Jumat, 31 Agustus 2018

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN


Oleh: Abuyazid  Bustomi
Fakultas Hukum Universitas Palembang

ABSTRACT
            In Article 1 of Act Number 8 of 1999 concerning consumer protection, it is stated that consumers are every person who uses goods and or services available in the community, both for the benefit of themselves, their families, other people, and other living things and not for trading. Consumer protection is a matter of legal protection given to consumers in an effort to obtain goods and services from possible losses due to their use, then the law of consumer protection can be said as a law governing the provision of consumer protection how guarantees are protected consumer rights and how to enforce regulations through state administration law, criminal law, and civil law so that the fulfillment of consumer rights is fulfilled, the goods and services of the business conduct products will be protected as such. The responsibility of the business actor for the loss of the consumer is to provide compensation for the damage, pollution, and or loss of the consumer due to consuming goods and or services produced or traded. Payment of compensation is the main responsibility of the business actor, compensation in accordance with Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection can be in the form of: refunds, replacement of similar goods and or services of equal value, health care, and compensation.
Keywords: Legal Protection of Consumer Rights.

ABSTRAK
            Di dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen disebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Perlindungan konsumen merupakan mempersoalkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan konsumen bagaimana jaminan akan hak-hak konsumen terlindungi dan bagaimana penegakkan peraturan melalui hukum administrasi Negara, hukum pidana, dan hukum perdata sehingga terpenuhinya hak-hak konsumen terpenuhi,  barang dan jasa dari produk prelaku usaha akan terlindunggi sepenunhnya. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen adalah dengan memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Pembayaran pengganti kerugian merupakan tanggung jawab paling utama dari pelaku usaha, ganti kerugian menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat berupa: pengembalian uang, penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan, dan pemberian santunan.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum Hak Konsumen.


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
 Permasalahan konsumen selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat, selama masih banyak konsumen yang dirugikan. Idealnya Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen dengan memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dimakan atau digunakan, mengikuti standar yang berlaku, serta harga yang sesuai.[1]
Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang atau pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen di tanah air, baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran barang secara langsung. Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang atau jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang atau jasa yang dikonsumsinya. Berbagai bentuk kesalahan dan pelanggaran hak-hak konsumen sudah banyak terjadi dan ini begitu meresahkan dan merugikan masyarakat.
Ada beberapa hal yang patut dicermati dalam kasus-kasus perlindungan konsumen :
1.   Perbuatan pelaku usaha, baik disengaja maupun karena kelalaian, ternyata berdampak serius dan meluas. Akibatnya, kerugian yang diderita konsumen dapat bersifat massal.
2.   Dampak yang ditimbulkan juga bersifat seketika. Kerugian materi atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen disebabkan oleh tidak sempurnanya produk. Banyak produsen yang kurang menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi konsumen atau menjamin keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi produk yang dihasilkannya.
3.   Kalangan yang menjadi korban adalah masyarakat bawah, karena tidak ada pilihan lain, terpaksa mengonsumsi barang atau jasa yang hanya semampunya didapat, dengan standar kualitas dan keamanan yang sangat minim. Kondisi ini menyebabkan diri mereka selalu dekat dengan bahaya-bahaya yang bisa mengancam kesehatan dan keselamatan dirinya kapan saja.
Banyak pelaku usaha yang kurang menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi konsumen atau menjamin keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi produk yang dihasilkannya. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
a.    Rendahnya kesadaran hukum para pejabat pemerintah yang kurang hati-hati dalam melakukan pengawasan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan produsen.
b.    Adanya kebijakan resmi pemerintah tentang pemakaian barang berbahaya, misalnya dipakainya bahan tambahan makanan (BTM) untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan melalui Depkes RI.[2]
c.    Masih rendahnya kesadaran masyarakat konsumen dan produsen lapisan bawah serta kurangnya penyuluhan hukum sehingga mereka tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada.
d.   Adanya kesengajaan dari produsen untuk mengedarkan barang cacat dan berbahaya, baik karena menyadari kelemahan konsumen, kelemahan pengawasan, ataupun demi mengejar keuntungan atau laba.
Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen  No. 8 tahun 1999 pada pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum  untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 4 hak-hak konsumen meliputi :
1.      Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang atau jasa.
2.      Hak untuk memilih dan mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3.      Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa.
4.      Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan.
5.      Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa konsumen secara patut.
6.      Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7.      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8.      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau pergantian, jika barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Kerugian yang dialami konsumen akibat barang cacat diatur dalam ketentuan pasal 1367 KUHPerdata. Apabila seseorang menimbulkan kerugian tersebut mirip perbuatan melawan Hukum dan kerugian itu ditimbulkan oleh benda tanpa perbuatan manusia maka, pertanggungjawabannya terletak pada pihak yang mengawasi benda tersebut serta bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang terjadi.
Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen atau dalam mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.
Berdasarkan latar belakang tersebutdi atas, maka penulis tertarik untuk menulis penelitian dengan judul “TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN ”.
B. Permasalahan
Bertolak dari uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka terdapat beberapa permasalahan yang perlu dibahas dalam skripsi ini, antara lain sebagai berikut:
1.    Bagaimanakah tanggung jawab pelaku usaha terhadap barang yang cacat dan berbahaya yang mengakibatkan kerugian kepada konsumen?
2.    Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen ?
C. Ruang Lingkup dan Tujuan
            Ruang lingkup penelitian dititikberatkan pada perlindungan hukum terhadap kerugian konsumen akibat barang cacat dan berbahaya, yang diproduksi atau dipasarkan oleh pelaku usaha secara bebas, tanpa menutup kemungkinan menyinggung pula hal-hal lain yang ada kaitannya.
Adapun tujuan penelitian ini antara lain :
1.    Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap barang yang cacat dan berbahaya yang mengakibatkan kerugian kepada konsumen
2.    Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen.
D. Metodologi
            Penelitian yang bertujuan untuk dapat menjelaskan dan menguji suatu teori yang telah ada sebelumnya, dengan melakukan pengkajian terhadap bahan-bahan hukum baik bahan Hukum Primer maupun bahan Hukum Sekunder. Dalam penelitian ini bahan hukum yang dipergunakan mencakup:[3]
  1. Bahan Hukum Primer
a.    Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
b.    Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
c.    Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
d.   Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
  1. Bahan Hukum Sekunder
a.    Kepustakaan atau buku-buku yang merupakan hasil karya para pakar (tokoh) dan sarjana yang menguraikan tentang hukum perlindungan konsumen.
b.    Makalah-makalah tentang perlindungan konsumen dan juga hukum perlindungan konsumen.

 II PEMBAHASAN
A.      Pengertian Konsumen dan Perlindungan Hukum Konsumen
1.    Pengertian Konsumen
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) disebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 2 bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi. Yang dimaksud dengan konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Sedangkan dalam literatur ekonomi dikenal juga konsumen antara, yaitu konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.[4]

 Persoalan hubungan konsumen dan pelaku usaha biasanya dikaitkan dengan produk, barang atau jasa yang dihasilkan teknologi. Menurut pasal 1 angka 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.
2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan (hukum) yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagi konsumen. Hukum perlindungan  konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. [5]
Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum atau hak-hak konsumen. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.[6]
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai beriku :
1.        Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2.        Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang atau jasa.
3.        Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4.        Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5.        Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6.        Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Dengan demikian jelas hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia menjadi dasar dan kepastian hukun bagi masyarakat sebagai konsumen untuk mendapatkan hak-haknya dengan penuh optimisme dan optimal.
B. Kriteria atau Ukuran Barang yang Menjadi Tanggung Jawab Pelaku Usaha
1. Barang Cacat
Produk disebut cacat bila produk itu tidak aman dalam penggunaannya, tidak memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu. Produk yang cacat menurut Tim Kerja penyusun naskah akademis Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI. Mereka merumuskan produk yang cacat, sebagai berikut:[7]
Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena kesengajaan, atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagai layaknya diharapkan orang.”
KUHPerdata mengatur mengenai produk cacat pada pasal 1504 sampai pasal 1512, dikenal dengan terminologi cacat tersembunyi. Yang dimaksud dengan cacat tersembunyi adalah cacat yang mengakibatkan kegunaan barang tidak serasi lagi dengan tujuan semestinya. Penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi dalam hal demikian. Sehingga apabila pembeli mendapatkan barangnya terdapat cacat tersembunyi maka terhadapnya diberikan dua pilihan. Pilihan tersebut sesuai dengan pasal 1507 KUHPerdata yaitu:[8]
1.        Mengembalikan barang yang dibeli dengan menerima pengembalian harga (refund).
2.        Tetap memiliki barang yang dibeli dengan menerima ganti rugi dari penjual.
2. Bahan Berbahaya
Bahan berbahaya adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung maupun tidak langsung yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenik, metagenik, korosif dan iritasi.[9]
Penggunaan bahan berbahaya dapat mengakibatkan kerugian pada konsumen secara massal, hal ini juga disebabkan oleh ketidaktahuan konsumen terhadap berbagai jenis bahan berbahaya yang ada.Oleh karena itu konsumen perlu bersikap secara mandiri yaitu dengan cara sebagai berikut:
1.      Sadar akan harkat dan martabat konsumen, mampu untuk melindungi diri sendiri dan keluarganya.
2.      Jujur dan bertanggung jawab.
3.      Mampu menentukan pilihan barang dan jasa sesuai dengan kepentingan, kebutuhan serta kemampuan dan keadaan yang menjamin keamanan, keselamatan kesehatan  konsumen sendiri.
4.      Berani dan mampu mengemukakan pendapat, serta berani memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya.
5.      Berbudaya dan sadar hukum perlindungan konsumen.
C.      Hak Konsumen dan Kewajiban Pelaku Usaha
1.    Hak  Konsumen
Berkaitan dengan perlindungan konsumen, maka hak-hak konsumen yang  mendapat perlindungan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 4 sebagai berikut :
a.    Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keseluruhan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
b.    Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c.    Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.
d.   Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan.
e.    Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f.     Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g.    Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak deskriminatif.
h.    Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i.      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping Hak Konsumen juga punya kewajiban sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan  sebagai berikut:
1.      Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
2.      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa.
3.      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang lebih disepakati.
4.      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
            2. Kewajiban Pelaku Usaha
Secara tegas di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur secara tegas kewajiban pelaku usaha dalam pasal 7 UUPK sebagai berikut:
1.      Beritikad baik dalam menjalankan usaha.
2.      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi, jaminan barang atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3.      Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.
4.      Menjamin mutu barang dan atau jasa yang di produksi dan atau yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.
5.      Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat atau diperdagangkan.
6.      Memberikan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
7.      Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau di manfaatkan tidak sesuai dengan yang di perjanjikan.
D. Peran Pemerintah dalam Melindungi Konsumen
1. Pembinaan
Dalam undang-undang perlindungan konsumen padal 29 ayat 1 dinyatakan bahwa “pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.
Pelaksanaan pembinaan dilakukan oleh pemerintah melalui Menteri teknis yang terkait dengan perlindungan konsumen. Dalam hal ini Menteri teknis yang menangani perlindungan konsumen akan melakukan koordinasi tentang penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri-menteri lainnya. Pemerintah juga diberi wewenang untuk melakukan pembinaan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen, yaitu meliputi upaya untuk:
a.    Terciptanya iklim usaha yang sehat;
b.    Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c.    Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
2.    Pengawasan
Dalam UU perlindungan konsumen pasal 30 ayat 1 disebutkan bahwa “pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”
Bentuk pengawasan oleh pemerintah diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 58 tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen pasal 8 sebagai berikut.
1.    Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, promosi, pengiklanan, serta pelayanan purnajual barang dan atau jasa.
2.    Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan dan penjualan barang atau jasa.
3.    Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat disebarluaskan kepada masyarakat.
4.    Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 ditetapkan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
Selain melakukan tugas pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen, peran pemerintah juga membentuk apa yang disebut dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Badan ini dibentuk sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang perlindungan konsumen dan peraturan pemerintah  No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Dalam rangka menjalankan fungsi tersebut, BPKN mempunyai tugas sebagai berikut:
1.    Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen.
2.    Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.
3.    Melakukan penelitian terhadap barang dan atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen.
4.    Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
5.    Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen.
6.    Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha.
7.    Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Badan
B.   Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Barang yang Cacat dan Berbahaya yang Mengakibatkan Kerugian Kepada Konsumen
Tanggung jawab pelaku usaha tersebut merupakan bagian dari kewajiban yang mengikat kegiatan mereka dalam berusaha. Yang disebut dengan istilah Product liability (tanggung jawab produk).
Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer) dari orang atau badan suatu produk (processor, assembler) atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.[10]
Pelaku usaha yang diharuskan bertanggung jawab atas hasil usahanya adalah pelaku usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan berikut ini:
1.        Menghasilkan produk akhir, termasuk memproduksi bahan mentah atau komponen.
2.        Mencantumkan nama, merek, atau tanda lain pada produk dengan tidak menunjukkan pihaknya sebagai pelaku usaha.
3.        Mengimpor produk  ke wilayah Republik Indonesia.
4.        Menyalurkan barang yang tidak jelas identitas pelaku usahanya, baik produk dalam negeri maupun importirnya yang tidak jelas identitasnya.
5.        Menjual jasa seperti mengembangkan perumahan atau membangun apartemen.
6.        Menjual jasa dengan menyewakan alat transportasi atau alat berat.
Dasar pembebanan tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen adalah:
Adanya Negligence Adalah suatu perilaku yang tidak sesuai dengan kelakuan (standard of conduct) yang ditetapkan  oleh Undang-undang dan Adanya duty of care (kewajiban memelihara kepentingan orang lain).
Prinsip pertanggung jawaban mutlak (Strict liability) ini tidak mempersoalkan lagi mengenai ada atau tidak adanya kesalahan, tetapi pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh produknya yang cacat. Pelaku uasaha dianggap harus bertanggung jawab apabila telah timbul kerugian pada konsumen karena mengonsumsi suatu produk dan oleh karena itu pelaku usaha harus mengganti kerugian itu.
Dalam Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen adalahl sebagai berikut:
1.      Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2.      Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.      Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4.      Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 18 dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5.      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Terhadap kebenaran Pelaku Usaha telah menyebabkan kerugian Konsumen diatur dalam pasal 28 Undang-Undang No. 8 tahun 1999, yang inti pokoknya menyatakan beban  dan tanggung jawab pelaku usaha dalam memberikan ganti kerugian dapat berupa :
1.      Pengembalian uang;
2.      Penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya;
3.      Perawatan kesehatan; dan
4.      Pemberian santunan.
            Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen yang diatur dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
          Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen terbagi dalam dua aspek :[11]
1.    Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan Undang-Undang. Dalam hal ini konsumen mendapatkan pergantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai.
2.   

Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Dalam hal ini berua persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purnajual, dan sebagainya.
            Untuk memenuhi tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pemerintah perlu melakukan pembinaan dan pengawasan meliputi:
a.     Diri pelaku usaha, mendorong pelaku usaha supaya bertindak sesuai aturan yang berlaku, baik aturan yang diharuskan Undang-undang, kebiasaan, maupun kepatutan. Dengan demikian pelaku usaha akan bertingkah laku sepantasnya dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.
b.     Sarana dan prasarana produksi, melalui pembinaan ini dapat dicapai tingkat produk yang berkualitas, pembangunan yang memadai sebagai pelaksana kegiatan usaha.
c.      Iklim usaha secara keseluruhan, dengan pembinaan ini diharapkan tumbuh dan berkembang iklim usaha yang sehat sehingga dapat mempertinggi tingkat kesejahteraan masyarakat melalui efisiensi usaha.
d.     Konsumen, pembinaan kepada konsumen diarahkan untuk meningkatkan sumber daya konsumen sehingga mempunyai kesadaran yang kuat atas hak-haknya, mau berkonsumsi secara sehat dan rasional.
                        Dalam pasal 29 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk :
1.      Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen.
2.      Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
3.      Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
                        Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan konsumen Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan sejalan dengan tujuan pembangunan Nasional kita, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan:[12]
1.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan.
2.      Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha.
3.      Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.
4.      Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan.
5.      Memadukan penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan perlindungan pada bidang-bidang lain.
            Terhadap Sengketa antara Konsumen dan Pelaku Usahan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah memberikan sarana bagi konsumen untuk menuntu haknya melalui :
1.  Penyelesaian lewat Peradilan
            Menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 45 ayat 1, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan.
            Adapun yang berhak melakukan gugatan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha diatur dalam pasal 46 ayat (1) UUPK, yaitu:[13]
a.     Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b.    Sekelompok konsumen yang, mempunyai kepentingan yang sama.
c.    Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam Anggaran Dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan perlindungan konsumen sesuai dengan anggaran dasarnya.
d.   Pemerintah dan atau instansi yang terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit.
            Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan hanya memungkinkan apabila:[14]
1.      Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, atau
2.    Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
2. Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan
            Terhadap proses penyelesaian sengketa diluar Peradilan, maka UUPK memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan umum. Dalam Ketentuan pasal 52 UUPK penyelesaian sengketa diselesaikan dengan cara sebagai berikut :
a.    Mediasi yang merupakan suatu proses dimana pihak ketiga mangajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah disepakati. Sesuai batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak.
b.    Arbitrase Merupakan cara penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Kelebihan arbitrase ini karena keputusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
c.    Konsiliasi, cara ini ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak dimana majelis BPSK bertugas sebagai perantara antara para pihak yang bersengketa dan Majelis BPSK bersifat pasif. Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang di sampaikan para pihak. Namun pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase.

III. PENUTUP
Berdasarkan uraian dalam bab-bab terdahulu, terutama yang berhubungan dengan permasalahan, dapat ditarik kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
  1. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen adalah dengan memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Pembayaran pengganti kerugian merupakan tanggung jawab paling utama dari pelaku usaha, ganti kerugian menurut UUPK dapat berupa: pengembalian uang, penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan, dan pemberian santunan.
  2. Perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia yaitu:
a)    Telah dikeluarkannya peraturan yang bertujuan untuk menjamin hak-hak konsumen
b)   Penegakkan peraturan melalui sanksi hukum administrasi, hukum pidana, dan hukum perdata sehingga terpenuhinya hak-hak konsumen benar-benar terpenuhi.
B. Saran
1. Hendaknya konsumen menjadi konsumen yang cerdas, membiasakan diri untuk belanja dengan rencana, mengonsumsi barang atau jasa sesuai kebutuhan, teliti sebelum membeli, memperhatikan label keterangan barang, tanggal kadaluarsa, sehingga tidak merugikan konsumen sendiri di kemudian hari.

2. Agar pihak pelaku usaha memproduksi barang atau jasa yang berkualitas sesuai dengan standar kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen. Hendaknya pelaku usaha juga memberitahukan kepada konsumen jika ada cacat dan berbahaya dari produk barang atau jasa yang dijualnya.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1995.
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002.
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, PT. Visimedia, Jakarta 2008.
Husni Syawali dan Neni Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000.
Janus sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Sabarudin, Hukum Perlindungan Konsumen, http://www.scribd.com/doc/35914052/, diakses: 10 Oktober 2011.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/ Men.Kes/ Per/ 1999 tentang Bahan Tambahan Makanan yang Dilarang.
Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001, Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional
R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta 2006.
Undang-undang No. 8 Tahun 1999, Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-undang No. 36 Tahun 2009, Tentang Kesehatan.



 



                [1]. Sabarudin, Hukum Perlindungan Konsumen, http://www.scribd.com/doc/35914052/, diakses: 10 Oktober 2011.
[2]. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Men.Kes/Per/1999 tentang Bahan Tambahan Makanan yang Dilarang.
         [3]. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm 13.
                [4]. Janus sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm 18.
                [5]. Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1995, hlm 66.
                [6]. Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, PT. Visimedia, Jakarta, 2008, hlm 17.
                [7].  Ibid, hlm 22.
                [8]. R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta 2006, hlm 34.
                [10] Happy Susanto, Op. Cit., hlm 37.
                [11]Janus Sidabalok, Op. Cit, hlm 10.
                [12]Husni Syawali dan Neni Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm 7.
                [13] Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 75.
[14] Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm 234.

1 komentar:


  1. ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
    ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
    add pin bb 58ab14f5 || ditunggu ya^^

    BalasHapus