Selasa, 18 Agustus 2015

Kebebasan Kekuasaan Kehakiman dan Hakim Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

Oleh Barhamudin, SH., M.Hum.
ABSTRAK
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini untuk mengetahui bagaimana makna kebebasan kekuasaan kehakiman   dalam sistim hukum Indonesia dan untuk mengetahui apakah kebebasan hakim dalam penegakan hukum tidak tak terbatas. Penelitian  ini merupakan penelitian hukum normatif yang  mengkaji bahan hukum yang terkait, yaitu norma hukum dan asas-asas hukum yang berlaku, norma hukum yang pernah berlaku serta norma hukum yang dapat berlaku di masa depan.  Pendekatan penelitian  yang digunakan, yaitu :  Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan   Pendekatan Analitis (analytical Approach). Hasil penelitian didapatkan, bahwa Kedudukan kekuasaan kehakiman dan hakim sebagai salah satu bagian dari kekuasaan negara dan penyelenggara negara setelah amandemen Undang Undang Dasar telah  memiliki kemerdekaan  dan kemandirian, karena sudah tidak tergantung lagi kekuasaan eksekutif yang meliputi  keorganisasian,  keuangan,  administrasi  yang sebelumnya tergantung pada eksekutif dan hal tersebut akan berpengaruh pada aspek yudisial. Hakim dalam menjalankan keadilan sebagai suatu pertanggung jawaban yang lebih berat dan mendalam kepadanya, bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi lebih dari itu harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam undang-undang dirumuskan dengan ketentuan bahwa peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari frasa ini seorang hakim dalam pelaksanaan tugasnya bersifat bebas dan mandiri dalam melaksanakan aturan hukum dan peristiwa yang terjadi yang diajukan kepadanya. Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar peradilan. Hukum materiil merupakan batas normatif terhadap kebebasan hakim yang bersifat relatif. Oleh karena batas normatif yang bersifat relatif, maka dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan memutuskan suatu perkara, dalam keadaan tertentu hakim dapat menyimpangi hukum materiil. Hukum formil atau acara merupakan batas normatif yang bersifat absolut terhadap kebebasan hakim. Oleh karena batas normatif yang bersifat absolut, maka hukum acara harus dilaksanakan dan tidak boleh disimpangi oleh hakim dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan memutus suatu perkara. Pelanggaran terhadap hukum acara mengakibatkan tidak sahnya putusan hakim.
Kata kunci : Kebebasan, Hakim.
A. Pendahuluan. 
Dalam negara modern secara garis besar  dikenal tiga pemegang kekuasaan negara, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Dalam penerapan ditemukan berbagai variasi dan bentuk di berbagai negara, ada yang memakai  pola pemisahan kekuasaan (separation of power), ada yang menggunakan pembagian kekuasaan deviation of power), di beberapa negara ditemukan bahwa kekuasaan negara ternyata tidak hanya bertumpu pada konsep trias politica saja sebagai state primery institution (kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif), tetapi ada kebutuhan untuk menyelenggarakan kekuasaan lainya yaitu kekuasaan bidang perbantuan (state auxiliary institution) yang bersifat konsultatif, pertimbangan atau kepenasehatan (consultative power) dan pengawasan (examinative power). Hal ini dikaenakan  bahwa penyelenggaraan negara tidak ditentukan oleh tiga pilar kekuasaan besar itu, tetapi juga dipengaruhi oleh budaya dan pilihan politik dari negara yang bersangkutan. Namun satu hal yang sama dan dijumpai dalam setiap Negara yang menganut trias politika,  baik dalam arti pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif, dalam tiap negara hukum badan yudikatif haruslah bebas daricampur tangan badan eksekutif.
Badan yudikatif yang bebas adalah syarat mutlak dalam suatu Negara hukum. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif, legislatif ataupun masyarakat umum, di dalam menjalankan tugas yudikatifnya. Cara untuk menjamin pelaksanaan asas kebebasan badan yudikatif yaitu pertama, kita lihat bahwa di beberapa negara jabatan hakim permanen, seumur hidup atau setidak-tidaknya sampai saat pensiun, selama berkelakuan baik dan tidak tersangkut kejahatan. Hakim biasanya diangkat oleh badan eksekutif yang dalam hal Amerika Serikat didasarkan atas persetujuan senat atau dalam hal Indonesia atas rekomendasi badan legeslatif.
Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 telah dilembagakan melalui perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD 1945 adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis. Perubahan UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali. Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol (cheks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi dan negara hukum. Amandemen UUD 1945 menyebabkan berubahnya sistem ketatanegaraan yang berlaku meliputi jenis dan jumlah lembaga negara, sistem pemerintahan, sistem peradilan dan sistem perwakilannya.
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum.  Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya,  ada jaminan ketidak berpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan.
Fungsi ini lazimnya dijalankan oleh suatu lembaga yang disebut dengan lembaga peradilan, yang berwenang melakukan pemeriksaan, penilaian dan memberikan putusan terhadap konflik. Wewenang yang sedemikian itulah yang disebut sebagai kekuasaan kehakiman yang dalam peraktiknya dilaksanakan oleh hakim.[1]
Sedangkan suatu pengadilan yang mandiri, tidak memihak, kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakkan hukum dan keadilan dan pada umumnya kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana penegakan hukumnya. Hal ini dapat kita lihat dan ketahui dari beberapa Negara maju dan mulai maju. Oleh karena itu sungguh sangat  penting dijamin agar  perilaku dari para hakim yang  bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya sehingga masyarakat mempercayainya. Sejalan dengan tugas dan wewenangnya itu, hakim dituntut selalu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta etika dan perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas  yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakkan hukum dan keadilan.
Kehormatan adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan di pertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan hakim itu terutama terlihat  pada putusan yang di buatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan  peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat. Kehormatan, keluhuran martabat merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. Hanya dengan sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran martabat hakim dapat dijaga dan ditegakkan.
Kehormatan dan keluhuran martabat berkaitan erat dengan etika perilaku. Etika adalah kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak mengenai benar dan salah yang dianut  satu golongan atau masyarakat. Apabila seorang hakim melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim, maka hakim itu dapat diberikan sanksi, dalam menentukan sanksi yang layak dijatuhkan, harus dipertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pelanggaran, yaitu latar belakang, tingkat keseriusan, dan akibat dari pelanggaran tersebut terhadap lembaga peradilan ataupun pihak lain. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diharapkan dapat diwujudkan, dan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika. Berdasarkan uraian di atas, yang perlu dikaji  dalam tulisan ini adalah Implementasi asas kebebasan kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan uraian diatas, maka masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana implementasi  kebebasan   kekuasaan  kehakiman  menurut hukum positif. ?
2.  Apa saja pembatasan asas kebebasan hakim dalam penegakan hukum.?
C. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui bagaimana makana kebebasan kekuasaan kehakiman   dalam sistim hukum Indonesia.
2.      Untuk mengetahui apakah kebebasan hakim dalam penegakan hukum tidak tak terbatas.
3.       
D. Metode Penelitian.
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu hukum, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.[2]
Dalam  melakukan  tinjauan,  penafsiran,  dan  penilaian  terhadap  persoalan penelitian penulis mendekatinya menurut ilmu hukum. Oleh karenanya penelitian ini dapat  diketagorikan  sebagai  jenis  penelitian  normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.[3]
Penelitian  ini merupakan penelitian hukum normatif yang berlaku, norma hukum yang pernah berlaku serta norma hukum yang dapat berlaku di masa depan.  Untuk menjawab masalah  digunakan pendekatan, yaitu : 
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk mendeskripsikan pengaturan kebebasan kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Pendekatan Analitis (analytical Approach) Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istiah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional.
3. Pendekatan Konsep (conceptual approach). Pendekatan   konsep   digugunakan adalah bahan hukum primer Undang-Undang Dasar 1945,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, hasil penelitian, disertasi, artikel. Bahan hukum tersier kamus Bahasa  Indonesia  dan  ensiklopedia.   Bahan hukum tersebut dilakukan analisis dengan yuridis kualitatif,  yang  bertitik  tolak  pada  penalaran  yuridis  yakni  berpretensi  mewujudkan positivitas, mewujudkan koherensi dan mewujudkan keadilan, sehingga pokok permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini dapat terjawab.
E. PEMBAHASAN
1. Kebebasan kekuasan kehakiman.
Pengaturan dan pembatasan kekuasaan mutlak diperlukan karena dalam setiap negara pasti terdapat pusat-pusat kekuasaan, baik yang terdapat dalam supra struktur politik maupun yang terdapat dalam infra struktur politik.  Pengaturan dan pembatasan harus  dituangkan dalam Undang-Undang Dasar, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Lord Acton  bahwa Power tends to corrupt; and absolute  power  corrupts  absolutely. Kekuasaan  bagaimanapun kecilnya, cenderung disalahgunakan.  Semakin kuat kekuasaan makin kuat  kecenderungan penyalahgunaannya. Menyadari hal ini maka para pendiri negara  berusaha  untuk  membatasi  dan  mencegah kemungkinan  adanya  penyalahgunaan  kekuasaan  oleh  mereka  yang nantinya akan berkuasa.[4]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Makna yang terkandung dalam negara hukum bahwa dalam membangun sistem hukum harus dapat mewujudkan cita-cita negara hukum, yaitu mewujudkan supremasi hukum dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta jaminan perlindungan hukum terhadap hak dan kepentingan masyarakat warganegara. Supremasi hukum atau Supremacy of law menurut Djokosoetono dapat diartikan sebagai berikut. “Supremacy  of  law”  berarti  bahwa  tidak ada  lagi  kekuasaan  yang  sewenang-wenang.  Semuanya  harus  tunduk pada  hukum yang paling tinggi, yang paling berkuasa, yang supreme adalah hukum. Jadi dengan menggunakan istilah krabbe, tetapi  dalam arti netral,  ialah  souvereiniteit  van het recht”,  artinya kedaulatan hukum, baik yang memerintah maupun yang diperintah, keduanya tunduk pada hukum.[5] Dengan supremasi hukum berarti,  bahwa hukum merupakan kaidah tertinggi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di samping itu, supremasi hukum juga berarti bahwa penggunaan kekuasaan untuk menjalankan kehidupan ketatanegaraan dan pelaksanaan pemerintahan harus berdasarkan kepada aturan hukum, maka jika tanpa landasan hukum, kekuasaan tidak memiliki legalitas.
 Kekuasaan memiliki kaitan yang sangat erat dengan hukum, sebab kekuasaan tidak saja merupakan instrumen pembentukan hukum (law making), tetapi juga merupakan instrumen penegakan hukum (law enforcement) dalam kehidupan  bernegara. Hukum juga memiliki arti penting bagi kekuasaan karena hukum dapat berperan sebagai sarana legalisasi bagi kekuasaan formal lembaga-lembaga negara dan unit-unit pemerintahan, serta pejabat negara. Landasan legalisasi kekuasaan itu dilakukan melalui penetapan hukum dan dalam melaksanakan kekuasaan juga melalui aturan-aturan hukum, di samping itu hukum dapat pula berperan sebagai alat kontrol kekuasaan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam penegakan hukum, asas negara hukum menghendaki kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh pemerintah atau kekuasaan lain.[6]
Kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sebagai implementasi Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung, seperti dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 24 tahun 2004, tentang Mahkamah Konstitusi.
Jika ditelusuri perkembangan  konsep negara hukum dapat dijelaskan, bahwa konsep Negara hukum merupakan  produk dari sejarah,  sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami  secara tepat dan benar konsep negara hukum,  perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan  pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum. .Terkait  gagasan  Negara  hukum  setidaknya  terdapat  dua  tradisi  besar  gagasan Negara  Hukum di dunia, yaitu Negara  Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental  yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not of  Man.[7]  Menurut Sri Soemantri lebih mempertegas lagi mengenai unsur-unsur yang terpenting dalam negara hukum yang dirinci menjadi empat unsur, yaitu : [8]
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
2. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara ;
3. Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara ;
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.
Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, ciri-ciri negara hukum ada tiga, yaitu (1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; (2) peradilan yang bebas; (3)  legalitas  dalam arti hukum dalam segala  bentuknya.[9] Sementara  itu, Franz Magnis-Suseno  menyebut  empat  syarat  dalam  gagasan  negara  hukum  yang  saling berhubungan satu sama lain, yaitu : pertama, adanya asas legalitas yang berarti pemerintah bertindak semata-mata  atas dasar  hukum yang berlaku;  kedua, adanya  kebebasan  dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan; ketiga, adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; dan keempat, adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau hukum dasar.[10]
Salah satu ciri negara hukum adalah adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dalam pengertian lain, kebebasan berarti kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugasnya tidak dipengaruhi oleh badan eksekutif ataupun kekuasaan lain dalam masyarakat.  Dalam menjalankan tugasnya badan kekuasaan kehakiman berpedoman pada aturan hukum dan nilai-nilai etika yang hidup dalam masyarakat. Kemandirian kekuasaan kehakiman berarti keberadaan dari badan kekuasaan kehakiman itu tidak tergantung pada badan eksekutif atau badan legislatif.  Badan kekuasaan kehakiman itu keberadaannya dijamin oleh konstitusi. Dalam persepektif liberal badan kekuasaan kehakiman mempunyai kontrol terhadap pelaksanaan kekuasaan negara yang dijalankan oleh badan eksekutif dan badan legislatif sebagai pelindung hak-hak dasar manusia, badan kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan untuk meninjau kembali undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.[11]
Dengan demikian, pandangan  kebebasan kekuasaan kehakiman dapat dikatakan merupakan pandangan yang ideal. Dalam kenyataan perkembangan kekuasaan kehakiman dan cara bekerjanya kekuasaan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor politik, sejarah, sosial, budaya dan perkembangan ekonomi, serta tidak kalah pentingnya sumber daya manusia.  Faktor-faktor itulah yang melahirkan kondisi yang berbeda-beda yang berpengaruh pada kedudukan, peran, dan cara bekerjanya kekuasaan kehakiman di tiap-tiap negara. Tidak akan ada kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri apabila kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif.  Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan, maka kebebasan para warga negara akan dihadapkan kepada pengawasan yang bersifat kesewenangan, oleh karena hakim akan bertindak juga sebagai pembuat undang-undang.
Kekuasaan kehakiman berasal dari istilah dan terjemahan bahasa Belanda “Rechtspreken de macht” artinya hak untuk menyelesaikan suatu sengketa oleh pihak ketiga yang tidak memihak yaitu hakim.  Secara teknis yuridis hakim berarti orang yang diberi tugas untuk menentukan hukumnya dalam suatu sengketa.[12] Dengan demikian kekuasaan kehakiman diartikan kewenangan untuk menentukan hukumnya dalam suatu sengketa atau kewenangan untuk mengadili suatu sengketa.  Dengan kata lain kekuasaan kehakiman adalah suatu kekuasaan yang berwenang menentukan bagaimana ketentuan hukumnya harus diterapkan terhadap sengketa yang dihadapkannya.
Adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya  untuk menegakkan  hukum dan keadilan merupakan syarat mutlak Negara hukum. Mengenai  pengertian  mandiri  dan independen (kebebasan) Andi Hamzah membedakannya sebagai berikut: ….Mandiri menurutnya  artinya berada di bawah atap sendiri tidak berada di bawah atap departemen  atau badan lain. Sedangkan  independen  atau merdeka berarti di dalam memutus  perkara seperti dimaksud Paulus E. Lotulong dengan bebas  dari pengaruh  eksekutif  maupum  segala  kekuasaan  negara  lainnya  dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak-pihak extra judisiil, kecuali dalam hal-hal yang di izinkan oleh undang-undang.[13]
Mengenai  kebebasan  dan  kemandirian  kekuasaan  kehakiman  UUD 1945 Perubahan Ketiga  Pasal 24 ayat(1)mengatur Kekuasaan kehakiman  merupakan kekuasaan  yang merdeka  untuk menyelenggarakan peradilan  guna menegakkan  hukum dan keadilan. Ayat (2)-nya mengatur: Kekuasaan  kehakiman  dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan  peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,  peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.[14]
 Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk :[15]
a.  mengadili pada tingkat kasasi;
b.  menguji   peraturan   perundang-undangan   di   bawah   undang-undang terhadap undang-undang; dan
c.  mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Disamping itu, Mahkamah Agung diberi kekuasaan dan wewenang oleh peraturan perundang-undangan untuk :
a. Memeriksa dan memutus permohonan kasasi;  sengketa   tentang kewenangan mengadili; dan permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b.  Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga  Tinggi Negara.
c.  Memberikan nasehat hukum kepada Presiden, selaku Kepala Negara untuk pemberian atau penolakan grasi.
d. Menguji secara materiil hanya  terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang;
e. Melaksanakan tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.
Dalam setiap  kajian mengenai konsep kekuasaan,terdapat suatu fenomena yang unik dimana kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sikap dan  tingkahlaku orang lain seringkali tidak disertai  dengan  kewibawaan, sehingga tingkat ketaatandan kepatuhan  seseorang sering tidak dilandasi  oleh kesadaran  secara suka rela melainkan karena pemaksaan oleh instrumen atau alat-alat kekuasaan.[16] Selanjutnya,jika pembahasan telah  memasuki dimensi ketaatan atau ketertundukan seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain, menjadi mutlak untuk diketahui tentang kewenangan (authority) dan keabsahan  (legitimacy ) dua konsep yang tidak pernah bisa dilepaskan dari konsep kekuasaan.
Otoritas atau wewenang adalah kekuasaan yang dilembagakan (Institutionalized power). Pengertian ini bersesuaian pula dengan pandangan Laswell dan Kaplan, yang menyatakan  bahwa wewenang adalah kekuasaan formal (formal power), dalam arti dimilikinya hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta dimilikinya hak untuk mengharap kepatuhan orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya.[17]
Permasalahan yang muncul kemudian adalah mengapa seseorang atau suatu kelompok memiliki wewenang  yang lebih besar dan mampu memaksa orang atau kelompok lain untuk tunduk dan taat kepadanya,serta darimana orang atau kelompok tadi memperoleh landasan legitimasi untuk  melaksanakan kekuasaannya ? Untuk menjawab pertanyaan ini, mau tidak mau harus dikembalikan kepada teori tentang sumber-sumber kekuasaan serta cara mendapatkan kekuasaan. Khususnya mengenai sumber-sumber kekuasaan, hal ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah teori kedaulatan didunia yang menunjukkan suatu kenyataan bergesernya arah paham-paham kenegaraan dan kemasyarakatan dari yang non-demokratis kepada yang demokratis. Mula-mula, semenjak berakhirnya abad pertengahan yang merupakan masa-masa kegelapan (mediumaevum) bagi kebudayaan global terutama di Eropa, dalam Ilmu Negara muncul pemikiran tentang Kedaulatan Tuhan.
Ajaran yang sangat identik dengan teori Kedaulatan Raja ini menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan, dan diturunkan kepada raja dengan wahyu Ilahi. Kekuasaan raja  adalah  bebas,  tidak terbatas  dan tidak terikat, karena memang raja  hanya tunduk dan bertanggungjawab kepada Tuhan. Dengan demikian maka setiap kehendak dan perintah raja dianggap sebagai perwujudan kehendak dan perintah Tuhan. Meskipun demikian, ajaran ini mengandung kelemahan, yaitu ketika raja turun tahta, maka seketika itu ia bukan kepala negara lagi dan ia kehilangan kewibawaan dan kedaulatannya. Saat itulah, dimana semua yang dimilikinya langsung berpindah kepada raja baru yang  menggantikannya.
Dari sini muncul ajaran baru yakni Kedaulatan Negara yang berpendapat bahwa negaralah yang memberi kekuasaan kepada raja atau kepala negara, dan bukan sebaliknya. Akan tetapi, ajaran  inipun  ternyata mempunyai kekurangan juga. Apa artinya suatu  negara atau pemerintahan jika tidak didasarkan pada suatu peraturan yang lurus dan jujur (yaitu hukum). Dalam hubungan ini, Krabbe  dan Duguit menyatakan bahwa hukum itu terjadi dari rasa  keadilan atau keinsyafan keadilan  (rechtsbewustzijn) yang hidup pada sanubari rakyat. Dan hukum itu sendiri menurut von Savigny tidak dibuat oleh manusia, melainkan ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli hukum dari ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada dan berkembang bersama-sama dengan  perkembangan  hidup rakyat. Itulah sebabnya, atas dasar pemikiran-pemikiran demikian, ajaran Kedaulatan Negara digantikan posisinya oleh ajaran Kedaulatan Hukum.
Dari ketiga ajaran tentang kedaulatan diatas, dapat dilihat terjadinya Proses demokratisasi, dalam arti dari waktu ke waktu selalu diupayakan Untuk menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang banyak. Dengan kata lain, kekuasaan yang dipegang oleh seorang raja atau kepala negara semakin diadakan pembatasan yang lebih jelas, sehingga dapat mengurangi berbagai kemungkinan pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan.[18] Meskipun telah muncul gagasan mengenai pembatasan kekuasaan oleh hukum, namun peran rakyat sebagai inti dari suatu negara belum begitu menonjol. Oleh sebab itu,muncullah ajaran atau teori Kedaulatan Rakyat yang masih berlaku hingga sekarang.Teori yang dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau dan John Locke ini  menentukan, bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan yang tertinggi.Rakyat dapat  menyerahkan kepercayaan dalam bentuk kekuasaan pemerintahan kepada seseorang atau sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu, tetapi kedaulatan itu sendiri tidak ikut diserahkan.
Bahkan jika  dipandang perlu, rakyat bisa menarik atau mencabut  kembali kekuasaan yang telah diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang tadi. Sebaliknya, rakyat harus mematuhi aturan-aturan dan perintah si penguasa segera setelah terjadinya penyerahan kekuasaan tersebut. Inilah yang dimaksud Rousseau dengan istilah kontrak sosial (perjanjian masyarakat).
Dengan demikian,  dari uraian diatas, dapat diketahui  bahwa kekuasaan dalam suatu Negara secara garis besar terdiri dari kekuasaan politik, kekuasaan administrasi dan kekuasaan hukum. Kekuasaan politik adalah kekuasaan yang memegang pembuatan aturan hukum dalam arti undang-undang, kekuasaan administrasi adalah kekuasaan yang memegang pelaksanaan aturan yang dibuat oleh kekuasaan politik, disamping kedua kekuasaan tersebut diperlukan kekuasaan yang memegang menegakan aturan yang yang dibuat oleh kekuasaan politik dan dilaksanakan kekuasaan administrasi tersebut.
Kekuasaan yang memegang menegakan aturan ini, dikenal dengan kekuasaan kehakiman, kekuasaan ini secara normatif merdeka atau independen dan berlaku dimanapun dan kapanpun atau bersifat universal.  Ketentuan universal yang terpenting ialah Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya. [19]
Sehubungan dengan itu, pasal 8 berbunyi sebagai berikut: Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang  kuasa  terhadap  tindakan  perkosaan  hak-hak  dasar yang  diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang.[20] Dalam doktrin Trias Politika, baik yang diartikan sebagai pemisahan kekuasaan maupun sebagai pembagian kekuasaan, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif, prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap negara hukum badan yudikatif haruslah bebas daricampur tangan badan eksekutif.
Syarat mutlak dalam suatu Negara hukum atau  rule of law adalah adanya Badan Yudikatif yang bebas. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif, legislatif ataupun masyarakat umum, di dalam menjalankan tugas yudikatifnya. Cara untuk menjamin pelaksanaan asas kebebasan badan yudikatif yaitu pertama, kita lihat bahwa di beberapa negara jabatan hakim permanen, seumur hidup atau setidak-tidaknya sampai saat pensiun, selama berkelakuan baik dan tidak tersangkut kejahatan. Hakim biasanya diangkat oleh badan eksekutif yang dalam hal Amerika Serikat didasarkan atas persetujuan senat atau dalam hal Indonesia atas rekomendasi badan legeslatif.
Kekuasaan kehakiman  banyak mengalami perubahan sejak masa reformasi. Mahkamah agung bertugas untuk menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang. Sedangkan mahkamah konstitusi mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 45.
Mahkamah Konstitusi  berwenang untuk :
1.  Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final Untuk:
-  Menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (judical review).
-  Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara.
-  Memutus pembubaran partai politik.
-  Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
2.   Memberi putusan pemakzulan presiden dan atau wakil presiden atas permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.
Mahkamah Agung  seperti yang kita kenal berwenang mengadili pada tingkat kasasi. Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (pasal 24A). Calon hakim agung diajukan oleh komisi yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, dan tidak ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden.
Mahkamah Agung  merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamag Agung membawahi beberapa macam lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara  (pasal 24.[21]  Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sebagai lembaga yudikatif, Mahkamag Agung mempunyai kekuasaan :
1. Memutuskan permohonan kasasi;
2. Memeriksa dan memutuskan sengketa tentang kewenangan mengadili;
3. Meninjau kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
4. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
                Dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut adanya istilah kedaulatan.  Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari kata Sovereignty dalam bahasa Inggris, yang artinya kekuasaan tertinggi. Kata kedaulatan sendiri berasal dari bahasa Arab, daulah yang artinya pemerintah. Kedaulatan berarti hak memerintah. Seseorang yang memiliki kekuasaan tertinggi atau memiliki hak memerintah dalam suatu negara maka dialah yang memiliki kedaulatan. Jadi, pengertian kedaulatan tidak terpisahkan dari negara, sebab negara merupakan organisasi kekuasaan. Di dalam negara juga terdapat pemegang kedaulatan, baik kedaulatan politik, administrasi dan kedaulatan hukum.
Kekuasan kehakiman dimaksud dalam Pasal 24 undang-undang dasar 1945 yang menyatakan : (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; (2).Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi; (3).Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Dari pengertian kekuasaan yang merdeka yang dimaksudkan, tidak lain adalah tidak ada yang bisa mencampuri atau mengintervensi. Jika terjadi sebaliknya maka hilanglah makna kekuasaan yang merdeka tersebut. Sudikno Mertokusumo mengatakan, bahwa Kekausaan kehakiman yang merdeka berarti kekuasaan kehakiman yang bebasa dari campur tangan pihak kekuasaan Negara atau kekuasaan ekstra yudisial lainnya.[22] Adapun maksud kebebasan dalam melaksanakan kewenangan yudisial tidak mutlak sifatnya karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar hukum serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat indonesia.[23]  Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, Kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945( Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Jo Pasal 3 ayat 2 Uundang-Undang No. 48 Tahun 2009.
Dengan demikian ketidak mutlakan kekuasaan melaksanakan kewenangan yudisial ini, dibatasi oleh beberapa hal baik secara formil maupun materil,yaitu :
1.      Dasar hukum
2.      Rasa keadilan
3.      Nilai-nilai pancasila
4.      Azaz-azaz hukum itu sendiri
Pengertian kekuasaan Negara yang merdeka, dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman terpisah dari kekuasaan pemerintahan dan Kekuasaan Perundang-undangan serta merdeka dari pengaruh kedua kekuasaan itu.Untuk hal  tersebut  dengan  jelas  dapat dijumpai  dalam  penjelasan resmi  pasal 24 dan 25 UUD 1945 yakni: “…Berhubung  dengan  itu,  harus diadakan jaminan dalam Undang-undang  tentang  kedudukan  para  hakim.  Jaminan  tentang  kedudukan para  hakim yang dimaksud  dalam kaitan  ini  tidak  lain  adalah  jaminan kemandirian hakim   sebagai aparatur penyelenggaraan peradilan . [24]
Adapun yang dimaksud dengan Kemandirian kekuasaan kehakiman diatur didalam ketentuan umum, penjelasan atas Pasal 21 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, meliputi :
1.      Keorganisasian
2.      Keuangan
3.      Administari
4.      Yudisial
Sebelumnya dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang dibuat oleh Orde Baru diatur, bahwa urusan organisatoris, administratif, dan finansial dari badan peradilan berada di bawah departemen-departemen (Pasal 11 UU No. 14 Tahun 1970).  Ketentuan tersebut diubah berdasarkan Ketetapan MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dlam Rangka Penyelematan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara di antaranya mengagendakan adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudisial dari eksekutif. Pemisahan itu ditempuh dengan mengalihkan urusan organisatoris, administratif, dan finansial menjadi di bawah Mahkamah Agung dan  termasuk  Mahkamah Konstitusi. Pengalihan urusan tersebut dilakukan karena pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif selama Orde Baru telah memberikan peluang bagi penguasa untuk melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta menyuburkan kolusi dan korupsi serta praktek-praktek negatif pada proses pengadilan. Akibatnya, pengadilan sering berpihak pada kepentingan penguasa dan mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
2. Batas Kebebasan Hakim
Dalam pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman yang merdeka, seperti diketahui dilaksanakan oleh para hakim.[25] Dalam melaksanakan fungsinya hakim terikat pada aturan-aturan, yang biasa disebut  Hukum materiil merupakan batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman yang bersifat relatif. Oleh karena batas normatif yang bersifat relatif, maka dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan memutuskan suatu perkara, dalam keadaan tertentu hakim dapat menyimpangi hukum materiil dan  hukum formil atau hukum acara dapat dipersamakan sebagai hukum yang mengatur kekuasaan kehakiman. Hal ini berarti pelanggaran terhadap hukum acara mengakibatkan tidak sahnya putusan pengadilan. Dengan demikian hukum acara harus dilaksanakan dan tidak boleh disimpangi oleh hakim dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan memutuskan suatu perkara. Oleh sebab itu maka hukum acara dapat dikualifikasikan sebagai norma atau batasan normatif yang bersifat absolut terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman. Hukum acara adalah aturan prosedural untuk menjamin terselenggaranya peradilan yang imparsial-objektif, yang harus dipatuhi secara ketat-cermat dalam melaksanakan peradilan.[26]
Batasan atau rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam implementasi kebebasan hakim adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi substansial maupun prosedural seperti ketentuan dalam hukum acara karena substansi atau isi hukum acara adalah menyangkut tata cara, maka sifatnya tertutup dan tidak dapat disimpangi atau tidak memuat ketentuan yang ada dalam hukum acara tersebut, penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan hukum acara berakibat tindakan aparatur kekuasaan kehakiman batal demi hukum. Oleh karena itu hukum formil merupakan batasan bagi kekuasaan hakim agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum dan bertindak sewenang-wenang.
Tingginya kemandirian atau kebebasan suatu profesi atau lembaga, memungkinkan profesi atau lembaga tersebut bertindak sewenang-sewenang. Jika demikian kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat menjadi suatu jalan bagi munculnya kesewenang-sewenangan atau penindasan oleh kalangan profesional yang melembaga (kekuasaan kehakiman).
Untuk itu perlu ditetapkan ukuran-ukuran pertanggungjawaban kehakiman (judicial accountability). Pertanggungjawaban ini dapat bersifat individual-perorangan maupun kolektif kelembagaan. Pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman ini dibangun di atas prinsip yang merupakan harmonisasi antara tanggungjawab politik dan kemasyarakatan (political and sicietal responsibility) dengan tanggungjawab hukum (legal responsibility).[27] Di atas prinsip inilah kekuasaan kehakiman dapat bersikap responsif terhadap perkembangan masyarakat.
Pertanggungjawaban kehakiman (judicial accountability) tersebut adalah : (i)  pertanggungjawaban politik hakim dan lembaga kehakiman, di mana keduanya dapat dimintai tanggungjawab oleh parlemen atau DPR; (ii) pertanggungjawaban publik-kemasyarakatan hakim dan lembaganya, yaitu bahwa keduanya dapat dikritik oleh mayarakat; caranya dengan mengekpose kepada masyarakat, yaitu melalui publikasi putusan pengadilan termasuk perbedaan pendapat di antara anggota majelis hakim (dissenting opinion); (iii) pertanggungjawaban hukum baik eksklusif maupun inklusif. Untuk tanggungjawab eksklusif lembaga kehakiman ikut bertanggungjawab atas kekeliruan hakim dalam melaksanakan tugasnya kepada publik, sedangkan tanggungjawab inklusif hanya dibebankan kepada hakim; (iv) pertanggungjawaban hukum yang bersifat individual, yaitu tanggungjawab hakim terhadap ketentuan-ketentuan pidana termasuk korupsi, perdata, serta disiplin dan kode etik profesi.
Sekalipun tidak bertanggung jawab kepada lembaga negara lain, pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman yang merdeka kepada publik merupakan keniscayaan. Lalu, bagaimana kaitan antara pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan pertanggungjawaban kepada publik?. Undang-Undang No 5 Tahun 2004 disahkan sekitar empat bulan setelah pengesahan Undang-Undang No 24 Tahun 2003, Undang-Undang No 5 Tahun 2004 tidak mencantumkan masalah tanggung jawab dan akuntabilitas Mahkamah Agung sedangkan dalam BAB III Bagian Kedua Pasal 12-14 Undang-Undang No 24 Tahun 2003 secara eksplisit ditentukan: pertama, Mahkamag Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi,  dan  keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih; kedua, Mahkamah Konstitusi  wajib mengumumkan  laporan berkala kepada masyarakat  secara terbuka mengenai: (a)  permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus; (b)  pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya. Laporan tersebut dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi; dan ketiga, masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamag Konstitusi.
Tanpa pencantuman dalam undang-undang bukan berarti tidak ada upaya untuk memperbaiki kinerja (performance) Mahkamah Agung. Misalnya, sebagai bagian dari strategi untuk melakukan pembaharuan, Mahkamah Agung telah menetapkan visi dan misi organisasinya, yaitu: Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik. Dan Untuk mencapai visi tersebut, Mahkamah Agung menetapkan misi-misi sebagai berikut: [28]
1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-undang dan eraturan serta memenuhi rasa keadilan masyarakat;
2. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen serta bebas dari campur tangan pihak lain;
3. Memperbaiki akses bidang eradilan kepada masyarakat;
4. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan;
5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan dihormati;
6. Melaksanakan kekuasaan ehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.
Sayang, kata-kata indah yang terdapat dalam visi dan misi tersebut tidak mampu memberi ruang pertanggungjawaban publik yang memadai. Sejauh yang bisa diamati, banyak informasi yang tidak terkait dengan independensi hakim dalam memutus perkara (substantive independence) begitu sulit disentuh publik. Misalnya menyangkut berita acara persidangan, biaya yang diperlukan dalam proses berperkara, dan jumlah serta penggunaan anggaran pengadilan satu periode tertentu. Padahal, semua informasi tersebut tidak terkait dengan substantive independence hakim.
Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu:[29]
1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan
2.Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim, dan
3. Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim dalam menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaian dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarga serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, hal ini akan mendukung kinerja hakim dalam memutus perkara yang dihadapkan kepadanya memutus perkara yang dihadapkan kepadanya. Hakim dalam persidangan harus memperhatikan asas-asas peradilan dengan tujuan, agar putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau pihak lain dengan menjunjung tinggi prinsip.[30] Selain itu, hakim juga tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpati ataupun antipati kepada pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku.[31]
Kebebasan dan kemandirian hakim bukanlah kebebasan tanpa batas. Namun terdapat Kode Etik Profesi Hakim yang harus dijadikan pedoman bagi hakim dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, untuk menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan maka hakim diharuskan mempunyai sifat-sifat, yaitu :[32]
1. Kartika, yaitu memiliki sifat percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2. Cakra, yaitu sifat mampu memusnahkan segala kebathilan, kezaliman dan ketidakadilan.
3. Candra,. yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa.
4. Sari, yaitu berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela.
5. Tirta, yaitu sifat jujur.
Selain sifat-sifat “Panca Dharma Hakim” di atas, selain itu kebebasan hakim sebagai penegak hukum haruslah dikaitkan dengan :[33]
1. Akuntabilitas
2. Integritas moral dan etika
3. Transparansi
4. Pengawasan (control)
5. Profesionalisme dan impartialitas.
Tugas terpenting seorang hakim yaitu menjatuhkan putusan terhadap kasus yang diterima dan diperiksanya. Putusan hakim akan terasa begitu dihargai dan mempunyai nilai kewibawaan, jika putusan tersebut merefleksikan rasa keadilan hukum masyarakat dan juga merupakan sarana bagi masyarakat pencari keadilan untuk mendapat kebenaran dan keadilan.[34] Maka, dalam putusannya hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, sosiologis dan filosofis, sehingga keadilan yang ingin dicapai dapat terwujud, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim yang berkeadilan dan berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social justice), dan keadilan moral (moral justice).[35]
Menurut Lubet, bahwa independensi yudisial mengandung nilai-nilai dasar: fairness, impartiality, dan good faith. Hakim yang independen akan memberikan kesempatan yang sama dan terbuka kepada setiap pihak untuk didengar tanpa mengaitkannya dengan identitas atau kedudukan sosial pihak-pihak tersebut. Seorang hakim yang independen akan bersikap imparsial, bebas dari pengaruh yang tak berhubungan dan kebal dari tekanan pihak luar. Seorang hakim yang independen memutus berdasarkan kejujuran (good faith), berdasarkan hukum sebagaimana yang diketahuinya, tanpa menghiraukan akibat yang bersifat personal, politis ataupun finansial. [36]
Sementara itu di dalam The International Bar Association Code of Minimum Standrads of Judicial Independence, 1987 menyebutkan batasan-batasan dari kemerdekaan yudisial yang meliputi kemerdekaan personal, kemerdekaan substantif, kemerdekaan in-ternal, dan kemerdekaan kolektif. Kemerdekaan personal mensyaratkan bahwa pengisian jabatan hakim, termasuk  pengangkatan, pemindahan, pemensiunan, dan penggajian tidak ditetapkan oleh dan di bawah keputusan eksekutif. Kemerdekaan substantif mensyaratkan seorang hakim harus memberi putusan sendiri atas dasar penalaran atau argumentasi hukum sendiri, bukan atas dasar pe-nalaran orang lain. Kemerdekaan internal  berarti seorang hakim harus mampu mengambil putusan tanpa campur tangan kolega atau atasannya. Kemerdekaan kolektif mengacu pada fakta bahwa suatu pengadilan adalah suatu badan atau lembaga yang tidak bergantung pada kekuasaan pemerintahan yang lain.[37]
Harold See menyebutkan adanya dua perspektif dalam memandang independensi yudisial. Pertama, perspektif pemisahan kekuasaan dalam bentuk kemerdekaan kelembagaan (institutional independence) kekuasaan kehakiman dari cabang pemerintahan lainnya. Aspeknya termasuk organisatoris, administrasi, personalia, dan finansial.  Kedua, perspektif demokrasi berupa kemerdekaan dalam membuat putusan (decisional independence). Hal ini berkaitan dengan kewajiban khusus dari pengadilan terhadap negara hukum. Peradilan bukan hanya salah satu cabang pemerintahan dalam kekuasaan kehakiman, tetapi melaksanakan fungsi untuk menjamin terwujudnya negara hukum. Di dalamnya terdapat perlindungan atas kemerdekaan hakim dalam memutus dari pengaruh berbagai kepentingan. [38]
Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga walaupun itu keluarganya, kalau sudah dalam sidang semuanya diperlakukan sama. Hakim harus berpegang kepada Tri Parasetya Hakim Indonesia. Hakim harus dapat membedakan antar sikap kedinasan sebagai jabatannya sebagai pejabat negara yang bertugas menegakkan keadilan dengan sikap hidup sehari-hari sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat. Untuk membedakan itu hakim mempunyai kode etik sendiri bagaimana supaya dia dapat mengambil sikap. Zaman sekarang kadang-kadang hakim salah menempatkan sikapnya, yang seharusnya sikap itu harus dilingkungan keluarga, ia bawa waktu persidangan. Ini tentunya akan mempengaruhi putusan. Hakim tidak lain adalah seorang manusia, oleh karena itu sebagai manusia dia sudah seharusnya dan wajib menempatkan dirinya atau posisinya sebagai  apa,  dimana, dan untuk apa,  hal ini merupakan salah satu yang membedakannya dengan makluk seperti hewan, dengan kata lain sebagai manusia memiliki tidak satu kedudukan dan peranan, oleh karena itu dia harus tahu dan membedakan peranan-peranan yang diembannya tersebut.
Tegaknya hukum dan keadilan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas Hakim sebagai aktor utama atau figure sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan   dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh sebab itu, semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim. Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggung jawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.[39]
Setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim di Indonesia, dimana terdapat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya.[40]
Tanggung jawab hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa artinya telah melaksanakan peradilan sesuai dengan amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia, menurut hukum kodrat manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui suara hati nuraninya. Karena pada dasarnya tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab, dengan kata lain independency of judiciary haruslah diimbangi dengan pasanganya yaitu judicia accountability. Dan yang perlu disadari adalah social accountanbility yaitu pertanggungjawaban pada masyarakat karena pada dasarnya tugas-tugas peradilan maupun badan-badan kehakiman melaksanakan public service dibidang keadilan bagi masyarakat yang mencari keadilan.
 Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar peradilan.    Maka untuk itulah dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditetapkan syarat batiniah kepada para hakim dalam menjalankan keadilan sebagai suatu pertanggung jawaban yang lebih berat dan mendalam dalam menginsyafkan kepadanya, bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi lebih dari itu harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam undang-undang ini dirumuskan dengan ketentuan bahwa peradilan dilakukan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”dan frase ini harus dimuat dalam setiap putusan hakim. Dari frasa ini seorang hakim dalam pelaksanaan tugasnya bersifat bebas dan mandiri dalam melaksanakan aturan hukum dan peristiwa yang terjadi yang diajukan kepadanya.
Sisi lain dari rambu-rambu akuntabilitas tersebut adalah adanya integritas dan sifat transparansi dalam penyelenggaraan dan proses memberikan keadilan tersebut, hal mana harus diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan-putusan badan pengadilan serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga karenanya putusan-putusan tersebut dapat menjadi objek kajian hukum dalam komunitas hukum.
F. Kesimpulan
Kedudukan kekuasaan kehakiman dan hakim sebagai salah satu bagian dari kekuasaan negara dan penyelenggara negara setelah amandemen Undang Undang Dasar telah  memiliki kemerdekaan  dan kemandirian, karena sudah tidak tergantung lagi kekuasaan eksekutif yang meliputi  keorganisasian,  keuangan,  administrasi  yang sebelumnya tergantung pada eksekutif dan hal tersebut akan berpengaruh pada aspek yudisial. Suatu kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri merupakan kunci berfungsinya sistem hukum dengan baik dalam suatu negara hukum. Maka untuk itulah ditetapkan syarat batiniah kepada para hakim dalam menjalankan keadilan sebagai suatu pertanggung jawaban yang lebih berat dan mendalam kepadanya, bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi lebih dari itu harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam undang-undang dirumuskan dengan ketentuan bahwa peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari frasa ini seorang hakim dalam pelaksanaan tugasnya bersifat bebas dan mandiri dalam melaksanakan aturan hukum dan peristiwa yang terjadi yang diajukan kepadanya.
Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar peradilan. Hukum materiil merupakan batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman yang bersifat relatif. Oleh karena batas normatif yang bersifat relatif, maka dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan memutuskan suatu perkara, dalam keadaan tertentu hakim dapat menyimpangi hukum materiil. Hukum formil atau acara merupakan batas normatif yang bersifat absolut terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman. Oleh karena batas normatif yang bersifat absolut, maka hukum acara harus dilaksanakan dan tidak boleh disimpangi oleh hakim dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan memutus suatu perkara. Pelanggaran terhadap hukum acara mengakibatkan tidak sahnya putusan hakim. 
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif ,Jakarta: Sinar Grafika.
Andi Hamzah, 2006.Hukum Acara Pidana Indonesia ,Jakarta: CV. Shapta artha jaya.
Antonius Sujata, 2000. Reformasi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Djambatan.
Al. Wisnubroto, 1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia, Yogyakarta: Univ. Atmajaya.
Bintan R Saragih, 1988.Lembaga perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta.
Dahlan Thaib, 1993. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty, Yogyakarta.
Djokosoetono, 2006 , Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun Alrasid, Edisi Revisi, Jakarta: Ind-Hill Co.
E.Utrecht, 1982.  Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Emas, Jakarta.
Goesniadhie, Kusnu, S, 2006, Harmnisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis Suatu Masalah), Surabaya: JP-Books.
Hendarmin Ranadireksa, 2009. “Arsitektur Konstitusi Demokratik”,  Bandung.
Franz Magnis-Suseno, 1993, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1976, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Moh. Kusnardi  dan Bintan R. Saragih, 1989,  Susunan  Pembagian  Kekuasaan  Menurut  Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Cet. VI, Jakarta: Gramedia.
Mundiri. 2005. Logika. Jakarta: Rajawali Press.
Miriam Budiardjo, 1994, Kuasa dan Wibawa, Jakarta : Gramedia.
---------------------, 1993. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Moh. Mafud MD, 1993.. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta,
----------------------, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum diIndonesia, Jakarta:  Gramedia.
Pontang Moerad, 2005.Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana ,Bandung: Alumni.
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Sudikno Mertokusumo.2008,Mengenal Hukum suatu pengantar. Yogyakarta:Liberty,
---------------------------. 2006.Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:  Liberty,
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum Yogyakarta: Citra Aditya Bakti.
Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni,Bandung.
---------------, 1986,  Bunga  Rampai Hukum  Tata  Negara,  Mandar  Maju.,  
Bandung,
Suhrawardi K. Lubis, 1994.Etika Profesi Hukum, Jakarta : Sinar Grafika.
Soerjono Soekanto, 2000. Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soerjono Soekanto. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Satjipto Raharjo, 2003.Membedah Hukum Progresif ,Jakarta: Kompas.
B. Jurnal, Makalah
Jurnal Legislasi, Reformasi Konstitusi: Perspektif Kekuasaan Kehakiman,Jakarta: Ami Global Media, Maret 2010.
Jurnal Legislasi Indonesia Vol.7, “Desain Konstitusional Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”  Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010.
Abdul Manan, “Kemandirian Lembaga Peradilan dan Supremasi Hukum di Indonesia” majalah hukum USU,Februari 2004.
Paulus E. Lotulung, Makalah: Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, disampaikan pada Seminar Pengembangan Hukum Nasional, BPHN dan Dep. Kehakiman dan HAM RI. 2003.
Andi Hamzah,  Kemandirian  dan Kemerdekaan  kekuasaan  kehakiman,  Makalah disampaikan  pada seminar pembangunan  hukum  nasional  VIII,  diselenggarakan  oleh  Badan  Pembinaan  Hukum  Nasional (BPHN), Denpasar 14-18 Juli 2003.
Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, et al., Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden secara Langsung”, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.
Rizky Argama,“Tanggung-Jawab-Profesi-Hakim-Sebagai-Aktor-Utama-penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia”, dalam http://pusatpanduan.com/pdf, (8 Maret 2013). S.L. Whitman sebagaimana terdapat pada "Catatan Kamal Firdaus", Kamal firdaus, Makalah, untuk Diskusi Panel, Urgensi Undang-Undang Kepresidenan dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia, FH-UII,2001.
Syamsuhadi, 2000 “Visi dan Misi Reformasi  Hukum dan Keadilan Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Jakarta.
Warta  Pengawasan, “Reformasi Pengawasan”, 1 Maret 2010.
SKB Mahkamah Agung dan KY Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Tahun 2009.
Tri WidodoW.Utomo, pembatasan kekuasaan pemerintah dan pemberdayaandemos, internet diakses tanggal 7 Maret 2013
Aidul Fitriciada Azhari, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung jawab di Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Keseimbangan , diakses  tanggal 14 Maret 2013.
Kode Etik Profesi Hakim.
Yudhi Setiawan, pengaturan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri, http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=46,
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan   Kehakiman 




[1] Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 1994, hlm. 24-25.

[2]  Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press 1986. hal. 42.
[3]   Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2008. hal. 32.
[4] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni,Bandung, 1987, hlm.4.
[5] Djokosoetono, Hukum Tata Negara,dihimpun oleh Harun Alrasid, Edisi Revisi, Jakarta: Ind-Hill Co, 2006, hlm. 95.
[6]. http://fh.wisnuwardhana.ac.id/:norma kebebasan-kekuasaan-kehakiman-dalam-sistem-konstitusional-ketatanegaraan-&catid=3:artikel-ilmiah&Itemid=14
[7] Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976, hlm. 8.
[8] Sri Soemantri,  Bunga  Rampai Hukum  Tata  Negara,  Mandar  Maju,  Bandung, 1986, hlm .29-30
[9] Moh. Kusnardi  dan Bintan R. Saragih,  Susunan  Pembagian  Kekuasaan  Menurut  Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Cet. VI,Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 27
[10] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 298-301
[11] Yudhi Setiawan, pengaturan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri, http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=46, hlm. 2.
[12] Ibid.
[13] Andi Hamzah,  Kemandirian  dan Kemerdekaan kekuasaan kehakiman,  Makalah disampaikan  pada seminar pembangunan  hukum  nasional  VIII,  diselenggarakan  oleh  Badan  Pembinaan  Hukum  Nasional (BPHN), Denpasar 14-18 Juli 2003.
[14] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan   Kehakiman 
[15] pasal 24 A, UUD 1945
[16] Tri WidodoW.Utomo, pembatasan kekuasaan pemerintah dan pemberdayaan, internet diakses tanggal 7 Maret 2013
[17] Miriam Budiardjo,  Kuasa dan Wibawa, Jakarta : Gramedia, 1994,hlm. 90-91
[18] Ibid. hal. 4
[19] Pasal 10 The Universal Declaration of Human Rights menyatakan: "Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligation of any criminal charge agains him.
[20]  Pasal 8 The Universal Declaration of Human Rights, menyatakan   "Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for act violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law."

[21] Pasal 25 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, 1). Badan  peradilan  yang  berada  di  bawah  Mahkamah  Agung meliputi badan  peradilan  dalam  lingkungan  peradilan umum,  peradilan  agama,  peradilan  militer,  dan  peradilan tata usaha negara. 2) .Peradilan  umum  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) berwenang  memeriksa,  mengadili,  dan  memutus  perkara pidana  dan  perdata  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan. 3). Peradilan  agama  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) berwenang  memeriksa,  mengadili,  memutus,  dan menyelesaikan perkara antara orang-orang  yang beragama Islam  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang- undangan. 4). Peradilan  militer  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) berwenang  memeriksa,  mengadili,  dan  memutus  perkara tindak  pidana  militer  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan. 5).    Peradilan  tata  usaha  negara  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (1)  berwenang  memeriksa,  mengadili,  memutus,  dan menyelesaikan  sengketa  tata  usaha  negara  sesuai  dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Pengadilan Khusus,  Pengadilan Khusus hanya dapat di bentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagimana dimaksud dalam pasal 27 Undang-UndangNo. 48 Tahun 2009. Pengadilan khusus,antara lain,adalah pengadilan anak,pengadilan niaga,pengadilan hak asasi manusia,pengadilan tindak pidana korupsi,pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum dan perdilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha (Penjelasan pasal 27 ).
[22]. Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum suatu pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2008, hal.135.
[23]. Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:  Liberty, 2006, hal. 20.
[24] Penjelasan UUD 1945 Sebelum Amandemen.
[25] Mengenai kebebasan hakim sebagaimana dinyatakan dalam hadis, bahwa  Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka.(HR. Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim). http://www.piss-ktb.com/2012/05/1508-tiga-macam-golongan-hakim.html
[26]. http://fh.wisnuwardhana.ac.id/:norma kebebasan-kekuasaan-kehakiman-dalam-sistem-konstitusional-ketatanegaraan-&catid=3:artikel-ilmiah&Itemid=14
[27] Goesniadhie, Kusnu, S, Harmnisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis Suatu Masalah), (Surabaya: JP-Books,2006), hlm.162.
[29] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif ,Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 104.
[30] Pasal 4 Kode Etik Profesi Hakim.
[31] Pasal 4 Kode Etik Profesi Hakim.
[32] Pasal 3 Kode Etik Profesi Hakim.
[33] Paulus E. Lotulung, Makalah: Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, disampaikan pada Seminar Pengembangan Hukum Nasional, BPHN dan Dep. Kehakiman dan HAM RI, 2003.
[34] Ibid
[35] Ahmad Rifai, Op. Cit, hlm. 3.
[36] Aidul Fitriciada Azhari, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung jawab di Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Keseimbangan , diakses  tanggal 14 Maret 2013.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] SKB Mahkamah Agung dan KY Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Tahun 2009.
[40] Rizky Argama, Tanggung-Jawab-Profesi-Hakim-Sebagai-Aktor-Utama-Penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia, dalam ttp://pusatpanduan.com/pdf, (8 Mei 2011).

0 komentar:

Posting Komentar