Rabu, 11 Januari 2017

LANDASAN DAN TUJUAN DISKRESI PEMERINTAHAN



  • Oleh Barhamudin
  • Fakultas Hukum Universitas Palembang
            • bsuryaigama@yahoo.com
  • Abstract
The purpose of research is to know, understand and analyze the limits and purpose for discretion. The theoretical usefulness, this study would be useful as study materials State administrative law concerning the use of discretionary authority. As for the practical usability, the research is expected to provide input for government officials to use discretion. This research is a normative law and the source of the data in this research is secondary data sources. Secondary data in legal research is data obtained from the study of literature or the review of the literature or library materials related to the problem or research material that is often referred to as legal materials. Both primary legal materials, legal materials secondary and tertiary legal materials. The result showed that Law No. 30 of 2014 on Government Administration formed the legal basis or as a legal basis for the administration and also as an instrument to improve the quality of government services to the public so that the existence of this law actually can make government good for all agencies or officials in Central and Local Government. Thus, in the implementation of discretionary government officials can avoid the misuse of authority because by law the government officials have run authorized by the legislation in force and whether government officials have been applying the general principles of good governance in running its authority. Discretion does not mean arbitrariness of government officials to act to achieve the goals and ideals of a government agency that leads, but aims for the benefit of the wider society, and give rise to legal consequences which contains rights and obligations which is the limit and the size of the objective assessment and as a reference for officials government in making decisions or actions in governance can be assessed better accountability by the public and provide benefit to the public interest.
Keywords: Discretion,  Officials Government.
Abstrak
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui, memahami dan menganalisis batas dan tujuan dilakukannya diskresi. Kegunaan teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai    bahan    kajian  ilmu  hukum administrasi Negara  tentang  penggunaan kewenangan diskresi. Adapun kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pejabat pemerintah dalam menggunakan diskresi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan  sumber data  pada penelitian  ini adalah sumber data sekunder. Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh dari hasil  penelaahan  kepustakaan  atau  penelaahan  terhadap  berbagai  literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum. Baik bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Dari hasil penelitian didapatkan, bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan merupakan landasan hukum atau sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan dan juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar- benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah. Sehingga dalam pelaksanaan diskresi pejabat pemerintahan dapat terhindar dari penyalahgunaan kewenangan karena dengan undang-undang tersebut pejabat pemerintahan telah menjalankan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apakah pejabat pemerintahan telah menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam menjalankan kewenangannya. Diskresi bukan berarti kesewenangan pejabat pemerintahan dalam bertindak untuk mencapai tujuan dan cita-cita lembaga pemerintah yang dipimpinnya, tetapi bertujuan untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, dan menimbulkan akibat hukum yang berisi hak dan kewajiban yang menjadi batas dan ukuran penilaian yang objektif dan sebagai acuan pejabat pemerintahan dalam membuat  keputusan atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat dinilai baik akuntabilitasnya oleh masyarakat dan memberikan kemaslahatan bagi kepentingan umum.

Kata Kunci: Diskresi, Pejabat Pemerintahan


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara kesejahteraan adalah konsep pemerintahan ketika negara mengambil peran penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya. Sosiolog T.H. Marshall mengidentifikasi negara kesejahteraan sebagai gabungan demokrasi, kesejahteraan, dan kapitalisme.[1]
Prinsip negara kesejahteraan tercermin dalam konstitusi suatu Negara, namun  demikian. ada negara yang tidak mencantumkan dalam konstitusinya dalam prakteknya mengelola negaranya dengan prinsip Negara kesejahteraan. Negara Republik Indonesia yang menyatakan secara tegas sebagai Negara kesejahteraan, hal ini dapat diketahui dalam  Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 alinea keempat yang berbunyi: "... dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,...kemudian didalam batang tubuh UUD 1945 dituangkan dalam berbagai ketentuan yang menyangkut kesejahteraan rakyat seperti pasal 33 mengatur mengenai masalah ekonomi, yang menganut sistem kekeluargaan, dan menentukan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi rakyat dan bumi dan air, dan kekayaan alam yang ada diatasnya dikuasai oleh negara. Setelah amandemen atas UUD 1945, khususnya dengan amandemen kedua, pasal-pasal mengenai ekonomi dan kesejahteraan rakyat ditambah, yaitu dengan pasal 28H yang berbunyi:
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai mansusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun
Dalam rangka mewujudkan tujuan Negara sebagai organisasi dalam mengelola Negara perlu diingat bahwa penyelenggara negara bukan hanya berkewajiban untuk baik dan bersih dalam penyelenggaraan tugasnya mengelola negara, tetapi lebih dari itu adalah berkewajiban memenuhi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. Pemerintahan yang baik dan bersih bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan. Dengan demikian mekanisme juridis maupun politis di atas harus dibuat sedemikian rupa sehingga benar-benar mampu mendorong tercapainya tujuan dan bukan menghambat pencapaian tujuan.
Pemerintahan yang bersih identik dengan birokrasi yang baik. Tetapi dalam membangun birokrasi yang bersih dengan mekanisme yuridis, salah satu persoalan hukum yang mengedepan adalah persinggungan asas legalitas yang mengutamakan kepastian hukum (wetmatigheid) dan diskresi (pouvoir discretionnaire) pejabat negara (eksekutif) yang justru mengesampingkan asas legalitas dan lebih mengutamakan efisiensi (doelmatigheid).
Ada lima prinsip penting yang merupakan prinsip yang mendasari suatu sistem negara kesejahteraan, dalam upayanya untuk mencapai tujuan mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan warganegaranya.[2] Pertama, cabang produksi yang penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Kedua, usaha-usaha swasta diluar cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibolehkan, tetapi negara melakukan pengaturan, sehingga tidak terjadi monopoli atau oligopoli yang akan mendistorsi pasar, atau bentuk-bentuk lain yang merugikan kesejahteraan rakyat. Ketiga, negara terlibat langsung dalam usaha-usaha kesejaheraan rakyatnya, seperti secara langsung menyediakan berbagai bentuk pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan. Keempat, mengembangkan sistem perpajakan progresif, yaitu sistem pajak yang mengenakan pajak yang dalam prosentasenya juga semakin tinggi (membesar) bagi orang yang semakin kaya dan bagi usaha yang semakin besar. Kelima, pembuatan kebijakan publik harus dilakukan secara demokratis. Ini artinya, negara kesejahteraan menganut sistem demokrasi didalam pengelolaan negaranya.
Tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan merupakan tugas yang sangat luas. Begitu luasnya cakupan tugas Administrasi Pemerintahan sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), guna memberikan landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan pemerintahan.
Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut diatur dalam sebuah Undang-Undang yang disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.[3] Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada Warga Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka Undang-Undang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menentukan bahwa, Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan:
a. asas legalitas;
b. asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan
c. AUPB.
Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan.
Negara kesejahteraan mengutamakan untuk mengurusi secara langsung kesejahteraan rakyatnya, maka akibatnya, negara kesejahteraan menjadi negara yang memasuki sangat banyak segi kehidupan rakyat, yang mungkin saja terdapat hal-hal yang berada diluar aturan karena perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dan hal tersebut harus diambil langkah-langkah atas kebijakan pemerintah atau pejabat pemerintahan untuk mengatasinya, disinilah diperlukan ruang yang sering disebut dengan diskresi. mulai dari soal pendidikan, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
            Dari uraian dalam latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Bagaimana tujuan diskresi pemerintahan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ?
C. Tujuan dan Keguaan Penelitian
Dari  permasalahan di atas, maka tujuan penelitian adalah : Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis batas dan tujuan dilakukannya diskresi. Kegunaan teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai    bahan    kajian  ilmu  hukum administrasi Negara  tentang  penggunaan kewenangan diskresi. Adapun kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pejabat pemerintah dalam menggunakan diskresi.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative dan  sumber data  pada penelitian  ini adalah sumber data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Penelitian ini data sekundernya berupa dokumentasi serta sumber tertulis yaitu berupa sumber buku tertulis yang bersumber dari buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan judul dan tema dari penelitian ini. Pengertian lain mengenai data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh dari hasil  penelaahan  kepustakaan  atau  penelaahan  terhadap  berbagai  literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.[4] Baik bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian dilakukan analisis  dengan kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti mendukung, menambah, atau memberi komentar dan kemudian menarik  suatu kesimpulan.
II. PEMBAHASAN
Perwujudan tugas pemerintah dalam negara hukum modern atau welfare state dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan umum adalah dimilikinya kebebasan oleh pemerintah, dalam arti bahwa pemerintah tidak terikat secara mutlak oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan umum tersebut.[5]
Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, tindakan hukum pemerintahan itu selanjutnya dituangkan dalam dan dipergunakan beberapa instrumen hukum dan kebijakan seperti peraturan (regeling), keputusan (besluit), peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), dan ketetapan (beschikking). Setiap penggunaan wewenang dan penerapan instrumen hukum oleh pejabat pemerintahan sudah barang tentu menimbulkan akibat hukum karena memang yang dimaksudkan untuk menciptakan hubungan hukum dan akibat hukum.[6]
Rochmat Soemitro, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Administrasi Negara meliputi segala sesuatu mengenai pemerintahan, yakni seluruh aktifitas Pemerintah yang tidak termasuk pengundangan dan  peradilan.[7] Sedangkan E. Utrecht mengemukakan bahwa Hukum  Administrasi Negara mempunyai objek : Pertama, sebagian hukum mengenai hubungan hukum antara alat perlengkapan Negara yang satu dengan alat perlengkapan Negara yang lain ; Kedua, sebahagian aturan hukum mengenai hubungan hukum, antara perlengkapan Negara dengan perseorangan privat. Hukum Administrasi Negara juga adalah perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan sehingga memungkinkan para pejabat Negara melakukan tugasnya yang istimewa.[8]
Menurut Adolf Heukken bahwa kebijaksanaan atau freies Ermessen berasal dari  kata  frei yang berarti bebas, merdeka, tidak terikat. Kata Freis berarti orang bebas, sedangkan kata Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan atau keputusan.[9] Jika  bertitik  tolak dari pengertian etimologi yang dikemukakan diatas, istilah freies Ermessen atau diskresi mengandung arti kemerdekaan atau kebebasan untuk membuat pertimbangan, penilaian dan perkiraan.
Benyamin Mangkudilaga mengartikan diskresi sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri.[10] Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi. Sedangkan  Gayus T. Lumbuun mendefinisikan diskresi sebagai berikut: Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).[11]
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengartikan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal perautran perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan
Sebagaimana dinyatakan oleh  Sjachran Basah menyatakan : Tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tentunya melibatkan administrasi negara di dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan publiknya yang sangat kompleks, luas lingkupnya, dan memasuki semua sektor kehidupan. Dalam hal administrasi negara memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan atau diskresi walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum.
Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).
Kebebasan bertindak sudah tentu akan menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya menyimpangi asas legalitas dalam arti sifat ”pengecualian” jenis ini berpeluang lebih besar untuk menimbulkan kerugian kepada warga masyarakat. Oleh karena itu terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Akibat ketidakmampuan asas legalitas dalam memenuhi tuntutan ide negara hukum material untuk mewujudkan kesejahteraan umum, suatu asas baru telah lahir dalam lapangan hukum administrasi negara. Asas tersebut disebut asas diskresi atau jenis ermessen.
Adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral. Di dalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi  negara, pemerintah banyak mengeluarkan kebijaksanaan yang dituangkan dalam berbagai bentuk seperti beleidslijnen (garis-garis kebijaksanaan), het beleid (kebijaksanaan), voorschriften (peraturan- peraturan), richlijnen (pedoman-pedoman), regelingen (petunjuk- petunjuk), circulaires (surat edaran), resoluties (resolusi-resolusi), aanschrijvingen (intruksi-intruksi), reglemen ministriele (peraturan- peraturan menteri), beschikkingen (keputusan-keputusan).[12]
Pemaknaan diskresi keputusan dan/atau tindakan pejabat merupakan pengecualian dari adanya asas legalitas (wetmatigheid van bestuur). Akan tetapi, tetap berpedoman pada kewenangan yang telah ditentukan dalam peraturan Perundang-undangan, meskipun kewenangan dalam peraturan tersebut bersifat multitafsir, atau dalam kondisi tertentu maupun keadaan mendesak pejabat hukumdiwajibkan memberikan solusi terhadap suatu permasalahan, dan dapat juga dikarenakan adanya stagnasi pemerintahan, dengan mengacu pada terwujudnya kepastian hukum dan dilakukan demi kepentingan umum.[13]
Dalam khasanah hukum administrasi terdapat tiga macam cara untuk memperolah kewenangan pemerintahan (bestuurbevoegheid), yaitu : atribusi,  delegasi dan mandat.[14] Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan , bahwa kewenangan diperoleh melalui  Atribusi, Delegasi, dan/atau Mandat.
Dari ketiga kewenangan pejabat hukumtersebut, menurut sifatnya dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :[15]
1. Kewenangan yang bersifat pilihan (facultative). Kewenangan semacam ini berdasarkan norma yang pada peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut digunakan.
2. Kewenangan yang bersifat Terikat (gebonden). Norma yang ada dalam peraturan dasarnya sudah menentukan tetang isi dari keputusan yang harus diambil.
3. Kewenangan yang bersifat diskresioner.
Wewenang yang diberikan oleh peraturan dasar tidak bersifat terikat, yaitu ketika pejabat menentukan isi dari suatu tindakannya bebas dilakukan berdasarkan interpretasinya. Terhadap kewenangan yang bersifat diskresioner tersebut, tidak bersifat terikat sama sekali. Di sini peraturan dasarnya memberikan suatu ruang lingkup kebebasan kepada pejabat yang bersangkutan. Di satu pihak, batas (marge) kebebasan seperti itu sedikit banyak merupakan hal yang tidak dapat diperhitungkan, karenanya merupakan hal yang sedikit banyak tidak pasti. Tetapi di pihak lain, kebebasan demikian itu  memberikan kemungkinan untuk diadakan penyesuaian dengan kekhususan dari hal atau keadaan senyatanya yang hendak diurus kepentingannya.
Pejabat tersebut memang harus mengadakan tindakan hukum individual dan konkret. Kemungkinan untuk mengindividualisir  dan mengkonkretisir itu tidak hanya dalam bentuk kewenangan untuk menolak atau mengabulkan saja apa yang dimohon masyarakat, tetapi juga memberikan kemungkinan bagi pejabat yang bersangkutan untuk melekatkan syarat-syarat pada penetapan tertulis (izin) yang ia keluarkan. Jenis-jenis perbuatan atau tindakan pejabat yang bersifat diskresi dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan, termasuk luas cakupannya meliputi bidang perizinan, kepegawaian, pendidikan, perekonomian, dan lain-lain.[16]
Pada dasarnya setiap bentuk campur tangan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari asas legalitas yang menjadi  sendi utama Negara hukum.  Akan  tetapi,  karena  setiap  produk perundangan-undangan tidak ada yang sempurna dan meniscayakan adanya kelemahan dan kekurangan, sebagaimana telah disebutkan di atas, keberadaan kebijaksanaan menempati posisi penting sejalan dengan perkembangan Negara hukum  modern saat ini. Selama ini dalam praktek penyelenggaraan Negara, tolak ukur penggunaan diskresi atau fries ermessen oleh pejabat administrasi Negara di Indonesia  yaitu berdasarkan Asas-asas Umum  Pemerintahan  yang Baik  (AAUPB).
Menurut Bagir Manan, setidaknya ada 2 (dua) penyebab diperlukannya diskresi dikarenakan : Hukum sebagai bagian dari kehidupan masyarakat mencakup semua aspek kehidupan yang sangat luas dan kompleks, sehingga tidak mungkin seluruh dijelamakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan tertulis. Peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis pada umumnya bersifat statis, yang tidak dapat dengan cepat mengikuti gerakan pertumbuhan,perkembangan dan perubahan masyarakat yang harus diembannya. Salah satu ciri keterbatasan hukum adalah adanya ketentuan tersamar maupun norma yang terbuka.Atas dasar keterbatasan tersebut maka diskresi diperlukan oleh pejabat public menghadapi berbagai persoalan penting dan mendesak, yang tidak mungkin menunggu samai aanya undang-undang baru yang disahkan oleh lembaga legislasi. Sedangkan persoalan mendesak ,sekurang-kurangnya mengandung unsur: [17]
  1. Persoalan-persoalan yang muncul harus menyangkut kepentingan umum, yaitu kepentingan bangdan dan negara, kepentingan masyarakat yang luas,kepentingan rakyat banyak serta kepentingan pembangunan;
  2. Muculnya secara tiba-tiba berada diluar rencana yang telah ditentukan;
  3. Peraturan sebelumnya mengatur secara umum, sehingga administrasi negara mempunyai kebebasan untuk menyelesaiakan atas inisiatif sendiri;
  4. Prosedurnya tidak daat diselesaikan menurut administrasi yang normal.
Kebebasan menentukan kebijakan, selalu berarti suatu kebebasan yang relatif menurut undang-undang. Artinya peraturan dasarnya tidak menentukan secara tepat bagaimana bunyi keputusan yang akan dikeluarkan. Namun hal itu tidak boleh diartikan, bahwa penggunaan wewenang demikian dapat dilakukan dengan bebas tanpa berlakunya suatu norma hukum yang harus ditaati. Bagaimanapun bebasnya sifat wewenang pemerintahan  yang  dirumuskan  dalam  peraturan  dasarnya,  di  situ   juga tetap harus dapat berlaku paling tidak norma-norma hukum yang tidak tertulis yang disebut “asas-asas umum pemerintahan yang  baik.[18]
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa  AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan   merupakan landasan hukum bagi pejabat pemerintahan untuk menggunkan diskresi. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi diatur dalam Bab VI, Pasal 22 sampai dengan Pasal 32.
Pasal 22 ayat (1) UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang. Penggunaan diskresi bertujuan untuk: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.[19] Diskresi pejabat pemerintahan meliputi: a) pengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketetuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan; b) pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur; c) pengambilan keputusan adan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan d) pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.[20]
Dalam penggunaan diskresi harus memenuhi syarat-syarat, yaitu :
  1. Sesuai tujuan;
  2. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik;
  3. Berdasarkan alasan yang objektif;
  4. Tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
  5. Dilakukan dengan itikad baik.
Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur Freies Ermessen dalam suatu Negara hukum, yaitu  :[21]
a.  Ditujukan untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan  publik.
b. Merupakan sikap tindak aktif dari administrasi  Negara
c. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum
d. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif  sendiri
e. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan- persoalan penting yang timbul secara  tiba-tiba.
f. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara  hukum.
Adanya kekhawatiran akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam penggunaan diskresi ini. Mengharuskan pemerintah untuk tunduk terhadap syarat-syarat dan ketentuan diskresi tersebut, antara lain :
  1. Diskresi diperbolehkan jika terjadi kekosongan hukum (rechts vakum);
  2. Diskresi diperbolehkan jika terdapat ruang kebebasan interpretasi;
  3. Diskresi diperboleh jika ada delegasi perundang-undangan; dan
  4. Diskresi diperbolehkan demi pemenuhan kepentingan umum, sebagai bagian pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintah kepada masyarakat
Penggunaan diskresi dikategorikan melampaui wewenang apabila:[22] a). bertindak melampau batas waktu berlakunya wewenang; b). bertindak mempaui batas wilayah berlakunya wewenang; c). tidak sesuai prosedur penggunaan diskresi. Akibat hukum jika penggunaan diskresi melampaui wewenang adalah tidak sah.
Penggunaan diskresi dikategorikan mencapuradukan wewenang apabila:[23] menggunakan diskresi tidak sesuai wewenang; tidak sesuai prosedur penggunaan diskresi; dan bertentangan dengan AUPB. Akhibat hukumnya dapat dibatalkan. Penggunaan diskresi sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.
Dalam hukum administrasi Negara parameter  yang membatasi gerak bebas kewenangan administrasi  Negara  (discretionary power) adalah detournament de pouvoir (penyalahgunaan wewenang)  dan abus de droit (sewenang-wenang). Kecenderungan yang terjadi pada saai ini berkaitan dengan fungsi pengawasan dan penegakkan hukum yang dilakukan oleh  aparat  hukum  masih sangat positivistic sehingga mengakibatkan penyelenggaraan kewenangan pejabat administrasi Negara/kepala daerah  berupa  penerapan  dari Freies Ermessen berujung pada proses hukum pidana. Keadaan ini membawa implikasi pada timbulnya  ketidakpastian  hukum  didalam  perbuatan administrasi Negara, yang pada gilirannya mengganggu kinerja pejabat administrasi Negara/kepala daerah karena menimbulkan character assacianation terhadap praktek penyelenggaraan pemerintahan yang  baik.
Asep Warlan Yusuf menyebutkan cirri-ciri tindakan pejabat/badan administrasi Negara yang merupakan penyalahgunaan wewenang (de tournament de pouvoir), yaitu :
a. Mengabaikan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam prosedurnya
b. Suatu tindakan bukan menjadi wewenang pejabat atau badan administrasi Negara yang bersangkutan
c. Suatu tindakan dilarang oleh peraturan untuk  dilakukan
Bentuk-bentuk Penyalahgunaan wewenang pejabat administrasi  Negara dapat meliputi hal-hal sebagai berikut  :
a. Perbuatan Pejabat Administrasi Negara yang melawan hukum (onrechtmatige overheadsdaad), yaitu perbuatan yang disengaja ataupun tidak disengaja melanggar  peraturan-peraturan formal yang berlaku dan norma-norma yang berlaku dalam  masyarakat.
b. Detournement de pouvoir, yaitu perbuatan penggunaan wewenang untuk mencapai kepentingan umum yang lain daripada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan yang menjadi dasar kewenangannya itu dan merugikan pihak lain atau menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain dari tujuan wewenang yang diberikan undang-undang.
Di dalam hukum administrasi negara terdapat 2 (dua) jenis produk hukum yang dilahirkan oleh Pemerintah, yaitu : Pertama, Regelling (peraturan perundang-undangan) dan Kedua, Beschikking (keputusan). Bagi orang awam, mungkin kedua jenis produk hukum tersebut nampak tidak ada perbedaan sama sekali, sebab sama-sama dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai organ pelaksana Negara. Akan tetapi jika ditelaah lebih mendalam, kedua produk hukum tersebut memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan ini dapat kita lihat, baik dari kacamata teoritis maupun melalui kacamata yuridis formal.
Secara teoritis, perbedaan kedua produk hukum tersebut dapat kita lihat melalui 3 (tiga) indikator penting, yakni : [24]
1. Mengenai subjek hukum yang diatur;
2. Tempat berlakunya produk hukum tersebut; dan
3. Waktu, tempo, atau saat berlakunya produk hukum tersebut.
Dari ketiga indikator tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa jika suatu produk hukum tidak terikat kepada 3 (tiga) indikator tersebut, maka produk hukum tersebut harus berbentuk peraturan (regelling). Sebaliknya, jika ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka produk hukum yang dilahirkan oleh Pemerintah berbentuk keputusan (beschikking).
Secara yuridis, perbedaan dari kedua produk hukum Pemerintah ini dapat kita lihat dari aspek atau segi hukum positif atau yang sedang berlaku (ius costititum), sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 junto Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 junto Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Di dalam Undang-undang tersebut Pasal 1 angka 3 ditegaskan bahwa keputusan Tata Usaha Negara harus memenuhi 3 (tiga) unsur atau sifat, yaitu : Pertama, Kongkrit. Sifat ini berarti bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara harus memiliki tujuan jelas atau untuk apa produk itu dilahirkan. Dalam hal ini, suatu keputusan harus benar-benar memiliki makna dan tujuan yang jelas secara hukum, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda; Kedua, Individual. Makna dari sifat individual ini adalah bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara harus memiliki sasaran yang tegas atau kepada siapa keputusan tersebut dituju. Akan tetapi, makna individual disini tidak hanya berlalu secara personal saja secara sempit. Namun individual juga dapat berarti kelompok, sepanjang memiliki sifat homogenitas yang sama, dalam arti keputusan tersebut berlaku bagi individu yang lebih dari satu dengan tujuan yang sama. Sebagai contoh, surat keputusan mengenai pengangkatan Hakim Agung, dimana lampiran keputusan tersebut terdiri dari 13 (tiga belas) orang yang sama; Ketiga, Bersifat final. Makna final disini dapat diartikan bahwa keputusan tersebut berlaku secara langsung atau saat itu juga (direct dicesion), sehingga menimbulkan akibat hukum dalam bentuk hak dan kewajiban. Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetepan tertulis yang dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bersifat kongkrit, individual dan final.[25] Secara umum, terdapat 4 (empat) unsur utama keputusan Tata Usaha Negara, yakni :
1. Berbentuk penetapan tertulis;
2.Dibuat oleh pejabat Tata Usaha Negara, sebagai subjek hukum yang melaksanakan fungsi pemerintahan;
3. Mendasarkan kepada peraturan yang lebih tinggi; dan
4. Bersifat khusus, yaitu kongkrit, individual dan final.
Hal tersebut semakin dikuatkan di dalam Undang-Undang nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menegaskan bahwa jika hal tersebut di atas tidak terpenuhi, maka suatu keputusan tidak dapat dikatakan sebagai keputusan tata usaha negara.[26]
Akan tetapi, pada poin ketiga unsur keputusan Tata Usaha Negara, yakni mendasarkan kepada peraturan yang lebih tinggi, tidaklah berarti kaku dalam pemaknaanya. Sebab terdapat pengecualian bagi Pemerintah yang diperbolehkan mengambil keputusan meski tidak mendasarkan kepada peraturan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan situasi dan kondisi tertentu dimana Pemerintah diharuskan megambil suatu keputusan secara cepat menyangkut fungsinya, baik fungsi memerintah maupun fungsi pelayanan. Disamping itu, pengambilan keputusan yang tidak mendasar kepada peraturan yang lebih tinggi, juga turut dibenarkan dengan adanya asas “discresional principle” atau yang lebih kita kenal dengan istilah diskresi.
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, memberikan kewenangan pada  Pejabat Pemerintahan untuk melakukan diskresi, namun demikian tindakan diskresi yang akan dilakukan harus memperhatikan untuk apa diskresi itu dilakukan. Hal ini berkaitan dengan tujuan penggunaan diskresi sebagaimana dinyatakan dalam pasal 22 ayat (2), bahwa setiap penggunaan diskresi harus bertujuan untuk:
a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. Mengisi kekosongan hukum;
c. Memberikan kepastian hukum; dan
d. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Adapun Lingkup Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi:[27]
a. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;
 b. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
c. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
d. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Pilihan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan dicirikan dengan kata dapat, boleh, atau diberikan kewenangan, berhak, seharusnya, diharapkan, dan kata-kata lain yang sejenis dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud pilihan Keputusan dan/atau Tindakan adalah respon atau sikap Pejabat Pemerintahan dalam melaksanakan atau tidak melaksanakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan tidak mengatur” adalah ketiadaan atau kekosongan hukum yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu kondisi tertentu atau di luar kelaziman. Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas” apabila dalam peraturan perundang-undangan masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut, peraturan yang tumpang tindih (tidak harmonis dan tidak sinkron), dan peraturan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan, tetapi belum dibuat. Yang dimaksud dengan “kepentingan yang lebih luas” adalah kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, penyelamatan kemanusiaan dan keutuhan negara, antara lain: bencana alam, wabah penyakit, konflik sosial, kerusuhan, pertahanan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena itu kebijakan yang akan diambil dengan menggunakan diskresi harus memenuhi syarat: [28]
a. Sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Sesuai dengan AUPB;
d. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. Tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. Dilakukan dengan iktikad baik.
Dalam penjelasan pasal 24 dinyatakan apa yang dimaksud dengan alasan-alasan objektif adalah alasan-alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional serta berdasarkan AUPB dan yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan AUPB.
Pasal 25 menyatakan, bahwa Pengunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari atasan. Persetujuan tersebut dilakukan apabila penggunaan diskresi menimbulkan akhibat hukum yang berpotensi membebani keuangan Negara. Dalam hal penggunaan diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak, dan/atau terjadi bencana alam, pejabat pemerintahan wajib memberitahukan kepada atasan pejabat sebelum penggunaan diskresi dan melaporkan setelah penggunaan diskresi.
Pejabat yang menggunakan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran (wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan), wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi serta dampak administrasi dan keuangan. Pejabat yang menggunakan diskresi tersebut, wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada atasan. Dalam waktu lima hari kerja setelah permohonan diterima, atasan pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan. Jika atasan menolak, atasan harus memberikan alasan secara tertulis.[29]
Pejabat yang menggunakan diskresi yang menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak administrasi yang berpotensi mengubah pembebanan keuangan Negara. Pejabat tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis kepada atasan pejabat. Pemberitahuan disampaikan paling lama lima hari kerja sebelum penggunaan diskresi.[30] Prosedur penggunaan tersebut tidak wajib diberitahukan kepada masyarakat.
Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat bukanlah tanpa persyaratan. Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai objek. Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pengawasan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri. Karena itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan harus diatur dalam undang-undang.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi hubungan antara negara dan Warga Masyarakat. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang- Undang ini merupakan instrumen penting dari negara hukum yang demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau  Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan. Hal inilah yang merupakan nilai-nilai ideal dari sebuah negara hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada warganya dan bukan sebaliknya.
Undang-Undang ini diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepada Warga Masyarakat yang semula sebagai objek menjadi subjek dalam sebuah negara hukum yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat. Kedaulatan Warga Masyarakat dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat terwujud. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini menjamin bahwa Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Warga Masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Dengan Undang-Undang ini, Warga Masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan  negara. Selain itu, Undang-Undang ini merupakan transformasi AUPB yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang mengikat. AUPB yang baik akan terus berkembang, sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat dalam sebuah negara hukum. Karena itu penormaan asas ke dalam Undang-Undang ini berpijak pada asas-asas yang berkembang dan telah menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia selama ini.
Undang-Undang ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan  nepotisme.  Dengan demikian, Undang-Undang ini harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien. Pengaturan terhadap Administrasi Pemerintahan pada dasarnya adalah upaya untuk membangun prinsip-prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Undang-Undang ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB. Undang-Undang ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar- benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.
III.  KESIMPULAN
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan merupakan landasan hukum atau sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan dan juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar- benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah. Sehingga dalam pelaksanaan diskresi pejabat pemerintahan dapat terhindar dari penyalahgunaan kewenangan karena dengan undang-undang tersebut pejabat pemerintahan telah menjalankan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apakah pejabat pemerintahan telah menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam menjalankan kewenangannya. Diskresi bukan berarti kesewenangan pejabat pemerintahan dalam bertindak untuk mencapai tujuan dan cita-cita lembaga pemerintah yang dipimpinnya, tetapi bertujuan untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, dan menimbulkan akibat hukum yang berisi hak dan kewajiban yang menjadi batas dan ukuran penilaian yang objektif dan sebagai acuan pejabat pemerintahan dalam mengeluarakan keputusan atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat dinilai baik akuntabilitasnya oleh masyarakat dan memberikan kemaslahatan bagi kepentingan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2013
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
S.F. Marbun. Moh. Mahfud MD. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Liberty: Yogyakarta. 2000.
S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia.  FH UII Press: Yogyakarta. 2011.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni, 1985
Agus Budi Susilo, Makna dan Kriteria Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik Dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015.   
Undang-Undang nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Undang-Undang nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
http://jambilawclub.blogspot.co.id/2010/12/penggunaan-asas-diskresi-dalam.html



[1] https:// id. wikipedia. Org / wiki/ Negara_kesejahteraan
[2] http://hadiwahono.blogspot.co.id/2013/ 06/negara-kesejahteraan.html
   [3] Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
[4] Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 156.
   [5] Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,  Jakarta.  hal. 225
   [6] Ibid. Hal.226
[7] S.F. Marbun. Moh. Mahfud MD. 2000. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Liberty: Yogyakarta. hal. 9.
[8] Ibid.
[9] S.F. Marbun. 2011. Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia.  FH UII Press: Yogyakarta. hal.  186.
[10] http://studihukum.blogspot.co.id/2010/10/penerapan-asas-diskresi-dalam-pembuatan.html
[11] Ibid
[12]  Ridwan , Op. Cit. hal. 183.
[13] Agus Budi Susilo, Makna dan Kriteria Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik Dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015.  hal.  151
[14] Ridwan, Op.cit. hal. 140
[15] Ibid. hal.
[16] Ibid.
[17] http://cermatkeuangan.blogspot.co.id/2016/02/batasan-diskresi-pejabat-pemerintahan.html
[18] Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 102
[19] Pasal 22 ayat (2) UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[20] Pasal 23. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
[21] Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni, , hal. 150.
[22] Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
[23] Pasal 31 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
[24] http:// jambila wclub .blogspot. co. id /2010/12 /penggunaan-asas-diskresi-dalam.html
[25] Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
[26] Pasal 2 Undang-Undang nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan bahwa, yang tidak termasuk dalam keputusan tata usaha negara, antara lain : 1.  Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; 2.  Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3.  Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; 4.  Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; 5.  Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6.  Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 7.  Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
[27] Pasal 23 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
[28]  Pasal 24
[29] Pasal 26
[30] Pasal 27

0 komentar:

Posting Komentar