Oleh Abuyazid Bustomi
Dosen Fakultas
Hukum Universitas Palembang
Abuyazid.bustomi13.ab@gmail.com
Abstract
The legal relationship of the
Indonesian nation with the land is a relationship has, because it is timeless
which is a reflection of the human rights that are natural, for the grace of
Almighty God, to follow and inherent to the dignity of the nation, as well as
there must be in accordance with human presence in the state and nation. In
this regard, the legal relationship between each individual has a relationship
with the ground is civil law relationships, which is natural for the basic
needs for the purposes of human life. Therefore individuals consisting of
individuals and private legal entities have the same rights to land. However,
type, depending on the designation of their rights in development planning.
Property Rights to Land for Indonesian citizens proved to be a real part of the
implementation and protection of human rights that are natural, universal and
lasting, which should be protected, respected, preserved and should not be
ignored, reduced or taken away by anyone. And this means any person or
government assumed the obligation to recognize and respect human rights. The
ownership of the land is considered as a part of human rights, because the
rights belong to the most important or in the narrow sense the same as the
title for the land. The concept of ownership of private property rights that
have meant something other people have an obligation to not rob him. and the
state has a duty to melindungginya. And every person is entitled to have
private property rights and property rights must not be taken over arbitrarily
by anyone, and this is the rationale of property rights, especially property
rights to land as a reflection of human rights.
Keyword: Property
Rights to Land's rights is part manuasia
Abstrak
Hubungan
hukum bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan memiliki, karena bersifat
abadi yang merupakan refleksi dari HAM yang bersifat kodrati, atas karunia
Tuhan yang Maha Esa, mengikuti dan melekat dalam harkat dan martabat bangsa,
serta harus ada sesuai dengan keberadaan manusia dalam berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan tersebut, hubungan hukum antara
masing-masing individu dengan tanah adalah hubungan memiliki hubungan hukum perdata, yang bersifat kodrati
untuk kebutuhan dasar bagi keperluan kehidupan manusia. Oleh karena itu individu yang terdiri dari
perorangan dan badan hukum privat mempunyai hak yang sama atas tanah. Akan tetapi, jenis, jenis haknya
tergantung kepada peruntukkan dalam perencanaan pembangunan. Hak Milik Atas Tanah bagi
Warga Negara Indonesia ternyata merupakan bagian yang nyata dari pelaksanaan
dan perlindungan dari Hak Asasi Manusia yang bersifat kodrati, universal dan
langgeng, yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Dan ini berarti setiap orang
dan atau pemerintah mengemban kewajiban untuk mengakui dan menghormati hak
asasi manusia. Hak milik atas tanah
dianggap sebagai bagian dari hak asasi manusia, dikarenakan hak milik yang
terpenting atau dalam pengertian sempit sama dengan hak milik atas tanah.
Konsep pemilikan dari hak milik perorangan bahwa memiliki sesuatu berarti orang lain mempunyai
kewajiban untuk tidak merampas dari padanya. dan negara mempunyai kewajiban
untuk melindungginya. Dan setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun, dan ini merupakan landasan
pemikiran hak milik khususnya hak milik atas tanah sebagai refleksi dari hak
asasi manusia.
Kata Kunci
: Hak Milik Atas Tanah merupakan Bagian
Hak azazi Manuasia
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila, UUD 45 dan UUPA sebagai
dasar negara, konstitusi dan landasan hukum menuntut agar politik, arah dan
kebijakan serta pengelolaan pertanahan mampu memberikan kontribusi nyata dalam
proses mewujudkan keadilan sosial dan sebesar-besar kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia. Nilai-nilai luhur bangsa ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat
untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, utamanya tanah. Terbukanya
akses rakyat kepada tanah dan kuatnya hak rakyat atas tanah, akan memberikan
kesempatan luas bagi rakyat untuk memperbaiki sendiri kesejahteraan
sosial-ekonominya: hak-hak dasarnya terpenuhi, martabat sosialnya meningkat,
rasa keadilannya tercukupi, dan dengan demikian harmoni sosial pun akan
tercipta. Terwujudnya kesemuanya ini akan menjamin keberlanjutan sistem
kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Dalam
kehidupan manusia, tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk manusia
itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan
kelanjutan kehidupannya. Oleh itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota
masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang
menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah – kaedah yang mengatur hubungan antara
manusia dengan tanah.
Dalam
UUPA, terdapat tiga subyek hukum pemegang hak atas tanah, yang sekaligus
menunjukkan tiga bentuk hubungan hukum antara tanah dengan pemegang hak, yaitu
bentuk hubungan hukum yang melahirkan hak bangsa (bersifat hubungan hukum
publik), bentuk hubungan hukum yang melahirkan hak bernegara (bersifat hubungan
hukum publik/administrasi) dan hubungan hukum yang melahirkan hak individu
(perorangan dan badan hukum) yang bersifat hubungan hukum privat.[1]
Hubungan hukum bangsa Indonesia
dengan tanah adalah hubungan memiliki, karena bersifat abadi yang merupakan
refleksi dari HAM yang bersifat kodrati, karunia Tuhan yang Maha Esa, mengikuti
dan melekat dalam harkat dan martabat bangsa, serta harus ada sesuai dengan
keberadaan manusia dalam berbangsa dan
bernegara. Hak bangsa atas tanah tersebut seharusnya mendapat pengaturan dalam
UUD 1945, karena hak fundamental bangsa merupakan salah satu materi muatan
konstusi sebagaimana ketentuan dalam hukum konstitusi. Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagia hak yang secara
kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan
martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Hal ini menjadi penting, mengigat proses normatif
dari aturan dasar hingga aturan pelaksanaan UUPA.
Hubungan
hukum antara tanah dengan negara adalah
hubungan menguasai, hubungan ini nerlaku keluar dan ke dalam wilayah Republik
Indonesia. Hubungan ke Luar, disebut konsep hubungan hukum dalam perlindungan
hukum terhadap kedaulatan wilayah Republik Indonesia. Sedangkan ke dalam,
disebut konsep hubungan hukum dalam perlindungan hak-hak individu atas tanah
dan konsep hubungan hukum administratif (pemerintah mempunyai kewenangan
mengatur, mengurus dan mengawasi hak-hak atas tanah milik individu bangsa
Inonesia).[2]
Dalam
praktek pengelolaan pertanahan selama ini hak negara mempunyai kedudukan
tertinggi dan mendapatkan pengaturan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini
menimbulkan kedudukan yang tidak seimbang dengan pengaturan hak-hak individu
bangsa Indonesia dalam pasal 1 ayat (2) UUPA.
Sehingga dalam proses hak-hak
individu selalu terdesak oleh hak-hak atas tanah yang dikuasai oleh negara,
seperti dalam pasal 21 Keppres 55 tahun 1993, yang menyatakan bahwa pemegang
hak milik atas tanah tidak dapat mempertahankan haknya apabila di atas tanahnya
akan dijadikan proyek pembangunan untuk kepentingan pembangunan bagi
kepentingan umum.
Hubungan
hukum antara individu dengan tanah adalah hubungan memiliki (bersifat hubungan
hukum perdata), oleh karena itu individu
yang terdiri dari perorangan dan badan hukum privat dapat mempunyai hak milik
atas tanah. Akan tetapi, jenis, jenis haknya tergantung kepada peruntukkan
dalam perencanaan pembangunan.
B. Permasalahan
Bertitik
tolak dari penjelasan tersebut diatas, maka kita dapat melihat bagaimana Fungsi
Tanah bagi setiap kepentingan privat setiap manusisa yang bersifat kodrati
yang bersandarkan dan bersumber dalam hubungan hak privat setiap individu
manusia dengan Hak Asasi Manusia secara universal, hal ini sepatutnya
mendapat pengaturan dan perlindungan hukum secara tegas.
Keadaan yang seperti ini adalah hal
yang diperlukan untuk memberikan ketenangan
setiap warga manusia sebagai warga negara dalam berbangsa dan bernegara, yang
pada gilirannya munculkan pertanyaan antara lain adalah ; Bagaimana Implementasi dari Hak Milik Atas Tanah Dalam Perwujutannya Sebagai Bagian Dari Hak Asasi
Manusia ?
C. Tujuan Penelitian
Selain berusaha untuk
pengembangkan substansi bidang ilmu, tujuan penelitian dan penulisan ini adalah
; Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan atau Implementasi mengenai Hak Milik
Atas Tanah Sebagai Bagian dari
Perwujutan Hak Asasi Manusia yang merupakan hak universal, yang secara
kodrati dimiliki oleh individu secara inheren serta tidak dapat dikurangi atau
dicabut, kecuali atas kuasa undang-undang.
D. Manfaat
Penelitian
Hasil penelitian dan
penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat, baik untuk
kepentingan ilmu pengetahuan (teoritis) maupun kepentingan praktis dalam
bidang Pertanahan, antara lain sebagai
berikut :
1. Kegunaan Teoritis, memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan tentang Kedudukan dan Implementasi Hak Milik Atas Tanah Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia.
2. Kegunaan Praktis, hasil penlitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dan sekaligus memberikan cakrawala bagi pihak-pihak yang terkait dan mempunyai kewenangan dalam pengaturan terhadap hak-hak atas tanah dan perlindungan hak- hak tersebut khususnya aparatur pemerintah dan Badan Pertanahan Nasional
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan
Bahan Hukum
Penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif (normative-legal research). Penelitian
normatif dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum berupa teori-teori,
konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang ada hubungannya
dengan pokok bahasan. Bahan hukum penelitian menggunakan satu macam data, yaitu
data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Sumber
bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer yang meliputi peraturan
perundang-undangan seperti
Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor
5 tahaun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan
yang dapat memberikan penjelasan bahan hukum primer, berupa buku-buku,
literatur hasil karya ilmiah sarjana dan hasil penelitian yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian.
c. Bahan hukum tersier bahan yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
yang terdiri dari majalah, jurnal hukum dan literatur-literatur yang
berhubungan dengan penulisan ini.
2. Analisis Bahan Hukum
Pengumpulan dan analisa bahan hukum yang
digunakan, yaitu studi Kepustakaan yang berupa asas-asas, teori-teori hukum,
konsep-konsep, doktrin, serta kaidah hukum yang diperoleh. baik dari bahan
hukum primer maupun dari bahan hukum sekunder dan tersier. Dalam kegiatan studi
kepustakaan, dilakukan melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip
dan menyusun secara sistematis ataupun melakukan pengelompokan bahan hukum baik
peraturan perundang-undangan, doktrin maupun informasi lainnya yang berhubungan
dengan penelitian. Dan analisis bahan hukum tersebut dilakukan penarikan
kesimpulan dan selanjutnya dari beberapa kesimpulan tersebut akan diajukan
saran-saran.
II. Pembahasan
A. Tinjuan
Umum Tentang Hak
Milik Atas Tanah Bagi Bangsa
Hak
dasar manusia yang lahir dari pergaulan hidup adalah hak yang menyertai hak-hak
dasar manusia dan merupakan pendukung hak-hak dasar yang merupakan satu
kesatuan untuk memenuhi kehidupan dasar secara layak dan bermartabat, seperti
hak-hak kesejahteraan cara hukum, hak-hak dasar manusia tersebut dilegitimasi
menjadi hak asasi manusia yang berlaku secara universal, sebagaimana yang
diatur juga dalam UU No. 39 Tahun 1999. Dalam pasal 1 ayat (1):
Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mkhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya
yang wajib dihormati, diujung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat manusia.
Dalam
hukum agraria, hak milik bangsa dimaknai sebagai hak untuk memiliki kesempatan
yang sama untuk mendapatkan hak atas tanah bagi bangsa yang didasarkan kepada
pemahaman hak milik bangsa atas tanah berdasarkan konsep perlindungan wilayah
dalam pasal 1 ayat (2) uupa. Hak bangsa menurut Boedi Harsono adalah hak
penguasaan yang tertinggi atas tanah bersama, bersifat abadi, merupakan hak
induk dari hak lain atas tanah, dan mendapat pengaturan dalam pasal 1 UUPA.[3]
A.P.
Parlindungan menyebutkan sekurang-kurangnya terdapat delapan prinsip dasar
dalam UUPA: unifikasi hukum, hak menguasai negara, fungsi sosial, pengakuan
hukum adat sebagai landasan UUPA, persamaan derajat laki-perempuan dan antara
sesama warga negara, landreform, perencanaan umum tata ruang dan nasionalitas.[4] Bangsa
Indonesia terbentuk dari berbagai suku bangsa yang menyatu sebagai bangsa dalam
tatanan hukum tanah nasional, hanya diberlakukan satu hukum yaitu UUPA. Hal ini
dimaksudkan demi keadilan dalam menata tanah yang bersifat menyeluruh dan tidak
persial, baik untuk memperoleh hak maupun untuk mendapatkan distribusi hak atas
tanah secara benar dan adil.
Hak
penguasaan negara atas tanah merupakan pendelegasian bangsa kepada negara
sebagai organisasi tertinggi, egara dalam tatanan tertinggi diberikan
kewenangan untuk mengatur, mengurus dan mengawasi hak-hak atas tanah, baik hak
privat maupun hak publik. Prinsip Sosial menegaskan bahwa hak privat dan publik
atas tanah tidak mengandung sifat mutlak. Prinsip inilah yang membedakan konsep
hak milik UUPA dengan konsep hak milik dalam KUHPerdata. Setiap penggunaan
hak atas tanah, harus diusahakan oleh
pemiliknya hingga bermanfaat bukan saja kepada dirinya, tetapi juga bagi orang
lain sebagai sesama bangsa.
Kesamaan
derajat sesama warga negara dan antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
hak-hak atas tanah. Prinsip ini tidak membedakan antara warga asli dan turunan.
Pembedaan terjadi apabila ia beda warga negara, sedangkan perlindungan hanya di
tujukan kepada suatu masyarakat ekonomi
lemah untuk memperoleh hak atas tanah (pasal 4 ayat (1) Ketetapan MPR No.
IX/MPR/2001.
Penataan,
penguasaan, dan Pemilikan Tanah bertujuan untuk memperjelas peranan hak bangsa
sebagai konsep hak bersama yang tertinggi, namun dalam pemanfaatannya perlu
yuridiksi pembagian hak, inilah yang disebut dengan hak milik bagi bangsa
Indonesia. Prinsip ini untuk menjaga keseimbangan proposional agar pemanfaatan,
penguasaan dan pemilikan tanah tidak terjadi keadaan yang menyebabkan
ketimpangan.
Penatagunaan
tanah dimaknai sebagai penghormatan terhadap stabilitas dan kesinambungan
lingkungan hidup dalam rangka pemanfaatan tanah, agar tidak terjadi pengusahaan
yang berlebihan oleh pemegang hak. Substansi prinsip penatagunaan tanah adalah
sinkronisasi antara peruntukan dan penggunaan tanah. Peruntukan tanah diartikan
sebagai pengalokasian penggunaan tanah secara teoritik, yang didasari teknik
kemampuan tanah. Sedangkan, penggunaan tanah adalah pemakaian lahan yang belum
tentu sesuai dengan peruntukan, tetapi didasari data fisik yang ada dilapangan.
Prinsip
Nasionalitas bertujuan memperjelas eksistensi bangsa sebagai warga negara,
hanya warga negara yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah, yang
bukan warga negara tidak dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah.
Prinsip ini mempertegas subyek hak terhadap hak milik atas tanah tanah bagi
bangsa Indonesia, yang memenuhi syarat memperoleh hak atas tanah. Prinsip ini
mengakomodasi prinsip hak bangsa Indonesia atas tanah sebagai refleksi dari Hak
Asasi Manusia.
Hak
milik bangsa atas tanah merupakan keseluruhan bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalam negara Indonesia adalah hak milik bangsa
Indonesia yang mengakui kepemilikan perorangan, masyarakat hukum (ulayat),
badan hukum privat dan badan hukum publik (pemerintah), yang kesemua ini
disebut konsep hak milik atas tanah bangsa Indonesia dan hak milik bangsa Indonesia
atas tanah dalam konsep perlindungan wilayah seperti disebutkan. Dalam Pasal 1
ayat (1) dan (2) UUPA jo Pasal 4 ayat (a) Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001. Dan
apabila kedudukan hak bangsa atas tanah merupakan kedudukan tertinggi dan
merupakan induk dari hak-hak yang ada dalam hukum tanah nasional sebagaimana
yang diatur dalam pasal 1 UUPA.[5]
B. Hak Milik
Privat Atas Tanah
Logika dasar pemikiran hak milik
pribadi menjadi salah satu unsur hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup dan
kebebasan, merupakan hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup dan kebebasan,
merupakan hak asasi yang harus ada dalam diri setiap manusia selaras dengan
harkat dan martabatnya sebagai pribadi terhormat dan tidak dapat dipisahkan
satu dengan lainnya. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, kemutlakan hak milik
atas tanah dalam hukum perdata, dapat dilihat dari kelima ciri berikut ; hak
menikmati secara leluasa, hak menguasai terkuat, tidak bertentangan dengan
undang-undang, tidak mengganggu hak orang lain dan dapat dicabut untuk kepentingan
umum dengan ganti rugi.[6]
Dalam
hukum tanah makna dan hakikat hak milik atas tanah adalah hak turun temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan menggigat
fungsi sosial. Sehingga hubungan hak milik atas tanah dengan hak asasi manusia
merupakan hubungan hak asasi manusia yang lahir dari pergaulan dan merupakan
hubungan hak kodrati, karena prinsip hubungan antara hak milik dengan hak asasi
manusia menjadi dasar pengembangan sistem hukum tanah.[7]
Dari
makna dan hakikat hak milik atas tanah yang dilandasi hubungan hak milik atas
tanah tersebut merupakan hak yang lahir secara kodrati, sedangkan hak milik
atas tanah bagi bangsa Indonesia merupakan refleksi dari dari hak asasi manusia
yang lahir dari pergaulan. Sesuai dengan paham kebangsaan yang berdasarkan
Pancasila yang mengakomodasikan semua paham yang ada di dunia. Dalam praktek
dan sejalan dengan perkembangan hak-hak atas tanah mengarah kepada konsep
liberalistik yang didukung oleh konsep hak milik yang diatur dalam UUPA, yang
tidak mampu menemukan sandarannya kepada konsepsi hak milik atas tanah bangsa
Inonesia. Dalam praktek selalu didasarkan kepada konsep hak menguasai negara
yang dianggap negara memiliki sepenuhnya hak atas tanah.
Dalam
hal hak milik atas tanah, lembaga konversi mempunyai peranan yang amat penting
dalam proses terjadinya hak milik melalui pengakuan dan penghormatan terhadap
hak-hak pribadi atas tanah terdahulu sebagai wujud dari hak milik bangsa.
Lembaga konversi yang diatur dalam ketetntuan UUPA merupakan akses terhadap
keberadaan hak milik pribadi atas tanah sebagai bagian dari hak asasi manusia
yang kodrati dan hak milik bangsa yang lahir dari pergaulan hidup bermasyarakat
dan berbangsa.[8]
Terjadinya
hak milik atas tanah merupakan dasar timbulnya hubungan hukum antara
subyek/pemegang hak dengan tanah sebagai obyek hak. Pada dasarnya hak milik
dapat terjadi secara original dan derivatif yang mengandung unsur, ciri dan
sifat masing-masing. Secara original hak milik terjadi berdasarkan hukum adat,
sedangkan secara derivatif ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.[9]
C. Hak Milik
Publik Atas Tanah
Hak
milik publik, khususnya hak milik publik atas tanah lahir karena negara
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan setiap warga negaranya yang merupakan
wujud konkrit dai konsep negara kesejahteraan. Dengan demikian, pemerintahan
dapat bertindak atas nama negara sebagai tindakan hukum publik dan dapat pula
melakukan perbuatan berdasakan hukum perdata, untuk memenuhi kepentingan
masyarakat banyak. Dalam doktrin subyek hukum bahwa negara mempunyai sifat
khusus sebagai subyek hukum bahwa negara mempunyai sifat khusus sebagai subyek
hukum dibandingkan dengan subyek hukum lainnya, seperti perorangan dan badan
hukum privat.[10]
Hal ini dapat dikarenakan
negara sebagai subyek hukum publik mempunyai hak yang melebihi subyek hukum
lainnya seperti negara membuat dan memutus hukum naik di bidang hukum publik
maupun privat. Penggunaan tanah untuk kepentingan publik tidak mengharuskan
tanah dimiliki oleh negara.
Dalam praktek pengelolaan
hukum pertanahan setelah berlakunya UUPA, dibedakan tiga konsep hak atas tanah
yang didasarkan kepada tiga jenis subyek hukum, yaitu; Konsep hak atas tanah milik
individu (perorangan), Konsep hak atas tanah milik pada hukum privat (badan
Hukum perdata) dan Konsep hak atas tanah
milik publik (Instansi pemerintah). Hak milik publik dapat diartikan sebagai
bagian hak milik bangsa Indonesia yang kepunyaan, peruntukan dan penggunaannya
ditujukan kepada kepentingan bersama bangsa dan pengelolaannya ditangan negara.
D. Implementasi Hak Milik Atas Tanah
Sebagai Bagian Hak Asasi Manusia
Tanah adalah aset bangsa
Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan
makmur. Landasan pemikiran lahirnya konsepsi hak milik atas tanah bagi bangsa
Indonesia merupakan manifestasi dari sila-sila Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 yang diwujudkan dalam hak milik privat dan hak milik publik, negara
pada tatanan tertinggi diberikan
kewenangan mengatur, mengurus, dan mengendalikannya dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil dan makmur material dan spritual.
Oleh karena itu,
pemanfaatan tanah haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia, dan kebijakan pertanahan didasarkan
kepada upaya konsisten untuk menjalankan amat pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yaitu
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.[11]
Untuk dapat hidup dan
berkembang serta mempertahankan kehidupan, seseorang harus mempunyai hak milik
dan dijamin oleh negara. Dan setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi
dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun.
Hak milik atas tanah bagi
bangsa Indonesia adalah hak yang lahir dari interaksi pergaulan masyarakat
bangsa yang merupakan refleksi dari hak asasi manusia yang kodrati, sebagai
anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, yang harus ada dan melekat
dalam harkat dan mertabat sebagai manusia, yang harus dihormati dan dijunjung
tinggi serta dilindungi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang. Oleh
sebab itu hak milik atas tanah bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari hak
milik privat dengan hak milik publik atas tanah bangsa Indonesia dalam
pelaksanaannya harus dijaga agar tetap ada dan dalam konsep keseimbangan antara
perlindungan, jaminan dan untuk
pembanguan serta kepentingan yang harus
dijadikan sebagai dasar pengembangan hukum tanah nasional yang dinamis.
Terhadap hak atas tanah
ulayat masyarakat hukum adat dihormati dan dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman dan tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang
berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat, dan pengingkaran terhadap hak
ulayat merupakan pelanggaran hak asasi manusia.[12] Dan
terhadap hak adat yang secara nyata masih berlaku bdan dijunjung tinggi di
dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam
rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan
dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Hak milik, khususnya hak milik atas tanah
sebagai bagian dari hak asasi manusia berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan
dasar untuk mengembangkan diri dalam kehidupan sosial. Dalam konteks pemenuhan
kebutuhan dasar akan tanah, perlu adanya suatu pembatasan hak milik atas tanah,
untuk mendapatkan sesuatu hanya sebanyak yang dapat dipakai untuk memenuhi
kebutuhan sendiri atau norang lain. Sejauh tidak menghalangi kepentingan orang
lain dalam mendapatkan sesuatu demi kebutuhan hidupnya.[13]
Artinya batas yang diperlukan dan standar hidup secara layak bagi
kehidupan sosial.
Tanah merupakan faktor utama
pendukung kehidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga konsep hak
kepemilikan menentukan susunan kehidupan dalam suatu negara.[14] Dalam
teori John Locke (1632-1704) hak milik dalam jumlah tak terbatas sebagai hak
kodrati seorang pribadi, yang lebih awal dari pemerintah. Hak milik pribadi secara khusus sebagai
pemilik tanah dan secara umum mencakup unsur hak asasi manusia yang terdiri
dari hak hidup, hak kebebasan jasmani dan hak milik pribadi. Dengan demikian
hak milik atas tanah adalah bagian dari hak milik, sedangkan hak milik atas
tanah bangsa merupakan refleksi dari hak asasi manusia.
Setiap orang berhak mempunyai hak
milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan
dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar
hukum. Dan Negara Republik Indonesia
mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia
sebagia hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari
manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan
martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta
keadilan.
Penghormatan atas hak milik pribadi,
didasarkan pada keadaan alamiah, manusia sudah mempunyai hak atas milik
pribadi, apa yang dimiliki manusia berasal dari Tuhan, merupakan anugerah-Nya,
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Tuhan memberikan dunia ini untuk dikembangkan seproduktif
mungkin, untuk itu manusia yang mau memenuhi kebutuhan hidupnya harus berjuang
dengan meningkatkan usahanya. Dengan kata lain bahwa hak semua manusia adalah
sama besarnya, sedangkan besar kecilnya milik yang dapat dicapai tergantung
pada usaha setiap orang.
Hak asasi manusia
merupakan hak universal yang secara kodrati dan dimiliki oleh individu secara
inheren serta tidak dapat dikurangi atau dicabut, kecuali atas kuasa
undang-undang. Dalam hal ini Sri
Soemantri Martosoewignjo, mengatakan
bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada jati diri manusia
secara kodrati dan universal, berfungsi menjaga integritas kebedaannya,
berkaitan dengan hak atas hidup dan kehidupan, keselamatan, keamanan,
kemerdekaan, keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak boleh diabaikan dan dirampas oleh
siapapun.[15]
Hak asasi manusia dibedakan menjadi hak asasi yang kodrati
sebagai anugrah Tuhan dan hak asasi yang lahir dari pergaulan sosial
masyarakat, yang awalnya hak asasi manusisa hanya mencakup hak hidup, kebebasan
dan kesamaan.[16] Adam Smith sebagai ahli ekonomi
mendasarkan pemkirannya pada hukum kodrat berupa hak yang melekat pada manusia,
yang berkaitan dengan aspek kerugian pribadi, nama baik dan hak milik, termasuk
hak yang melekat pada seseorang sebagi anggota keluarga berkaitan dengan ketentuan
harta bersama yang terikat karena perkawinan dan hak yang melekat pada
seseorang sebagai warga negara dengan pemerintah.
Hak milik adalah suatu
kualifikasi pasif dari penguasaan tertinggi atas barang yang harus ada sebagai
bagian dari hak asasi manusia. Berkaitan dengan hal itu, John Locke sebagai
penganut hukum kodrat, mengemukakan dua hal tentang keberadaan hak milik yaitu,
manusia secara kodrati mempunyai hak untuk mempertahankan hidupnya dan untuk
kelangsungan hidupnya, manusia diberkahi bumi dengan segala isinya untuk
dimiliki secara bersama dan semua orang mempunyai hak yang sama untuk
menggunakan sumber-sumber daya alam bagi kelangsungan hidupnya.[17]
Amanat kodrati yang
memerintahkan mempertahankan kehidupan pribadi yang merupakan legitimasi
lahirnya hak milik perorangan, ditempatkan pada tempat pertama, tanpa
mengabaikan perhatian terhadap kehidupan orang lain yang menjadi dasar tempat
mempertahankan kehidupan bersama ditempatkan pada tempat berikutnya.
UUPA tidak menempatkan
kedudukan istimewa hak perorangan atas tanah di atas hak yang lain, akan tetapi
menganut prinsip keseimbangan proporsional antara hak milik privat dan hak
milik publik atas tanah. Logika dasar pemikiran hak milik menjadi salah satu
unsur hak asasi manusia adalah hak untuk hidup dan kebebasan jasmaniah (hak
asasi yang harus ada dalam diri setiap individu selaras dengan harkat dan
martabatnya sebagai yang lainnya).[18]
Dengan demikian hak milik atas tanah dianggap sebagai bagian dari hak
asasi manusia, dikarenakan hak milik yang terpenting atau dalam pengertian
sempit sama dengan hak milik atas tanah.
Dasar konsep pemilikan
dari hak milik perorangan bahwa memiliki
sesuatu berarti orang lain mempunyai kewajiban untuk tidak merampas dari
padanya. Setiap orang mempunyai hak milik pribadi dan hak itu dimaksudkan untuk
memperoleh sesuatu serta mempertahankan apa yang menjadi miliknya dan negara
mempunyai kewajiban untuk melindungginya. Setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang
oleh siapapun, dan ini merupakan
landasan pemikiran hak milik khususnya hak milik atas tanah sebagai refleksi
dari hak asasi manusia.
III. KESIMPULAN
Hak asasi manusia dibedakan menjadi hak asasi yang kodrati
sebagai anugrah Tuhan dan hak asasi yang lahir dari pergaulan sosial
masyarakat, yang awalnya hak asasi manusisa hanya mencakup hak hidup, kebebasan
dan kesamaan. Adam Smith sebagai ahli ekonomi mendasarkan pemikirannya pada
hukum kodrat berupa hak yang melekat pada manusia, yang berkaitan dengan aspek
kerugian pribadi, nama baik dan hak milik, termasuk hak yang melekat pada
seseorang sebagi anggota keluarga berkaitan dengan ketentuan harta bersama yang
terikat karena perkawinan dan hak yang melekat pada seseorang sebagai warga negara
dengan pemerintah.
Hak
milik atas tanah dianggap sebagai bagian dari hak asasi manusia, dikarenakan hak milik yang terpenting
atau dalam pengertian sempit sama dengan hak milik atas tanah. Setiap orang
berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapapun
DAFTAR
PUSTAKA
Aslam Noor, Konsep
Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2006,
A.P. Parlindungan, Komentar
Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan dan Sejarah Terbentuknya, Mandar Maju,
Bandung, 1996.
A. Sonny Keraf, Hukum Kodrat dan
Teori Hak Milik Pribadi, Kanisius,Yogyakarta,
1997.
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewewnangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, Rajawali
Pers, Jakarta, 2008.
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan
Hukum Tanah Nasional Dalam Hubungan Dengan Tap MPR RI. IX/MPR/2001, Penerbit
Universitas Trisakti, Jakarta, 2002.
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban
Yang Adil Problematik Filsafat Hukum, Grassindo, Jakarta, 1999.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan bagaimana Filsafat Hukum Indoneisa, Grmedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
Imam Soetiknjo. Proses Terjadinya UUPA, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 1986.
Indoharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Perdata, Tanpa
Penerbit, Jakarta, 1992.
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari
Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung,
1997.
Muhammad Bakri, Hak
Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Medja, Cet 1, Yogjakarta, 2007.
Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, Hak Milik Keadilan dan
Kemakmuran Tinjauan Filsafat
Hukum, Ghalia Indonesia Jakarta,
1982.
Sunaryati Hartono, Beberapa
Pemikiran Kearah Pembaruan Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1978.
Soejono dan Abdurrahman, Prosedur Pendaftaran Tanah Tentang Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Rineka Cipta, Jakarta, 1998.
Sri Soemantri M, Peningkatan
Perlindungan Hukum Melalui Hak Asasi Manusia,
Jurnal Ilmiah Untag No. 1, Januari 1995.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria.
Undang-Undang Republik Indonesai,
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia.
0 komentar:
Posting Komentar