Oleh: Abuyazid Bustomi
Fakultas
Hukum Universitas Palembang
ABSTRACT
In
Article 1 of Act Number 8 of 1999 concerning consumer protection, it is stated
that consumers are every person who uses goods and or services available in the
community, both for the benefit of themselves, their families, other people,
and other living things and not for trading. Consumer protection is a matter of
legal protection given to consumers in an effort to obtain goods and services
from possible losses due to their use, then the law of consumer protection can
be said as a law governing the provision of consumer protection how guarantees
are protected consumer rights and how to enforce regulations through state
administration law, criminal law, and civil law so that the fulfillment of
consumer rights is fulfilled, the goods and services of the business conduct
products will be protected as such. The responsibility of the business actor
for the loss of the consumer is to provide compensation for the damage,
pollution, and or loss of the consumer due to consuming goods and or services
produced or traded. Payment of compensation is the main responsibility of the
business actor, compensation in accordance with Law No. 8 of 1999 concerning
Consumer Protection can be in the form of: refunds, replacement of similar
goods and or services of equal value, health care, and compensation.
Keywords: Legal Protection of Consumer Rights.
ABSTRAK
Di dalam
pasal 1 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
disebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Perlindungan
konsumen merupakan
mempersoalkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam
usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian
karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai
hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan konsumen bagaimana jaminan akan
hak-hak konsumen terlindungi dan bagaimana penegakkan peraturan melalui
hukum administrasi Negara, hukum pidana, dan hukum perdata sehingga
terpenuhinya hak-hak konsumen
terpenuhi, barang dan jasa dari produk
prelaku usaha akan terlindunggi sepenunhnya. Tanggung
jawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen adalah dengan memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi
barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Pembayaran pengganti
kerugian merupakan tanggung jawab paling utama dari pelaku usaha, ganti
kerugian menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan
Konsumen dapat
berupa: pengembalian uang, penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau
setara nilainya, perawatan kesehatan, dan pemberian santunan.
I. PENDAHULUAN
|
Permasalahan konsumen selalu menjadi bahan
perbincangan di masyarakat, selama masih
banyak konsumen yang dirugikan. Idealnya Pelaku usaha menyadari bahwa mereka
harus menghargai hak-hak konsumen dengan
memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dimakan atau digunakan, mengikuti
standar yang berlaku, serta harga yang sesuai.[1]
Hak konsumen
yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era
globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam
produk barang atau pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen di tanah air,
baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran barang secara langsung. Jika
tidak berhati-hati dalam memilih produk barang atau
jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku
usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu
saja barang atau jasa yang dikonsumsinya. Berbagai bentuk kesalahan dan
pelanggaran hak-hak konsumen sudah banyak terjadi dan ini begitu meresahkan dan
merugikan masyarakat.
Ada beberapa hal
yang patut dicermati dalam kasus-kasus perlindungan konsumen :
1.
Perbuatan pelaku usaha, baik disengaja
maupun karena kelalaian, ternyata berdampak serius dan meluas. Akibatnya,
kerugian yang diderita konsumen dapat bersifat massal.
2.
Dampak yang ditimbulkan juga bersifat
seketika. Kerugian materi atau ancaman bahaya pada
jiwa konsumen disebabkan oleh tidak sempurnanya produk. Banyak produsen yang
kurang menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi konsumen atau menjamin
keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi produk yang dihasilkannya.
3.
Kalangan yang menjadi korban adalah
masyarakat bawah, karena tidak ada pilihan lain, terpaksa mengonsumsi barang
atau jasa yang hanya semampunya didapat, dengan standar kualitas dan keamanan
yang sangat minim. Kondisi ini menyebabkan diri mereka selalu dekat dengan
bahaya-bahaya yang bisa mengancam kesehatan dan keselamatan dirinya kapan saja.
Banyak pelaku usaha yang kurang menyadari tanggung jawabnya
untuk melindungi konsumen atau menjamin keselamatan dan keamanan dalam
mengkonsumsi produk yang dihasilkannya. Hal ini juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor sebagai berikut:
a. Rendahnya
kesadaran hukum para pejabat pemerintah yang kurang hati-hati dalam melakukan
pengawasan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan produsen.
b. Adanya
kebijakan resmi pemerintah tentang pemakaian barang berbahaya, misalnya dipakainya bahan tambahan makanan (BTM) untuk mempengaruhi
sifat ataupun bentuk makanan melalui Depkes RI.[2]
c. Masih
rendahnya kesadaran masyarakat konsumen dan produsen lapisan bawah serta
kurangnya penyuluhan hukum sehingga mereka
tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada.
d. Adanya
kesengajaan dari produsen untuk mengedarkan barang cacat dan berbahaya, baik
karena menyadari kelemahan konsumen, kelemahan pengawasan, ataupun demi
mengejar keuntungan atau laba.
Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 pada pasal
1 angka 1 disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, sebagaimana
terdapat dalam ketentuan Pasal 4 hak-hak konsumen meliputi
:
1. Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang atau jasa.
2. Hak
untuk memilih dan mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau
jasa.
4. Hak
untuk didengar pendapat keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan.
5. Hak
untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa konsumen
secara patut.
6. Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau pergantian, jika barang atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Kerugian yang
dialami konsumen akibat barang cacat diatur dalam ketentuan pasal 1367
KUHPerdata. Apabila seseorang menimbulkan kerugian tersebut mirip perbuatan
melawan Hukum dan kerugian itu ditimbulkan oleh benda tanpa perbuatan manusia
maka, pertanggungjawabannya terletak pada pihak yang mengawasi benda tersebut
serta bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang terjadi.
Konsumen yang
merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum
di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dasar hukum tersebut bisa
menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen
atau dalam mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.
Berdasarkan latar belakang
tersebutdi atas, maka penulis tertarik untuk menulis
penelitian dengan judul “TANGGUNG JAWAB
PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN ”.
B.
Permasalahan
Bertolak dari uraian
dalam latar belakang tersebut di atas, maka terdapat beberapa
permasalahan yang perlu dibahas dalam skripsi ini, antara lain sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
tanggung jawab pelaku usaha terhadap barang yang cacat dan
berbahaya yang mengakibatkan kerugian kepada konsumen?
2.
Bagaimanakah
perlindungan hukum terhadap konsumen ?
C.
Ruang Lingkup
dan Tujuan
Ruang lingkup penelitian
dititikberatkan pada perlindungan hukum terhadap kerugian konsumen akibat
barang cacat dan berbahaya, yang diproduksi atau dipasarkan oleh pelaku usaha
secara bebas, tanpa menutup kemungkinan menyinggung pula hal-hal lain yang ada
kaitannya.
Adapun tujuan
penelitian ini antara lain :
1. Untuk mengetahui
bagaimana tanggung jawab pelaku usaha
terhadap barang yang cacat dan berbahaya yang mengakibatkan kerugian kepada
konsumen
2. Untuk
mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen.
D. Metodologi
Penelitian yang bertujuan untuk
dapat menjelaskan dan menguji suatu teori yang telah
ada sebelumnya, dengan melakukan pengkajian terhadap bahan-bahan hukum baik
bahan Hukum Primer maupun bahan Hukum
Sekunder. Dalam penelitian ini bahan hukum yang dipergunakan mencakup:[3]
- Bahan
Hukum Primer
a.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
b.
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
c.
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
d.
Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang Badan
Perlindungan Konsumen Nasional.
- Bahan
Hukum Sekunder
a.
Kepustakaan atau buku-buku yang
merupakan hasil karya para pakar (tokoh) dan sarjana yang menguraikan tentang
hukum perlindungan konsumen.
b.
Makalah-makalah tentang perlindungan
konsumen dan juga hukum perlindungan konsumen.
A.
Pengertian
Konsumen dan Perlindungan Hukum Konsumen
1. Pengertian Konsumen
Dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) disebutkan bahwa konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sebagaimana
disebutkan dalam pasal 1 angka 2 bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen
akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi. Yang dimaksud dengan konsumen
akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Sedangkan dalam
literatur ekonomi dikenal juga konsumen antara, yaitu konsumen yang menggunakan
suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.[4]
|
2. Pengertian
Hukum Perlindungan Konsumen
Perlindungan
konsumen mempersoalkan perlindungan (hukum) yang diberikan kepada konsumen
dalam usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya
kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan
sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan konsumen dalam
rangka pemenuhan kebutuhannya sebagi konsumen. Hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen.
Hukum konsumen menurut beliau adalah keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen,
di dalam pergaulan hidup. [5]
Pada dasarnya,
baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang
sama, yaitu kepentingan hukum atau hak-hak konsumen.
Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat
diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan
kewajiban konsumen dan pelaku usaha yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.
Upaya
perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan
yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan
praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen
memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.[6]
Berdasarkan Pasal
3 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai
beriku :
1.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2.
Mengangkat harkat
dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakaian barang atau jasa.
3.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4.
Menciptakan sistem
perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap
yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6.
Meningkatkan kualitas barang atau jasa
yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Dengan
demikian jelas hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia menjadi dasar
dan kepastian hukun bagi masyarakat sebagai konsumen untuk mendapatkan hak-haknya
dengan penuh optimisme dan optimal.
B.
Kriteria atau Ukuran Barang yang Menjadi Tanggung Jawab Pelaku Usaha
1. Barang Cacat
Produk disebut
cacat bila produk itu tidak aman dalam penggunaannya, tidak memenuhi
syarat-syarat keamanan tertentu. Produk yang cacat menurut Tim Kerja penyusun
naskah akademis Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI. Mereka
merumuskan produk yang cacat, sebagai berikut:[7]
“Setiap
produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena kesengajaan,
atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang
terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi
manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagai layaknya
diharapkan orang.”
KUHPerdata
mengatur mengenai produk cacat pada pasal 1504 sampai pasal 1512, dikenal
dengan terminologi cacat tersembunyi. Yang dimaksud dengan
cacat tersembunyi adalah cacat yang mengakibatkan kegunaan barang tidak serasi
lagi dengan tujuan semestinya. Penjual selalu diharuskan untuk bertanggung
jawab atas adanya cacat tersembunyi dalam hal demikian. Sehingga apabila pembeli
mendapatkan barangnya terdapat cacat tersembunyi maka terhadapnya diberikan dua
pilihan. Pilihan tersebut sesuai dengan pasal
1507 KUHPerdata yaitu:[8]
1.
Mengembalikan
barang yang dibeli dengan menerima pengembalian harga (refund).
2.
Tetap memiliki barang yang dibeli dengan
menerima ganti rugi dari penjual.
2. Bahan Berbahaya
Bahan berbahaya
adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran
yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung maupun
tidak langsung yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenik,
metagenik, korosif dan iritasi.[9]
Penggunaan bahan
berbahaya dapat mengakibatkan kerugian pada konsumen secara massal,
hal ini juga disebabkan oleh ketidaktahuan konsumen terhadap berbagai jenis
bahan berbahaya yang ada.Oleh karena itu konsumen perlu bersikap secara mandiri yaitu dengan cara sebagai berikut:
1.
Sadar akan harkat dan martabat konsumen,
mampu untuk melindungi diri sendiri dan keluarganya.
2.
Jujur dan bertanggung jawab.
3.
Mampu menentukan pilihan barang dan jasa
sesuai dengan kepentingan, kebutuhan serta kemampuan dan keadaan yang menjamin
keamanan, keselamatan kesehatan konsumen
sendiri.
4.
Berani dan mampu mengemukakan pendapat,
serta berani memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya.
5.
Berbudaya dan sadar hukum perlindungan
konsumen.
C.
Hak
Konsumen dan Kewajiban Pelaku Usaha
1.
Hak Konsumen
Berkaitan dengan
perlindungan konsumen, maka hak-hak konsumen yang mendapat perlindungan sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen pasal 4 sebagai berikut :
a. Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keseluruhan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
b. Hak
untuk memilih dan mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan
atau jasa.
d. Hak
untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan.
e. Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
deskriminatif.
h. Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang
dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping
Hak Konsumen juga punya kewajiban sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan sebagai berikut:
1.
Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi
keamanan dan keselamatan.
2.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan atau jasa.
3.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang lebih disepakati.
4.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2. Kewajiban Pelaku Usaha
Secara
tegas di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur secara tegas kewajiban
pelaku usaha dalam pasal 7 UUPK sebagai berikut:
1.
Beritikad baik dalam menjalankan usaha.
2.
Memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi, jaminan barang atau jasa serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar, jujur dan tidak diskriminatif.
4.
Menjamin mutu barang dan atau jasa yang
di produksi dan atau yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan atau jasa yang berlaku.
5.
Memberikan kesempatan kepada konsumen
untuk menguji, dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberikan
jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat atau diperdagangkan.
6.
Memberikan kompensasi, ganti rugi dan
atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
7.
Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan
atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau di manfaatkan
tidak sesuai dengan yang di perjanjikan.
D.
Peran Pemerintah dalam Melindungi
Konsumen
1. Pembinaan
Dalam undang-undang perlindungan
konsumen padal 29 ayat 1 dinyatakan bahwa “pemerintah bertanggung jawab atas
pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha”.
Pelaksanaan pembinaan dilakukan oleh
pemerintah melalui Menteri teknis yang terkait dengan
perlindungan konsumen. Dalam hal ini
Menteri teknis yang menangani perlindungan konsumen akan melakukan koordinasi
tentang penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri-menteri lainnya. Pemerintah
juga diberi wewenang untuk melakukan pembinaan atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen, yaitu meliputi upaya untuk:
a.
Terciptanya iklim usaha yang sehat;
b.
Berkembangnya lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat;
c.
Meningkatnya kualitas sumber daya
manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang
perlindungan konsumen.
2.
Pengawasan
Dalam UU
perlindungan konsumen pasal 30 ayat 1 disebutkan
bahwa “pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh
pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”
Bentuk pengawasan oleh pemerintah diatur
dalam peraturan pemerintah Nomor 58 tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan perlindungan konsumen pasal 8 sebagai berikut.
1.
Pengawasan oleh pemerintah dilakukan
terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan atau
jasa, pencantuman label dan klausula baku, promosi, pengiklanan, serta
pelayanan purnajual barang dan atau jasa.
2. Pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam proses produksi, penawaran,
promosi, pengiklanan dan penjualan barang atau jasa.
3. Hasil
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat disebarluaskan kepada
masyarakat.
4. Ketentuan
mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 ditetapkan
oleh menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri
sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
Selain
melakukan tugas pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen,
peran pemerintah juga membentuk apa yang disebut dengan Badan Perlindungan
Konsumen Nasional (BPKN). Badan ini dibentuk sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang
perlindungan konsumen dan peraturan pemerintah
No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Badan Perlindungan
Konsumen Nasional
berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya
mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Dalam rangka menjalankan
fungsi tersebut, BPKN mempunyai tugas sebagai berikut:
1.
Memberikan saran dan rekomendasi kepada
pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan
konsumen.
2.
Melakukan penelitian dan pengkajian
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan
konsumen.
3.
Melakukan penelitian terhadap barang dan
atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen.
4.
Mendorong berkembangnya lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
5.
Menyebarluaskan informasi melalui media
mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada
konsumen.
6.
Menerima pengaduan tentang perlindungan
konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat,
atau pelaku usaha.
7.
Melakukan survei yang menyangkut
kebutuhan konsumen.
Badan
B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap
Barang yang Cacat dan Berbahaya yang Mengakibatkan Kerugian Kepada
Konsumen
Tanggung jawab pelaku
usaha tersebut merupakan bagian dari kewajiban yang mengikat kegiatan mereka
dalam berusaha. Yang disebut dengan istilah Product
liability (tanggung jawab produk).
“Product liability adalah
suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu
produk (producer, manufacturer) dari
orang atau badan suatu produk (processor,
assembler) atau mendistribusikan (seller,
distributor) produk tersebut.”[10]
Pelaku
usaha yang diharuskan bertanggung jawab atas hasil usahanya adalah pelaku usaha
yang melakukan kegiatan-kegiatan berikut ini:
1.
Menghasilkan produk akhir, termasuk
memproduksi bahan mentah atau komponen.
2.
Mencantumkan nama, merek, atau tanda
lain pada produk dengan tidak menunjukkan pihaknya sebagai pelaku usaha.
3.
Mengimpor produk ke wilayah Republik Indonesia.
4.
Menyalurkan barang yang tidak jelas
identitas pelaku usahanya, baik produk dalam negeri maupun importirnya yang
tidak jelas identitasnya.
5.
Menjual jasa seperti mengembangkan
perumahan atau membangun apartemen.
6.
Menjual jasa dengan menyewakan alat
transportasi atau alat berat.
Dasar
pembebanan tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen adalah:
Adanya Negligence Adalah suatu perilaku yang tidak sesuai dengan kelakuan
(standard of conduct) yang
ditetapkan oleh Undang-undang
dan Adanya duty of care (kewajiban
memelihara kepentingan orang lain).
Prinsip
pertanggung jawaban mutlak (Strict
liability) ini tidak mempersoalkan lagi mengenai ada atau tidak adanya kesalahan,
tetapi pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan
oleh produknya yang cacat. Pelaku uasaha dianggap harus bertanggung jawab
apabila telah timbul kerugian pada konsumen karena mengonsumsi suatu produk dan
oleh karena itu pelaku usaha harus mengganti kerugian itu.
Dalam Pasal 19 Undang-undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan Tanggung jawab pelaku
usaha atas kerugian konsumen adalahl sebagai berikut:
1.
Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen
akibat mengonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
4. Pemberian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 18 dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Terhadap kebenaran Pelaku Usaha telah
menyebabkan kerugian Konsumen diatur dalam pasal 28 Undang-Undang No. 8 tahun
1999, yang inti pokoknya menyatakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha dalam
memberikan ganti kerugian dapat berupa :
1. Pengembalian
uang;
2. Penggantian
barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya;
3. Perawatan
kesehatan; dan
4.
Pemberian santunan.
Perlindungan konsumen
adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang
diberikan kepada konsumen yang diatur dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.
Perlindungan
konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen
barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan
jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan
perlindungan konsumen terbagi dalam dua aspek :[11]
1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan
jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar
ketentuan Undang-Undang. Dalam hal ini konsumen mendapatkan pergantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk
yang tidak sesuai.
2.
Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen
syarat-syarat yang tidak adil. Dalam hal ini
berua persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar
kontrak, harga, layanan purnajual, dan sebagainya.
|
Untuk memenuhi tujuan
dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
pemerintah perlu melakukan pembinaan dan pengawasan
meliputi:
a. Diri pelaku usaha, mendorong pelaku usaha supaya bertindak sesuai aturan
yang berlaku, baik aturan yang diharuskan Undang-undang, kebiasaan, maupun
kepatutan. Dengan demikian pelaku usaha akan bertingkah laku sepantasnya dalam
memproduksi dan mengedarkan produknya.
b. Sarana dan prasarana produksi,
melalui pembinaan ini dapat dicapai tingkat produk yang berkualitas,
pembangunan yang memadai sebagai pelaksana kegiatan usaha.
c. Iklim usaha secara keseluruhan,
dengan pembinaan ini diharapkan tumbuh dan berkembang iklim usaha yang sehat
sehingga dapat mempertinggi tingkat kesejahteraan masyarakat melalui efisiensi
usaha.
d. Konsumen, pembinaan kepada
konsumen diarahkan untuk meningkatkan sumber daya konsumen sehingga mempunyai
kesadaran yang kuat atas hak-haknya, mau berkonsumsi secara sehat dan rasional.
Dalam pasal
29 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
disebutkan bahwa pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan
untuk
:
1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku
usaha dan konsumen.
2. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
3. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Keperluan
adanya hukum untuk memberikan perlindungan konsumen Indonesia merupakan suatu
hal yang tidak dapat dielakkan sejalan dengan tujuan pembangunan Nasional kita,
yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pengaturan perlindungan konsumen
dilakukan dengan:[12]
1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
keterbukaan.
2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh
pelaku usaha.
3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.
4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu
dan menyesatkan.
5. Memadukan
penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan
perlindungan pada bidang-bidang lain.
Terhadap Sengketa antara Konsumen
dan Pelaku Usahan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah memberikan sarana bagi
konsumen untuk menuntu haknya melalui :
1.
Penyelesaian lewat Peradilan
Menurut UU
Perlindungan Konsumen pasal 45 ayat 1, setiap konsumen yang dirugikan bisa
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau
perselisihan.
Adapun yang berhak
melakukan gugatan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha diatur dalam
pasal 46 ayat (1) UUPK, yaitu:[13]
a. Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b. Sekelompok konsumen yang, mempunyai kepentingan yang sama.
c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam Anggaran Dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan
perlindungan konsumen sesuai dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan atau instansi yang terkait apabila barang dan atau jasa
yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan
atau korban yang tidak sedikit.
Penyelesaian sengketa
konsumen melalui peradilan hanya memungkinkan apabila:[14]
1. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, atau
2. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
2. Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan
Terhadap proses
penyelesaian sengketa diluar Peradilan, maka UUPK
memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan umum. Dalam Ketentuan
pasal 52 UUPK penyelesaian
sengketa
diselesaikan dengan cara sebagai berikut :
a. Mediasi
yang merupakan suatu proses dimana pihak ketiga mangajak pihak yang
bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah disepakati. Sesuai
batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada salah
satu pihak.
b. Arbitrase
Merupakan cara penyelesaian sengketa di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang
bersengketa. Kelebihan arbitrase ini karena keputusannya langsung final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
c. Konsiliasi,
cara ini ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak dimana
majelis BPSK bertugas sebagai perantara antara para pihak yang bersengketa dan
Majelis BPSK bersifat pasif. Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan
dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan
pendapatnya tentang sengketa yang di sampaikan para pihak. Namun pendapat dari
konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase.
Berdasarkan uraian dalam bab-bab terdahulu, terutama yang berhubungan
dengan permasalahan, dapat ditarik kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
- Tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen adalah
dengan memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian
konsumen akibat mengonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Pembayaran pengganti kerugian merupakan tanggung jawab
paling utama dari pelaku usaha, ganti kerugian menurut UUPK dapat berupa:
pengembalian uang, penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau
setara nilainya, perawatan kesehatan, dan pemberian santunan.
- Perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia yaitu:
a) Telah dikeluarkannya peraturan yang bertujuan untuk menjamin hak-hak konsumen
b) Penegakkan peraturan melalui sanksi hukum
administrasi, hukum pidana, dan hukum perdata sehingga terpenuhinya hak-hak
konsumen
benar-benar terpenuhi.
B. Saran
1. Hendaknya konsumen menjadi konsumen yang cerdas,
membiasakan diri untuk belanja dengan rencana, mengonsumsi barang atau jasa
sesuai kebutuhan, teliti sebelum membeli, memperhatikan label keterangan
barang, tanggal kadaluarsa, sehingga tidak merugikan konsumen sendiri di
kemudian hari.
|
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004.
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, PT. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta 1995.
Gunawan Widjaja, Alternatif
Penyelesaian Sengketa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002.
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, PT.
Visimedia, Jakarta 2008.
Husni Syawali dan Neni Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000.
Janus sidabalok, Hukum
Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Sabarudin, Hukum Perlindungan Konsumen, http://www.scribd.com/doc/35914052/, diakses: 10 Oktober 2011.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/ Men.Kes/ Per/
1999 tentang Bahan Tambahan Makanan yang Dilarang.
R. Subekti, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta 2006.
Undang-undang
No. 8 Tahun 1999, Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-undang
No. 36 Tahun 2009, Tentang Kesehatan.
|
[1]. Sabarudin, Hukum Perlindungan Konsumen, http://www.scribd.com/doc/35914052/,
diakses: 10 Oktober 2011.
[2]. Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 1168/Men.Kes/Per/1999 tentang Bahan Tambahan Makanan
yang Dilarang.
BalasHapusingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
add pin bb 58ab14f5 || ditunggu ya^^