Penulis : Marsitiningsih, SH, MH
I. Latar Belakang
Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai
hubungan yang erat dengan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan
hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah
luas tanah yang dapat dikuasai manausia sangat terbatas, sedangkan jumlah
manusia yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin bertambah. Kondisi yang
tidak seimbang antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu telah
menimbulkan berbagai persoalan dan kasus-kasus persengketaan tanah yang memerlukan
penyelesaian yang baik, benar dan memberikan perlindungan serta kepastian hukum
juga keadilan.
Pengertian perlindungan hukum bagi
rakyat menurut Philipus M, Hadjon yang dalam rumusan berbahasa Belanda berbunyi
“rechtsbescherming van de burgers tegen de overhead“ dan dalam rumusan bahasa
Inggris berbunyi “legal protection of the individual in relation to acts of administrative
authorities“ (Philipus M.Hardjon : 1987). Hal ini berarti bahwa perlindungan
hukum bagi rakyat ada kaitannya dengan suatu tindakan Pemerintah yang bisa
melakukan perbuatan sewenang wenang atau melampaui wewenang yang ada padanya. Perlindungan hukum
bagi rakyat pemegang hak ulayat tidak terlepas dari konsepsi pasal 18 ayat (2)
UUD 1945 yang secara tegas Negara mengakui dan memberikan penghormatan terhadap
kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya.
Untuk memberikan perlindungaan terhadap
warga Negara yang benar-benar mempunyai hak atas tanah tersebut, maka Negara
mengaturnya di dalam Undang-Undang Pokok Agraria dalam pasal 26 ayat (1) yang
mengatakan bahwa : “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat,
pemberiaan menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Namun kenyataan yang terjadi, banyak tanah
yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat (hak ulayat) diambil oleh Pemerintah
dengan cara-cara kekerasan.
Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu
dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai: kewenangan yang menurut
hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu
yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan
hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah,
turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan (Sorjono Wignyodipuro, 1983).
Hak Ulayat merupakan hak penguasaan
yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang
termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang
merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua
unsur, yaitu pertama unsure hukum perdata; sebagai hak kepunyaan bersama para
warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercaya
berasal dari peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu
kekuatan ghaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan, serta
lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah
unsur hukum publik, yaitu sebagai
kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan
tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri
maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “ orang luar “ .
Subyek hak ulayat ini adalah
masyarakat hukum adat, yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada
kesamaan tempat tinggal (teritorial) maupun yang didasarkan pada keturunan
(genealogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang
bersangkutan, misalnya; subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua
atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari masyarakat hukum adat
yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak
ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan
kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat .
Mengenai kriteria dan penentuan
masih adanya hak ulayat tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih
adanya hak ulayat meliputi 3 unsur yaitu : ( Perat Ka BPN No . 5 tahun 1999)
Unsur
Masyarakat Adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat
dengan suasanahukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Unsur
Wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup
para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari.
Unsur
hubungan antara masyarakaat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan
hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang
masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Di
dalam Penjelasan pasal 67 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Kehutanan, menyatakan bahwa “sebagai
masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi
unsur, antara lain :
Masyarakatnya
masih dalam bentuk paguyuban
(rechsgemeenschap);
Ada kelembagaan dalam bentuk
perangkat penguasa adatnya;
Ada wilayah hukum adatnya yang
jelas;
Ada pranata perangkat hukum,
khususnya peradilan adat yang masih ditaati;
Masih
mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.
Di
dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting, karena menurut
sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami
keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan
kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tanah merupakan
tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan
tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan
merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang perlindungan persekutuan dan
roh para leluhur persekutuan. (Soerjono Wignyodipuro : 1983).
Dengan
demikian dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak secara gamblang dijelaskan
tentang adanya dasar hukum dan aturan-aturan yang mengatur, melainkan hak
ulayat diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya mengacu pada Undang-Undang
Pokok Agraria serta hukum adat yang berlaku.
II. Permasalahan.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, bagaimanakah Perlindungan hukum hak ulayat masyarakat kaum adat di Indonesia
setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan?
III. Pembahasan.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal
33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya
kemakmuran rakyat “. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebut tanah melainkan
bumi. Mengenai arti bumi ini tidak
terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut pasal 1 ayat ( 3 ) Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA), bahwa “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa adalah hubungan yang bersifat
abadi “.
Dalam pasal 1 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) UUPA menyebutkan
bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia,
pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah
dibatasi dalam pasal 4 ayat ( 1 ) UUPA,
sebagai dasar hak menguasai dari Negara hanya permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Mengingat
pentingnya tanah dalam kehidupan, jauh sebelum diundangkannya UUPA telah
dikenal sistem penguasaan sumber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikenal dengan hak
ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat yang
berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya yang merupakan oendukung utama
kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan
bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga terkandung adanya hak
kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai (memiliki)
tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut. (BPN Kanwil Provinsi Kalteng:
seminar langkah-langkah Administrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya,
2007)
Apabila
ditelaah, terdapat kesamaan mengenai
hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan hukum yang
mengatur kehidupan orang-orang Indonesia
dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Di
dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting karena menurut
sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami
keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan
kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tanah merupakan
tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan
tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan
merupakan tempat tinggal dayang-dayang yang memberikan perlindungan kepada
persekutuan dan roh para leluhur persekutuan (Soerjono Wigjodipuro : 1983).
Pada
dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA sudah diakui, akan tetapi
pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu , yaitu
“eksistensi“ dan mengenai pelaksaannya.
Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih
ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak ulayat tidak ada lagi,
maka tidak akan dihidupkaan kembali.
Pelaksanaan
hak ulayat dalam UUPA diatur dalam pasal 3 yang menyebutkan bahwa: “Pelaksanaan
harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan undang-undang
dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang
diterangkan dalam penjelasan umum ( Angka
H/3 ) ditegaskan bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada
kepentingan nasional dan Negara yang lebih tinggi dan lebih luas “.
Oleh
sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak seakan akan anggota-anggota
masyarakat itu sendirilah yang berhak atas tanah wilayah itu, dan seakan akan hanya
diperuntukan bagi masyarakat hukum adat itu sendiri tidak diperkenankan, karena
dianggap bertentangan dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan pasal 2 UUPA.
Dalam
UUPA disebutkan juga bahwa hak ulayat diakui eksistensinya selama menurut
kenyataannya masih ada, artinya jika hak ulayat yang pada kenyataanya sudah
tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali dan tidak akan diciptakan
hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional, tugas kewenangan yang
merupakan unsure hak ulayat telah menjadi tugas kewenangan Negara. Pada
kenyataannya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu
dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Oleh karena itu, hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak
memerintahkan untuk diatur, karena pengaturan hak ulayat tersebut akan berakibat
melestarikan eksistensinya.
Hak
ulayat diisyaratkan sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah yang merupakan
wilayah suatu masyarakat hukum adat (pasal
3 UUPA). Pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, sedangkan pelaksananya adalah Penguasa Adat masyarakat hukum adat
yang bersangkutan, yaitu Kepala Adat sendiri atau bersama-sama para tetua adat
masing-masing.
Pengambil
alihan hak ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat merupakan bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana tertuang dalam pasal 6 Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Dalam rangka
penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat
hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah“. Kepemilikan tanah rakyat
adalah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum
Internasional maupun hukum nasional. Dalam hukum Internasional, hak milik ini
diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ( DUHAM ), yaitu :
Pasal
17 ayat (1): Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara pribadi
maupun bersama-sama dengan orang lain “,
Pasal
17 ayat (2): Tidak seorangpun dapat
dirampas harta bendanya secara sewenang-wenang
“,
Pasal 30 : Tidak ada satu ketentuan pun dalam
deklarasi ini yang dapat ditafsirkan sebagaimemberikan hak pada suatu Negara,
kelompok atau orang untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan
untuk menghancurkan hak dan kebebasan apapun yang diatur dalam deklarasi ini “.
Di
dalam pasal 67 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Kehutanan menyebutkan :
“ Masyarkata hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya , berhak untuk :
Melakukan
pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat
adat yang bersangkutan;
Melakukan
kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan Undang Undang, dan
Mendapatkan
pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Selanjutnya
dalam penjelasan pasal 67 Undang Undang Nomor 24 tahun 2003, menyebutkan bahwa “
sebagai masyarakat hukum adat, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur, antara lain :
Masyarakatnya
masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap),
Ada kelembagaan dalam bentuk
perangkat penguasa adatnya,
Ada wilayah hukum adat yang
jelas,
Ada pranata dan perangkat hukum,
khususnya peradilan adat yang masih ditaati,
Masih
mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari”.
Bahkan
penjelasan pasal 67 ayat (2) memberikan
kesempatan pada pertimbangan hasil penelitian para pakar hukum adat , aspirasi
masyarakat setempat dan tokoh masyarakat adat
setempat.
Dari segi hak asasi manusia yang
terelaborasi dengan beberapa peraturan perundangan dan konstitusi, maka tampak
bahwa eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionilnya termasuk hak
ulayat, telah diakui keberadaannya, bukan hanya secara nasional tetapi secara
universal melalui Deklarasi Unversal Hak Azasi Manusia. Dengan demikian
perampasan hak ulayat dan hak-hak lain yang menyerupainya dari masyarakat hukum
adat merupakan bentuk pelanggaran konstitusional dan pelanggaran HAM
sebagaimana tercantum dalam pasal 17 DUHAM.
Fakta empiris di lapangan menunjukan
bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya justru turut serta
menjaga dan melindungi hutan, salah satunya adalah masyarakat desa
Tenganan Bali. Masyarakat Bali memiliki perlindungan kawasan
melalui sejarah yang panjang karena pengaruh dan akulturasi kebudayaan Hindu
serta perkembangannya.
Pola pengkeramatan kawasan berlaku
pada berbagai tingkatan wilayah sampai satuan pulau dan tingkat
pekarangan. Masyarakat adat desa
Tenganan merupakan satu kelompok yang memiliki keunikan tradisi perlindungan
hutan. Keunikan bertumpu pada kesederhanaan struktur kelembagaan dan kekuatan
memegang komitmen dan bertanggung jawab atas segala tindakannya. Perlindungan
kawasan hutan sebagai bentuk penghormatan terhadap pelindung alam dan
kemanusiaan. Dalam agama Hindu terdapat mitologi hutan sebagai pelindung
manusia yaitu : “Tumbuh-tumbuhan memiliki semua sifat dewa, dan tumbuhan adalah
juru selamat kemanusiaan. Jika manusia mengahancurkan tetumbuhan, maka ia
menghancurkan “penjaga kemanusiaan” nya. Siapapun, apakah manusia maupun hewan
akan hidup selamat dan sejahtera di bumi kalau kebersihan atmosfir bumi
terpelihara dengan segala cara untuksuksesnya tujuan hidup ini “ ( Arthavaveda
VII.2.25 , dalam Titib 2004 dalam IGP Suryadarma , www.staf
.uny.ac.id hal 50-51).
Keberadaan desa Adat Tenganan
sebagai hasilkombinasi sumber daya manusia dan sumber daya alam memberikan
berbagai kontribusi dan jasa ekosistem kepada masyarakat secara luas. Keunikan
jasanya antara llain berupa jasa tangkapan air hujan (watershed), jasa menjaga
kestabilan iklim , jasa penyerap berbagai bentuk panas dan polutan dari luar,
mengikuti proses source-sink.
Sistem
watershed kawasan desa Adat Tenganan, tidak hanya berfungsi sebagai tangkapan
air hujan tetapi berfungsi sebagai penjernih air yang tersimpan. Vegetasi
hutannya memberikan penjernihan terhadap kualitas udara dan stabilitas iklim ( IGP
Suryadarma www.staf.uny.ac.id hal 53 )
Penelitian yang pernah dikaukan oleh
yayasan Sejati di 4 Provinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Irian jaya dan Nusa
Tenggara Timur) menunjukan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu
sama lain, namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan
adat yang masih dihormati dan dipraktekan oleh kelompok-kelompok masyarakat
adat yaitu antara lain :
Masih
hidup selaras alam dengan mentaati
mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus
dijaga keseimbangannya;
Adanya
hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (communal tenure/
property rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif
sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan;
Adanya
sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan
(pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk
memecahkan secara bersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan
sumberdaya hutan;
Ada sistem pembagian kerja
dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari
penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar (Nababan,
1995).
Sangat
ironis justru hutan yang dikelola oleh
pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah semakin rusak dan
tidak terlindungi. Hal ini bisa terlihat bahwa sampai awal tahun 1970, kearifan adat yang sangat beragam
ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelososk Nusantara,
khususnya di luar Jawa.
Masyarakat adat yang belum banyak
diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih
mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan
mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatra Utara bagian
timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala
besar sejak zaman kolonial Belanda.
Perubahan
yang sangat drastic baru mulai terjadi di awal tahun 1970-an ketika Orde Baru
yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem
konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH). Sampai bulan Juli tahun 2000 Departemen
Kehutanan dan Perkebunan mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal
konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan
oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah
adat.
Konsep
pelepasan hak atas tanah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005
sebagaimana telah diubah denan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang
pengadaan tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan Umum. Selain itu,
berkenaan dengan konsep kawasan hutan
lindung, kita perlu mencermati ketentuan dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan
Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Wilayah Nasional.
Urgensi
adanya pelepasan hak ulayat dalam kawasan hutan lindung tidak terlepas dari
ketentuan UUD 1945 pasal 33 ayat ( 3 ) yang menyatakan : “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat “. Pasal 2 UUPA merupakan aturan
pelaksanaan dari pasal 33 ayat ( 3 ) UUD 1945 dan wewenang yang bersumber pada
hak menguasai Negara sebagaimana tersebut dalam pasal 2 UUPA tersebut digunakan untuk mencapai sebesar besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Hubungan
hukum antara Negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh Negara,
hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak
ulayat dan gabungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak hak
perorangaan atas tanah (AP Parlindungan, h 11 ). Idealnya, hubungan ketiga hak
tersebut terjalin secara harmonis dan seimbang, artinya ketiga hak tersebut
sama kedudukan dan kekuatannya dan tidak saling merugikan.
Berdasarkan
ketentuan pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 65 tahun 2006 dinyatakan bahwa:
“Pengadaan tanah bagi pelaksaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau
penyerahan haak atas tanah “. Sedangkan criteria yang termasuk kepentingan umum
yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah, meliputi :
Jalan
umum dan jalan tol, rel kereta api ( di atas tanah, di ruang atas tanah,
ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan
air dan sanitasi ;
Waduk,
bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
Pelabuhan,
Bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
Fasilitas
keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan
lain-lain bencana;
Tempat
pembuangan sampah dan cagar budaya;
Pembangkit,
transmisi, distribusi tenaga listrik.
Jika
dikaji mengenai hutan lindung berkaitan dengan kepentingan umum, maka sejatinya
kawasan hutan lindung bukan merupakan bagian dari aspek kepentingan umum,
karena ketentuan pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 bersifat
limitative sehingga tidak terbuka penafsiran lain selain yang disebut dalam
peraturan tersebut.
Berdasarkan
ketentuaanaa pasal 20 ayat ( 1 ) huruf c Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 yang
menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat rencana pola
ruanag wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi
daya yang memiliki nilai strategis
nasional. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 khususnya
pasal 51 huruf a disebutkan bahwa kawasan
lindung nasional terdiri atas salah satunya berupa kawasan yang
memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya. Kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap kawasan bawahannya dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 52
ayat ( 1 0 yang menyatakan : “ Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya terdiri atas:
Kawasan hutan lindung;
Kawasan
bergambut;
Kawasan
resapan air.
Jadi,
jelas berdasarkan ketentuan beberapa peraturan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa kawasa hutan lindung merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilaya
nasional dan tidak termasuk dalam criteria kepentingan umum. Karena bukan bagian dari kepantingan umum,
maka dalam pengadaan kawasan hutan lindung dimana di dalam hutan tersebut terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat berlaku
ketentuan pasal 2 ayat (2) Peraturan
Presiden Nomor 65 tahun 2006 yakni “Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan
dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara
sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan“.
Sedangkan
bila dikaji kedudukan hak ulayat dalam Undang Undang Kehutanan menggunakan
sekaligus istilah “masyarakat hukum adat“ dan istilah “masyarakat setempat“.
Undang-Undang Kehutanan tidak membuat definisi mengenai masyarakat setempat
tetapi ada dalam peraturan pelaksanaannya, sementara untuk mengukur keberadaan
masyarakat hukum adat ditentukan 5 unsur.
Namun,
masyarakat hukum adat terkadang diartikan sebagai bagian dari masyarakat setempat (pasal 17 ayat 2). Sebagai pemangku
hak, Undang Undang Kehutanan mengakui kenyataan penguasaan hutan oleh
masyarakat adat (hutan ulayat, hutan marga).
IV. Kesimpulan
Pasal 3 Undang-Undang pokok Agraria
mengakui adanya hak ulayat. Pengakuan terhadap tanah merupakan suatu hal yang
memang dilindungi sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945,
bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat an prinsip Negara kesatuan
Republik Indonesia. Namun pengakuan hak ulayat tersebut dibatasi,
yaitu hak ulayat yang masih selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban
sebagimana pasal 28 I UUD 1945 dan tidak didaftar.
Bentuk perlindungan hukumnya bila
diperlukaan untuk kepentingan umum sebagaimana pasal 18 UUPA. maka masyarakat
pemegang hak ulayat diberi penggantian berupa pembangunan fasilitas umum atau
bentu lain yang bermanfaat bagi rakyat setempat sesuai dengan pasal 14
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan
Presiden Nomor 65 tahun 2006, yang penggunaannya untuk kepentingan seluruh
pemegang hak ulayat atas tanah tersebut.
Prinsip penghormatan terhadap
masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya mengandung kosekuensi apabila
Pemerintah hendak melepaskan hak ulayat masyarakat hukum adat, harus sesuai
dengan ketentuan peraturan yang ada. Bentuk penghormatan tersebut adalah :
Pertama, bahwa konsep “pencabutan“ tidak
berlaku bagi pengadaan tanah untuk penetapan kawasan hutan lindung di atas hak
ulayat karena berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 hutan lindung
bukan merupakan kepentingan umum. Kedua, dengan tidak berlakunya konsep
“pencabutan“ berarti Pemerintah tidak dapat serta merta menghapus hak ulayat
masyarakat hukum adat. Ketiga, hak ulayat hanya bisa dilepaskan jika masyarakat
adat menghendaki, dan hanya bisa dilakukan melalui jual beli, tukar menukar, atau
cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
Kawasan hutan lindung tidak termasuk
dalam kriteria kepentingan umum seperti yang tercantum dalam pasal 5 Peraturan
Presiden Nomor 65 tahun 2006, hanya saja kawasan hutan lindung termasuk dalam
lingkup Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Untuk itu, apabila di dalam kawasan hutan lindung
terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat, maka ketentuan mengenai penyerahan
dan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum tidak berlaku
DAFTAR PUSTAKA
Bestari
Raden dan Abdon Nababan, Pengelolaan Hutan berbasis masyarakat Adat : Antara
Konsep dan Realitas, www.dte.gn.apc.org.2003
Boedi
Harsono, Hukum Agaria Indonesia
(Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya), Djambatan, Jakarta, 2003
Parlindungan
AP, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1993
Philipus
M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat
di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
1987
Suryadarma.
I.G.P, Peran Hutan Masyarakat Adat Dalam Menjaga Stabilitas Iklim, Suatu Kajian
Perspektif Deep Ecology (Kasus masyarakat desa Adat Tenganan, Bali)
jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Jogyakarta.
Soerjono
Wignyodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983
Undang
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
Undang
Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang
Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan
Undang
Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Peraturan
Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Peraturan
Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum
Peraturan
Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999
Badan
Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, Seminar Langkah
langkah Administrasi Perlindungan Tanah adat, Palangkaraya, 2007.
0 komentar:
Posting Komentar