Oleh Barhamudin, SH.,
M.Hum.
ABSTRAK
Tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini untuk mengetahui bagaimana makna kebebasan
kekuasaan kehakiman dalam sistim hukum Indonesia
dan untuk mengetahui apakah kebebasan hakim dalam penegakan hukum tidak tak
terbatas. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif
yang mengkaji bahan hukum yang terkait,
yaitu norma hukum dan asas-asas hukum yang berlaku, norma hukum yang pernah
berlaku serta norma hukum yang dapat berlaku di masa depan. Pendekatan penelitian yang digunakan, yaitu : Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan Pendekatan Analitis (analytical Approach). Hasil penelitian didapatkan, bahwa Kedudukan
kekuasaan kehakiman dan hakim sebagai salah satu bagian dari kekuasaan negara
dan penyelenggara negara setelah amandemen Undang Undang Dasar telah memiliki kemerdekaan dan kemandirian, karena sudah tidak
tergantung lagi kekuasaan eksekutif yang meliputi keorganisasian, keuangan,
administrasi yang sebelumnya
tergantung pada eksekutif dan hal tersebut akan berpengaruh pada aspek
yudisial. Hakim dalam menjalankan keadilan sebagai suatu pertanggung jawaban
yang lebih berat dan mendalam kepadanya, bahwa karena sumpah jabatannya dia
tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada
rakyat, tetapi lebih dari itu harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam undang-undang dirumuskan dengan ketentuan bahwa peradilan
dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari frasa ini
seorang hakim dalam pelaksanaan tugasnya bersifat bebas dan mandiri dalam
melaksanakan aturan hukum dan peristiwa yang terjadi yang diajukan kepadanya.
Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari
campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari
kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar
peradilan. Hukum materiil merupakan batas normatif terhadap kebebasan hakim
yang bersifat relatif. Oleh karena batas normatif yang bersifat relatif, maka
dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan memutuskan suatu perkara,
dalam keadaan tertentu hakim dapat menyimpangi hukum materiil. Hukum formil
atau acara merupakan batas normatif yang bersifat absolut terhadap kebebasan
hakim. Oleh karena batas normatif yang bersifat absolut, maka hukum acara harus
dilaksanakan dan tidak boleh disimpangi oleh hakim dalam melaksanakan tugas
mengadili, memeriksa dan memutus suatu perkara. Pelanggaran terhadap hukum
acara mengakibatkan tidak sahnya putusan hakim.
Kata kunci :
Kebebasan, Hakim.
A. Pendahuluan.
Dalam
negara modern secara garis besar dikenal
tiga pemegang kekuasaan negara, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif
dan kekuasaan yudikatif. Dalam penerapan ditemukan berbagai variasi dan bentuk
di berbagai negara, ada yang memakai
pola pemisahan kekuasaan (separation
of power), ada yang menggunakan pembagian kekuasaan deviation of power), di
beberapa negara ditemukan bahwa kekuasaan negara ternyata tidak hanya bertumpu
pada konsep trias politica saja sebagai state primery institution (kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif), tetapi ada kebutuhan untuk
menyelenggarakan kekuasaan lainya yaitu kekuasaan bidang perbantuan (state
auxiliary institution) yang bersifat konsultatif, pertimbangan atau
kepenasehatan (consultative power)
dan pengawasan (examinative power).
Hal ini dikaenakan bahwa penyelenggaraan
negara tidak ditentukan oleh tiga pilar kekuasaan besar itu, tetapi juga
dipengaruhi oleh budaya dan pilihan politik dari negara yang bersangkutan.
Namun satu hal yang sama dan dijumpai dalam setiap Negara yang menganut trias
politika, baik dalam arti pemisahan
kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif,
dalam tiap negara hukum badan yudikatif haruslah bebas daricampur tangan badan
eksekutif.
Badan
yudikatif yang bebas adalah syarat mutlak dalam suatu Negara hukum. Kebebasan
tersebut meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif, legislatif
ataupun masyarakat umum, di dalam menjalankan tugas yudikatifnya. Cara untuk
menjamin pelaksanaan asas kebebasan badan yudikatif yaitu pertama, kita lihat
bahwa di beberapa negara jabatan hakim permanen, seumur hidup atau
setidak-tidaknya sampai saat pensiun, selama berkelakuan baik dan tidak
tersangkut kejahatan. Hakim biasanya diangkat oleh badan eksekutif yang dalam
hal Amerika Serikat didasarkan atas persetujuan senat atau dalam hal Indonesia
atas rekomendasi badan legeslatif.
Reformasi
di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 telah dilembagakan melalui
perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD 1945 adalah
mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis. Perubahan
UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali. Hasil perubahan
UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam
posisi setara dengan saling melakukan kontrol (cheks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta
menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling
kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi dan negara hukum. Amandemen
UUD 1945 menyebabkan berubahnya sistem ketatanegaraan yang berlaku meliputi
jenis dan jumlah lembaga negara, sistem pemerintahan, sistem peradilan dan
sistem perwakilannya.
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan
pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang merdeka
merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara
hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan
kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun
sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, ada jaminan ketidak berpihakan kekuasaan
kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan.
Fungsi
ini lazimnya dijalankan oleh suatu lembaga yang disebut dengan lembaga
peradilan, yang berwenang melakukan pemeriksaan, penilaian dan memberikan
putusan terhadap konflik. Wewenang yang sedemikian itulah yang disebut sebagai
kekuasaan kehakiman yang dalam peraktiknya dilaksanakan oleh hakim.[1]
Sedangkan
suatu pengadilan yang mandiri, tidak memihak, kompeten, transparan, akuntabel
dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian
hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak
dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Pengadilan sebagai pilar utama
dalam penegakkan hukum dan keadilan dan pada umumnya kemajuan suatu bangsa
sangat ditentukan oleh bagaimana penegakan hukumnya. Hal ini dapat kita lihat
dan ketahui dari beberapa Negara maju dan mulai maju. Oleh karena itu sungguh
sangat penting dijamin agar perilaku dari para hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas
yudisialnya maupun dalam kesehariannya sehingga masyarakat mempercayainya.
Sejalan dengan tugas dan wewenangnya itu, hakim dituntut selalu menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta etika dan perilaku hakim
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus
diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas
yudisialnya maupun di luar tugas
yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakkan hukum
dan keadilan.
Kehormatan
adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan di pertahankan
dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan.
Kehormatan hakim itu terutama terlihat
pada putusan yang di buatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan
proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga
rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat. Kehormatan, keluhuran martabat
merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya
tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh hakim melalui
sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. Hanya dengan sikap
tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran
martabat hakim dapat dijaga dan ditegakkan.
Kehormatan dan keluhuran martabat berkaitan erat dengan
etika perilaku. Etika adalah kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak mengenai benar dan salah yang dianut
satu golongan atau masyarakat. Apabila seorang hakim melakukan
pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim, maka hakim itu dapat
diberikan sanksi, dalam menentukan sanksi yang layak dijatuhkan, harus
dipertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pelanggaran, yaitu latar
belakang, tingkat keseriusan, dan akibat dari pelanggaran tersebut terhadap
lembaga peradilan ataupun pihak lain. Kekuasaan kehakiman yang merdeka
diharapkan dapat diwujudkan, dan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas
kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika. Berdasarkan uraian di atas, yang perlu dikaji dalam tulisan ini adalah Implementasi asas
kebebasan kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan uraian diatas, maka masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana implementasi
kebebasan kekuasaan kehakiman
menurut hukum positif. ?
2. Apa saja
pembatasan asas kebebasan hakim dalam penegakan hukum.?
C. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana makana kebebasan kekuasaan kehakiman dalam sistim hukum Indonesia.
2. Untuk mengetahui apakah kebebasan hakim dalam penegakan hukum tidak tak
terbatas.
3.
D. Metode Penelitian.
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan
dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis
dan konsisten. Metodologis berarti sesuai
dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu hukum, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal
yang bertentangan dalam suatu
kerangka tertentu.[2]
Dalam
melakukan tinjauan, penafsiran,
dan penilaian terhadap
persoalan penelitian penulis mendekatinya
menurut ilmu hukum. Oleh karenanya penelitian ini dapat
diketagorikan sebagai jenis
penelitian normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran
tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.[3]
Penelitian ini
merupakan penelitian hukum normatif yang berlaku, norma hukum yang pernah
berlaku serta norma hukum yang dapat berlaku di masa depan. Untuk menjawab masalah digunakan pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) Pendekatan
perundang-undangan dilakukan untuk mendeskripsikan pengaturan kebebasan
kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Pendekatan Analitis (analytical Approach) Maksud utama
analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna yang dikandung oleh
istilah-istiah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara
konsepsional.
3. Pendekatan Konsep (conceptual approach). Pendekatan konsep
digugunakan adalah bahan hukum primer Undang-Undang Dasar
1945,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan kekuasaan kehakiman. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku,
hasil penelitian, disertasi, artikel. Bahan hukum tersier kamus Bahasa Indonesia
dan ensiklopedia. Bahan hukum tersebut dilakukan analisis
dengan yuridis kualitatif, yang bertitik
tolak pada penalaran
yuridis yakni berpretensi
mewujudkan positivitas, mewujudkan koherensi dan mewujudkan keadilan, sehingga
pokok permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini dapat terjawab.
E. PEMBAHASAN
1. Kebebasan kekuasan
kehakiman.
Pengaturan dan pembatasan kekuasaan
mutlak diperlukan karena dalam setiap
negara pasti terdapat pusat-pusat kekuasaan, baik yang terdapat dalam supra struktur politik maupun yang terdapat
dalam infra struktur politik. Pengaturan dan pembatasan harus dituangkan dalam Undang-Undang Dasar, hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Lord Acton bahwa Power
tends to corrupt; and absolute
power corrupts absolutely. Kekuasaan
bagaimanapun kecilnya, cenderung
disalahgunakan. Semakin kuat kekuasaan
makin kuat
kecenderungan penyalahgunaannya. Menyadari hal ini maka para pendiri negara
berusaha untuk membatasi
dan mencegah kemungkinan
adanya penyalahgunaan kekuasaan
oleh mereka yang nantinya akan berkuasa.[4]
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum. Makna yang terkandung dalam negara hukum bahwa dalam
membangun sistem hukum harus dapat mewujudkan cita-cita negara hukum, yaitu
mewujudkan supremasi hukum dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, serta jaminan perlindungan hukum terhadap hak dan kepentingan
masyarakat warganegara. Supremasi hukum atau Supremacy of law menurut Djokosoetono dapat diartikan sebagai berikut. “Supremacy of law”
berarti bahwa tidak ada
lagi kekuasaan yang
sewenang-wenang. Semuanya
harus tunduk pada hukum yang paling tinggi, yang paling berkuasa,
yang supreme adalah hukum. Jadi dengan menggunakan istilah krabbe, tetapi dalam
arti netral, ialah souvereiniteit van het recht”, artinya kedaulatan hukum, baik yang memerintah maupun yang diperintah, keduanya
tunduk pada hukum.[5]
Dengan supremasi hukum berarti,
bahwa hukum merupakan kaidah tertinggi untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di samping itu, supremasi hukum juga
berarti bahwa penggunaan kekuasaan untuk menjalankan kehidupan ketatanegaraan
dan pelaksanaan pemerintahan harus berdasarkan kepada aturan hukum, maka jika
tanpa landasan hukum, kekuasaan tidak memiliki legalitas.
Kekuasaan memiliki kaitan yang sangat erat
dengan hukum, sebab kekuasaan tidak saja merupakan instrumen pembentukan hukum (law
making), tetapi juga merupakan instrumen penegakan hukum (law
enforcement) dalam kehidupan
bernegara. Hukum juga memiliki arti penting bagi kekuasaan karena hukum
dapat berperan sebagai sarana legalisasi bagi kekuasaan formal lembaga-lembaga
negara dan unit-unit pemerintahan, serta pejabat negara. Landasan legalisasi
kekuasaan itu dilakukan melalui penetapan hukum dan dalam melaksanakan
kekuasaan juga melalui aturan-aturan hukum, di samping itu hukum dapat pula
berperan sebagai alat kontrol kekuasaan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum. Dalam penegakan hukum, asas negara hukum menghendaki kekuasaan kehakiman
yang merdeka terlepas dari pengaruh pemerintah atau kekuasaan lain.[6]
Kekuasaan
kehakiman menurut UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Sebagai implementasi Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di samping
Mahkamah Agung, seperti dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,
dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 24 tahun 2004, tentang Mahkamah
Konstitusi.
Jika
ditelusuri perkembangan konsep negara hukum dapat dijelaskan, bahwa
konsep Negara hukum merupakan produk
dari sejarah, sebab rumusan atau
pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti
sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam
rangka memahami secara tepat dan benar
konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara
hukum. .Terkait gagasan
Negara hukum setidaknya
terdapat dua tradisi
besar gagasan Negara Hukum
di dunia, yaitu Negara Hukum dalam
tradisi Eropa Kontinental yang disebut
Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam
tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule
of Law. Menurut
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan
untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika
Serikat Government of Law, But
Not of Man.[7] Menurut Sri Soemantri lebih
mempertegas lagi mengenai unsur-unsur yang
terpenting dalam negara hukum yang dirinci menjadi empat unsur, yaitu : [8]
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya harus berdasar atas
hukum atau peraturan perundang-undangan;
2. Adanya pembagian kekuasaan dalam
negara ;
3. Adanya pemisahan kekuasaan dalam
negara ;
4. Adanya pengawasan dari badan-badan
peradilan.
Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R.
Saragih, ciri-ciri negara hukum ada tiga, yaitu (1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia; (2) peradilan yang bebas;
(3)
legalitas dalam arti hukum dalam
segala bentuknya.[9] Sementara itu, Franz
Magnis-Suseno menyebut empat
syarat dalam gagasan
negara hukum yang
saling berhubungan satu sama lain, yaitu : pertama, adanya asas legalitas yang berarti pemerintah bertindak
semata-mata atas dasar hukum yang berlaku; kedua,
adanya kebebasan dan kemandirian
kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya untuk menegakkan hukum dan
keadilan; ketiga, adanya jaminan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; dan keempat, adanya pemerintahan berdasarkan sistem
konstitusi atau hukum dasar.[10]
Salah satu ciri negara hukum adalah adanya kebebasan dan
kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya untuk menegakkan hukum
dan keadilan. Dalam pengertian lain, kebebasan berarti kekuasaan kehakiman
dalam menjalankan tugasnya tidak dipengaruhi oleh badan eksekutif ataupun
kekuasaan lain dalam masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya badan
kekuasaan kehakiman berpedoman pada aturan hukum dan nilai-nilai etika yang
hidup dalam masyarakat. Kemandirian kekuasaan kehakiman berarti keberadaan dari
badan kekuasaan kehakiman itu tidak tergantung pada badan eksekutif atau badan
legislatif. Badan kekuasaan kehakiman itu keberadaannya dijamin oleh
konstitusi. Dalam persepektif liberal badan kekuasaan kehakiman mempunyai
kontrol terhadap pelaksanaan kekuasaan negara yang dijalankan oleh badan
eksekutif dan badan legislatif sebagai pelindung hak-hak dasar manusia, badan
kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan untuk meninjau kembali undang-undang
yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.[11]
Dengan demikian, pandangan kebebasan kekuasaan kehakiman dapat dikatakan
merupakan pandangan yang ideal. Dalam kenyataan perkembangan kekuasaan
kehakiman dan cara bekerjanya kekuasaan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor
politik, sejarah, sosial, budaya dan perkembangan ekonomi, serta tidak kalah
pentingnya sumber daya manusia. Faktor-faktor itulah yang melahirkan
kondisi yang berbeda-beda yang berpengaruh pada kedudukan, peran, dan cara
bekerjanya kekuasaan kehakiman di tiap-tiap negara. Tidak akan ada kekuasaan
kehakiman yang bebas dan mandiri apabila kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan
dari kekuasaan legislatif dan eksekutif. Apabila kekuasaan kehakiman
digabungkan, maka kebebasan para warga negara akan dihadapkan kepada pengawasan
yang bersifat kesewenangan, oleh karena hakim akan bertindak juga sebagai
pembuat undang-undang.
Kekuasaan kehakiman berasal dari istilah dan terjemahan
bahasa Belanda “Rechtspreken de macht” artinya hak untuk menyelesaikan
suatu sengketa oleh pihak ketiga yang tidak memihak yaitu hakim. Secara
teknis yuridis hakim berarti orang yang diberi tugas untuk menentukan hukumnya
dalam suatu sengketa.[12]
Dengan demikian kekuasaan kehakiman diartikan kewenangan untuk menentukan
hukumnya dalam suatu sengketa atau kewenangan untuk mengadili suatu
sengketa. Dengan kata lain kekuasaan kehakiman adalah suatu kekuasaan
yang berwenang menentukan bagaimana ketentuan hukumnya harus diterapkan
terhadap sengketa yang dihadapkannya.
Adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman
terutama dalam fungsinya untuk
menegakkan hukum dan keadilan merupakan
syarat mutlak Negara hukum. Mengenai
pengertian mandiri dan independen
(kebebasan) Andi Hamzah membedakannya
sebagai berikut: ….Mandiri menurutnya
artinya berada di bawah atap sendiri tidak berada di bawah atap departemen atau badan lain. Sedangkan independen
atau merdeka berarti di dalam
memutus perkara seperti dimaksud Paulus E. Lotulong dengan bebas dari pengaruh
eksekutif maupum segala
kekuasaan negara lainnya
dan kebebasan dari paksaan,
direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak-pihak extra judisiil, kecuali dalam hal-hal yang di
izinkan oleh undang-undang.[13]
Mengenai kebebasan
dan kemandirian kekuasaan
kehakiman UUD 1945 Perubahan Ketiga Pasal 24 ayat(1)mengatur
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Ayat (2)-nya mengatur: Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer,
peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.[14]
Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk :[15]
a. mengadili pada tingkat kasasi;
b. menguji
peraturan
perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap
undang-undang; dan
c. mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
oleh undang-undang.
Disamping itu, Mahkamah Agung diberi
kekuasaan dan wewenang oleh peraturan
perundang-undangan untuk :
a. Memeriksa dan
memutus permohonan kasasi; sengketa tentang kewenangan mengadili; dan permohonan
peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum
baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga Tinggi Negara.
c. Memberikan nasehat hukum kepada Presiden,
selaku Kepala Negara untuk pemberian atau penolakan grasi.
d. Menguji secara
materiil hanya terhadap peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang;
e. Melaksanakan
tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.
Dalam setiap
kajian mengenai konsep kekuasaan,terdapat suatu fenomena yang unik
dimana kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sikap dan tingkahlaku orang lain seringkali tidak
disertai dengan kewibawaan, sehingga tingkat ketaatandan
kepatuhan seseorang sering tidak
dilandasi oleh kesadaran secara suka rela melainkan karena pemaksaan
oleh instrumen atau alat-alat kekuasaan.[16] Selanjutnya,jika pembahasan telah
memasuki dimensi ketaatan atau ketertundukan seseorang atau kelompok
terhadap orang atau kelompok lain, menjadi mutlak untuk diketahui tentang
kewenangan (authority) dan keabsahan
(legitimacy ) dua konsep yang tidak pernah bisa dilepaskan dari konsep
kekuasaan.
Otoritas
atau wewenang adalah kekuasaan yang dilembagakan (Institutionalized power). Pengertian ini bersesuaian pula dengan
pandangan Laswell dan Kaplan, yang menyatakan
bahwa wewenang adalah kekuasaan formal (formal power), dalam arti
dimilikinya hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan
serta dimilikinya hak untuk mengharap kepatuhan orang lain terhadap peraturan
yang dibuatnya.[17]
Permasalahan
yang muncul kemudian adalah mengapa seseorang atau suatu kelompok memiliki
wewenang yang lebih besar dan mampu
memaksa orang atau kelompok lain untuk tunduk dan taat kepadanya,serta darimana
orang atau kelompok tadi memperoleh landasan legitimasi untuk melaksanakan kekuasaannya ? Untuk menjawab
pertanyaan ini, mau tidak mau harus dikembalikan kepada teori tentang
sumber-sumber kekuasaan serta cara mendapatkan kekuasaan. Khususnya mengenai
sumber-sumber kekuasaan, hal ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah teori
kedaulatan didunia yang menunjukkan suatu kenyataan bergesernya arah
paham-paham kenegaraan dan kemasyarakatan dari yang non-demokratis kepada yang
demokratis. Mula-mula, semenjak berakhirnya abad pertengahan yang merupakan
masa-masa kegelapan (mediumaevum) bagi kebudayaan global terutama di Eropa,
dalam Ilmu Negara muncul pemikiran tentang Kedaulatan Tuhan.
Ajaran
yang sangat identik dengan teori Kedaulatan Raja ini menyatakan bahwa
kedaulatan adalah ditangan Tuhan, dan diturunkan kepada raja dengan wahyu
Ilahi. Kekuasaan raja adalah bebas,
tidak terbatas dan tidak terikat,
karena memang raja hanya tunduk dan
bertanggungjawab kepada Tuhan. Dengan demikian maka setiap kehendak dan
perintah raja dianggap sebagai perwujudan kehendak dan perintah Tuhan. Meskipun
demikian, ajaran ini mengandung kelemahan, yaitu ketika raja turun tahta, maka
seketika itu ia bukan kepala negara lagi dan ia kehilangan kewibawaan dan
kedaulatannya. Saat itulah, dimana semua yang dimilikinya langsung berpindah
kepada raja baru yang menggantikannya.
Dari
sini muncul ajaran baru yakni Kedaulatan Negara yang berpendapat bahwa
negaralah yang memberi kekuasaan kepada raja atau kepala negara, dan bukan
sebaliknya. Akan tetapi, ajaran inipun ternyata mempunyai kekurangan juga. Apa
artinya suatu negara atau pemerintahan
jika tidak didasarkan pada suatu peraturan yang lurus dan jujur (yaitu hukum).
Dalam hubungan ini, Krabbe dan Duguit menyatakan
bahwa hukum itu terjadi dari rasa
keadilan atau keinsyafan keadilan
(rechtsbewustzijn) yang hidup pada sanubari rakyat. Dan hukum itu
sendiri menurut von Savigny tidak
dibuat oleh manusia, melainkan ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli hukum
dari ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada dan berkembang bersama-sama dengan perkembangan
hidup rakyat. Itulah sebabnya, atas dasar pemikiran-pemikiran demikian,
ajaran Kedaulatan Negara digantikan posisinya oleh ajaran Kedaulatan Hukum.
Dari
ketiga ajaran tentang kedaulatan diatas, dapat dilihat terjadinya Proses
demokratisasi, dalam arti dari waktu ke waktu selalu diupayakan Untuk
menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang banyak. Dengan
kata lain, kekuasaan yang dipegang oleh seorang raja atau kepala negara semakin
diadakan pembatasan yang lebih jelas, sehingga dapat mengurangi berbagai
kemungkinan pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan.[18]
Meskipun telah muncul gagasan mengenai pembatasan kekuasaan oleh hukum, namun
peran rakyat sebagai inti dari suatu negara belum begitu menonjol. Oleh sebab
itu,muncullah ajaran atau teori Kedaulatan Rakyat yang masih berlaku hingga
sekarang.Teori yang dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau dan John Locke
ini menentukan, bahwa rakyatlah pemegang
kekuasaan yang tertinggi.Rakyat dapat
menyerahkan kepercayaan dalam bentuk kekuasaan pemerintahan kepada
seseorang atau sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu, tetapi kedaulatan
itu sendiri tidak ikut diserahkan.
Bahkan
jika dipandang perlu, rakyat bisa
menarik atau mencabut kembali kekuasaan
yang telah diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang tadi. Sebaliknya,
rakyat harus mematuhi aturan-aturan dan perintah si penguasa segera setelah
terjadinya penyerahan kekuasaan tersebut. Inilah yang dimaksud Rousseau dengan
istilah kontrak sosial (perjanjian masyarakat).
Dengan
demikian, dari uraian diatas, dapat
diketahui bahwa kekuasaan dalam suatu
Negara secara garis besar terdiri dari kekuasaan politik, kekuasaan
administrasi dan kekuasaan hukum. Kekuasaan politik adalah kekuasaan yang
memegang pembuatan aturan hukum dalam arti undang-undang, kekuasaan
administrasi adalah kekuasaan yang memegang pelaksanaan aturan yang dibuat oleh
kekuasaan politik, disamping kedua kekuasaan tersebut diperlukan kekuasaan yang
memegang menegakan aturan yang yang dibuat oleh kekuasaan politik dan
dilaksanakan kekuasaan administrasi tersebut.
Kekuasaan
yang memegang menegakan aturan ini, dikenal dengan kekuasaan kehakiman, kekuasaan ini secara normatif merdeka atau
independen dan berlaku dimanapun dan kapanpun atau bersifat universal. Ketentuan
universal yang terpenting ialah Setiap
orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang
merdeka dan tak memihak, dalam hal
menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya. [19]
Sehubungan dengan itu, pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh
hakim-hakim nasional yang
kuasa terhadap tindakan
perkosaan hak-hak dasar yang
diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau
undang-undang.[20]
Dalam
doktrin Trias Politika, baik yang diartikan sebagai pemisahan kekuasaan maupun
sebagai pembagian kekuasaan, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif, prinsip
yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap negara hukum badan yudikatif
haruslah bebas daricampur tangan badan eksekutif.
Syarat
mutlak dalam suatu Negara hukum atau
rule of law adalah adanya Badan Yudikatif yang bebas. Kebebasan tersebut
meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif, legislatif ataupun
masyarakat umum, di dalam menjalankan tugas yudikatifnya. Cara untuk menjamin
pelaksanaan asas kebebasan badan yudikatif yaitu pertama, kita lihat bahwa di
beberapa negara jabatan hakim permanen, seumur hidup atau setidak-tidaknya sampai
saat pensiun, selama berkelakuan baik dan tidak tersangkut kejahatan. Hakim
biasanya diangkat oleh badan eksekutif yang dalam hal Amerika Serikat
didasarkan atas persetujuan senat atau dalam hal Indonesia atas rekomendasi
badan legeslatif.
Kekuasaan
kehakiman banyak mengalami perubahan
sejak masa reformasi. Mahkamah agung bertugas untuk menguji
peraturan perundangan di bawah undang-undang. Sedangkan mahkamah konstitusi
mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 45.
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk :
1. Mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final Untuk:
- Menguji
undang-undang terhadap UUD 1945 (judical review).
- Memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara.
-
Memutus pembubaran partai politik.
-
Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
2. Memberi putusan pemakzulan presiden dan
atau wakil presiden atas permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau
perbuatan tercela.
Mahkamah Agung seperti yang kita kenal berwenang
mengadili pada tingkat kasasi. Mahkamah Agung menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang (pasal 24A). Calon hakim agung diajukan oleh komisi
yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, dan tidak ditetapkan sebagai
hakim agung oleh presiden.
Mahkamah Agung
merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman di samping
Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman,
Mahkamag Agung membawahi beberapa macam lingkungan peradilan, yaitu Peradilan
Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara (pasal 24.[21] Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Sebagai lembaga yudikatif, Mahkamag Agung mempunyai kekuasaan :
1.
Memutuskan permohonan kasasi;
2. Memeriksa dan memutuskan sengketa
tentang kewenangan mengadili;
3. Meninjau kembali putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
4. Menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Dalam kaitannya dengan
kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut adanya istilah kedaulatan. Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari
kata Sovereignty dalam bahasa Inggris, yang artinya kekuasaan tertinggi. Kata
kedaulatan sendiri berasal dari bahasa Arab, daulah yang artinya pemerintah.
Kedaulatan berarti hak memerintah. Seseorang yang memiliki kekuasaan tertinggi atau
memiliki hak memerintah dalam suatu negara maka dialah yang memiliki
kedaulatan. Jadi, pengertian kedaulatan tidak terpisahkan dari negara, sebab
negara merupakan organisasi kekuasaan. Di dalam negara juga terdapat pemegang
kedaulatan, baik kedaulatan politik, administrasi dan kedaulatan hukum.
Kekuasan kehakiman dimaksud dalam Pasal 24 undang-undang dasar 1945 yang menyatakan : (1) Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan; (2).Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi; (3).Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang.
Dari pengertian kekuasaan yang merdeka yang dimaksudkan,
tidak lain adalah tidak ada yang bisa mencampuri atau mengintervensi. Jika terjadi
sebaliknya maka hilanglah makna kekuasaan yang merdeka tersebut. Sudikno
Mertokusumo mengatakan, bahwa Kekausaan kehakiman yang merdeka berarti
kekuasaan kehakiman yang bebasa dari campur tangan pihak kekuasaan Negara atau
kekuasaan ekstra yudisial lainnya.[22] Adapun
maksud kebebasan dalam melaksanakan kewenangan yudisial tidak mutlak sifatnya
karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar hukum serta
asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan
rakyat indonesia.[23] Segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, Kecuali dalam
hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945(
Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Jo Pasal 3 ayat 2
Uundang-Undang No. 48 Tahun 2009.
Dengan demikian ketidak mutlakan kekuasaan melaksanakan
kewenangan yudisial ini, dibatasi oleh beberapa hal baik secara formil maupun
materil,yaitu :
1. Dasar hukum
2. Rasa keadilan
3. Nilai-nilai pancasila
4. Azaz-azaz hukum itu sendiri
Pengertian kekuasaan Negara yang merdeka, dimaksudkan
bahwa kekuasaan kehakiman terpisah dari kekuasaan pemerintahan dan Kekuasaan
Perundang-undangan serta merdeka dari pengaruh kedua kekuasaan itu.Untuk
hal tersebut dengan
jelas dapat dijumpai dalam
penjelasan resmi pasal 24 dan 25
UUD 1945 yakni: “…Berhubung dengan itu,
harus diadakan jaminan dalam Undang-undang tentang
kedudukan para hakim.
Jaminan tentang kedudukan para hakim yang dimaksud dalam kaitan
ini tidak lain
adalah jaminan kemandirian
hakim sebagai aparatur penyelenggaraan
peradilan . [24]
Adapun yang dimaksud dengan Kemandirian kekuasaan
kehakiman diatur didalam ketentuan umum, penjelasan atas Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, meliputi :
1.
Keorganisasian
2.
Keuangan
3.
Administari
4.
Yudisial
Sebelumnya dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman yang dibuat oleh Orde Baru
diatur, bahwa urusan organisatoris,
administratif, dan finansial dari badan peradilan berada di bawah departemen-departemen (Pasal 11 UU No. 14
Tahun 1970). Ketentuan tersebut diubah berdasarkan
Ketetapan MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang
Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan
dlam Rangka Penyelematan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara di antaranya mengagendakan adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi
yudisial dari eksekutif. Pemisahan itu ditempuh
dengan mengalihkan urusan organisatoris,
administratif, dan finansial menjadi di bawah Mahkamah Agung dan
termasuk Mahkamah Konstitusi. Pengalihan urusan tersebut dilakukan karena pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif selama Orde Baru
telah memberikan peluang bagi penguasa untuk
melakukan intervensi ke dalam proses
peradilan serta menyuburkan kolusi dan korupsi serta praktek-praktek negatif pada proses pengadilan.
Akibatnya, pengadilan sering berpihak pada kepentingan penguasa dan mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
2. Batas Kebebasan Hakim
Dalam
pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman yang merdeka, seperti diketahui
dilaksanakan oleh para hakim.[25]
Dalam melaksanakan fungsinya hakim terikat pada aturan-aturan, yang biasa
disebut Hukum materiil merupakan batas
normatif terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman yang bersifat relatif. Oleh
karena batas normatif yang bersifat relatif, maka dalam melaksanakan tugas
mengadili, memeriksa dan memutuskan suatu perkara, dalam keadaan tertentu hakim
dapat menyimpangi hukum materiil dan
hukum formil atau hukum acara dapat dipersamakan sebagai hukum yang
mengatur kekuasaan kehakiman. Hal ini berarti pelanggaran terhadap hukum acara
mengakibatkan tidak sahnya putusan pengadilan. Dengan demikian hukum acara
harus dilaksanakan dan tidak boleh disimpangi oleh hakim dalam melaksanakan
tugas mengadili, memeriksa dan memutuskan suatu perkara. Oleh sebab itu maka
hukum acara dapat dikualifikasikan sebagai norma atau batasan normatif yang
bersifat absolut terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman. Hukum acara adalah
aturan prosedural untuk menjamin terselenggaranya peradilan yang
imparsial-objektif, yang harus dipatuhi secara ketat-cermat dalam melaksanakan
peradilan.[26]
Batasan
atau rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam implementasi kebebasan hakim
adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum,
baik segi substansial maupun prosedural seperti ketentuan dalam hukum acara
karena substansi atau isi hukum acara adalah menyangkut tata cara, maka
sifatnya tertutup dan tidak dapat disimpangi atau tidak memuat ketentuan yang
ada dalam hukum acara tersebut, penyimpangan atau pelanggaran terhadap
ketentuan hukum acara berakibat tindakan aparatur kekuasaan kehakiman batal
demi hukum. Oleh karena itu hukum formil merupakan batasan bagi kekuasaan hakim
agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum dan bertindak
sewenang-wenang.
Tingginya
kemandirian atau kebebasan suatu profesi atau lembaga, memungkinkan profesi
atau lembaga tersebut bertindak sewenang-sewenang. Jika demikian kemandirian
atau kebebasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat menjadi suatu jalan bagi
munculnya kesewenang-sewenangan atau penindasan oleh kalangan profesional yang
melembaga (kekuasaan kehakiman).
Untuk
itu perlu ditetapkan ukuran-ukuran pertanggungjawaban kehakiman (judicial accountability).
Pertanggungjawaban ini dapat bersifat individual-perorangan maupun kolektif
kelembagaan. Pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman ini dibangun di atas
prinsip yang merupakan harmonisasi antara tanggungjawab politik dan
kemasyarakatan (political and sicietal
responsibility) dengan tanggungjawab hukum (legal responsibility).[27] Di atas prinsip
inilah kekuasaan kehakiman dapat bersikap responsif terhadap perkembangan
masyarakat.
Pertanggungjawaban
kehakiman (judicial accountability) tersebut
adalah : (i) pertanggungjawaban politik
hakim dan lembaga kehakiman, di mana keduanya dapat dimintai tanggungjawab oleh
parlemen atau DPR; (ii) pertanggungjawaban publik-kemasyarakatan hakim dan
lembaganya, yaitu bahwa keduanya dapat dikritik oleh mayarakat; caranya dengan
mengekpose kepada masyarakat, yaitu melalui publikasi putusan pengadilan
termasuk perbedaan pendapat di antara anggota majelis hakim (dissenting opinion); (iii)
pertanggungjawaban hukum baik eksklusif maupun inklusif. Untuk tanggungjawab
eksklusif lembaga kehakiman ikut bertanggungjawab atas kekeliruan hakim dalam
melaksanakan tugasnya kepada publik, sedangkan tanggungjawab inklusif hanya
dibebankan kepada hakim; (iv) pertanggungjawaban hukum yang bersifat
individual, yaitu tanggungjawab hakim terhadap ketentuan-ketentuan pidana
termasuk korupsi, perdata, serta disiplin dan kode etik profesi.
Sekalipun
tidak bertanggung jawab kepada lembaga negara lain, pertanggungjawaban
kekuasaan kehakiman yang merdeka kepada publik merupakan keniscayaan. Lalu,
bagaimana kaitan antara pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan
pertanggungjawaban kepada publik?. Undang-Undang No 5 Tahun 2004 disahkan
sekitar empat bulan setelah pengesahan Undang-Undang No 24 Tahun 2003,
Undang-Undang No 5 Tahun 2004 tidak mencantumkan masalah tanggung jawab dan
akuntabilitas Mahkamah Agung sedangkan dalam BAB III Bagian Kedua Pasal 12-14
Undang-Undang No 24 Tahun 2003 secara eksplisit ditentukan: pertama,
Mahkamag Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia,
administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang
baik dan bersih; kedua, Mahkamah Konstitusi wajib
mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara terbuka
mengenai: (a) permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus;
(b) pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya. Laporan
tersebut dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi;
dan ketiga, masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan
Mahkamag Konstitusi.
Tanpa
pencantuman dalam undang-undang bukan berarti tidak ada upaya untuk memperbaiki
kinerja (performance) Mahkamah Agung. Misalnya, sebagai bagian dari
strategi untuk melakukan pembaharuan, Mahkamah Agung telah menetapkan visi dan
misi organisasinya, yaitu: Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan
kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik,
profesional dan memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan
biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik.
Dan Untuk mencapai visi tersebut, Mahkamah Agung menetapkan
misi-misi sebagai berikut: [28]
1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-undang
dan eraturan serta memenuhi rasa keadilan masyarakat;
2. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen serta
bebas dari campur tangan pihak lain;
3. Memperbaiki akses bidang eradilan kepada masyarakat;
4. Memperbaiki kualitas input internal pada proses
peradilan;
5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien,
bermartabat dan dihormati;
6. Melaksanakan kekuasaan ehakiman yang mandiri, tidak
memihak dan transparan.
Sayang, kata-kata indah yang terdapat dalam visi dan misi
tersebut tidak mampu memberi ruang pertanggungjawaban publik yang memadai.
Sejauh yang bisa diamati, banyak informasi yang tidak terkait dengan
independensi hakim dalam memutus perkara (substantive independence)
begitu sulit disentuh publik. Misalnya menyangkut berita acara persidangan,
biaya yang diperlukan dalam proses berperkara, dan jumlah serta penggunaan
anggaran pengadilan satu periode tertentu. Padahal, semua informasi tersebut
tidak terkait dengan substantive independence hakim.
Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual
ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan
kekuasaan kehakiman, yaitu:[29]
1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan
keadilan
2.Tidak seorang pun termasuk pemerintah
dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim,
dan
3. Tidak boleh ada konsekuensi terhadap
pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.Kebebasan hakim
dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan
harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak yang dapat mengintervensi
hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim dalam menjatuhkan putusan, harus
mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaian dengan perkara yang sedang
diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai
kepentingan pihak korban maupun keluarga serta mempertimbangkan pula rasa
keadilan masyarakat. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, hal ini akan
mendukung kinerja hakim dalam memutus perkara yang dihadapkan kepadanya memutus
perkara yang dihadapkan kepadanya. Hakim dalam persidangan harus memperhatikan
asas-asas peradilan dengan tujuan, agar putusan dijatuhkan secara obyektif
tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau pihak lain dengan menjunjung
tinggi prinsip.[30] Selain itu, hakim juga
tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpati ataupun antipati
kepada pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku.[31]
Kebebasan dan kemandirian hakim bukanlah kebebasan tanpa
batas. Namun terdapat Kode Etik Profesi Hakim yang harus dijadikan pedoman bagi
hakim dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, untuk menciptakan penegakan
hukum yang berkeadilan maka hakim diharuskan mempunyai sifat-sifat, yaitu :[32]
1. Kartika, yaitu memiliki sifat percaya dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2. Cakra, yaitu sifat mampu memusnahkan segala
kebathilan, kezaliman dan ketidakadilan.
3. Candra,. yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa.
4. Sari, yaitu berbudi luhur dan berkelakuan tidak
tercela.
5. Tirta, yaitu sifat jujur.
Selain
sifat-sifat “Panca Dharma Hakim” di atas, selain itu kebebasan hakim sebagai
penegak hukum haruslah dikaitkan dengan :[33]
1. Akuntabilitas
2. Integritas moral
dan etika
3. Transparansi
4. Pengawasan (control)
5. Profesionalisme
dan impartialitas.
Tugas terpenting seorang hakim yaitu menjatuhkan putusan
terhadap kasus yang diterima dan diperiksanya. Putusan hakim akan terasa begitu
dihargai dan mempunyai nilai kewibawaan, jika putusan tersebut merefleksikan
rasa keadilan hukum masyarakat dan juga merupakan sarana bagi masyarakat
pencari keadilan untuk mendapat kebenaran dan keadilan.[34] Maka, dalam putusannya
hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, sosiologis dan
filosofis, sehingga keadilan yang ingin dicapai dapat terwujud, dan
dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim yang berkeadilan dan berorientasi
pada keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social
justice), dan keadilan moral (moral justice).[35]
Menurut Lubet,
bahwa independensi yudisial mengandung nilai-nilai dasar: fairness,
impartiality, dan good faith. Hakim yang
independen akan memberikan kesempatan yang sama dan terbuka kepada
setiap pihak untuk didengar tanpa mengaitkannya
dengan identitas atau kedudukan sosial pihak-pihak tersebut. Seorang hakim yang independen akan
bersikap imparsial, bebas dari pengaruh yang tak berhubungan dan kebal dari
tekanan pihak luar. Seorang hakim yang independen memutus berdasarkan kejujuran (good faith), berdasarkan hukum
sebagaimana yang diketahuinya, tanpa
menghiraukan akibat yang bersifat personal, politis ataupun finansial. [36]
Sementara itu di dalam The International Bar Association Code of
Minimum Standrads of Judicial Independence, 1987 menyebutkan batasan-batasan dari kemerdekaan yudisial yang
meliputi kemerdekaan personal,
kemerdekaan substantif, kemerdekaan in-ternal,
dan kemerdekaan kolektif. Kemerdekaan personal mensyaratkan bahwa pengisian jabatan hakim, termasuk pengangkatan, pemindahan, pemensiunan, dan penggajian tidak ditetapkan oleh dan di
bawah keputusan eksekutif. Kemerdekaan substantif mensyaratkan seorang
hakim harus memberi putusan sendiri atas dasar penalaran atau argumentasi hukum sendiri, bukan atas dasar pe-nalaran orang lain. Kemerdekaan internal
berarti seorang hakim harus
mampu mengambil putusan tanpa campur tangan kolega atau atasannya. Kemerdekaan kolektif mengacu pada fakta
bahwa suatu pengadilan adalah suatu badan
atau lembaga yang tidak bergantung
pada kekuasaan pemerintahan yang lain.[37]
Harold See menyebutkan adanya dua
perspektif dalam memandang independensi
yudisial. Pertama, perspektif pemisahan kekuasaan dalam bentuk kemerdekaan
kelembagaan (institutional independence)
kekuasaan kehakiman dari cabang pemerintahan
lainnya. Aspeknya termasuk organisatoris, administrasi,
personalia, dan finansial. Kedua, perspektif demokrasi berupa kemerdekaan dalam membuat putusan (decisional independence). Hal ini berkaitan dengan kewajiban khusus dari
pengadilan terhadap negara hukum.
Peradilan bukan hanya salah satu cabang pemerintahan dalam kekuasaan kehakiman, tetapi melaksanakan fungsi untuk menjamin terwujudnya negara hukum.
Di dalamnya terdapat perlindungan
atas kemerdekaan hakim dalam memutus dari pengaruh berbagai kepentingan. [38]
Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada
siapapun juga walaupun itu keluarganya, kalau sudah dalam sidang semuanya
diperlakukan sama. Hakim harus berpegang kepada Tri Parasetya Hakim Indonesia.
Hakim harus dapat membedakan antar sikap kedinasan sebagai jabatannya sebagai
pejabat negara yang bertugas menegakkan keadilan dengan sikap hidup sehari-hari
sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat. Untuk membedakan itu hakim
mempunyai kode etik sendiri bagaimana supaya dia dapat mengambil sikap. Zaman
sekarang kadang-kadang hakim salah menempatkan sikapnya, yang seharusnya sikap
itu harus dilingkungan keluarga, ia bawa waktu persidangan. Ini tentunya akan
mempengaruhi putusan. Hakim tidak lain adalah seorang manusia, oleh karena itu
sebagai manusia dia sudah seharusnya dan wajib menempatkan dirinya atau
posisinya sebagai apa, dimana, dan untuk apa, hal ini merupakan salah satu yang
membedakannya dengan makluk seperti hewan, dengan kata lain sebagai manusia
memiliki tidak satu kedudukan dan peranan, oleh karena itu dia harus tahu dan
membedakan peranan-peranan yang diembannya tersebut.
Tegaknya hukum dan keadilan menjadi prasyarat tegaknya
martabat dan integritas Hakim sebagai aktor utama atau figure sentral dalam
proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara
integritas, kecerdasan dan meningkatkan
profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh sebab itu, semua
wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka
menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak
membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana
setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim. Wewenang dan tugas
hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga
putusan pengadilan yang diucapkan dengan frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan
kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggung
jawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.[39]
Setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai
yang dijunjung untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang
bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim di Indonesia, dimana
terdapat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di
Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai
pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata
tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya.[40]
Tanggung jawab hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa artinya
telah melaksanakan peradilan sesuai dengan amanat Tuhan yang diberikan kepada
manusia, menurut hukum kodrat manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui
suara hati nuraninya. Karena pada dasarnya tidak ada kebebasan mutlak tanpa
tanggung jawab, dengan kata lain independency
of judiciary haruslah diimbangi dengan pasanganya yaitu judicia accountability. Dan yang perlu
disadari adalah social accountanbility yaitu pertanggungjawaban pada masyarakat
karena pada dasarnya tugas-tugas peradilan maupun badan-badan kehakiman
melaksanakan public service dibidang keadilan bagi masyarakat yang mencari
keadilan.
Prinsip kekuasaan
kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan,
tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan
lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar
peradilan. Maka untuk itulah dalam
penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditetapkan
syarat batiniah kepada para hakim dalam menjalankan keadilan sebagai suatu
pertanggung jawaban yang lebih berat dan mendalam dalam menginsyafkan
kepadanya, bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya bertanggung jawab
kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi lebih dari itu
harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam undang-undang
ini dirumuskan dengan ketentuan bahwa peradilan dilakukan ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”dan frase ini harus dimuat dalam setiap
putusan hakim. Dari frasa ini
seorang hakim dalam pelaksanaan tugasnya bersifat bebas dan mandiri dalam
melaksanakan aturan hukum dan peristiwa yang terjadi yang diajukan kepadanya.
Sisi
lain dari rambu-rambu akuntabilitas tersebut adalah adanya integritas dan sifat
transparansi dalam penyelenggaraan dan proses memberikan keadilan tersebut, hal
mana harus diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan-putusan badan pengadilan
serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas
putusan-putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga
karenanya putusan-putusan tersebut dapat menjadi objek kajian hukum dalam
komunitas hukum.
F. Kesimpulan
Kedudukan
kekuasaan kehakiman dan hakim sebagai salah satu bagian dari kekuasaan negara
dan penyelenggara negara setelah amandemen Undang Undang Dasar telah memiliki kemerdekaan dan kemandirian, karena sudah tidak
tergantung lagi kekuasaan eksekutif yang meliputi keorganisasian, keuangan,
administrasi yang sebelumnya
tergantung pada eksekutif dan hal tersebut akan berpengaruh pada aspek
yudisial. Suatu kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri merupakan kunci
berfungsinya sistem hukum dengan baik dalam suatu negara hukum. Maka untuk
itulah ditetapkan syarat batiniah kepada para hakim dalam menjalankan keadilan
sebagai suatu pertanggung jawaban yang lebih berat dan mendalam kepadanya,
bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum,
kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi lebih dari itu harus bertanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam undang-undang dirumuskan dengan
ketentuan bahwa peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dari frasa ini seorang hakim dalam pelaksanaan tugasnya bersifat
bebas dan mandiri dalam melaksanakan aturan hukum dan peristiwa yang terjadi
yang diajukan kepadanya.
Prinsip
kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur
tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari
kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar
peradilan. Hukum materiil merupakan batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan
kehakiman yang bersifat relatif. Oleh karena batas normatif yang bersifat
relatif, maka dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan memutuskan
suatu perkara, dalam keadaan tertentu hakim dapat menyimpangi hukum materiil.
Hukum formil atau acara merupakan batas normatif yang bersifat absolut terhadap
kebebasan kekuasaan kehakiman. Oleh karena batas normatif yang bersifat
absolut, maka hukum acara harus dilaksanakan dan tidak boleh disimpangi oleh
hakim dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan memutus suatu perkara.
Pelanggaran terhadap hukum acara mengakibatkan tidak sahnya putusan hakim.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum
oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif ,Jakarta: Sinar Grafika.
Andi
Hamzah, 2006.Hukum Acara Pidana Indonesia ,Jakarta: CV. Shapta artha jaya.
Antonius Sujata, 2000. Reformasi
dan Penegakan Hukum, Jakarta: Djambatan.
Al.
Wisnubroto, 1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia, Yogyakarta: Univ. Atmajaya.
Bintan
R Saragih, 1988.Lembaga perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media
Pratama, Jakarta.
Dahlan
Thaib, 1993. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty,
Yogyakarta.
Djokosoetono, 2006 , Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun
Alrasid, Edisi Revisi, Jakarta: Ind-Hill Co.
E.Utrecht,
1982. Pengantar Hukum Administrasi
Negara Indonesia, Pustaka Tinta Emas, Jakarta.
Goesniadhie, Kusnu, S, 2006, Harmnisasi Hukum Dalam
Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis Suatu Masalah), Surabaya:
JP-Books.
Hendarmin Ranadireksa, 2009.
“Arsitektur Konstitusi Demokratik”,
Bandung.
Franz Magnis-Suseno,
1993, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1976,
Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1989, Susunan
Pembagian Kekuasaan Menurut
Sistem Undang-Undang Dasar
1945, Cet. VI, Jakarta: Gramedia.
Mundiri. 2005. Logika. Jakarta: Rajawali Press.
Miriam Budiardjo,
1994, Kuasa dan Wibawa, Jakarta : Gramedia.
---------------------, 1993. Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Moh.
Mafud MD, 1993.. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press,
Yogyakarta,
----------------------, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum
diIndonesia, Jakarta: Gramedia.
Pontang Moerad,
2005.Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana
,Bandung: Alumni.
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta:
Kencana.
Sudikno
Mertokusumo.2008,Mengenal Hukum suatu pengantar. Yogyakarta:Liberty,
---------------------------.
2006.Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:
Liberty,
Sudikno
Mertokusumo dan Pitlo, 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum Yogyakarta: Citra
Aditya Bakti.
Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni,Bandung.
---------------, 1986, Bunga Rampai Hukum
Tata Negara, Mandar
Maju.,
Bandung,
Suhrawardi K. Lubis, 1994.Etika Profesi Hukum, Jakarta :
Sinar Grafika.
Soerjono
Soekanto, 2000. Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soerjono
Soekanto. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Satjipto Raharjo, 2003.Membedah Hukum Progresif ,Jakarta:
Kompas.
B.
Jurnal, Makalah
Jurnal Legislasi, Reformasi Konstitusi:
Perspektif Kekuasaan Kehakiman,Jakarta: Ami Global Media, Maret 2010.
Jurnal Legislasi Indonesia Vol.7,
“Desain Konstitusional Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia” Kementerian Hukum dan HAM RI,
2010.
Abdul Manan, “Kemandirian Lembaga
Peradilan dan Supremasi Hukum di Indonesia” majalah hukum USU,Februari 2004.
Paulus E.
Lotulung, Makalah:
Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan
Hukum, disampaikan pada Seminar Pengembangan Hukum Nasional, BPHN dan
Dep. Kehakiman dan HAM RI. 2003.
Andi Hamzah, Kemandirian
dan Kemerdekaan kekuasaan kehakiman,
Makalah disampaikan pada seminar
pembangunan hukum nasional
VIII, diselenggarakan oleh
Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN), Denpasar 14-18 Juli
2003.
Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, et al., Gagasan Amandemen
UUD 1945 Pemilihan Presiden secara Langsung”, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.
Rizky
Argama,“Tanggung-Jawab-Profesi-Hakim-Sebagai-Aktor-Utama-penyelenggara
kekuasaan kehakiman di Indonesia”, dalam http://pusatpanduan.com/pdf, (8 Maret
2013). S.L. Whitman sebagaimana terdapat pada
"Catatan Kamal Firdaus", Kamal firdaus, Makalah, untuk Diskusi Panel,
Urgensi Undang-Undang Kepresidenan dalam Struktur Ketatanegaraan Republik
Indonesia, FH-UII,2001.
Syamsuhadi, 2000 “Visi dan Misi
Reformasi Hukum dan Keadilan Berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945”. Jakarta.
Warta Pengawasan, “Reformasi Pengawasan”, 1 Maret
2010.
SKB Mahkamah Agung dan
KY Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Tahun 2009.
Tri WidodoW.Utomo, pembatasan kekuasaan pemerintah dan
pemberdayaandemos, internet diakses tanggal 7 Maret 2013
Aidul Fitriciada Azhari, Kekuasaan
Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung jawab di Mahkamah Konstitusi: Upaya
Menemukan Keseimbangan , diakses tanggal
14 Maret 2013.
Kode Etik Profesi Hakim.
Yudhi Setiawan,
pengaturan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri, http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=46,
Undang-Undang
Dasar 1945
Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[1] Suhrawardi K.
Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 1994, hlm. 24-25.
[2] Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian
Hukum. Jakarta: UI Press 1986. hal. 42.
[3] Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum.
Jakarta: Kencana. 2008. hal. 32.
[5] Djokosoetono, Hukum Tata
Negara,dihimpun oleh Harun Alrasid, Edisi Revisi, Jakarta: Ind-Hill Co, 2006, hlm. 95.
[6]. http://fh.wisnuwardhana.ac.id/:norma
kebebasan-kekuasaan-kehakiman-dalam-sistem-konstitusional-ketatanegaraan-&catid=3:artikel-ilmiah&Itemid=14
[7] Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
1976, hlm. 8.
[9] Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan
Pembagian Kekuasaan Menurut
Sistem Undang-Undang Dasar
1945, Cet. VI,Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 27
[10] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 298-301
[11] Yudhi Setiawan, pengaturan kekuasaan kehakiman yang
bebas dan mandiri, http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=46,
hlm. 2.
[12] Ibid.
[13] Andi Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan kekuasaan kehakiman, Makalah disampaikan pada seminar pembangunan hukum
nasional VIII, diselenggarakan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),
Denpasar 14-18 Juli 2003.
[15] pasal 24 A, UUD 1945
[16] Tri WidodoW.Utomo, pembatasan kekuasaan pemerintah dan pemberdayaan,
internet diakses tanggal 7 Maret 2013
[17] Miriam
Budiardjo, Kuasa dan Wibawa, Jakarta :
Gramedia, 1994,hlm. 90-91
[18] Ibid. hal. 4
[19] Pasal 10 The
Universal Declaration of Human Rights
menyatakan: "Everyone is entitled
in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal in the
determination of his rights and obligation of any criminal charge agains him.
[20] Pasal 8 The Universal
Declaration of Human Rights, menyatakan "Everyone has the right
to an effective remedy by the competent national tribunals for act
violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law."
[21] Pasal
25 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, 1). Badan peradilan
yang berada di
bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer,
dan peradilan tata usaha negara.
2) .Peradilan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara pidana dan
perdata sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan. 3). Peradilan
agama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan. 4). Peradilan militer
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus
perkara tindak pidana militer
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. 5). Peradilan tata
usaha negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berwenang
memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengadilan Khusus, Pengadilan Khusus hanya dapat di bentuk dalam
salah satu lingkungan peradilan sebagimana dimaksud dalam pasal 27
Undang-UndangNo. 48 Tahun 2009. Pengadilan khusus,antara lain,adalah pengadilan
anak,pengadilan niaga,pengadilan hak asasi manusia,pengadilan tindak pidana
korupsi,pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum
dan perdilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha (Penjelasan pasal 27 ).
[22]. Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum suatu pengantar. Yogyakarta:
Liberty, 2008, hal.135.
[23]. Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 2006, hal. 20.
[24] Penjelasan UUD 1945 Sebelum
Amandemen.
[25] Mengenai kebebasan hakim sebagaimana dinyatakan dalam hadis, bahwa Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan
seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya,
maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan
dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia
memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka.(HR. Imam
Empat. Hadits
shahih menurut Hakim).
http://www.piss-ktb.com/2012/05/1508-tiga-macam-golongan-hakim.html
[26]. http://fh.wisnuwardhana.ac.id/:norma
kebebasan-kekuasaan-kehakiman-dalam-sistem-konstitusional-ketatanegaraan-&catid=3:artikel-ilmiah&Itemid=14
[27] Goesniadhie,
Kusnu, S, Harmnisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis
Suatu Masalah), (Surabaya: JP-Books,2006), hlm.162.
[29] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh
Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif ,Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.
104.
[30] Pasal 4 Kode Etik Profesi Hakim.
[31] Pasal 4 Kode Etik Profesi Hakim.
[32] Pasal 3 Kode Etik Profesi Hakim.
[33] Paulus E. Lotulung, Makalah: Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum,
disampaikan pada Seminar Pengembangan Hukum Nasional, BPHN dan Dep. Kehakiman
dan HAM RI, 2003.
[34] Ibid
[36] Aidul Fitriciada Azhari, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung
jawab di Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Keseimbangan , diakses tanggal 14 Maret 2013.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[40] Rizky Argama,
Tanggung-Jawab-Profesi-Hakim-Sebagai-Aktor-Utama-Penyelenggara kekuasaan
kehakiman di Indonesia, dalam ttp://pusatpanduan.com/pdf, (8 Mei 2011).
0 komentar:
Posting Komentar