Selasa, 18 Agustus 2015

KEKUATAN HUKUM TERHADAP KEPUTUSAN PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK BISNIS DILUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999


Oleh :
Marsidah, SH.MH

ABSTRAK
            Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase menyebutkan bahwa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan asas dalam perjanjian seperti diatur Pasal 1338 ayat (2) KUHPdt mengatur tentang Asas Kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas untuk membuat isi suatu perjanjian dan perjanjian tersebut dapat berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak tersebut. Untuk kalangan pengusaha yang tak ingin sengketa mereka diketahui banyak orang, maka Forum Arbitrase diakui memberikan jaminan kerahasiaan terhadap para pihak,  baik selama proses pemeriksaan berlangsung bahkan sampai dengan setelah putusan dijatuhkan. Kesepakatan untuk memilih Forum Arbitrase, dapat dilakukan melalui dua cara : dengan factum de compromittendo, yaitu kesepakatan arbitrase dicantumkan dalam perjanjian pokok sebelum terjadi sengketa dan dengan akta kompromis yaitu, kesepakatan arbitrase dibuat dalam bentuk tertulis, terpisah dari perjanjian pokok sesudah terjadi sengketa. Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini  adalah : bagaimanakah kekuatan hukum terhadap keputusan sengketa kontrak yang diselesaikan diluar pengadilan melalui lembaga arbitrase. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif tertulis berupa hukum positif yaitu Undang-Undang Arbitrase dan Buku Ke III KUHPdt tentang Perikatan. Sejalan dengan permasalahan yang diteliti, maka prosedur/cara penyelesaian sengketa kontrak bisnis melalui arbitrase dari tahap pendaftaran ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sampai dengan keputusan dari Majelis Arbitrase diatur dalam Pasal 27 sampai dengan 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase adalah pemohon (claimant) dan termohon (respondent) yaitu pengusaha besar, menengah dan kecil, serta arbiter. Keputusan lembaga arbitrase, menurut ketentuan Pasal 60 Undang-Undang ini bersifat final dan mengikat bagi para pihak dan para pihak harus terikat dalam putusan arbitrase tersebut, walaupun pada tahap eksekusinya masih memerlukan keterlibatan pengadilan Negeri.

Kata kunci : Sengketa, bisnis, arbitrase

A.  Latar Belakang
Interaksi antar manusia yang berlangsung secara terus menerus dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidup. Oleh karena itu, menjadi sifat pembawaan setiap manusia untuk selalu hidup dalam masyarakat, sebab manusia tidak mungkin hidup tanpa masyarakat, dan sebaliknya masyarakat juga tidak mungkin ada tanpa manusia. Namun demikian mengingat kepentingan manusia itu sangat banyak dan beragam, maka di dalam melakukan interaksi satu sama lain, manusia selalu dihadapkan pada potensi-potensi untuk terjadi konflik atau sengketa. Hal ini dapat terjadi karena kepentingan manusia tidak jarang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Potensi untuk timbulnya sengketa antar manusia tentu saja tak boleh dibiarkan berlangsung terus, melainkan harus dicegah sebab konflik akan mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, ketika konflik terjadi dan menyebabkan keseimbangan tatanan masyarakat terganggu, maka terjadinya ketidakseimbangan tersebut harus dipulihkan kembali seperti keadaan semula (restitution In Integrum).[1]
Sama seperti kepentingan hidup manusia, sengketa juga banyak ragamnya, demikian pula faktor yang menyebabkan terjadinya maupun objek yang disengketakan di dalam masyarakat. Salah satu sengketa yang banyak terjadi saat ini adalah sengketa bisnis.yang semakin baik dan laju dinamis dunia bisnis saat ini berlangsung demikian pesat. Dinamika dan kepesatan yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis itu ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata maupun lembaga hukum.[2] Implikasi terhadap pranata hukum disebabkan sangat tidak memadainya perangkat norma untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang sedemikian pesat. Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan melakukan reformasi hukum di bidang kegiatan ekonomi. Berbagai upaya dilakukan melalui pembaharuan atas substansi produk-produk hukum yang sudah tertinggal maupun dengan membuat peraturan perundang-undangan baru mengenai bidang-bidang yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis.
Sementara itu, implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap pengadilan yang dianggap tidak profesional untuk menangani sengketa-sengketa bisnis, tidak independen, bahkan para hakimnya telah kehilangan integritas moral dalam menjalankan profesinya. Akibatnya, lembaga pengadilan yang secara konkret mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan, dianggap sebagai tempat menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan efisien.
Gambaran tentang kondisi pengadilan semacam itulah yang selama ini dipahami oleh kalangan pengusaha, terutama pengusaha asing yang berbisnis di Indonesia. Di samping itu masih ditambah pula dengan kondisi objektif lainnya dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan, yaitu bahwa menyelesaikan sengketa melalui pengadilan di Indonesia sesungguhnya merupakan rangkaian yang sangat panjang dari sebuah proses upaya pencarian keadilan. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila kalangan dunia usaha, terutama pengusaha asing, yang senantiasa mengupayakan segala urusan dengan serba cepat, ketika menghadapi sengketa akan berusaha memilih forum penyelesaian sengketa yang menurut kriteria mereka lebih dapat dipercaya dan sesuai dengan budaya bisnis. Forum penyelesaian sengketa dimaksud biasanya memiliki karakteristik : menjamin kerahasiaan materi sengketa, para pihak yang bersengketa mempunyai kedaulatan untuk menetapkan arbiter, tempat prosedur beracara, dan materi hukum, melibatkan pakar-pakar (arbiter) yang ahli dalam bidangnya, prosedurnya sederhana dan cepat, dan putusan forum tersebut merupakan putusan yang terakhir serta mengikat (final and binding). Di samping itu, faktor yang tidak kalah penting adalah putusan dari forum tersebut, baik sengaja maupun tidak sengaja, sama sekali tidak terpublikasikan kepada khalayak secara luas tanpa ijin para pihak yang bersengketa. Adapun forum penyelesaian sengketa yang karakteristiknya semacam itu tidak lain adalah forum arbitrase (arbitration).
Sebagai salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan, forum arbitrase bukan sesuatu yang baru dalam sistem penyelesaian sengketa hukum di Indonesia. Di masa lalu, arbitrase kurang menarik perhatian dan kurang populer walaupun sesungguhnya sudah lama diatur dalam sistem hukum di Indonesia. Bahkan pada kurun awal kemerdekaan Indonesia, arbitrase pun telah lazim dipraktikan di kalangan para usahawan.
Dewasa ini, arbitrase dipandang sebagai aturan hukum yang penting sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan. Bahkan meningkatnya peranan arbitrase pun bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga, baik nasional maupun internasional. Kompleksitas dan tingginya persaingan di dalam transaksi niaga, baik nasional maupun internasional tersebut sangat berpotensi menimbulkan sengketa. Beragam sengketa yang timbul dari kegiatan bisnis atau aktivitas komersial itu secara umum dapat disebut sebagai sengketa bisnis atau sengketa komersial (selanjutnya disebut dengan sengketa komersial). Demikian luasnya pengertian komersial sehingga meliputi seluruh aspek kegiatan bisnis.
Di Indonesia arbitrase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang mana dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat tertulis oleh pihak yang sengketa.
Penyelesaian sengketa kontrak yang dilakukan oleh para pihak yang dilakukan di luar pengadilan dalam hal ini melalui lembaga arbitrase, diharapkan para pihak tersebut dapat mengikat bagi keduanya sehingga timbul kekuatan hukum.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah kekuatan hukum terhadap keputusan sengketa kontrak / perjanjian yang diselesaikan melalui lembaga arbitrase ( di luar pengadilan ) menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ?
.
B.     Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif. Pendekatan yuridis adalah pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya tentang yang mengatur penyelesaian sengketa bisnis   dilua pengadilan melalui Arbitrase. Normatif adalah pendekatan yang menggunakan data sekunder dengan penyusunan kerangka secara konsepsional. Penelitian normatif dilakukan untuk  mendapatkan bahan-bahan hukum berupa teori-teori, konsep-konsep dan asas-asas hukum yang diperoleh dari kepustakaan antara lain buku-buku, dokumen, artikel, serta literatur lainnya , peraturan perundangan yaitu UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase, KUHPerdata, dan peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan permasalahan.
                                                      
C.    Pembahasan
1.      Pengertian dan Pengaturan Arbitrase
Priyatna Abdurrasyid menyimpulkan bentuk alternatif penyelesaian adalah mediation, conciliation, disputes prevention, binding opinion, valuation, appraisal, special masters, masters, ombudsmen, mini trial, private judges, summary jury trial, quality arbitration atau arbitration. Namun, saat ini yang paling umum bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa[3] (ADR) yang dilakukan adalah :
1.    Negosiasi.
2.    Mediasi.
3.    Konsiliasi.
4.    Arbitrase.
Keempat bentuk penyelesaian sengketa di atas dilakukan di luar pengadilan, yang memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung yang mana lebih disukai atau dianggap cocok oleh para pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang mereka hadapi.
Keputusan untuk menggunakan metode ADR tergantung kepada kebijaksanaan para pihak, hanya saja paling tidak memerlukan dua pertimbangan yaitu bahwa prosedur ADR lebih tepat guna daripada prosedur hukum biasa, dan menentukan mana yang paling tepat untuk jenis sengketa yang dihadapi. Dalam penelitian ini penulis akan membahas khusus yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa kontrak bisnis  diluar pengadilan melalui Arbitrase.
Arbitrase berasal dari kata arbitrate (bahasa latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan. Menurut Frank Elkoury dan Edna Elkoury, Arbitration adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.
Alternatif lain yang biasanya dan sering dilakukan oleh kalangan pengusaha untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi saat ini adalah melalui lembaga arbitrase. Sebab penyelesaian melalui lembaga arbitrase ini mempunyai karakteristik sendiri yang bagi dunia usaha sangat dibutuhkan keberadaannya. Tetapi banyak pula kaum usahawan yang belum mengetahui seluk beluk pemakaian lembaga arbitrase, padahal menurut sejarahnya arbitrase dibentuk oleh kalangan usahawan sendiri untuk menyelesaikan kemungkinan sengketa yang timbul.
Sebelum mengetahui kegunaan lembaga arbitrase, ada baiknya kita ketahui dahulu apa pengertian arbitrase dan bagaimana ketentuan yang mengaturnya. Kata Arbitrase sebenarnya berasal dari bahasa latin arbitrare, yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang dimaksud tidaklah berarti tidak mengindahkan norma-norma hukum dan semata-mata hanya bersandarkan kebijaksanaan saja.
Subekti mengatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan. Dengan demikian, pada dasarnya arbitrase ini merupakan suatu proses penyelesaian sengketa para pihak yang dilakukan secara musyawarah dengan menunjuk pihak ketiga sebagai wasit, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian kontrak.
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. (Pasal 1 Angka 1).
Dari beberapa pengertian yang disampaikan di atas pada dasarnya memiliki kesamaan bahwa arbitrase adalah perjanjian perdata dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka yang mungkin akan timbul dikemudian hari diputuskan oleh seorang ketiga atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara musyawarah dengan menunjuk pihak ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak.
Dalam kegiatan  bisnis saat ini penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase lebih sering digunakan, terutama pada kontrak-kontrak dagang internasional, ada beberapa alasan mengapa para pihak menggunakan badan ini,[4] yaitu :
1.    Adanya kebebasan, kepercayaan dan keamanan
Arbitrase pada umumnya menarik bagi para pengusaha, pedagang, dan investor sebab memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada mereka, secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda, juga kemungkinan keputusan Hakim yang berat sebelah yang melindungi kepentingan (pihak) lokal dari mereka yang terlibat dalam suatu perkara.
2.    Wasit arbiter memiliki keahlian (expertise)
Para pihak seringkali memilih arbitrase, karena mereka memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter mengenai persoalan yang dipersengketakan dibandingkan jika mereka menyerahkan penyelesaian kepada pihak pengadilan yang telah ditentukan.

3.    Lebih cepat dan hemat biaya
Proses pengambilan keputusan, arbitrase seringkali lebih cepat, tidak terlalu formal, dan lebih murah daripada proses litigasi di pengadilan. Dikatakan lebih cepat, karena para pihak tidak harus menunggu dalam proses antrean proses litigasi, seperti adanya pemeriksaan pendahuluan, sementara perkara berlangsung para pihak masih tetap dapat menjalankan usahanya dan tidak merasakan kekecewaan dan ketidakpuasan yang terjadi dalam proses litigasi. Selain itu, dalam proses arbitrase tidak dimungkinkan banding atau kasasi, putusan bersifat final dan mengikat (Final and Binding).
4.    Bersifat rahasia
Proses pengambilan keputusan dalam lingkungan arbitrase bersifat privat dan bukan bersifat umum, sehingga hanya para pihak yang bersengketa saja yang tahu. Sifat rahasia arbitrase ini dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau merugikan akibat penyingkapan informasi bisnis kepada umum.
5.    Adanya kepekaan arbiter/wasit
Dalam mengambil keputusan pengadilan seringkali memanfaatkan sengketa privat sebagai tempat untuk menonjolkan nilai-nilai masyarakat, akibatnya, dalam menyelesaikan sengketa privat yang ditanganinya pertimbangan Hakim sering mengutamakan kepentingan umum, sedangkan kepentingan privat/pribadi merupakan pertimbangan kedua. Pada arbitrase pada umumnya menerapkan pola nilai-nilai secara terbalik, yaitu arbiter dalam pengambilan keputusan lebih mungkin mempertimbangkan sengketa sebagai bersifat privat daripada bersifat publik/umum.
6.    Bersifat Non-preseden
Pada umumnya putusan arbitrase tidak memiliki nilai atau sifat preseden, oleh karena itu untuk perkara yang serupa mungkin saja dihasilkan keputusan arbitrase yang berbeda.
7.    Pelaksanaan putusan lebih mudah dilaksanakan.
          Sejak tahun 1999 Indonesia telah mempunyai undang-undang sebagai landasan hukum penggunaan lembaga arbitrase yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mulai berlaku tanggal 12 Agustus 1999. Undang-Undang ini sebagai pengganti Pasal 615 sampai Pasal 651 Reglement Acara Perdata (Reglement of de Rechtsvoerdering, Staatsblad 1847 : 52). Undang-Undang tersebut mengatur mengenai penyelesaian suatu sengketa antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Terhadap para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase, maka tidak ada lagi kewenangan Pengadilan Negeri untuk mengadili sengketa yang timbul dari para pihak tersebut.
Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa dimaksud diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
2.      Pihak-Pihak dalam Arbitrase
Pada dasarnya pihak-pihak berperkara dalam proses arbitrase tidak berbeda dengan pihak-pihak dalam sengketa perdata pada umumnya di Pengadilan Negeri, yaitu sekurang-kurangnya terdapat dua pihak. Yang berbeda adalah persoalan istilah penyebutan pihak-pihak yang berperkara. Para pihak dalam sengketa perdata pada Pengadilan Negeri disebut penggugat dan tergugat. Sedangkan dalam proses pemeriksaan sengketa pada forum arbitrase penyebutan pihak-pihak dalam perkara sedikit berbeda. Penyebutan pihak-pihak dalam forum arbitrase telah dibakukan dan standar, baik dalam literatur maupun dalam arbitration rules. Sebutan untuk pihak yang membuat tuntutan adalah “claimant” sedangkan sebutan untuk pihak tertuntut adalah “respondent”. Sementara itu di dalam Peraturan Prosedur Arbitrase (PPA) Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau dikenal dengan BANI Rules, pihak-pihak yang bersengketa disebut dengan istilah “pemohon” untuk “claimant” dan “termohon” untuk “respondent” dalam forum arbitrase kurang sejalan dengan sifat penyelesaian perkara dalam forum arbitrase itu sendiri yang tergolong “jurisdiction contentiosa”. Oleh karena istilah pemohon dan termohon itu lebih tepat digunakan untuk kasus-kasus yang sifatnya tidak mengandung sengketa atau termasuk dalam “jurisdiction voluntaria”. Walaupun sebenarnya istilah sukarela untuk jurisdiction voluntaria itupun kurang tepat, karena pada dasarnya peradilan voluntaria pun sesungguhnya bersifat sukarela. Bukankah ada tidaknya suatu perkara yang masuk untuk diperiksa di pengadilan itupun terserah kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan atau tidak tuntutan haknya, baik berupa permohonan maupun gugatan ke pengadilan. Artinya, diajukan tidaknya suatu tuntutan hak ke pengadilan sepenuhnya terserah kepada pihak yang berkepentingan.
Memang diakui bahwa arbitrase sendiri merupakan badan volunteer, karena sebagai lembaga swasta jurisdiksi arbitrase lahir berdasarkan kesepakatan sukarela dari para pihak. Namun demikian, sekalipun kelahiran atau eksistensi arbitrase bersifat volunteer, sekali forum arbitrase lahir, forum tersebut formal dan legal sebagai badan kuasa yang berwenang mutlak untuk menyelesaikan dan memutus sengketa. Oleh karena itu, tidak tepat juga untuk mengidentikkan sifat keberadaan volunternya dengan sifat persengketaan. Sifat permasalahan persengketaan tetap saja berbobot contentiosa, tidak berubah menjadi gugat yang berbobot volunteer. Demikian pula jika ditinjau dari segi doktrin dan tata tertib beracara, menggunakan istilah pemohon dan termohon untuk menyebut para pihak dalam perkara pada forum arbitrase sangat tidak sesuai. Penyebutan pihak-pihak dengan istilah itu memberi kesan seolah-olah perkara yang diajukan kepada forum arbitrase bersifat volunter dan putusan yang dapat dijatuhkan hanya bersifat “declaratoir”. Padahal arbitrase mempunyai wewenang penuh untuk menjatuhkan putusan yang mengandung amar condemnatoir.
Faktor lain yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak dalam forum arbitrase menyangkut masalah kualifikasi cakap menurut hukum. Mengingat forum arbitrase itu terbentuk atas dasar kesepakatan para pihak, baik melalui “pactum de compomittendo” maupun “akta kompromis”, maka sebelum men jadi claimant maupun respondent, pihak-pihak yang hendak berperkara dihadapan forum arbitrase tentu saja harus tergolong cakap untuk membuat suatu kontrak. Seseorang yang dianggap cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum apapun, maka yang bersangkutan mutatis mutandis akan tergolong cakap pula untuk menjadi pihak dalam forum arbitrase. Artinya, setiap orang dewasa yang sehat pikirannya serta tidak dikecualikan oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum, maka orang tersebut dapat menjadi pihak di dalam sengketa di depan forum arbitrase. Sama juga dengan pihak-pihak dalam perkara perdata pada Pengadilan Negeri, di dalam forum arbitrase juga dikenal ada istilah pihak materiil dan pihak formal.

Sengketa atau beda pendapat perdata dapat di selesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa tersebut diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
Alternatif lain penyelesaian sengketa diluar pengadilan tersebut, biasanya sering dilakukan oleh kalangan pengusaha yang terjadi saat ini adalah melalui lembaga arbitrase. Lembaga arbitrase merupakan jalur musyawarah yang melibatkan pihak ketiga sebagai wasitnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Para pihak dalam perjanjian yang menghendaki agar penyelesaian sengketa yang timbul akan diselesaikan dengan arbitrase dapat mempergunakan salah satu dari dua cara yang dapat membuka jalan timbulnya perwasitan yaitu :
a.    Factum de compromittendo adalah dengan mencantumkan klausul dalam perjanjian pokok, yang berisi bahwa penyelesaian sengketa yang mungkin timbul akan diselesaikan dengan peradilan wasit.
b.    Akta kompromis, yaitu dibuat dengan perjanjian tersendiri di luar perjanjian pokok. Perjanjian ini dibuat secara khusus bila telah timbul sengketa dalam melaksanakan perjanjian pokok.
Dalam prakteknya ada dua macam arbitrase, yaitu :
1.    Arbitrase ad-hoc volunteer yaitu suatu majelis wasit (arbiter) atau wasit tunggal yang di dalam menjalankan tugasnya hanya sekali saja, setelah itu bubar.
2.    Arbitrase permanen (permanen body arbitration) adalah suatu badan arbitrase yang mempunyai peraturan atau prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa di Indonesia. Badan Arbitrase tersebut disebut BANI.

3.      Kekuatan Hukum Terhadap Keputusan Sengketa Kontrak yang Diselesaikan Melalui Lembaga Arbitrase (Diluar Pengadilan) Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Setiap perkara perdata yang diajukan oleh para pihak kepada pengadilan, tujuannya untuk mendapatkan penyelesaian. Oleh karena itu, setiap pemeriksaan perkara akan diakhiri dengan putusan.
Eksekusi putusan adalah realisasi kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum di dalam putusan tersebut. Baik putusan Hakim maupun putusan arbitrase, pada dasarnya memiliki makna yang tidak jauh berbeda, kedua putusan tersebut mengenal yang dinamakan putusan akhir.[5] Putusan – Pengadilan Negeri bersifat terbuka, karena seluruh proses acara persidangan sifatnya terbuka untuk umum, sehingga putusan Hakim harus diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Apabila tidak diucapkan dalam sidang terbuka, berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Sedangkan putusan yang diucapkan dalam perkara arbitrase dilakukan dalam sidang tertutup, karena itu putusan arbitrase tidak  boleh dipublikasikan. Putusan arbitrase dapat dikatakan sebagai putusan yang telah memiliki status dan kekuatan hukum yang setara dengan putusan Hakim.
Arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, dan putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase, diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
Setiap putusan Hakim termasuk di dalamnya putusan arbitrase, pada prinsipnya mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan :
1.    Kekuatan mengikat;
2.    Kekuatan pembuktian;
3.    Kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan.
Setiap putusan Hakim maupun putusan arbitrase pada dasarnya hukum yang mengikat terhadap para pihak yang bersangkutan tersebut. Hal ini sejalan yang ditentukan dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat para pihak. Dengan demikian putusan arbitrase sudah dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Suatu putusan Hakim yang telah dijatuhkan harus dihormati kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertentangan dengan putusan. Oleh karena itu, untuk mentaati suatu putusan dapat dipaksakan melalui lembaga eksekusi. Putusan yang telah memperolehkekuatan hukum yang tetap dapat di eksekusi, artinya telah memiliki kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan. Kekuatan mengikat suatu putusan belum memiliki arti apapun bagi pihak-pihak yang bersangkutan apabila putusan tersebut tidak dapat di eksekusi. Eksekusi merupakan tindakan paksa yang dilakukan oleh pengadilan dengan bantuan alat-alat Negara dalam rangka menjalankan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Tindakan paksa baru akan dipilih apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi putusan secara sukarela. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintis Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa apabila putusan arbitrase yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak itu apabila ternyata mengandung kesalahan atau kekeliruan diberi jalan keluar melalui permohonan koreksi putusan yang dapat diajukan para pihak. Koreksi putusan dapat diajukan kepada arbiter atau majelis arbiter dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima oleh para pihak.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa keputusan arbitrase mempunyai kedudukan sejajar serta mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan Hakim dan mengikat bagi para pihak. Namun dalam tahap eksekusinya putusan arbitrase masih tergantung pada kewenangan Pengadilan Negeri.

D. Kesimpulan
       Penyelesaian sengketa kontrak melalui Forum Arbitrase dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : (a) Dengan factum de compromittendo, sebelum terjadi sengketa klausula arbitrase telah dicantumkan dalam perjanjian pokok, (b) Dengan akta kompromis setelah terjadi sengketa klausula arbitrase dibuat dalam bentuk tertulis terpisah dari perjanjian pokok. Sedangkan proses penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase menurut Pasal 27 sampai dengan 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pemohon melakukan pendaftaran ke BANI dengan melengkapi syarat administrasi, uraian lengkap perkara dan tuntutan, dengan melampirkan akta perjanjian yang menurut klausula arbitrase dan pemohon menunjuk seorang arbiter. Berdasarkan ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa keputusan lembaga arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, para pihak harus terikat dalam putusan arbitrase tersebut, walaupun pada tahap eksekusinya masih memerlukan keterlibatan Pengadilan Negeri .


DAFTAR PUSTAKA



Buku :

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1983.
Eman Suparma, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, PT. Fikahati Aneka (BANI Arbitration Centre), Jakarta, 2012.
Felik OS, dan Fatma Jatno, Arbitrase Indonesia Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan Dalam Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Garry Good Pastor, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Dalam Felix OS. (edt) Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995.
Huala Adolf dan A. Chandra Wulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia.
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), Kelompok Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Indralaya, 2000.
------------------, Hukum Bisnis Indonesia, Literata Lintas Media, Jakarta, 2007.

M. Yahya Harahap, Penyelesaian Sengketa Kontrak Diluar Pengadilan, BPHN, Jakarta, 1996.
Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Kontrak Perdagangan Internasional Diluar Pengadilan, Makalah Seminar Nasional Hukum Bisnis, Fakultas Hukum UKSW, Semarang, 1996.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1986.
Satjipto Raharjo, Pembangunan Hukum di Indonesia Dalam Konteks Global, Dalam Problema Globalisasi, Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, Agama, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2000.

Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt).
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase.


[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1986, hlm. 4
[2] Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Global, dalam Problema Globalisasi – Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, Agama, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2000, hlm. 13
[3] Priyatna Abdul Rasyid, Penyelesaian sengketa kontrak Perdagangan Internasional  diluar Pengadilan< Makalah Seminar Nasional hukum, FH UKSW, Semarang, 1999, hlm.12
[4] . Felix OS dan Fatma jatno, Arbitrase Indonesia Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan dalam  praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm.19-20
[5] Eman Suparman, Op.Cit, hal. 168

0 komentar:

Posting Komentar