Senin, 01 Agustus 2016

Perlindungan Hukum Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Indonesia Pasca Undang-Undang Kehutanan



Penulis : Marsitiningsih, SH, MH

I. Latar Belakang
            Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat dengan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai manausia sangat terbatas, sedangkan jumlah manusia yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin bertambah. Kondisi yang tidak seimbang antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu telah menimbulkan berbagai persoalan dan kasus-kasus persengketaan tanah yang memerlukan penyelesaian yang baik, benar dan memberikan perlindungan serta kepastian hukum juga keadilan.
            Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat menurut Philipus M, Hadjon yang dalam rumusan berbahasa Belanda berbunyi “rechtsbescherming van de burgers tegen de overhead“ dan dalam rumusan bahasa Inggris berbunyi “legal protection of the individual in relation to acts of administrative authorities“ (Philipus M.Hardjon : 1987). Hal ini berarti bahwa perlindungan hukum bagi rakyat ada kaitannya dengan suatu tindakan Pemerintah yang bisa melakukan perbuatan sewenang wenang atau melampaui  wewenang yang ada padanya. Perlindungan hukum bagi rakyat pemegang hak ulayat tidak terlepas dari konsepsi pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang secara tegas Negara mengakui dan memberikan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya.
            Untuk memberikan perlindungaan terhadap warga Negara yang benar-benar mempunyai hak atas tanah tersebut, maka Negara mengaturnya di dalam Undang-Undang Pokok Agraria dalam pasal 26 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberiaan menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”.  Namun kenyataan yang terjadi, banyak tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat (hak ulayat) diambil oleh Pemerintah dengan cara-cara kekerasan.
            Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai: kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan (Sorjono Wignyodipuro,  1983).
            Hak Ulayat merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur, yaitu pertama unsure hukum perdata; sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercaya berasal dari peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan ghaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan, serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu  sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “ orang luar “ .
            Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial) maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya; subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat .
            Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur yaitu : ( Perat Ka BPN No . 5 tahun 1999)
Unsur Masyarakat Adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan suasanahukum adatnya sebagai warga  bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Unsur Wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.
Unsur hubungan antara masyarakaat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Di dalam Penjelasan pasal 67 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003  tentang Kehutanan, menyatakan bahwa “sebagai masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur, antara lain :
Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban  (rechsgemeenschap);
Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
Ada wilayah hukum adatnya yang jelas;
Ada pranata perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati;
Masih mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting, karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang perlindungan persekutuan dan roh para leluhur persekutuan. (Soerjono Wignyodipuro : 1983).
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak secara gamblang dijelaskan tentang adanya dasar hukum dan aturan-aturan yang mengatur, melainkan hak ulayat diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria serta hukum adat yang berlaku.

II. Permasalahan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bagaimanakah Perlindungan hukum  hak ulayat masyarakat kaum adat di Indonesia setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 41  tahun 1999 tentang  Kehutanan?  

III. Pembahasan.      
            Sebagaimana disebutkan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun  1945, bahwa “ Bumi  dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat “. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebut tanah melainkan bumi.  Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut pasal 1 ayat ( 3 ) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), bahwa “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah  hubungan yang bersifat abadi “.
Dalam  pasal 1 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) UUPA menyebutkan bahwa  seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah  air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.  Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam pasal 4 ayat ( 1 )  UUPA, sebagai dasar hak menguasai dari Negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Mengingat pentingnya tanah dalam kehidupan, jauh sebelum diundangkannya UUPA telah dikenal sistem penguasaan sumber daya alam di berbagai daerah  di Indonesia yang dikenal dengan hak ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya yang merupakan oendukung utama kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut. (BPN Kanwil Provinsi Kalteng: seminar langkah-langkah Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007)
Apabila ditelaah, terdapat kesamaan  mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan tempat tinggal dayang-dayang yang memberikan perlindungan kepada persekutuan dan roh para leluhur persekutuan (Soerjono Wigjodipuro : 1983).
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu , yaitu “eksistensi“  dan mengenai pelaksaannya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak ulayat tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkaan kembali.
Pelaksanaan hak ulayat dalam UUPA diatur dalam pasal 3 yang menyebutkan bahwa: “Pelaksanaan harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum ( Angka  H/3 ) ditegaskan bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih tinggi dan lebih luas “.  
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak seakan akan anggota-anggota masyarakat itu sendirilah yang berhak atas tanah wilayah itu, dan seakan akan hanya diperuntukan bagi masyarakat hukum adat itu sendiri tidak diperkenankan, karena dianggap bertentangan dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal  1 dan pasal 2 UUPA.
Dalam UUPA disebutkan juga bahwa hak ulayat diakui eksistensinya selama menurut kenyataannya masih ada, artinya jika hak ulayat yang pada kenyataanya sudah tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional, tugas kewenangan yang merupakan unsure hak ulayat telah menjadi tugas kewenangan Negara. Pada kenyataannya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Oleh karena itu, hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan untuk diatur, karena pengaturan hak ulayat tersebut akan berakibat melestarikan eksistensinya.
Hak ulayat diisyaratkan sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah yang merupakan wilayah suatu masyarakat hukum adat (pasal  3 UUPA). Pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sedangkan pelaksananya adalah Penguasa Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu Kepala Adat sendiri atau bersama-sama para tetua adat masing-masing.
Pengambil alihan hak ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana tertuang dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum  adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah“. Kepemilikan tanah rakyat adalah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Internasional maupun hukum nasional. Dalam hukum Internasional, hak milik ini diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ( DUHAM ), yaitu :
Pasal 17 ayat (1): Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain “,
Pasal 17 ayat (2):  Tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara sewenang-wenang  “,
Pasal  30 : Tidak ada satu ketentuan pun dalam deklarasi ini yang dapat ditafsirkan sebagaimemberikan hak pada suatu Negara, kelompok atau orang untuk terlibat dalam aktivitas  atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebasan apapun yang diatur dalam deklarasi ini “.
Di dalam pasal 67 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Kehutanan  menyebutkan :  “ Masyarkata hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya , berhak untuk :
Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat adat yang bersangkutan;
Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang Undang, dan
Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 67 Undang Undang Nomor 24 tahun 2003, menyebutkan bahwa “ sebagai masyarakat hukum adat, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur, antara lain :
Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap),
Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya,
Ada wilayah hukum adat yang jelas,
Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati,
Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”. 
Bahkan penjelasan pasal 67 ayat (2)  memberikan kesempatan pada pertimbangan hasil penelitian para pakar hukum adat , aspirasi masyarakat setempat dan tokoh masyarakat adat  setempat.
            Dari segi hak asasi manusia yang terelaborasi dengan beberapa peraturan perundangan dan konstitusi, maka tampak bahwa eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionilnya termasuk hak ulayat, telah diakui keberadaannya, bukan hanya secara nasional tetapi secara universal melalui Deklarasi Unversal Hak Azasi Manusia. Dengan demikian perampasan hak ulayat dan hak-hak lain yang menyerupainya dari masyarakat hukum adat merupakan bentuk pelanggaran konstitusional dan pelanggaran HAM sebagaimana tercantum dalam pasal 17 DUHAM.
            Fakta empiris di lapangan menunjukan bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya justru turut serta menjaga dan melindungi hutan, salah satunya adalah masyarakat desa Tenganan  Bali.  Masyarakat Bali memiliki perlindungan kawasan melalui sejarah yang panjang karena pengaruh dan akulturasi kebudayaan Hindu serta perkembangannya.
            Pola pengkeramatan kawasan berlaku pada berbagai tingkatan wilayah sampai satuan pulau dan tingkat pekarangan.  Masyarakat adat desa Tenganan merupakan satu kelompok yang memiliki keunikan tradisi perlindungan hutan. Keunikan bertumpu pada kesederhanaan struktur kelembagaan dan kekuatan memegang komitmen dan bertanggung jawab atas segala tindakannya. Perlindungan kawasan hutan sebagai bentuk penghormatan terhadap pelindung alam dan kemanusiaan. Dalam agama Hindu terdapat mitologi hutan sebagai pelindung manusia yaitu : “Tumbuh-tumbuhan memiliki semua sifat dewa, dan tumbuhan adalah juru selamat kemanusiaan. Jika manusia mengahancurkan tetumbuhan, maka ia menghancurkan “penjaga kemanusiaan” nya. Siapapun, apakah manusia maupun hewan akan hidup selamat dan sejahtera di bumi kalau kebersihan atmosfir bumi terpelihara dengan segala cara untuksuksesnya tujuan hidup ini “ ( Arthavaveda VII.2.25 , dalam Titib 2004 dalam IGP Suryadarma , www.staf .uny.ac.id  hal 50-51).
            Keberadaan desa Adat Tenganan sebagai hasilkombinasi sumber daya manusia dan sumber daya alam memberikan berbagai kontribusi dan jasa ekosistem kepada masyarakat secara luas. Keunikan jasanya antara llain berupa jasa tangkapan air hujan (watershed), jasa menjaga kestabilan iklim , jasa penyerap berbagai bentuk panas dan polutan dari luar, mengikuti proses source-sink.
Sistem watershed kawasan desa Adat Tenganan, tidak hanya berfungsi sebagai tangkapan air hujan tetapi berfungsi sebagai penjernih air yang tersimpan. Vegetasi hutannya memberikan penjernihan terhadap kualitas udara dan stabilitas iklim ( IGP Suryadarma www.staf.uny.ac.id hal 53 )
            Penelitian yang pernah dikaukan oleh yayasan Sejati di 4 Provinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Irian jaya dan Nusa Tenggara Timur) menunjukan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain, namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat yaitu antara lain :
Masih hidup selaras  alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya;
Adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (communal tenure/ property rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan;
Adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan  (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan;
Ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar (Nababan, 1995).
Sangat ironis justru  hutan yang dikelola oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah semakin rusak dan tidak terlindungi. Hal ini bisa terlihat bahwa sampai awal  tahun 1970, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelososk Nusantara, khususnya di luar Jawa.
            Masyarakat adat yang belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatra Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak zaman kolonial Belanda.
Perubahan yang sangat drastic baru mulai terjadi di awal tahun 1970-an ketika Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH). Sampai bulan Juli tahun 2000 Departemen Kehutanan dan Perkebunan mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat.
Konsep pelepasan hak atas tanah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 sebagaimana telah diubah denan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan Umum. Selain itu, berkenaan dengan konsep kawasan  hutan lindung, kita perlu mencermati ketentuan dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Wilayah Nasional.
Urgensi adanya pelepasan hak ulayat dalam kawasan hutan lindung tidak terlepas dari ketentuan UUD 1945 pasal 33 ayat ( 3 ) yang menyatakan : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat “. Pasal 2 UUPA merupakan aturan pelaksanaan dari pasal 33 ayat ( 3 ) UUD 1945 dan wewenang yang bersumber pada hak menguasai Negara sebagaimana tersebut dalam pasal 2 UUPA tersebut  digunakan untuk mencapai sebesar besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia  yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Hubungan hukum antara Negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh Negara, hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat dan gabungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak hak perorangaan atas tanah (AP Parlindungan, h 11 ). Idealnya, hubungan ketiga hak tersebut terjalin secara harmonis dan seimbang, artinya ketiga hak tersebut sama kedudukan dan kekuatannya dan tidak saling merugikan.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 65 tahun 2006 dinyatakan bahwa: “Pengadaan tanah bagi pelaksaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan haak atas tanah “. Sedangkan criteria yang termasuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :
Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api ( di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi ;
Waduk, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
Tempat pembuangan sampah dan cagar budaya;
Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Jika dikaji mengenai hutan lindung berkaitan dengan kepentingan umum, maka sejatinya kawasan hutan lindung bukan merupakan bagian dari aspek kepentingan umum, karena ketentuan pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 bersifat limitative sehingga tidak terbuka penafsiran lain selain yang disebut dalam peraturan tersebut.
Berdasarkan ketentuaanaa pasal 20 ayat ( 1 ) huruf c Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat rencana pola ruanag wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis  nasional. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 khususnya pasal 51 huruf a disebutkan bahwa kawasan  lindung nasional terdiri atas salah satunya berupa kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 52 ayat ( 1 0 yang menyatakan : “ Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri atas:
 Kawasan hutan lindung;
Kawasan bergambut;
Kawasan resapan air.
Jadi, jelas berdasarkan ketentuan beberapa peraturan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kawasa hutan lindung merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilaya nasional dan tidak termasuk dalam criteria kepentingan umum.  Karena bukan bagian dari kepantingan umum, maka dalam pengadaan kawasan hutan lindung dimana di dalam hutan tersebut  terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat berlaku ketentuan pasal 2 ayat (2)  Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 yakni “Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan“.
Sedangkan bila dikaji kedudukan hak ulayat dalam Undang Undang Kehutanan menggunakan sekaligus istilah “masyarakat hukum adat“ dan istilah “masyarakat setempat“. Undang-Undang Kehutanan tidak membuat definisi mengenai masyarakat setempat tetapi ada dalam peraturan pelaksanaannya, sementara untuk mengukur keberadaan masyarakat hukum adat ditentukan 5 unsur.
Namun, masyarakat hukum adat terkadang diartikan sebagai bagian dari masyarakat  setempat (pasal 17 ayat 2). Sebagai pemangku hak, Undang Undang Kehutanan mengakui kenyataan penguasaan hutan oleh masyarakat adat (hutan ulayat, hutan marga).

IV. Kesimpulan
            Pasal 3 Undang-Undang pokok Agraria mengakui adanya hak ulayat. Pengakuan terhadap tanah merupakan suatu hal yang memang dilindungi sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat  an prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia.  Namun pengakuan hak ulayat tersebut dibatasi, yaitu hak ulayat yang masih selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban sebagimana pasal 28 I UUD 1945 dan tidak didaftar.
            Bentuk perlindungan hukumnya bila diperlukaan untuk kepentingan umum sebagaimana pasal 18 UUPA. maka masyarakat pemegang hak ulayat diberi penggantian berupa pembangunan fasilitas umum atau bentu lain yang bermanfaat bagi rakyat setempat sesuai dengan pasal 14 Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006, yang penggunaannya untuk kepentingan seluruh pemegang hak ulayat atas tanah tersebut.
            Prinsip penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya mengandung kosekuensi apabila Pemerintah hendak melepaskan hak ulayat masyarakat hukum adat, harus sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada. Bentuk penghormatan tersebut adalah : Pertama,  bahwa konsep “pencabutan“ tidak berlaku bagi pengadaan tanah untuk penetapan kawasan hutan lindung di atas hak ulayat karena berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 hutan lindung bukan merupakan kepentingan umum. Kedua, dengan tidak berlakunya konsep “pencabutan“ berarti Pemerintah tidak dapat serta merta menghapus hak ulayat masyarakat hukum adat. Ketiga, hak ulayat hanya bisa dilepaskan jika masyarakat adat menghendaki, dan hanya bisa dilakukan melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
            Kawasan hutan lindung tidak termasuk dalam kriteria kepentingan umum seperti yang tercantum dalam pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006, hanya saja kawasan hutan lindung termasuk dalam lingkup Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Untuk itu,  apabila di dalam kawasan hutan lindung terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat, maka ketentuan mengenai penyerahan dan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum tidak berlaku

DAFTAR  PUSTAKA
Bestari Raden dan Abdon Nababan, Pengelolaan Hutan berbasis masyarakat Adat : Antara Konsep dan Realitas, www.dte.gn.apc.org.2003
Boedi Harsono, Hukum Agaria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya), Djambatan, Jakarta, 2003
Parlindungan AP, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria,  Mandar Maju, Bandung, 1993
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat  di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987
Suryadarma. I.G.P, Peran Hutan Masyarakat Adat Dalam Menjaga Stabilitas Iklim, Suatu Kajian Perspektif Deep Ecology (Kasus masyarakat desa Adat Tenganan, Bali) jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Jogyakarta.
Soerjono Wignyodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983
Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang Undang Nomor  41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999
Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, Seminar Langkah langkah Administrasi Perlindungan Tanah adat, Palangkaraya, 2007.   

 

            

0 komentar:

Posting Komentar