- Oleh Barhamudin
- Fakultas Hukum Universitas Palembang
- bsuryaigama@yahoo.com
- Abstract
The purpose of research is to know, understand and
analyze the limits and purpose for discretion. The theoretical usefulness, this
study would be useful as study materials State administrative law concerning
the use of discretionary authority. As for the practical usability, the
research is expected to provide input for government officials to use
discretion. This research is a normative law and the source of the data in this
research is secondary data sources. Secondary data in legal research is data
obtained from the study of literature or the review of the literature or
library materials related to the problem or research material that is often
referred to as legal materials. Both primary legal materials, legal materials
secondary and tertiary legal materials. The result showed that Law No. 30 of
2014 on Government Administration formed the legal basis or as a legal basis
for the administration and also as an instrument to improve the quality of
government services to the public so that the existence of this law actually
can make government good for all agencies or officials in Central and Local
Government. Thus, in the implementation of discretionary government officials
can avoid the misuse of authority because by law the government officials have
run authorized by the legislation in force and whether government officials
have been applying the general principles of good governance in running its
authority. Discretion does not mean arbitrariness of government officials to
act to achieve the goals and ideals of a government agency that leads, but aims
for the benefit of the wider society, and give rise to legal consequences which
contains rights and obligations which is the limit and the size of the
objective assessment and as a reference for officials government in making
decisions or actions in governance can be assessed better accountability by the
public and provide benefit to the public interest.
Keywords: Discretion,
Officials Government.
Abstrak
Tujuan penelitian
adalah untuk mengetahui, memahami dan menganalisis batas dan tujuan
dilakukannya diskresi. Kegunaan teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat
sebagai bahan kajian
ilmu hukum administrasi
Negara tentang penggunaan kewenangan diskresi. Adapun
kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pejabat pemerintah dalam menggunakan diskresi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan sumber data
pada penelitian ini adalah sumber
data sekunder. Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh dari
hasil penelaahan kepustakaan
atau penelaahan terhadap
berbagai literatur atau bahan
pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering
disebut sebagai bahan hukum. Baik bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan
hukum tersier. Dari hasil penelitian didapatkan, bahwa Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan merupakan landasan hukum atau
sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan dan juga sebagai
instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat
sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar- benar dapat mewujudkan pemerintahan
yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.
Sehingga dalam pelaksanaan diskresi pejabat pemerintahan dapat terhindar dari
penyalahgunaan kewenangan karena dengan undang-undang tersebut pejabat
pemerintahan telah menjalankan wewenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan apakah pejabat pemerintahan telah
menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam menjalankan
kewenangannya. Diskresi bukan berarti kesewenangan pejabat pemerintahan dalam
bertindak untuk mencapai tujuan dan cita-cita lembaga pemerintah yang
dipimpinnya, tetapi bertujuan untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, dan
menimbulkan akibat hukum yang berisi hak dan kewajiban yang menjadi batas dan
ukuran penilaian yang objektif dan sebagai acuan pejabat pemerintahan dalam membuat
keputusan atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dapat dinilai baik akuntabilitasnya oleh
masyarakat dan memberikan kemaslahatan bagi kepentingan umum.
Kata Kunci:
Diskresi, Pejabat Pemerintahan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara kesejahteraan adalah konsep pemerintahan ketika negara
mengambil peran penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan
ekonomi dan sosial warga negaranya. Sosiolog T.H. Marshall mengidentifikasi negara kesejahteraan
sebagai gabungan demokrasi, kesejahteraan, dan kapitalisme.[1]
Prinsip negara
kesejahteraan tercermin dalam
konstitusi suatu Negara, namun demikian.
ada negara yang tidak mencantumkan dalam konstitusinya dalam prakteknya
mengelola negaranya dengan prinsip Negara kesejahteraan. Negara Republik
Indonesia yang menyatakan secara tegas sebagai Negara kesejahteraan, hal ini
dapat diketahui dalam Undang-Undang
Dasar RI tahun 1945 alinea keempat yang berbunyi: "... dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,...kemudian didalam batang
tubuh UUD 1945 dituangkan dalam berbagai ketentuan yang menyangkut
kesejahteraan rakyat seperti pasal 33 mengatur mengenai masalah ekonomi, yang
menganut sistem kekeluargaan, dan menentukan bahwa cabang-cabang produksi yang
penting bagi rakyat dan bumi dan air, dan kekayaan alam yang ada diatasnya
dikuasai oleh negara. Setelah amandemen atas UUD 1945, khususnya dengan
amandemen kedua, pasal-pasal mengenai ekonomi dan kesejahteraan rakyat
ditambah, yaitu dengan pasal 28H yang berbunyi:
(1) Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak
atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
mansusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapa pun
Dalam rangka mewujudkan tujuan Negara sebagai
organisasi dalam mengelola Negara perlu diingat bahwa penyelenggara negara
bukan hanya berkewajiban untuk baik dan bersih dalam penyelenggaraan tugasnya
mengelola negara, tetapi lebih dari itu adalah berkewajiban memenuhi
tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. Pemerintahan yang baik dan bersih
bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan. Dengan demikian
mekanisme juridis maupun politis di atas harus dibuat sedemikian rupa sehingga benar-benar
mampu mendorong tercapainya tujuan dan bukan menghambat pencapaian tujuan.
Pemerintahan yang bersih identik dengan birokrasi
yang baik. Tetapi dalam membangun birokrasi yang bersih dengan mekanisme
yuridis, salah satu persoalan hukum yang mengedepan adalah persinggungan asas
legalitas yang mengutamakan kepastian hukum (wetmatigheid) dan diskresi
(pouvoir discretionnaire) pejabat negara (eksekutif) yang justru
mengesampingkan asas legalitas dan lebih mengutamakan efisiensi
(doelmatigheid).
Ada lima prinsip penting
yang merupakan prinsip yang mendasari suatu sistem negara kesejahteraan, dalam upayanya
untuk mencapai tujuan mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan
kesejahteraan warganegaranya.[2] Pertama, cabang produksi yang penting
yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Kedua, usaha-usaha swasta diluar
cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibolehkan,
tetapi negara melakukan pengaturan, sehingga tidak terjadi monopoli atau
oligopoli yang akan mendistorsi pasar, atau bentuk-bentuk lain yang merugikan
kesejahteraan rakyat. Ketiga, negara
terlibat langsung dalam usaha-usaha kesejaheraan rakyatnya, seperti secara
langsung menyediakan berbagai bentuk pelayanan kesehatan dan pelayanan
pendidikan. Keempat, mengembangkan
sistem perpajakan progresif, yaitu sistem pajak yang mengenakan pajak yang
dalam prosentasenya juga semakin tinggi (membesar) bagi orang yang semakin kaya
dan bagi usaha yang semakin besar. Kelima,
pembuatan kebijakan publik harus dilakukan secara demokratis. Ini artinya,
negara kesejahteraan menganut sistem demokrasi didalam pengelolaan negaranya.
Tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara
sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan merupakan tugas yang sangat luas. Begitu
luasnya cakupan tugas Administrasi Pemerintahan sehingga diperlukan peraturan
yang dapat mengarahkan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan
harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), guna memberikan landasan
dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas
penyelenggaraan pemerintahan.
Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut
diatur dalam sebuah Undang-Undang yang disebut Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan.[3] Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada Warga Masyarakat serta
menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu
negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F,
dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga Masyarakat tidak menjadi objek,
melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Dalam
rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka
Undang-Undang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan
banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat
mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-Undang ini
merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan menentukan bahwa, Penyelenggaraan Administrasi
Pemerintahan berdasarkan:
a. asas legalitas;
b. asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan
c. AUPB.
Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam
pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di
lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Fungsi Pemerintahan
adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi
pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan.
Negara kesejahteraan
mengutamakan untuk mengurusi secara langsung kesejahteraan rakyatnya, maka
akibatnya, negara kesejahteraan menjadi negara yang memasuki sangat banyak segi
kehidupan rakyat, yang mungkin saja terdapat hal-hal yang berada diluar aturan
karena perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dan hal tersebut harus
diambil langkah-langkah atas kebijakan pemerintah atau pejabat pemerintahan
untuk mengatasinya, disinilah diperlukan ruang yang sering disebut dengan
diskresi. mulai dari soal pendidikan, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan
sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Dari
uraian dalam latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut : Bagaimana tujuan diskresi pemerintahan menurut Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ?
C. Tujuan dan Keguaan Penelitian
Dari permasalahan di atas, maka tujuan penelitian adalah
: Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis batas dan tujuan dilakukannya diskresi.
Kegunaan teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan
kajian ilmu hukum administrasi Negara tentang
penggunaan kewenangan diskresi. Adapun kegunaan praktis, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan bagi pejabat pemerintah dalam menggunakan
diskresi.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum
normative dan sumber data pada penelitian ini adalah sumber data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan
penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Penelitian ini data sekundernya
berupa dokumentasi serta sumber tertulis yaitu berupa sumber buku tertulis yang
bersumber dari buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan judul dan tema
dari penelitian ini. Pengertian lain mengenai data sekunder dalam penelitian
hukum adalah data yang diperoleh dari hasil
penelaahan kepustakaan atau
penelaahan terhadap berbagai
literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi
penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.[4] Baik bahan hukum primer, bahan hukum
skunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian
dilakukan analisis dengan kegiatan
memberikan telaah, yang dapat berarti mendukung, menambah, atau memberi
komentar dan kemudian menarik suatu
kesimpulan.
II. PEMBAHASAN
Perwujudan tugas pemerintah dalam negara hukum
modern atau welfare state dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan umum
adalah dimilikinya kebebasan oleh pemerintah, dalam arti bahwa pemerintah tidak
terikat secara mutlak oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka
menyelenggarakan kesejahteraan umum tersebut.[5]
Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara,
tindakan hukum pemerintahan itu selanjutnya dituangkan dalam dan dipergunakan
beberapa instrumen hukum dan kebijakan seperti peraturan (regeling), keputusan (besluit),
peraturan kebijaksanaan (beleidsregel),
dan ketetapan (beschikking). Setiap
penggunaan wewenang dan penerapan instrumen hukum oleh pejabat pemerintahan
sudah barang tentu menimbulkan akibat hukum karena memang yang dimaksudkan untuk menciptakan hubungan hukum dan akibat hukum.[6]
Rochmat Soemitro, mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan Hukum Administrasi Negara meliputi segala sesuatu mengenai pemerintahan,
yakni seluruh aktifitas Pemerintah yang tidak termasuk pengundangan dan peradilan.[7] Sedangkan E. Utrecht mengemukakan bahwa
Hukum Administrasi Negara mempunyai
objek : Pertama, sebagian hukum mengenai hubungan hukum antara alat perlengkapan
Negara yang satu dengan alat perlengkapan Negara yang lain ; Kedua, sebahagian
aturan hukum mengenai hubungan hukum, antara perlengkapan Negara dengan
perseorangan privat. Hukum Administrasi Negara juga adalah
perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan sehingga memungkinkan para
pejabat Negara melakukan tugasnya yang istimewa.[8]
Menurut Adolf Heukken bahwa kebijaksanaan atau
freies Ermessen berasal dari kata frei yang berarti bebas, merdeka, tidak
terikat. Kata Freis berarti orang bebas, sedangkan kata Ermessen berarti
mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan atau keputusan.[9] Jika
bertitik tolak dari pengertian
etimologi yang dikemukakan diatas, istilah freies Ermessen atau diskresi
mengandung arti kemerdekaan atau kebebasan untuk membuat pertimbangan,
penilaian dan perkiraan.
Benyamin Mangkudilaga mengartikan diskresi sebagai
kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri.[10]
Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi.
Sedangkan Gayus T. Lumbuun
mendefinisikan diskresi sebagai berikut: Diskresi adalah kebijakan dari pejabat
negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik
melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga
syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya,
dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).[11]
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan mengartikan diskresi adalah keputusan
dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintah
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dalam hal perautran perundang-undangan yang memberikan pilihan,
tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan
Sebagaimana dinyatakan oleh Sjachran Basah menyatakan : Tujuan kehidupan
bernegara yang harus dicapai, tentunya melibatkan administrasi negara di dalam
melaksanakan tugas-tugas pelayanan publiknya yang sangat kompleks, luas
lingkupnya, dan memasuki semua sektor kehidupan. Dalam hal administrasi negara
memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan atau diskresi walaupun
demikian sikap tindaknya itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara
moral maupun hukum.
Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun
merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD
1945. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri
bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang
mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan
ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum).
Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada
administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali
disebut fries ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire
(Perancis).
Kebebasan bertindak sudah tentu akan menimbulkan
kompleksitas masalah karena sifatnya menyimpangi asas legalitas dalam arti
sifat ”pengecualian” jenis ini berpeluang lebih besar untuk menimbulkan
kerugian kepada warga masyarakat. Oleh karena itu terhadap diskresi perlu
ditetapkan adanya batas toleransi. Akibat ketidakmampuan asas legalitas dalam
memenuhi tuntutan ide negara hukum material untuk mewujudkan kesejahteraan
umum, suatu asas baru telah lahir dalam lapangan hukum administrasi negara.
Asas tersebut disebut asas diskresi atau jenis ermessen.
Adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi
negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; tidak
boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum dan juga secara moral. Di dalam penyelenggaraan tugas-tugas
administrasi negara, pemerintah banyak
mengeluarkan kebijaksanaan yang dituangkan dalam berbagai bentuk seperti
beleidslijnen (garis-garis kebijaksanaan), het beleid (kebijaksanaan),
voorschriften (peraturan- peraturan), richlijnen (pedoman-pedoman), regelingen
(petunjuk- petunjuk), circulaires (surat edaran), resoluties
(resolusi-resolusi), aanschrijvingen (intruksi-intruksi), reglemen ministriele
(peraturan- peraturan menteri), beschikkingen (keputusan-keputusan).[12]
Pemaknaan diskresi keputusan dan/atau tindakan
pejabat merupakan pengecualian dari adanya asas legalitas (wetmatigheid van bestuur). Akan tetapi, tetap berpedoman pada
kewenangan yang telah ditentukan dalam peraturan Perundang-undangan, meskipun
kewenangan dalam peraturan tersebut bersifat multitafsir, atau dalam kondisi
tertentu maupun keadaan mendesak pejabat hukumdiwajibkan memberikan solusi
terhadap suatu permasalahan, dan dapat juga dikarenakan adanya stagnasi pemerintahan,
dengan mengacu pada terwujudnya kepastian hukum dan dilakukan demi kepentingan
umum.[13]
Dalam khasanah hukum administrasi terdapat tiga
macam cara untuk memperolah kewenangan pemerintahan (bestuurbevoegheid), yaitu
: atribusi, delegasi dan mandat.[14] Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan , bahwa kewenangan diperoleh
melalui Atribusi, Delegasi, dan/atau
Mandat.
Dari ketiga kewenangan pejabat hukumtersebut,
menurut sifatnya dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :[15]
1. Kewenangan yang bersifat pilihan (facultative). Kewenangan semacam ini
berdasarkan norma yang pada peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam
keadaan yang bagaimana wewenang tersebut digunakan.
2. Kewenangan yang bersifat Terikat (gebonden). Norma yang ada dalam
peraturan dasarnya sudah menentukan tetang isi dari keputusan yang harus
diambil.
3. Kewenangan yang bersifat diskresioner.
Wewenang yang diberikan oleh peraturan dasar tidak
bersifat terikat, yaitu ketika pejabat menentukan isi dari suatu tindakannya
bebas dilakukan berdasarkan interpretasinya. Terhadap kewenangan yang bersifat
diskresioner tersebut, tidak bersifat terikat sama sekali. Di sini peraturan
dasarnya memberikan suatu ruang lingkup kebebasan kepada pejabat yang bersangkutan.
Di satu pihak, batas (marge) kebebasan seperti itu sedikit banyak merupakan hal
yang tidak dapat diperhitungkan, karenanya merupakan hal yang sedikit banyak
tidak pasti. Tetapi di pihak lain, kebebasan demikian itu memberikan kemungkinan untuk diadakan
penyesuaian dengan kekhususan dari hal atau keadaan senyatanya yang hendak
diurus kepentingannya.
Pejabat tersebut memang harus mengadakan tindakan hukum
individual dan konkret. Kemungkinan untuk mengindividualisir dan mengkonkretisir itu tidak hanya dalam
bentuk kewenangan untuk menolak atau mengabulkan saja apa yang dimohon
masyarakat, tetapi juga memberikan kemungkinan bagi pejabat yang bersangkutan
untuk melekatkan syarat-syarat pada penetapan tertulis (izin) yang ia
keluarkan. Jenis-jenis perbuatan atau tindakan pejabat yang bersifat diskresi
dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan, termasuk luas cakupannya meliputi
bidang perizinan, kepegawaian, pendidikan, perekonomian, dan lain-lain.[16]
Pada dasarnya setiap bentuk campur tangan
pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagai perwujudan dari asas legalitas yang menjadi sendi utama Negara hukum. Akan
tetapi, karena setiap
produk perundangan-undangan tidak ada yang sempurna dan meniscayakan
adanya kelemahan dan kekurangan, sebagaimana telah disebutkan di atas,
keberadaan kebijaksanaan menempati posisi penting sejalan dengan perkembangan Negara
hukum modern saat ini. Selama ini dalam
praktek penyelenggaraan Negara, tolak ukur penggunaan diskresi atau fries
ermessen oleh pejabat administrasi Negara di Indonesia yaitu berdasarkan Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik (AAUPB).
Menurut Bagir Manan, setidaknya ada 2 (dua)
penyebab diperlukannya diskresi dikarenakan : Hukum sebagai bagian dari
kehidupan masyarakat mencakup semua aspek kehidupan yang sangat luas dan
kompleks, sehingga tidak mungkin seluruh dijelamakan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan tertulis. Peraturan perundang-undangan sebagai hukum
tertulis pada umumnya bersifat statis, yang tidak dapat dengan cepat mengikuti
gerakan pertumbuhan,perkembangan dan perubahan masyarakat yang harus
diembannya. Salah satu ciri keterbatasan hukum adalah adanya ketentuan tersamar
maupun norma yang terbuka.Atas dasar keterbatasan tersebut maka diskresi diperlukan
oleh pejabat public menghadapi berbagai persoalan penting dan mendesak, yang
tidak mungkin menunggu samai aanya undang-undang baru yang disahkan oleh
lembaga legislasi. Sedangkan persoalan mendesak ,sekurang-kurangnya
mengandung unsur: [17]
- Persoalan-persoalan yang muncul harus menyangkut kepentingan umum, yaitu kepentingan bangdan dan negara, kepentingan masyarakat yang luas,kepentingan rakyat banyak serta kepentingan pembangunan;
- Muculnya secara tiba-tiba berada diluar rencana yang telah ditentukan;
- Peraturan sebelumnya mengatur secara umum, sehingga administrasi negara mempunyai kebebasan untuk menyelesaiakan atas inisiatif sendiri;
- Prosedurnya tidak daat diselesaikan menurut administrasi yang normal.
Kebebasan menentukan kebijakan, selalu berarti suatu
kebebasan yang relatif menurut undang-undang. Artinya peraturan dasarnya tidak
menentukan secara tepat bagaimana bunyi keputusan yang akan dikeluarkan. Namun
hal itu tidak boleh diartikan, bahwa penggunaan wewenang demikian dapat
dilakukan dengan bebas tanpa berlakunya suatu norma hukum yang harus ditaati.
Bagaimanapun bebasnya sifat wewenang pemerintahan yang
dirumuskan dalam peraturan
dasarnya, di situ juga
tetap harus dapat berlaku paling tidak norma-norma hukum yang tidak tertulis
yang disebut “asas-asas umum pemerintahan yang
baik.[18]
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa
AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan
merupakan landasan hukum bagi pejabat pemerintahan untuk menggunkan
diskresi. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, diskresi diatur dalam Bab VI, Pasal 22 sampai dengan Pasal 32.
Pasal 22 ayat (1) UU No.30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat
pemerintahan yang berwenang. Penggunaan diskresi bertujuan untuk: melancarkan
penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian
hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan
dan kepentingan umum.[19] Diskresi pejabat pemerintahan meliputi:
a) pengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketetuan peraturan
perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan;
b) pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan
tidak mengatur; c) pengambilan keputusan adan/atau tindakan karena peraturan
perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan d) pengambilan keputusan
dan/atau tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang
lebih luas.[20]
Dalam penggunaan diskresi harus memenuhi syarat-syarat,
yaitu :
- Sesuai tujuan;
- Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik;
- Berdasarkan alasan yang objektif;
- Tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
- Dilakukan dengan itikad baik.
Sjachran
Basah mengemukakan unsur-unsur Freies Ermessen dalam suatu Negara hukum,
yaitu :[21]
a. Ditujukan untuk melaksanakan tugas-tugas
pelayanan publik.
b. Merupakan sikap
tindak aktif dari administrasi Negara
c. Sikap tindak itu
dimungkinkan oleh hukum
d. Sikap tindak itu diambil atas
inisiatif sendiri
e. Sikap tindak itu dimaksudkan
untuk menyelesaikan persoalan- persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba.
f. Sikap tindak itu dapat
dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun
secara hukum.
Adanya kekhawatiran akan terjadi
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam penggunaan diskresi ini.
Mengharuskan pemerintah untuk tunduk terhadap syarat-syarat dan ketentuan
diskresi tersebut, antara lain :
- Diskresi diperbolehkan jika terjadi kekosongan hukum (rechts vakum);
- Diskresi diperbolehkan jika terdapat ruang kebebasan interpretasi;
- Diskresi diperboleh jika ada delegasi perundang-undangan; dan
- Diskresi diperbolehkan demi pemenuhan kepentingan umum, sebagai bagian pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintah kepada masyarakat
Penggunaan
diskresi dikategorikan melampaui wewenang apabila:[22]
a). bertindak melampau batas waktu berlakunya wewenang; b). bertindak mempaui
batas wilayah berlakunya wewenang; c). tidak sesuai prosedur penggunaan
diskresi. Akibat hukum jika penggunaan diskresi melampaui wewenang adalah tidak
sah.
Penggunaan
diskresi dikategorikan mencapuradukan wewenang apabila:[23]
menggunakan diskresi tidak sesuai wewenang; tidak sesuai prosedur penggunaan
diskresi; dan bertentangan dengan AUPB. Akhibat hukumnya dapat dibatalkan.
Penggunaan diskresi sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh
pejabat yang tidak berwenang.
Dalam hukum
administrasi Negara parameter yang
membatasi gerak bebas kewenangan administrasi
Negara (discretionary power)
adalah detournament de pouvoir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenang-wenang).
Kecenderungan yang terjadi pada saai ini berkaitan dengan fungsi pengawasan dan
penegakkan hukum yang dilakukan oleh
aparat hukum masih sangat positivistic sehingga mengakibatkan
penyelenggaraan kewenangan pejabat administrasi Negara/kepala daerah berupa
penerapan dari Freies Ermessen berujung
pada proses hukum pidana. Keadaan ini membawa implikasi pada timbulnya ketidakpastian hukum
didalam perbuatan administrasi
Negara, yang pada gilirannya mengganggu kinerja pejabat administrasi
Negara/kepala daerah karena menimbulkan character assacianation terhadap
praktek penyelenggaraan pemerintahan yang
baik.
Asep Warlan
Yusuf menyebutkan cirri-ciri tindakan pejabat/badan administrasi Negara yang
merupakan penyalahgunaan wewenang (de tournament de pouvoir), yaitu :
a. Mengabaikan
persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam prosedurnya
b. Suatu tindakan bukan
menjadi wewenang pejabat atau badan administrasi Negara yang bersangkutan
c. Suatu tindakan dilarang oleh peraturan untuk dilakukan
Bentuk-bentuk Penyalahgunaan wewenang pejabat
administrasi Negara dapat meliputi
hal-hal sebagai berikut :
a. Perbuatan Pejabat
Administrasi Negara yang melawan hukum (onrechtmatige overheadsdaad), yaitu
perbuatan yang disengaja ataupun tidak disengaja melanggar peraturan-peraturan formal yang berlaku dan
norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat.
b. Detournement de pouvoir,
yaitu perbuatan penggunaan wewenang untuk mencapai kepentingan umum yang lain
daripada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan yang menjadi dasar
kewenangannya itu dan merugikan pihak lain atau menggunakan kewenangannya untuk
tujuan lain dari tujuan wewenang yang diberikan undang-undang.
Di dalam hukum administrasi negara terdapat 2
(dua) jenis produk hukum yang dilahirkan oleh Pemerintah, yaitu : Pertama,
Regelling (peraturan perundang-undangan) dan Kedua, Beschikking (keputusan). Bagi
orang awam, mungkin kedua jenis produk hukum tersebut nampak tidak ada
perbedaan sama sekali, sebab sama-sama dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai
organ pelaksana Negara. Akan tetapi jika ditelaah lebih mendalam, kedua produk
hukum tersebut memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan ini dapat kita lihat,
baik dari kacamata teoritis maupun melalui kacamata yuridis formal.
Secara teoritis, perbedaan kedua produk hukum
tersebut dapat kita lihat melalui 3 (tiga) indikator penting, yakni : [24]
1. Mengenai subjek hukum yang diatur;
2. Tempat berlakunya produk
hukum tersebut; dan
3. Waktu, tempo, atau saat
berlakunya produk hukum tersebut.
Dari ketiga indikator tersebut, maka dapat kita
simpulkan bahwa jika suatu produk hukum tidak terikat kepada 3 (tiga) indikator
tersebut, maka produk hukum tersebut harus berbentuk peraturan (regelling).
Sebaliknya, jika ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka produk hukum yang
dilahirkan oleh Pemerintah berbentuk keputusan (beschikking).
Secara yuridis, perbedaan dari kedua produk hukum
Pemerintah ini dapat kita lihat dari aspek atau segi hukum positif atau yang
sedang berlaku (ius costititum), sebagaimana yang telah diatur di dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 junto Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 junto
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Di dalam Undang-undang tersebut Pasal 1 angka 3
ditegaskan bahwa keputusan Tata Usaha Negara harus memenuhi 3 (tiga) unsur atau
sifat, yaitu : Pertama, Kongkrit.
Sifat ini berarti bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara harus memiliki tujuan
jelas atau untuk apa produk itu dilahirkan. Dalam hal ini, suatu keputusan
harus benar-benar memiliki makna dan tujuan yang jelas secara hukum, sehingga
tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda; Kedua, Individual. Makna dari sifat individual ini adalah bahwa
suatu keputusan Tata Usaha Negara harus memiliki sasaran yang tegas atau kepada
siapa keputusan tersebut dituju. Akan tetapi, makna individual disini tidak
hanya berlalu secara personal saja secara sempit. Namun individual juga dapat
berarti kelompok, sepanjang memiliki sifat homogenitas yang sama, dalam arti
keputusan tersebut berlaku bagi individu yang lebih dari satu dengan tujuan
yang sama. Sebagai contoh, surat keputusan mengenai pengangkatan Hakim Agung,
dimana lampiran keputusan tersebut terdiri dari 13 (tiga belas) orang yang sama;
Ketiga, Bersifat final. Makna final
disini dapat diartikan bahwa keputusan tersebut berlaku secara langsung atau
saat itu juga (direct dicesion), sehingga menimbulkan akibat hukum dalam bentuk
hak dan kewajiban. Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetepan tertulis yang
dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara mendasarkan diri kepada peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, bersifat kongkrit, individual dan final.[25] Secara umum, terdapat 4 (empat) unsur
utama keputusan Tata Usaha Negara, yakni :
1. Berbentuk penetapan tertulis;
2.Dibuat oleh pejabat Tata
Usaha Negara, sebagai subjek hukum yang melaksanakan fungsi pemerintahan;
3. Mendasarkan kepada
peraturan yang lebih tinggi; dan
4. Bersifat khusus, yaitu
kongkrit, individual dan final.
Hal tersebut semakin dikuatkan di dalam Undang-Undang
nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menegaskan bahwa
jika hal tersebut di atas tidak terpenuhi, maka suatu keputusan tidak dapat
dikatakan sebagai keputusan tata usaha negara.[26]
Akan tetapi, pada poin ketiga unsur keputusan Tata
Usaha Negara, yakni mendasarkan kepada peraturan yang lebih tinggi, tidaklah
berarti kaku dalam pemaknaanya. Sebab terdapat pengecualian bagi Pemerintah
yang diperbolehkan mengambil keputusan meski tidak mendasarkan kepada peraturan
yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan situasi dan kondisi tertentu dimana
Pemerintah diharuskan megambil suatu keputusan secara cepat menyangkut
fungsinya, baik fungsi memerintah maupun fungsi pelayanan. Disamping itu,
pengambilan keputusan yang tidak mendasar kepada peraturan yang lebih tinggi,
juga turut dibenarkan dengan adanya asas “discresional principle” atau yang
lebih kita kenal dengan istilah diskresi.
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, memberikan kewenangan pada Pejabat Pemerintahan untuk melakukan
diskresi, namun demikian tindakan diskresi yang akan dilakukan harus
memperhatikan untuk apa diskresi itu dilakukan. Hal ini berkaitan dengan tujuan
penggunaan diskresi sebagaimana dinyatakan dalam pasal 22 ayat (2), bahwa setiap
penggunaan diskresi harus bertujuan untuk:
a. Melancarkan
penyelenggaraan pemerintahan;
b. Mengisi kekosongan
hukum;
c. Memberikan kepastian
hukum; dan
d. Mengatasi stagnasi
pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Adapun Lingkup Diskresi Pejabat Pemerintahan
meliputi:[27]
a. Pengambilan Keputusan
dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang
memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;
b. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan
karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
c. Pengambilan Keputusan
dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak
jelas; dan
d. Pengambilan Keputusan
dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang
lebih luas.
Pilihan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat
Pemerintahan dicirikan dengan kata dapat, boleh, atau diberikan kewenangan,
berhak, seharusnya, diharapkan, dan kata-kata lain yang sejenis dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud pilihan Keputusan
dan/atau Tindakan adalah respon atau sikap Pejabat Pemerintahan dalam
melaksanakan atau tidak melaksanakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “peraturan
perundang-undangan tidak mengatur” adalah ketiadaan atau kekosongan hukum yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu kondisi tertentu atau di luar
kelaziman. Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan tidak lengkap
atau tidak jelas” apabila dalam peraturan perundang-undangan masih membutuhkan
penjelasan lebih lanjut, peraturan yang tumpang tindih (tidak harmonis dan
tidak sinkron), dan peraturan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan, tetapi
belum dibuat. Yang dimaksud dengan “kepentingan yang lebih luas” adalah
kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, penyelamatan kemanusiaan
dan keutuhan negara, antara lain: bencana alam, wabah penyakit, konflik sosial,
kerusuhan, pertahanan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena itu kebijakan yang akan diambil dengan
menggunakan diskresi harus memenuhi syarat: [28]
a. Sesuai
dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
b. Tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Sesuai dengan AUPB;
d. Berdasarkan
alasan-alasan yang objektif;
e. Tidak menimbulkan
Konflik Kepentingan; dan
f. Dilakukan dengan iktikad
baik.
Dalam penjelasan pasal 24 dinyatakan apa yang
dimaksud dengan alasan-alasan objektif adalah alasan-alasan yang diambil
berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional serta
berdasarkan AUPB dan yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah Keputusan
dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif
kejujuran dan berdasarkan AUPB.
Pasal 25 menyatakan, bahwa Pengunaan diskresi yang
berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari atasan.
Persetujuan tersebut dilakukan apabila penggunaan diskresi menimbulkan akhibat
hukum yang berpotensi membebani keuangan Negara. Dalam hal penggunaan diskresi
menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak, dan/atau terjadi
bencana alam, pejabat pemerintahan wajib memberitahukan kepada atasan pejabat
sebelum penggunaan diskresi dan melaporkan setelah penggunaan diskresi.
Pejabat yang menggunakan diskresi yang berpotensi
mengubah alokasi anggaran (wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan), wajib menguraikan
maksud, tujuan, substansi serta dampak administrasi dan keuangan. Pejabat yang
menggunakan diskresi tersebut, wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara
tertulis kepada atasan. Dalam waktu lima hari kerja setelah permohonan
diterima, atasan pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau
penolakan. Jika atasan menolak, atasan harus memberikan alasan secara tertulis.[29]
Pejabat yang menggunakan diskresi yang menimbulkan
keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam,
wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak administrasi yang
berpotensi mengubah pembebanan keuangan Negara. Pejabat tersebut wajib
menyampaikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis kepada atasan pejabat.
Pemberitahuan disampaikan paling lama lima hari kerja sebelum penggunaan
diskresi.[30] Prosedur penggunaan tersebut tidak
wajib diberitahukan kepada masyarakat.
Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat
bukanlah tanpa persyaratan. Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara
sewenang-wenang sebagai objek. Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga
Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pengawasan terhadap Keputusan dan/atau
Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat yang
terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan
prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh
lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri. Karena
itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan
harus diatur dalam undang-undang.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengaktualisasikan
secara khusus norma konstitusi hubungan antara negara dan Warga Masyarakat.
Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang- Undang ini merupakan
instrumen penting dari negara hukum yang demokratis, dimana Keputusan dan/atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara
negara lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan
legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang memungkinkan untuk
diuji melalui Pengadilan. Hal inilah yang merupakan nilai-nilai ideal dari
sebuah negara hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada
warganya dan bukan sebaliknya.
Undang-Undang ini diperlukan dalam rangka
memberikan jaminan kepada Warga Masyarakat yang semula sebagai objek menjadi
subjek dalam sebuah negara hukum yang merupakan bagian dari perwujudan
kedaulatan rakyat. Kedaulatan Warga Masyarakat dalam sebuah negara tidak dengan
sendirinya baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat terwujud. Pengaturan
Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini menjamin bahwa Keputusan
dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Warga Masyarakat
tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Dengan Undang-Undang ini, Warga
Masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara. Selain itu, Undang-Undang ini
merupakan transformasi AUPB yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun
dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang
mengikat. AUPB yang baik akan terus berkembang, sesuai dengan perkembangan dan
dinamika masyarakat dalam sebuah negara hukum. Karena itu penormaan asas ke
dalam Undang-Undang ini berpijak pada asas-asas yang berkembang dan telah
menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia selama ini.
Undang-Undang ini menjadi dasar hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang
baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-Undang ini harus
mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien. Pengaturan
terhadap Administrasi Pemerintahan pada dasarnya adalah upaya untuk membangun
prinsip-prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak
administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam rangka
menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Undang-Undang ini merupakan
keseluruhan upaya untuk mengatur kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan AUPB. Undang-Undang ini dimaksudkan tidak hanya sebagai
payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga sebagai instrumen
untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga
keberadaan Undang-Undang ini benar- benar dapat mewujudkan pemerintahan yang
baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.
III. KESIMPULAN
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan merupakan landasan hukum atau sebagai payung hukum
bagi penyelenggaraan pemerintahan dan juga sebagai instrumen untuk meningkatkan
kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan
Undang-Undang ini benar- benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua
Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah. Sehingga dalam pelaksanaan
diskresi pejabat pemerintahan dapat terhindar dari penyalahgunaan kewenangan karena
dengan undang-undang tersebut pejabat pemerintahan telah menjalankan wewenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apakah pejabat
pemerintahan telah menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam
menjalankan kewenangannya. Diskresi bukan berarti kesewenangan pejabat
pemerintahan dalam bertindak untuk mencapai tujuan dan cita-cita lembaga pemerintah
yang dipimpinnya, tetapi bertujuan untuk kepentingan masyarakat yang lebih
luas, dan menimbulkan akibat hukum yang berisi hak dan kewajiban yang menjadi
batas dan ukuran penilaian yang objektif dan sebagai acuan pejabat pemerintahan
dalam mengeluarakan keputusan atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan
dapat dinilai baik akuntabilitasnya oleh masyarakat dan memberikan kemaslahatan
bagi kepentingan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Indroharto, Usaha Memahami
Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1993
Mukti Fajar dan Yulianto
Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar. 2013
Ridwan HR, Hukum
Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
S.F. Marbun. Moh. Mahfud MD. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Liberty: Yogyakarta. 2000.
S.F. Marbun. Peradilan
Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia. FH UII Press: Yogyakarta. 2011.
Sjachran Basah, Eksistensi
dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni, 1985
Agus Budi Susilo, Makna dan
Kriteria Diskresi Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik Dalam Mewujudkan
Tata Pemerintahan Yang Baik, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret
2015.
Undang-Undang nomor 9 Tahun
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Undang-Undang nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 30
tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
http://jambilawclub.blogspot.co.id/2010/12/penggunaan-asas-diskresi-dalam.html
[1] https:// id. wikipedia. Org / wiki/
Negara_kesejahteraan
[2] http://hadiwahono.blogspot.co.id/2013/
06/negara-kesejahteraan.html
[4] Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian
Hukum Normatif Dan Empiris. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 156.
[7] S.F. Marbun. Moh. Mahfud MD. 2000.
Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Liberty: Yogyakarta. hal. 9.
[8] Ibid.
[9] S.F. Marbun. 2011. Peradilan Administrasi
Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia.
FH UII Press:
Yogyakarta. hal. 186.
[10]
http://studihukum.blogspot.co.id/2010/10/penerapan-asas-diskresi-dalam-pembuatan.html
[11]
Ibid
[12] Ridwan , Op. Cit. hal. 183.
[13] Agus Budi Susilo, Makna dan Kriteria Diskresi
Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Publik Dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan
Yang Baik, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015. hal.
151
[14]
Ridwan, Op.cit. hal. 140
[15]
Ibid. hal.
[16]
Ibid.
[17] http://cermatkeuangan.blogspot.co.id/2016/02/batasan-diskresi-pejabat-pemerintahan.html
[18] Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1993, hal. 102
[19] Pasal 22 ayat (2) UU
No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[20] Pasal 23. Undang-Undang Nomor 30 tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan
[21] Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan
Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni, , hal.
150.
[22] Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan
[23] Pasal 31 Undang-Undang Nomor 30 tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan
[24] http:// jambila wclub .blogspot. co.
id /2010/12 /penggunaan-asas-diskresi-dalam.html
[25] Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
[26] Pasal 2 Undang-Undang nomor 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan bahwa, yang tidak termasuk
dalam keputusan tata usaha negara, antara lain : 1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan
perbuatan hukum perdata; 2. Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3.
Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; 4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum
pidana; 5. Keputusan Tata Usaha Negara
yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata
usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 7. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat
maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
[27] Pasal 23 Undang-Undang Nomor 30 tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan
[28]
Pasal 24
[29] Pasal 26
[30] Pasal 27
0 komentar:
Posting Komentar