6]
            Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah dinyatakan secara tegas klausul tentang tanggung jawab yang harus diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen. Dalam pasal 19 ayat (1) disebutkan,  bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan .
            Mengacu pada onsum onsu yang dikembangkan oleh Friedman tentang tanggung jawab, terdapat terdapat 3 (tiga) substansi onsu tanggung jawab produk yang menjadi dasar tuntutan ganti kerugian konsumen.  Ketiga dasar tuntutan tersebut adalah:
1.      tuntutan karena kelalaian  (negligence),
2.      tuntutan karena wanprestasi ,
3.      atau ingkar janji (breach of warranty).
Hai ini dilakukan karena secara alamiah kedudukan atau posisi  konsumen tidak sama dengan produsen sebagai pelaku usaha .
            Akan tetapi, di dalam pasal 27 Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 dirumuskan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
a.       barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b.      cacat timbul akibat tidak ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
c.       kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
d.      lewatnyajangka waktu penuntutan yaitu 4 ( empat ) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan;
e.       cacat timbul di kemudian hari.
Perlu dipahami, bahwa onsu perlindungan konsumen timbul akibat adanya posisi konsumen yang sangat lemah , sehingga perlu mendapat perlindungan onsu. Salah satu sifat sekaligus tujuan onsu itu adalah memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat. onsu perlindungan konsumen merupakan bagian dari onsu konsumen yang memuat azas-azas dan kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen. Hukum perlindungan konsumen tidak dapat berdiri sendiri sebagai suatu system tetapi harus terintegrasi juga ke dalam suatu onsum perekonomian yang di dalamnya terlibat para pelaku usaha.
            Sistem perekonomian yang semakin kompleks berdampak pada perubahan konstruksi onsu dakam hubungan antara produsen dan konsumen. Perubahan konstruksi onsu diawali dengan perubahan paradigma hubungan antara konsumen dan produsen. Hubungan yang semula dibangun atas prinsip caveat emptor (yang menekankan konsumen harus berhati-hati dalam melakukan transaksi dengan produsen), berubah menjadi prinsip caveat venditor (yang menekankan kesadaran produsen untuk melindungi konsumen).[7]
            Ketidakseimbangan posisi antara produsen dan konsumen sangat perlu dikompensasi dengan berbagai upaya, baik melalui gerakan perlindungan konsumen, perangkat kelembagaan dan onsu maupun melalui berbagai upaya lain agar konsumen ons mengonsumsi produk barang atau jasa, khususnya pangan yang diinginkan secara lebih aman. Perlindungan untuk sejumlah besar konsumen di dalam usaha produksi pangan seperti ini merupakan keharusan. Karena perkembangan ekonomi dan industri yang maju membawa implikasi lain yang bersifat negative.[8]
            Untuk melindungi konsumen dari situasi tersebut, Pemerintah wajib untuk memikirkan berbagai kebijakan yang arahnya adalah untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen. Di Indonesia, melalui undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di dalam pasal 4 (empat) menetapkan 9 (Sembilan) hak konsumen yaitu :
1.      Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan /atau jasa;
2.      Hak untuk memilih barang dan /atau jasa serta mendapatkan barang dan /atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.      Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan /atau jasa;
4.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.      Hak untuk mendpatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6.      Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan onsume;
7.      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.      Hak untuk mendapatkan kompensasi , ganti  rugi dan /atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9.      Hak-hak yang diaatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

III. PENUTUP
            Beberapa  jenis produk seperti pangan dan obat-obatan pada dasarnya bukanlah produk yang membahayakan, tetapi mudah tercemar atau mengandung racun, yang apabila lalai atau tidak berhati-hati dalam pembuatannya atau lalai untuk tetap mengedarkan atau sengaja tidak menarik produk pangan yang sudah kadaluarsa. Kelalaian tersebut erat kaitannya dengan kemajuan di bidang industri yang menggunakan pola industry dan distribusi barang dan/atau jasa yang semakin kompleks.
Untuk melindungi konsumen agar menjadi konsumen yang tidak dirugikan  dalam memilih produk pangan yang beredar di pasaran, maka pemerintah wajib untuk memikirkan berbagai kebijakan yang arahnya adalah untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen. Di Indonesia, signifikansi hak-hak konsumen melalui undang-undang merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu Negara kesejahteraan, karena Undang-Undang Dasar 1945 beserta amandemennya di samping sebagai konstitusi politik juga disebut sebagai konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide Negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme abad ke 19. Indonesia melalui  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen menetapkan 9 (Sembilan) hak konsumen,  sebagai penjabaran dari Pasal  27 ayat ( 2 ) dan Pasal 33 Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA   
Harian Sriwijaya Post, Senin 27 Februari 2017
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Rudyanti Dovotea Tobing, Hukum Konsumen dan Masyarakat Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Lalitbang Mediatama
Wahyu Sasangko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung: Unila, 2007
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang P

angan


[1] Harian Sriwijaya Post, Senin 27 Februari 2017
[2] Ujang Sumarwan dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
[3] Ujang Sumarwan dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti , Ibid, hlm 79-80
[4] Ibid
[5] John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti , Ibid, hlm.171
[6] Ibid
[7] Inosentius Samsul dalam dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti , Ibid, hlm. 173.
[8] Didik j.Rahbini dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Ibid

PERANAN NEGARA DALAM MELINDUNGI HAK CIPTA ATAS FOLKLOR MENURUT UNDANG- UNDANG NO.19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA



Oleh  Fitriah
Fakultas Hukum Universtas Palembang

This study aims to determine the evidentiary Copyright including folklore According to Law No.19 of 2002 and how the role of the state in an effort to provide protection of folklore and other cultural products to run optimally. This research is a normative or doctrinal law, also called the research literature or studies document the approach legislation and a systematic approach, a method based approach to collecting materials that already exist, the material is done kondifikasi into golongan- groups systematically. The data obtained in this study were collected using data collection methods, namely the method of approach to the study of literature. The results of the research that Copyright is essentially a monopoly of its exclusive rights, which rights were obtained automatically when a creature is born. Proof of copyright is only required if a dispute arises, if there is no denying that the creation of property rights over its someone he does not need to prove that the creation of hers. And to protect folklore and works of popular culture, the government can prevent monopoly or the commercialization and actions that undermine or exploit without the permission of the Republic of Indonesia as a copyright holder. Protection of copyright in folklore is only given to the folklore that has been documented by the state.

Keywords: Right Folklore
                                                                          
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembuktian Hak Cipta yang termasuk  folklor Menurut UU No.19 Tahun 2002 serta bagaimanakah peranan negara dalam upaya memberikan perlindungan terhadap  folklor dan hasil kebudayaan lainnya agar dapat berjalan secara optimal . Penelitian ini adalah penelitian hokum normative atau doktriner, yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan sistematik, yaitu suatu metode pendekatan yang didasarkan dengan menghimpun bahan-bahan yang sudah ada, terhadap bahan ini dilakukan kondifikasi ke dalam golongan-golongan secara sistematis. Data yang diperoleh dalam penelitian ini yang dihimpun dengan menggunakan metode pengumpulan data, yaitu metode pendekatan studi kepustakaan. Hasil penelitian bahwa Hak  Cipta pada hakekatnya merupakan hak eksklusif yang sifatnya monopoli, dimana hak itu didapat secara otomatis tatkala suatu ciptaan dilahirkan. Pembuktian terhadap hak cipta hanya diperlukan apabila timbul suatu perselisihan, jika tidak ada yang menyangkal bahwa hak milik seseorang atas ciptaan yang dimilikinya maka ia tidak perlu membuktikan bahwa ciptaan tersebut miliknya. Dan untuk melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat, pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau
komersialisasi serta tindakan yang merusak atau memanfaatkan tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai pemegang hak cipta. Perlindungan hak cipta atas folklor hanya diberikan pada folklor yang telah didokumentasikan oleh negara.
                                                                                       
Kata Kunci : Hak Folklor




I.       LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa, dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh Undang-undang.Kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan dibidang perdagangan dan industri yang melibatkan para penciptanya.Dengan demikian kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para penciptanya seja, tetapi juga bangsa dan negara.
Indonesia telah ikut serta dalam pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota dalam Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights ( Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya disebut TRIPs, melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Selain itu Indonesia meratifikasi Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan sastra, melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ( perjanjian Hak Cipta WIPO),selanjutnya disebut WTC melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah beberapa kali mengalami perubahan, terakhir dengan Unda TRIPs,namun masih terdapat beberapa hal yang perlu dissempurnakan untuk memberikan perlindungan bagi karya-karya intelektual dibidang Hak Cipta.
Hak Cipta lahir bersamaan dengan lahirnya suatu karya cipta/ciptaan. Hak Cipta yang dilindungi adalah ciptaan dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra lahir bukan karena diberikan yang dianggap telah ada sejak pertama kali diumumkan. Artinya sejak dibacakan atau disuarakan atau disiarkan atau disebarluaskan dengan alat apapun dan dengan cara apapun, sehingga dapat dibaca, didengar, atau dilihat oleh orang lain. Hak Cipta tidak pula diberikan oleh Undang-undang termasuk Undang-undang Hak Cipta (UUHC) itu sendiri,dan bahwa Undang-undang Hak Cipta hanya mengakui dan memberi perlindungan Hukum.
Undang-undang Hak Cipta tidak mewajibkan pendaftaran suatu hak cipta, tanpa pendaftaran hak cipta tetap ada dan pendaftaran hanya bersifat fisilitatif dan hanya sebagai bukti awal jika terjadi sengketa di Pengadilan. Hak Cipta harus original atau berasal dari diri sendiri dan tidak mengenal copy atau meniru ciptaan orang lain.
Tidak ada hak cipta atas ide dan hak cipta karya ada pada wujud akhir, dan kelahirannya tidak terkena pembatasan-pembatasan, kecuali bertentangan dengan kebijaksaan Pemerintah sebagaimana maksud pasal 17 Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 bahwa “Pemerintah melarang Pengumuman setiap Ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah dibidang agama, pertahanan dan keamanan Negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta”.
Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak meskipun sifatnya tidak berwujud dan oleh karena manunggal dengan penciptanya maka hak Cipta pada prinsipnya tidak dapat disita kecuali jika perolehanya secara melawan hukum.
Mengenai hak ini,Lili Rasjidi mengemukakan bahwa hak dapat bersifat moral dan dapat pula sebagai suatu isi dari hukum. Hak dari segi moral merupakan suatu kepentingan yang pelanggaran terhadapnya akan dikatakan sebagai kesalahan dari segi moral dan mentaatinya dikatakan sebagai kewajiban moral. Hak dari segi hukum merupakan kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh suatu peraturan perundangan yang pelanggaran terhadapnya akan merupakan kesalahan dari segi hukum. 
Berdasarkan pasal 10 Undang-undang Hak Cipta, ayat (1) bahwa negara memegang Hak Cipta atas kekayaan peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya,ayat (2) Negra memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita hikayat,dongeng, legenda, babad,lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya, dan untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat (2) ,orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam maslah tersebut.
Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk :
a.                  Cerita rakyat, puisi rakyat
b.                 Lagu-lagu rakat dan musik instrumen tradisional.
c          Tari-tarian rakyat, permainan tradisional
d.                   Hasil seni antara lain berupa : lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, musik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional.
Menyinggung sistem Hak kekayaan Intelektual ke dalam ranah otonomi daerah, namun sebelum itu perlu ditegaskan bahwa jauh sebelumnya sudah ada kebijakan untuk memberikan otonomi daerah, Departemen Hukum dan  HAM telah mendelegasikan beberapa kewenangan dalam kaitan dengan pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual, dengan tujuan pokok untuk memudahkan masyarakat mendapatkan hak atas karya intelektual mereka.
Sejak tahun 2001, permohonan pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual dapat didaftarkan melalui Kantor Wilayah Depertemen Hukum dan HAM disetiap provinsi, akan tetapi keputusan final tetap berada di Direktorat Jenderal Hak kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di Tanggerang, ini berarti kedudukan Kantor Wilayah depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Sumatera Selatan ataupun provinsi lain dalam wilayah Republik Indonesia hanya sebagai tempat pendaftarannya dan  meneruskannya berkas tersebut ke kantor pusat, proses pemeriksaan administratif dan subtantif serta penerbitan sertifikatnya tetap berada di Direktorat Hak Cipta Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual departemen Hukum dan Hak Asasi manusia republik Indonesia.
Kasus yang terjadi di kota Palembang dimana Pemerintah telah mengusulkan pendaftaran HKI untuk produk batik dan tenun tradisional kota Palembang, melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera selatan sebanyak 71 (tujuh puluh satu) motif songket, akan tetapi sampai saat ini belum menerima tanggapan tertulis terhadap usulan pendaftaran HKI, karena motif batik tersebut termasuk kategori folklor.
Dalam hal penolakan pendaftaran Hak Cipta yang dialami pihak Pemerintah Kota Palembang dan Dewan kerajinan Nasional Daerah Kota Palembang, dimana  upaya pihak pemerintah Kota Palembang dan Deskranada Kota Palembang untuk mendaftarkan motif-motif tenun songket tradisional masyarakat Palembang menemui kendala. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengambil judul  : PERANAN NEGARA DALAM MELINDUNGI HAK CIPTA ATAS FOLKLOR MENURUT UNDANG- UNDANG NO.19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA “.
A.      Permasalahan
            Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka  permasalahan dalam penelitian ini  adalah:  Bagaimana Pembuktian Hak Cipta yang termasuk  folklor Menurut UU No.19 Tahun 2002 serta bagaimanakah peranan negara dalam upaya memberikan perlindungan terhadap  folklor dan hasil kebudayaan lainnya agar dapat berjalan secara optimal .
B.     Tujuan Penelitian
       Penelitian ini termasuk bertujuan untuk mengetahui pembuktian atas suatu hak ciptaan  folklor dan kabudayaan lainnya menurut UU No. 19 tahun 2002 serta peranan negara agar dapat menjalankan hak ciptanya atas folklor dan hasil kebudayaan lainnya secara optimal berdasarkan Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 Tentang hak Cipta.


  C.  Metode Penelitian
   Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari, memahami,serta meneliti bahan-bahan kepustakaan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan yang akan diteliti.  
1.      Pendekatan masalah
          Dalam melakukan pembahasan tentang identifikasi perbuatan pelanggaran hak cipta atas folklor, maka pendekatan terhadap masalah dalam penulisan ini dilakukan dengan cara identifikasi dan inventarisasi data. Identifikasi adalah keterangan lengkap tentang sesuatu objek yang sedang diteliti. Sedangkan inventarisasi adalah pencatatan atau pengumpulan data setelah diidentifikasi.
2.      Sumber Data
            Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder . Data sekunder adalah data yang bersumber dari studi kepustakaan mengenai peraturan perundang-undangan. peraturan-peraturan lain, buku-buku yang berkaitan dengan pokok bahasan yang akan diteliti.
3.      Metode Pengumpulan Data
              Dalam memperoleh suatu data untuk mengkaji atau memecahkan masalah dalam penulisan ini, maka metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan studi pustaka, yaitu dengan mempelajari buku-buku atau literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang diteliti dengan cara membaca, mencatat, mengutip, memilih dan mengumpulkan data.
4.      Metode Pengolahan Data
         Data yang diperoleh kemudian diolah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
a.       Seleksi data, yaitu untuk memilih dan memeriksa data yang diperoleh mengenai kelengkapan, kejelasan, dan kebenaran atas jawaban data.
b.      Klasifikasi data, yaitu menempatkan data-data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan sesuai pokok pembahasan.
c.       Penyusunan data, yaitu menyusun dan menempatkan data pada setiap pokok bahasan sistimatis sesuai dengan tujuan penulisan.
5.      Analisis Data
               Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan cara menguraikan hasil penelitian ke dalam bentuk kalimat secara terperinci dan sistimatis. Dari uraian tersebut dilakukan interprestasi data sehingga dapat diperoleh gambaran secara jelas dan terperinci tentang pokok bahasan yang diteliti.


                                   
II.                 PEMBAHASAN
A.          Pembuktian Terhadap Hak Cipta Folklor Menurut UU No. 19 tahun 2002
                        Memahami perlindungan hak cipta harus diawali dengan pemahaman terhadap konsepsi dasar hak cipta. Di dalam Hak Cipta dikenal beberapa pelaku yang disebut dengan pencipta. Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Sangat jelas pencipta dapat dilakukan terdiri dari perorangan yang bersifat individual atau kelompok yang terdiri dari beberapa orang secaa bersama-sama.   
                        Pencipta apabila mengekspresikan kreatifitas dan imajinasinya akan melahirkan apa yang disebut dengan Ciptaan. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 19 Tahun 2002, Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Suatu ciptaan yang telah diekspresikan secara nyata akan melahirkan hak cipta. Hak Cipta merupakan dasar kepemilikan atas ciptaan yang telah diwujudkan oleh si pencipta. Secara lengkap Pasal 2 ayat ( 1 ) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 menegaskan : “ Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
                        Dari penjelasan pasal di atas, maka dapat dipertegas bahwa hak cipta pada hakekatnya merupakan hak eksklusif yang sifatnya monopoli, dimana hak itu didapat secara otomatis tatkala suatu ciptaan dilahirkan.
                        Teori Hak menurut Satjipto Rahardjo, “ bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak.”
                        Keberadaan Hak Cipta pada awalnya sangat dipengaruhi oleh sistem hukum.         Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Carolyn Hotchkiss yang menyatakan :
                        Copyright law has used there different approaches in its development. For civil law countries, copyright has protected both the economic and moral rights of authors. Under civil law systems, owner of copyrights still may have to recognize the rights of the original authors…Common law legal systems tend to view copyrights as a protection solely of economic interes. Socialist legal systems have historically been less concerned with payment to authors than  with the management of culture for the purpose of the revolution.
                        Melihat pada pernyataan ini, sangat jelas bahwa hak cipta juga sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang berlaku di suatu Negara. Di sana dikatakan bahwa sistem hukum civil law sangat mengedepankan pada perlindungan hukum atas hak moral dan hak ekonomi, sistem hukum common law mengarah pada perlindungan kepentingan ekonomi si penerbit dan sistem hukum sosialis justru tidak memperhatikan pada hak ekonomi si pengarang, namun semua itu diorientasikan pada kepentingan revolusi. Namun demikian, kini hak cipta dikenal juga sebagai hak monopoli. Di dalam hak monopoli ini ada dua hak utama, yakni hak moral dan hak ekonomi.
                        Hak moral adalah hak yang melekat pada diri si pencipta, sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari ciptaannya.
                        Hak Cipta disusun untuk melindungi karya  budaya, dan karena itu sedikit berbeda dari hak-hak yang lain. Misalnya, bila seseorang memiliki sesuatu, ia biasanya diakui sebagai pemegang hak kekayaan intelektual, Hak Kekayaan Intelektual dapat dialihkan kepada orang lain.[1]
                        Hak Cipta merupakan hak kekayaan intelektual dan juga dapat dialihkan kepada orang lain, karena itu hak cipta juga dinamakan “ Hak Kekayaan Intelektual “. Dengan kata lain, Hak Cipta adalah hak yang dapat dijadikan uang. Selain itu, Hak Cipta melekat pada ciptaan kreatif yang dihasilkan oleh intelektualitas manusia, maka hak cipta juga dianggap hak milik intelektual ( right of intellectual ownership ) seperti hak paten, hak desain industri, dan hak merek.
                        Sistem hukum di Negara Inggris dan Amerika sepanjang perjalanan sejarah menekankan segi hak kekayaan intelektual dari hak cipta. Istilah hak cipta ( copyright ) dalam Bahasa Inggris artinya persis itu, yaitu hak menyalin ( the right to copy ), dan hak cipta pada dasarnya adalah hak memperbanyak suatu ciptaan. Sebagai perbandingan, Negara-negara yang lain, seperti Perancis dan Jerman, lebih menekankan hak moral, sebuah konsep yang dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran sosial di Eropa. Karena itu terjemahan harfiah istilah
Hak Cipta dalam Bahasa Perancis dan Jerman adalah “ Hak Cipta” ( rights of the author ). Singkatnya, Negara-negara ini lebih mementingkan konsep melindungi alam intelektual si pencipta, yaitu falsafah dan prinsip-prinsipnya, daripada konsep menaikkan nilai hak kekayaan intelektual atas suatu ciptaan dengan cara membuat salinannya banyak-banyak dan menjualnya. Oleh karena itu ide bahwa hak cipta memiliki dua ciri khas, yaitu hak kekayaan intelektual dan hak moral, berkembang  terutama di Eropa. Di Asia, ide ini baru diperkenalkan baru-baru ini saja. Undang-undang hak cipta, kecuali di beberapa Negara, baru diperkenalkan sejak pertengahan hingga akhir abad ke-20.
                   Hak kekayaan intelektual atas ciptaan dapat dikelompokkan ke dalam kategori-kategori berikut :[2]
1)      Hak Perbanyakan ( right of reproduction )
2)      Hak Mempertunjukkan ( right of performance )
3)      Hak Menyajikan ( right of presentation )
4)      Hak Menyebarkan ( right of public transmission )
5)      Hak Menuturkan ( right of recitation )
6)      Hak Memamerkan ( right of exhibition )
7)      Hak Distribusi, mengalihkan hak milik dan meminjamkan ( right of distribution, transfer of ownership and lending )
8)      Hak Menerjemahkan, Mengaransemen, Mentransformasi, dan Mengadaptasi right of translation, arrangement, transformation and adaptation )
9)      Hak Mengeksploitasi Ciptaan Turunan ( right in the exploitation of a derivative work )
       Pembuktian hanyalah diperlukan, apabila timbul suatu perselisihan. Jika tidak ada seseorang yang menyangkal bahwa hak milik seseorang atas ciptaan yang dimilikinya, maka ia tidak perlu membuktikan bahwa ciptaan tersebut  itu adalah miliknya.
       Teori Pembuktian menurut ketentuan dalam Pasal 1865 B.W yang menyatakan “ Setiap orang yang mendalikan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan adanya hak atau peristiwa tersebut.” Teori Hukum Pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat-syarat sebagai berikut:[3]
1.      Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
2.      Reability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya
     ( misalnya tidak palsu )
3.      Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta
4.      Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan
                 Dalam Hukum Acara Pidana dikenal sistem pembuktian negatif  dimana yang dicari adalah kebenaran yang materiil atau kebenaran yang sesungguhnya sedangkan dalam hukum Acara Perdata berlaku sistem pembuktian positif dimana yang dicari adalah kebenaran yang formal. Sistem negatif adalah sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh Hakim, haruslah memenuhi dua syarat mutlak :
1.          Alat bukti yang cukup, dan
2.          Keyakinan hakim
      Menurut Prof. Kollewijn sebagaimana dikutip oleh Soekardono ada dua jenis cara pendaftaran yaitu, Pendaftaran Konstruktif dan Pendaftaran Deklaratif. [4]
      Pendaftaran Konstitutif, berarti bahwa hak atas ciptaan baru terbit karena pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan, sedangkan Pendaftaran Deklaratif adalah bahwa pendaftaran itu bukanlah menerbitkan hak; melainkan hanya memberikan dugaan atau sangkaan saja menurut undang-undang bahwa orang yang hak ciptaannya terdaftar itu adalah ia berhak sebenarnya sebagai pencipta dari hak yang didaftarkannya.
      Dalam pendaftaran cara konstitutif letak titik berat ada tidaknya hak cipta tergantung pada pendaftarannya, jika didaftarkan dengan cara ini maka hak cipta itu diakui keberadaannya, jika didaftarkan dengan cara ini maka Hak Cipta itu diakui keberadaanya secara de jure dan de facto, berbeda dengan cara deklaratif titik beratnya diletakkan pada anggapan sebagai pencipta terhadap hak yang didaftarkan itu, sampai orang lain dapat membuktikan sebaliknya, dengan kata lain pada sistem deklaratif sekalipun hak cipta itu didaftarkan undang-undang hanya mengakui seolah-olah yang bersangkutan sebagai pemiliknya, secara de jure harus dibuktikan lagi, jika ada orang lain yang menyangkal hak tersebut.

B.       Peranan Negara Dalam Menjalankan Hak Ciptanya atas Folklor Secara   Optimal.
Pada bagian penjelasan Pasal 10 UUHC dikatakan bahwa untuk melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Lebih lanjut  disebutkan bahwa ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.
Paul Kuruk, yang tulisannya dimuat di American University Law Review, berpendapat bahwa nilai kebudayaan dianggap rusak apabila terjadi kehilangan permanen atas benda-benda yang tidak dapat digantikan ( permanent loss of irreplaceable property ). Hal-hal lain yang dianggapnya juga dapat merusak nilai kebudayaan adalah penggunaan atau penunjukkan folklor di luar wilayah tradisional masyarakatnya, penggunaan folklor untuk tujuan yang berbeda dengan tujuan awalnya, pembuatan tiruan-tiruan komersial yang gagal untuk mewakili nilai-nilai komunal ( commercial copies of cultural works misrepresent communal ).
Pasal 10 Undang-undang Hak Cipta menjadi dasar bagi Negara untuk memegang Hak Cipta atas folklor. Dalam pasal tersebut juga ditetapkan bahwa untuk mengumumkan atau memperbanyak folklor, orang yang bukan warga Negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut. Sampai saat ini pengaturan lebih lanjut mengenai sistem perizinan tersebut belum ada.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, perlindungan Hak Cipta hanya diberikan pada Ciptaan yang telah selesai dibuat. Dengan demikian, perlindungan Hak Cipta atas folklor seharusnya hanya diberikan pada folklor  yang telah didokumentasikan oleh Negara. Hanya Negara yang berhak untuk menentukan mana Ciptaan yang termasuk folklor  dan mana yang bukan. Opini seorang ahli tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menetapkan suatu Ciptaan sebagai folklor, walaupun opini  tersebut dilandasi oleh penelitian yang berkualitas. Oleh karena itu, beranjak dari hal tersebut adalah penting untuk mempertanyakan, apakah seseorang dapat dianggap melanggar Hak Cipta atas folklor, jika Ciptaan yang dianggap sebagai folklor belum ditetapkan oleh Negara dan ketika peraturan mengenai izin penggunaan folklor belum dibuat, ini adalah sesuatu yang harus dipikirkan secara mendalam oleh para pembuat hukum.
Untuk membuat upaya perlindungan terhadap folklor berjalan secara lebih optimal, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu :
1.      Pengaturan mengenai folklor harus diperbaiki secara total. Perancangan ulang ketentuan-ketentuan mengenai folklor harus mempertimbangkan penerapan perlindungan dalam format sistem sui generis.
2.      Pemerintah harus lebih aktif dalam melakukan upaya perlindungan folklor, minimal dengan mengeluarkan pernyataan atau dokumentasi resmi mengenai hal-hal yang dianggap folklor. Dokumentasi tersebut seyogyanya dikeluarkan berdasarkan hasil penelitian ilmiah.
3.      Pemerintah harus lebih banyak dan lebih kreatif dalam melakukan kegiatan sosialisasi mengenai hak kekayaan intelektual dan khususnya mengenai perlindungan folklor kepada masyarakat, karena sebagian besar masyarakat masih sangat awam dengan itu.
4.      Pemerintah harus dapat menempatkan diri secara arif di tengah masyarakat, yaitu minimal dengan menjaga netralitasnya dari berbagai konflik sosial atau sengketa hukum yang terkait hak kekayaan intelektual atau perlindungan folklor.
III.   PENUTUP
Dari uraian pada pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1.             Hak  Cipta pada hakekatnya merupakan hak eksklusif yang sifatnya monopoli, dimana hak itu didapat secara otomatis tatkala suatu ciptaan dilahirkan. Pembuktian terhadap hak cipta hanya diperlukan apabila timbul suatu perselisihan, jika tidak ada yang menyangkal bahwa hak milik seseorang atas ciptaan yang dimilikinya maka ia tidak perlu membuktikan bahwa ciptaan tersebut miliknya.
2.             Untuk melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat, pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau memanfaatkan tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai pemegang hak cipta. Perlindungan hak cipta atas folklor hanya diberikan pada folklor yang telah didokumentasikan oleh negara.

DAFTAR PUSTAKA
Andar Purba, Penegakan Hukum HKI dalam Perspektif Badan Peradilan, Makalah Seminar DJHKI,2005.
Budi Agus Riswandi, Perlindungan Data Base Dalam Konteks Hukum Hak Cipta Indonesia www.google.com/akses Tgl 27/3/09
Bambang Waluyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991.
Ditjen HKI Departemen Hukum dan HAM RI-JICA, Kompilasi UU RI dibidang HKI,Jakarta,2005.
Edy Damain, Hukum Hak Cipta, Bandung, Alumni, 2002.
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Remaja Rosdakarya, Bandung,1991.
Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah, Hak Kekayaan Intelektual (Sejarah Teori dan Pratiknya di Indonesia), Bandung,Citra Aditya Bakti,1997.
O.K., Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
R.Subekti,Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT.Intermasa,2005,
R. Subekti dan R.Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2005.
Retnowulan S dan Iskandar O,Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Bandung, CV.Mandar Maju, 2005.
Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000.
Tamotsu Hozomi, Asian Copyright Handbook, Terjemahan, ACCU-IKAPI, Jakarta, 2006.



4 Tamotsu Hozomi, Asian Copyright Handbook, Terjemahan, ACCU-IKAPI, Jakarta, 2006, hal.12
5 / Ibid, hal.14
[3]  O.K., Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995, hal.89
7 O.K., Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995, hal.89d