Oleh :
Marsidah, SH.MH
ABSTRAK
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
menyebutkan bahwa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan asas dalam
perjanjian seperti diatur Pasal 1338 ayat (2) KUHPdt mengatur tentang Asas
Kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas untuk membuat isi suatu perjanjian
dan perjanjian tersebut dapat berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak
tersebut. Untuk kalangan pengusaha yang tak ingin sengketa mereka diketahui
banyak orang, maka Forum Arbitrase diakui memberikan jaminan kerahasiaan
terhadap para pihak, baik selama proses
pemeriksaan berlangsung bahkan sampai dengan setelah putusan dijatuhkan.
Kesepakatan untuk memilih Forum Arbitrase, dapat dilakukan melalui dua cara :
dengan factum de compromittendo,
yaitu kesepakatan arbitrase dicantumkan dalam perjanjian pokok sebelum terjadi
sengketa dan dengan akta kompromis yaitu, kesepakatan arbitrase dibuat dalam
bentuk tertulis, terpisah dari perjanjian pokok sesudah terjadi sengketa. Permasalahan
yang akan diteliti dalam penelitian ini
adalah : bagaimanakah kekuatan hukum terhadap keputusan sengketa kontrak
yang diselesaikan diluar pengadilan melalui lembaga arbitrase. Adapun jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif
tertulis berupa hukum positif yaitu Undang-Undang Arbitrase dan Buku Ke III
KUHPdt tentang Perikatan. Sejalan dengan permasalahan yang diteliti, maka
prosedur/cara penyelesaian sengketa kontrak bisnis melalui arbitrase dari tahap
pendaftaran ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sampai dengan
keputusan dari Majelis Arbitrase diatur dalam Pasal 27 sampai dengan 60
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian
sengketa bisnis melalui arbitrase adalah pemohon (claimant) dan termohon
(respondent) yaitu pengusaha besar, menengah dan kecil, serta arbiter.
Keputusan lembaga arbitrase, menurut ketentuan Pasal 60 Undang-Undang ini bersifat
final dan mengikat bagi para pihak dan para pihak harus terikat dalam putusan
arbitrase tersebut, walaupun pada tahap eksekusinya masih memerlukan
keterlibatan pengadilan Negeri.
Kata kunci : Sengketa, bisnis, arbitrase
A. Latar Belakang
Interaksi
antar manusia yang berlangsung secara terus menerus dilakukan dalam rangka
memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidup. Oleh karena itu, menjadi sifat
pembawaan setiap manusia untuk selalu hidup dalam masyarakat, sebab manusia
tidak mungkin hidup tanpa masyarakat, dan sebaliknya masyarakat juga tidak
mungkin ada tanpa manusia. Namun demikian mengingat kepentingan manusia itu
sangat banyak dan beragam, maka di dalam melakukan interaksi satu sama lain,
manusia selalu dihadapkan pada potensi-potensi untuk terjadi konflik atau
sengketa. Hal ini dapat terjadi karena kepentingan manusia tidak jarang saling
bertentangan satu dengan yang lainnya. Potensi untuk timbulnya sengketa antar
manusia tentu saja tak boleh dibiarkan berlangsung terus, melainkan harus
dicegah sebab konflik akan mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh
karena itu, ketika konflik terjadi dan menyebabkan keseimbangan tatanan
masyarakat terganggu, maka terjadinya ketidakseimbangan tersebut harus
dipulihkan kembali seperti keadaan semula (restitution In Integrum).[1]
Sama
seperti kepentingan hidup manusia, sengketa juga banyak ragamnya, demikian pula
faktor yang menyebabkan terjadinya maupun objek yang disengketakan di dalam
masyarakat. Salah satu sengketa yang banyak terjadi saat ini adalah sengketa
bisnis.yang semakin baik dan laju dinamis dunia bisnis saat ini berlangsung
demikian pesat. Dinamika dan kepesatan yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi
dan bisnis itu ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap
pranata maupun lembaga hukum.[2]
Implikasi terhadap pranata hukum disebabkan sangat tidak memadainya perangkat
norma untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang sedemikian pesat.
Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan melakukan reformasi
hukum di bidang kegiatan ekonomi. Berbagai upaya dilakukan melalui pembaharuan
atas substansi produk-produk hukum yang sudah tertinggal maupun dengan membuat
peraturan perundang-undangan baru mengenai bidang-bidang yang menunjang
kegiatan ekonomi dan bisnis.
Sementara
itu, implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat
juga terhadap pengadilan yang dianggap tidak profesional untuk menangani
sengketa-sengketa bisnis, tidak independen, bahkan para hakimnya telah
kehilangan integritas moral dalam menjalankan profesinya. Akibatnya, lembaga
pengadilan yang secara konkret mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan
keadilan ketika menerima, memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan setiap
sengketa yang diajukan, dianggap sebagai tempat menyelesaikan sengketa yang
tidak efektif dan efisien.
Gambaran
tentang kondisi pengadilan semacam itulah yang selama ini dipahami oleh
kalangan pengusaha, terutama pengusaha asing yang berbisnis di Indonesia. Di
samping itu masih ditambah pula dengan kondisi objektif lainnya dari proses
penyelesaian sengketa di pengadilan, yaitu bahwa menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan di Indonesia sesungguhnya merupakan rangkaian yang sangat panjang
dari sebuah proses upaya pencarian keadilan. Oleh karena itu, dapat dimengerti
apabila kalangan dunia usaha, terutama pengusaha asing, yang senantiasa
mengupayakan segala urusan dengan serba cepat, ketika menghadapi sengketa akan
berusaha memilih forum penyelesaian sengketa yang menurut kriteria mereka lebih
dapat dipercaya dan sesuai dengan budaya bisnis. Forum penyelesaian sengketa
dimaksud biasanya memiliki karakteristik : menjamin kerahasiaan materi
sengketa, para pihak yang bersengketa mempunyai kedaulatan untuk menetapkan
arbiter, tempat prosedur beracara, dan materi hukum, melibatkan pakar-pakar
(arbiter) yang ahli dalam bidangnya, prosedurnya sederhana dan cepat, dan
putusan forum tersebut merupakan putusan yang terakhir serta mengikat (final and binding). Di samping itu,
faktor yang tidak kalah penting adalah putusan dari forum tersebut, baik
sengaja maupun tidak sengaja, sama sekali tidak terpublikasikan kepada khalayak
secara luas tanpa ijin para pihak yang bersengketa. Adapun forum penyelesaian
sengketa yang karakteristiknya semacam itu tidak lain adalah forum arbitrase (arbitration).
Sebagai
salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan, forum
arbitrase bukan sesuatu yang baru dalam sistem penyelesaian sengketa hukum di
Indonesia. Di masa lalu, arbitrase kurang menarik perhatian dan kurang populer
walaupun sesungguhnya sudah lama diatur dalam sistem hukum di Indonesia. Bahkan
pada kurun awal kemerdekaan Indonesia, arbitrase pun telah lazim dipraktikan di
kalangan para usahawan.
Dewasa
ini, arbitrase dipandang sebagai aturan hukum yang penting sebagai salah satu cara
penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan. Bahkan meningkatnya peranan
arbitrase pun bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga, baik nasional
maupun internasional. Kompleksitas dan tingginya persaingan di dalam transaksi
niaga, baik nasional maupun internasional tersebut sangat berpotensi
menimbulkan sengketa. Beragam sengketa yang timbul dari kegiatan bisnis atau
aktivitas komersial itu secara umum dapat disebut sebagai sengketa bisnis atau
sengketa komersial (selanjutnya disebut dengan sengketa komersial). Demikian
luasnya pengertian komersial sehingga meliputi seluruh aspek kegiatan bisnis.
Di
Indonesia arbitrase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang mana
dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat tertulis oleh pihak yang sengketa.
Penyelesaian
sengketa kontrak yang dilakukan oleh para pihak yang dilakukan di luar
pengadilan dalam hal ini melalui lembaga arbitrase, diharapkan para pihak
tersebut dapat mengikat bagi keduanya sehingga timbul kekuatan hukum.
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam
penelitian ini adalah Bagaimanakah kekuatan hukum terhadap keputusan sengketa
kontrak / perjanjian yang diselesaikan melalui lembaga arbitrase ( di luar
pengadilan ) menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ?
.
B. Metode Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis
normatif. Pendekatan yuridis adalah pendekatan terhadap masalah dengan cara
melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya tentang
yang mengatur penyelesaian sengketa bisnis
dilua pengadilan melalui Arbitrase. Normatif adalah pendekatan yang
menggunakan data sekunder dengan penyusunan kerangka secara konsepsional.
Penelitian normatif dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum berupa
teori-teori, konsep-konsep dan asas-asas hukum yang diperoleh dari kepustakaan
antara lain buku-buku, dokumen, artikel, serta literatur lainnya , peraturan
perundangan yaitu UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase, KUHPerdata, dan peraturan
hukum lainnya yang berkaitan dengan permasalahan.
C.
Pembahasan
1.
Pengertian dan
Pengaturan Arbitrase
Priyatna
Abdurrasyid menyimpulkan bentuk alternatif penyelesaian adalah mediation, conciliation, disputes
prevention, binding opinion, valuation, appraisal, special masters, masters,
ombudsmen, mini trial, private judges, summary jury trial, quality arbitration
atau arbitration. Namun, saat ini yang paling umum bentuk-bentuk alternatif
penyelesaian sengketa[3]
(ADR) yang dilakukan adalah :
1.
Negosiasi.
2.
Mediasi.
3.
Konsiliasi.
4.
Arbitrase.
Keempat
bentuk penyelesaian sengketa di atas dilakukan di luar pengadilan, yang
memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung yang mana lebih disukai atau
dianggap cocok oleh para pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang
mereka hadapi.
Keputusan
untuk menggunakan metode ADR tergantung kepada kebijaksanaan para pihak, hanya
saja paling tidak memerlukan dua pertimbangan yaitu bahwa prosedur ADR lebih
tepat guna daripada prosedur hukum biasa, dan menentukan mana yang paling tepat
untuk jenis sengketa yang dihadapi. Dalam penelitian ini penulis akan membahas
khusus yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa kontrak bisnis diluar pengadilan melalui Arbitrase.
Arbitrase
berasal dari kata arbitrate (bahasa
latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut
kebijaksanaan. Menurut Frank Elkoury dan Edna Elkoury, Arbitration adalah suatu
proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang
ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan
dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para
pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan
mengikat.
Alternatif
lain yang biasanya dan sering dilakukan oleh kalangan pengusaha untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi saat ini adalah melalui lembaga arbitrase.
Sebab penyelesaian melalui lembaga arbitrase ini mempunyai karakteristik
sendiri yang bagi dunia usaha sangat dibutuhkan keberadaannya. Tetapi banyak
pula kaum usahawan yang belum mengetahui seluk beluk pemakaian lembaga
arbitrase, padahal menurut sejarahnya arbitrase dibentuk oleh kalangan usahawan
sendiri untuk menyelesaikan kemungkinan sengketa yang timbul.
Sebelum
mengetahui kegunaan lembaga arbitrase, ada baiknya kita ketahui dahulu apa
pengertian arbitrase dan bagaimana ketentuan yang mengaturnya. Kata Arbitrase
sebenarnya berasal dari bahasa latin arbitrare,
yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.
Kebijaksanaan yang dimaksud tidaklah berarti tidak mengindahkan norma-norma
hukum dan semata-mata hanya bersandarkan kebijaksanaan saja.
Subekti
mengatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara)
oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk
oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan.
Dengan demikian, pada dasarnya arbitrase ini merupakan suatu proses
penyelesaian sengketa para pihak yang dilakukan secara musyawarah dengan
menunjuk pihak ketiga sebagai wasit, hal mana dituangkan dalam salah satu
bagian kontrak.
Menurut
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian satu
perkara perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. (Pasal
1 Angka 1).
Dari
beberapa pengertian yang disampaikan di atas pada dasarnya memiliki kesamaan
bahwa arbitrase adalah perjanjian perdata dimana para pihak sepakat untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa mereka yang mungkin akan timbul dikemudian hari
diputuskan oleh seorang ketiga atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa
orang wasit (arbiter) yang
bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan
melalui pengadilan tetapi secara musyawarah dengan menunjuk pihak ketiga, hal
mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak.
Dalam
kegiatan bisnis saat ini penyelesaian
sengketa melalui lembaga arbitrase lebih sering digunakan, terutama pada
kontrak-kontrak dagang internasional, ada beberapa alasan mengapa para pihak
menggunakan badan ini,[4]
yaitu :
1.
Adanya kebebasan, kepercayaan dan keamanan
Arbitrase
pada umumnya menarik bagi para pengusaha, pedagang, dan investor sebab
memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada mereka, secara relatif
memberikan rasa aman terhadap keadaan tidak menentu dan ketidakpastian
sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda, juga kemungkinan keputusan Hakim
yang berat sebelah yang melindungi kepentingan (pihak) lokal dari mereka yang
terlibat dalam suatu perkara.
2.
Wasit arbiter memiliki keahlian (expertise)
Para pihak
seringkali memilih arbitrase, karena mereka memiliki kepercayaan yang lebih
besar pada keahlian arbiter mengenai persoalan yang dipersengketakan
dibandingkan jika mereka menyerahkan penyelesaian kepada pihak pengadilan yang
telah ditentukan.
3.
Lebih cepat dan hemat biaya
Proses
pengambilan keputusan, arbitrase seringkali lebih cepat, tidak terlalu formal,
dan lebih murah daripada proses litigasi di pengadilan. Dikatakan lebih cepat,
karena para pihak tidak harus menunggu dalam proses antrean proses litigasi,
seperti adanya pemeriksaan pendahuluan, sementara perkara berlangsung para
pihak masih tetap dapat menjalankan usahanya dan tidak merasakan kekecewaan dan
ketidakpuasan yang terjadi dalam proses litigasi. Selain itu, dalam proses
arbitrase tidak dimungkinkan banding atau kasasi, putusan bersifat final dan
mengikat (Final and Binding).
4.
Bersifat rahasia
Proses
pengambilan keputusan dalam lingkungan arbitrase bersifat privat dan bukan
bersifat umum, sehingga hanya para pihak yang bersengketa saja yang tahu. Sifat
rahasia arbitrase ini dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak
diinginkan atau merugikan akibat penyingkapan informasi bisnis kepada umum.
5.
Adanya kepekaan arbiter/wasit
Dalam
mengambil keputusan pengadilan seringkali memanfaatkan sengketa privat sebagai
tempat untuk menonjolkan nilai-nilai masyarakat, akibatnya, dalam menyelesaikan
sengketa privat yang ditanganinya pertimbangan Hakim sering mengutamakan
kepentingan umum, sedangkan kepentingan privat/pribadi merupakan pertimbangan
kedua. Pada arbitrase pada umumnya menerapkan pola nilai-nilai secara terbalik,
yaitu arbiter dalam pengambilan keputusan lebih mungkin mempertimbangkan
sengketa sebagai bersifat privat daripada bersifat publik/umum.
6.
Bersifat Non-preseden
Pada umumnya
putusan arbitrase tidak memiliki nilai atau sifat preseden, oleh karena itu
untuk perkara yang serupa mungkin saja dihasilkan keputusan arbitrase yang
berbeda.
7.
Pelaksanaan putusan lebih mudah dilaksanakan.
Sejak tahun 1999 Indonesia telah
mempunyai undang-undang sebagai landasan hukum penggunaan lembaga arbitrase
yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang mulai berlaku tanggal 12 Agustus 1999. Undang-Undang
ini sebagai pengganti Pasal 615 sampai Pasal 651 Reglement Acara Perdata (Reglement of de Rechtsvoerdering, Staatsblad
1847 : 52). Undang-Undang tersebut mengatur mengenai penyelesaian suatu
sengketa antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah
mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua
sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan
hukum akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif
penyelesaian sengketa. Terhadap para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase, maka tidak ada lagi kewenangan Pengadilan Negeri untuk mengadili
sengketa yang timbul dari para pihak tersebut.
Sengketa
atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Penyelesaian
sengketa dimaksud diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dan
hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
2. Pihak-Pihak dalam Arbitrase
Pada
dasarnya pihak-pihak berperkara dalam proses arbitrase tidak berbeda dengan
pihak-pihak dalam sengketa perdata pada umumnya di Pengadilan Negeri, yaitu
sekurang-kurangnya terdapat dua pihak. Yang berbeda adalah persoalan istilah
penyebutan pihak-pihak yang berperkara. Para pihak dalam sengketa perdata pada
Pengadilan Negeri disebut penggugat dan tergugat. Sedangkan dalam proses
pemeriksaan sengketa pada forum arbitrase penyebutan pihak-pihak dalam perkara
sedikit berbeda. Penyebutan pihak-pihak dalam forum arbitrase telah dibakukan
dan standar, baik dalam literatur maupun dalam arbitration rules. Sebutan untuk
pihak yang membuat tuntutan adalah “claimant”
sedangkan sebutan untuk pihak tertuntut adalah “respondent”. Sementara itu di dalam Peraturan Prosedur Arbitrase (PPA)
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau dikenal dengan BANI Rules, pihak-pihak yang bersengketa
disebut dengan istilah “pemohon” untuk “claimant”
dan “termohon” untuk “respondent”
dalam forum arbitrase kurang sejalan dengan sifat penyelesaian perkara dalam
forum arbitrase itu sendiri yang tergolong “jurisdiction
contentiosa”. Oleh karena istilah pemohon dan termohon itu lebih tepat
digunakan untuk kasus-kasus yang sifatnya tidak mengandung sengketa atau
termasuk dalam “jurisdiction voluntaria”. Walaupun sebenarnya istilah sukarela
untuk jurisdiction voluntaria itupun kurang tepat, karena pada dasarnya
peradilan voluntaria pun sesungguhnya bersifat sukarela. Bukankah ada tidaknya
suatu perkara yang masuk untuk diperiksa di pengadilan itupun terserah kepada
pihak yang berkepentingan untuk mengajukan atau tidak tuntutan haknya, baik
berupa permohonan maupun gugatan ke pengadilan. Artinya, diajukan tidaknya
suatu tuntutan hak ke pengadilan sepenuhnya terserah kepada pihak yang
berkepentingan.
Memang
diakui bahwa arbitrase sendiri merupakan badan volunteer, karena sebagai
lembaga swasta jurisdiksi arbitrase lahir berdasarkan kesepakatan sukarela dari
para pihak. Namun demikian, sekalipun kelahiran atau eksistensi arbitrase
bersifat volunteer, sekali forum arbitrase lahir, forum tersebut formal dan
legal sebagai badan kuasa yang berwenang mutlak untuk menyelesaikan dan memutus
sengketa. Oleh karena itu, tidak tepat juga untuk mengidentikkan sifat
keberadaan volunternya dengan sifat persengketaan. Sifat permasalahan
persengketaan tetap saja berbobot contentiosa, tidak berubah menjadi gugat yang
berbobot volunteer. Demikian pula jika ditinjau dari segi doktrin dan tata
tertib beracara, menggunakan istilah pemohon dan termohon untuk menyebut para
pihak dalam perkara pada forum arbitrase sangat tidak sesuai. Penyebutan
pihak-pihak dengan istilah itu memberi kesan seolah-olah perkara yang diajukan
kepada forum arbitrase bersifat volunter dan putusan yang dapat dijatuhkan
hanya bersifat “declaratoir”. Padahal arbitrase mempunyai wewenang penuh untuk
menjatuhkan putusan yang mengandung amar condemnatoir.
Faktor
lain yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak dalam forum arbitrase
menyangkut masalah kualifikasi cakap menurut hukum. Mengingat forum arbitrase
itu terbentuk atas dasar kesepakatan para pihak, baik melalui “pactum de compomittendo” maupun “akta
kompromis”, maka sebelum men jadi claimant
maupun respondent, pihak-pihak yang
hendak berperkara dihadapan forum arbitrase tentu saja harus tergolong cakap
untuk membuat suatu kontrak. Seseorang yang dianggap cakap menurut hukum untuk
melakukan perbuatan hukum apapun, maka yang bersangkutan mutatis mutandis akan tergolong cakap pula untuk menjadi pihak
dalam forum arbitrase. Artinya, setiap orang dewasa yang sehat pikirannya serta
tidak dikecualikan oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum, maka
orang tersebut dapat menjadi pihak di dalam sengketa di depan forum arbitrase.
Sama juga dengan pihak-pihak dalam perkara perdata pada Pengadilan Negeri, di
dalam forum arbitrase juga dikenal ada istilah pihak materiil dan pihak formal.
Sengketa atau
beda pendapat perdata dapat di selesaikan oleh para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa
tersebut diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dan hasilnya
dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
Alternatif
lain penyelesaian sengketa diluar pengadilan tersebut, biasanya sering
dilakukan oleh kalangan pengusaha yang terjadi saat ini adalah melalui lembaga
arbitrase. Lembaga arbitrase merupakan jalur musyawarah yang melibatkan pihak
ketiga sebagai wasitnya.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase,
arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Para pihak dalam perjanjian yang menghendaki agar
penyelesaian sengketa yang timbul akan diselesaikan dengan arbitrase dapat
mempergunakan salah satu dari dua cara yang dapat membuka jalan timbulnya
perwasitan yaitu :
a.
Factum de
compromittendo adalah dengan mencantumkan klausul dalam perjanjian pokok,
yang berisi bahwa penyelesaian sengketa yang mungkin timbul akan diselesaikan
dengan peradilan wasit.
b.
Akta kompromis, yaitu dibuat dengan perjanjian
tersendiri di luar perjanjian pokok. Perjanjian ini dibuat secara khusus bila
telah timbul sengketa dalam melaksanakan perjanjian pokok.
Dalam
prakteknya ada dua macam arbitrase, yaitu :
1.
Arbitrase ad-hoc
volunteer yaitu suatu majelis wasit (arbiter) atau wasit tunggal yang di
dalam menjalankan tugasnya hanya sekali saja, setelah itu bubar.
2.
Arbitrase permanen (permanen body arbitration) adalah suatu badan arbitrase yang
mempunyai peraturan atau prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa di
Indonesia. Badan Arbitrase tersebut disebut BANI.
3. Kekuatan Hukum Terhadap Keputusan Sengketa
Kontrak yang Diselesaikan Melalui Lembaga Arbitrase (Diluar Pengadilan) Menurut
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Setiap
perkara perdata yang diajukan oleh para pihak kepada pengadilan, tujuannya
untuk mendapatkan penyelesaian. Oleh karena itu, setiap pemeriksaan perkara
akan diakhiri dengan putusan.
Eksekusi
putusan adalah realisasi kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi
prestasi yang tercantum di dalam putusan tersebut. Baik putusan Hakim maupun
putusan arbitrase, pada dasarnya memiliki makna yang tidak jauh berbeda, kedua
putusan tersebut mengenal yang dinamakan putusan akhir.[5]
Putusan – Pengadilan Negeri bersifat terbuka, karena seluruh proses acara
persidangan sifatnya terbuka untuk umum, sehingga putusan Hakim harus diucapkan
dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Apabila tidak diucapkan dalam
sidang terbuka, berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Sedangkan
putusan yang diucapkan dalam perkara arbitrase dilakukan dalam sidang tertutup,
karena itu putusan arbitrase tidak boleh
dipublikasikan. Putusan arbitrase dapat dikatakan sebagai putusan yang telah
memiliki status dan kekuatan hukum yang setara dengan putusan Hakim.
Arbiter
atau majelis arbiter akan mengambil keputusan berdasarkan keadilan dan
kepatutan, dan putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
setelah pemeriksaan ditutup.
Dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan
diucapkan lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase, diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal
59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
Setiap
putusan Hakim termasuk di dalamnya putusan arbitrase, pada prinsipnya mempunyai
3 (tiga) macam kekuatan :
1.
Kekuatan mengikat;
2.
Kekuatan pembuktian;
3.
Kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk
dilaksanakan.
Setiap
putusan Hakim maupun putusan arbitrase pada dasarnya hukum yang mengikat
terhadap para pihak yang bersangkutan tersebut. Hal ini sejalan yang ditentukan
dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
mengikat para pihak. Dengan demikian putusan arbitrase sudah dapat diajukan
banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Suatu
putusan Hakim yang telah dijatuhkan harus dihormati kedua belah pihak. Salah
satu pihak tidak boleh bertentangan dengan putusan. Oleh karena itu, untuk
mentaati suatu putusan dapat dipaksakan melalui lembaga eksekusi. Putusan yang
telah memperolehkekuatan hukum yang tetap dapat di eksekusi, artinya telah
memiliki kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan. Kekuatan
mengikat suatu putusan belum memiliki arti apapun bagi pihak-pihak yang
bersangkutan apabila putusan tersebut tidak dapat di eksekusi. Eksekusi
merupakan tindakan paksa yang dilakukan oleh pengadilan dengan bantuan
alat-alat Negara dalam rangka menjalankan putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Tindakan
paksa baru akan dipilih apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau
memenuhi putusan secara sukarela. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa dalam hal para pihak
tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan
berdasarkan perintis Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak
yang bersengketa.
Dalam
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa apabila putusan
arbitrase yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat
para pihak itu apabila ternyata mengandung kesalahan atau kekeliruan diberi
jalan keluar melalui permohonan koreksi putusan yang dapat diajukan para pihak.
Koreksi putusan dapat diajukan kepada arbiter atau majelis arbiter dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima oleh para pihak.
Berdasarkan
uraian di atas, bahwa keputusan arbitrase mempunyai kedudukan sejajar serta
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan Hakim dan mengikat bagi para
pihak. Namun dalam tahap eksekusinya putusan arbitrase masih tergantung pada
kewenangan Pengadilan Negeri.
D. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa kontrak melalui
Forum Arbitrase dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : (a) Dengan factum de compromittendo, sebelum
terjadi sengketa klausula arbitrase telah dicantumkan dalam perjanjian pokok,
(b) Dengan akta kompromis setelah terjadi sengketa klausula arbitrase dibuat
dalam bentuk tertulis terpisah dari perjanjian pokok. Sedangkan proses
penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase menurut Pasal 27 sampai dengan
60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pemohon melakukan pendaftaran ke BANI
dengan melengkapi syarat administrasi, uraian lengkap perkara dan tuntutan,
dengan melampirkan akta perjanjian yang menurut klausula arbitrase dan pemohon
menunjuk seorang arbiter. Berdasarkan ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 bahwa keputusan lembaga arbitrase bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, para pihak harus terikat dalam
putusan arbitrase tersebut, walaupun pada tahap eksekusinya masih memerlukan
keterlibatan Pengadilan Negeri .
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
:
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1983.
Eman
Suparma, Arbitrase dan Dilema Penegakan
Keadilan, PT. Fikahati Aneka (BANI Arbitration
Centre), Jakarta, 2012.
Felik
OS, dan Fatma Jatno, Arbitrase Indonesia
Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan Dalam Praktek, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Garry
Good Pastor, Tinjauan Terhadap
Penyelesaian Sengketa, Dalam Felix OS. (edt) Arbitrase di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1995.
Huala
Adolf dan A. Chandra Wulan, Masalah-Masalah
Hukum Dalam Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1998.
Jhon
M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus
Inggris Indonesia.
Joni
Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa
Diluar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), Kelompok
Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Indralaya, 2000.
------------------,
Hukum Bisnis Indonesia, Literata
Lintas Media, Jakarta, 2007.
M.
Yahya Harahap, Penyelesaian Sengketa
Kontrak Diluar Pengadilan, BPHN, Jakarta, 1996.
Priyatna
Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa
Kontrak Perdagangan Internasional Diluar Pengadilan, Makalah Seminar
Nasional Hukum Bisnis, Fakultas Hukum UKSW, Semarang, 1996.
Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty,
Yogyakarta, 1986.
Satjipto
Raharjo, Pembangunan Hukum di Indonesia
Dalam Konteks Global, Dalam Problema Globalisasi, Perspektif Sosiologi Hukum,
Ekonomi, Agama, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2000.
Peraturan
Perundang-undangan :
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt).
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase.
[2] Satjipto
Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia
dalam Konteks Global, dalam Problema Globalisasi – Perspektif Sosiologi Hukum,
Ekonomi, Agama, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2000, hlm. 13
[3] Priyatna Abdul Rasyid, Penyelesaian sengketa kontrak Perdagangan
Internasional diluar Pengadilan<
Makalah Seminar Nasional hukum, FH UKSW, Semarang, 1999, hlm.12
[4] . Felix OS dan Fatma jatno, Arbitrase Indonesia Beberapa Contoh
Kasus dan Pelaksanaan dalam praktek,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm.19-20
0 komentar:
Posting Komentar