Oleh Abuyazid Bustomi
Fakultas Hukum
Universitas Palembang
e-mail: abuyazid.bustomi13.ab@gmail.com
ABSTRACT
The purpose of this study is to
describe and analyze the obedience of a standard contractual agreement for the
parties that make it. The treaty constitutes an act whereby one or more persons
commit themselves to one or more persons, in which case the legal standing
between the parties to the treaty is the same and balanced. The agreement
pursuant to the conception of article 1313 of the Civil Code, only mentions the
party that binds itself to the other without determining what purpose the
agreement is made. The treaty may be interpreted as an agreement by which two
or more mutually excelent persons execute one thing in the field of property.
This paper examines how the power of law and the consequences of standard /
standard contract law for both parties in terms of freedom of contact. This
writing is a normative juridical research. In general, the legal consequences
of a treaty generally include a standard agreement, if it has fulfilled the
terms of the terms of the validity of an agreement, then the agreement agreed
and signed by the parties will be valid as a law for those who are bound and
enter into the agreement. If the party bound in the agreement, unable to
perform the performance or one of the parties to default, then the party who feels
aggrieved may submit an objection to the party to perform the fulfillment of
achievement, but if not ignored, then the party who feels aggrieved can do
lawsuit Civil to the local District Court or the courts agreed upon and
contained in the standard agreement.
Keywords: Raw Agreement
ABSTRAK
Tujuan Penelitian ini
menjabarkan dan menganalisis Kekeatan mengikat perjanjian baku bagi para
pihak yang mem,buatnya.. Perjanjian merupakan suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih, dalam hal ini kedudukan hukum antara para pihak yang
mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Perjanjian menurut
konsepsi pasal 1313 KUH Perdata, hanya menyebutkan tentang
pihak yang mengikatkan diri pada pihak lainya
tanpa menentukan tujuan apa suatu
perjanjian tersebut dibuat. Perjanjian dapat diartikan
sebagai suatu persetujuan
dengan mana dua orang atau lebih saling menigkatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Tulisan ini mengkaji bagaimana kekuatan hukum dan akibat hukum perjanjian standar/baku bagi kedua belah pihak ditinjau dari aspek kebebasan berkontak. Penulisan ini merupakan penelitian yuridis normatif. Secara umum akibat hukum dari suatu
perjanjian pada umumnya termasuk perjanjian baku, apabila telah memenuhi
ketentuan tentang syarat sahnya suatu perjanjian, maka perjanjian yang
disepakati dan ditandatangani para pihak secara sah, akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang terikat dan membuat
perjanjian tersebut. Apabila pihak yang terikat dalam perjanjian
tersebut, tidak dapat
melaksanakan prestasi atau salah satu pihak melakukan wansprestasi, maka terhadap pihak yang merasa dirugikan
dapat mengajukan keberatan kepada pihak tersebut untuk melaksanakan pemenuhan prestasi, tapi bila tidak diindahkan, maka pihak yang merasa dirugikan
dapat melakukan gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri setempat atau pengadilan yang telah
disepakati dan tercantum dalam perjanjian baku tersebut.
Kata Kunci : Perjanjian Baku
I. PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dalam
suatu ceramah di Lembaga Bantuan
Hukum Jakarta Sunaryati
Hartono mengemukakan bahwa hukum itu
bukan merupakan tujuan, akan tetapi
hanya merupakan sarana dan jembatan yang harus membawa kita kepada ide yang
dicita-citakan. [1]
Menarik apa yang dikatakan di atas, bila menyimak tentang ide yang ingin
dicita-citakan (das sollen), artinya kita
berupaya mewujudkan keinginan tersebut
dengan mencari format dan pola, yang
selanjutnya, bagaimana membawa kehendak,
keinginan tersebut agar dituangkan
kedalam isi perjanjian yang dibuat para pihak (das sein).
Secara umum perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, dalam hal ini
kedudukan hukum antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan
seimbang, akan tetapi perjanjian tersebut mempunyai pengertian yang luas dan umum,
tanpa menyebutkan untuk tujuan
apa perjanjian tersebut dibuat. Hal
tersebut disebabkan pengertian
perjanjian menurut konsepsi
pasal 1313 KUH Perdata, hanya
menyebutkan tentang pihak yang mengigatkan diri pada pihak lainya tanpa menentukan tujuan apa suatu perjanjian
tersebut dibuat.
Oleh karena itu
suatu perjanjian akan lebih luas juga tegas artinya, jika pengertian mengenai
perjanjian tersebut diartikan
sebagai suatu persetujuan
dengan mana dua orang atau lebih saling menigkatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. [2]
Suatu persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,
persetujuan-persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu. Dan
persetujuan –persetujuan itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik. [3]
Persetujuan (overeenkomsten) merupakan suatu
perbuatan hukum berupa kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan antara, dalam mana satu pihak
berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak
melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak
lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. [4]
Dalam suatu
perjanjian, kedudukan para pihak yang akan mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang, yang selanjutnya dikenal dengan asas kebebasan berkontrak atau
freedom of contract, Maksud asas
tersebut adalah bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat perjanjian yang
berisi dan macam apa pun bentuk dan isinya, asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum. Atau dengan pengertian lain asas kebebasan berkontrak
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
kepada masyarakat, untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan dalam
bentuk apa pun, sepanjang tidak melanggar undang-undang, ketertiban
umum. Atau dengan pengertian lain asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan
yang seluas-luasnya kepada masyarakat, untuk mengadakan perjanjian yang berisi
apa saja dan dalam bentuk apa saja, sepanjang tidak melanggar undang-undang dan
kesusilaan. [5]
Sebagian besar perjanjian-perjanjian bersumber dari
kesepakatan kedua belah pihak, akan
tetapi ada sebagian yang bersumber dari suatu perbuatan yang tak melanggar
hukum dari salah satu pihak, yaitu perbuatan tertentu yang meskipun bersifat
sebelah atau unilateral, akan tetapi undang-undang menentukan akibat bagi pembuat dari perjanjian itu. Suatu perjanjian yang dibuat secara sah dan
tidak bertentanggan dengan undang-undang adalah mengikat kudua belah pihak, dan
perjanjian itu pada umumnya tidak dapat di tarik kembali, kecuali dengan
persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan
oleh undang-undang.[6] Dengan
demikian jelas bahwa perjanjian
merupakan suatu hubungan hukum, yang berarti bahwa yang tersangkut dalam perjanjian tersebut haknya dijamin
dan dilindunggi oleh
hukum atau undang-undang. Sehingga
apabila haknya tidak dipenuhi secara sukarela, dia berhak
menuntut melalui pengadilan supaya orang,yang bersangkutan dipaksa untuk memenuhi atau menegakkan haknya.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, dan semakin berkembangannya kebutuhan pelaku dunia
usaha, orang perorang dan badan hukum untuk melakukan perbuatan hukum berupa
perjanjian yang lebih praktis, efektip, menghemat biaya, berdaya guna dan tidak menyimpang dari ketentuan persyaratan
perjanjian pada umumnya. Untuk itu penulis mencoba memfokuskan kajian penulisan
ini dengan thema “ Kekuatan Hukum Perjanjian Baku dalam pelaksanaannya
bagi para pelaku dunia usaha orang perorang dan badan hukum “.
B.
Permasalahan
Perjanjian Baku (standart contract), merupakan kebutuhan dan menjadi dinamika temuan hukum
bagi para pihak yang berkepentingan, baik untuk kepentingan pelaku dunia usaha orang perorang ataupun
Badan hukum, dengan tidak mengenyampingkan ketentuan tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan ketentuan
yang tersirat dalam asas kebebasan berkontrak.
Perjanjian mana yang disepakati
para pihak tersebut adakalanya telah ditentukan format dan isi dari
perjanjian tersebut. Sehingga yang
terjadi ada pihak yang harus menyetujui isi perjanjian
tersebut tanpa ada pilihan namun tidak
ada tekanan dalam kesepakatan perjanjian itu.
Atas dasar hal tersebut di atas penulis akan membahas mengenai: Bagaimana kekuatan dan akibat hukum perjanjian baku (standart
contract) bagi kedua belah
pihak ditinjau dari aspek ketentuan
kebebasan berkontrak bagi pihak yang membuatnya?
C. Metode Penelitian
Jenis Penelusuran dan Bahan Hukum dalam penjulisan ini merupakan penelitian hukum normatif (normative-legal research).
Penelitian normatif dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum berupa
teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang ada
hubungannya dengan pokok bahasan.
D. Tujuan Penelitian :
Untuk
mengkajidan menganalisis bagaima
Kekuatan Hukum dan Akibat Hukum Perjanjian Standar/baku bagi Kedua Belah Pihak
ditinjau dari Aspek Kebebasan Berkontak.
II.
PEMBAHASAN
1. Unsur - Unsur
Dalam Perjanjian
Asas kebebasan
berkontrak, yang menjadi asas utama dalam suatu perjanjian, berpangkal pada
kesamaan kedudukan para pihak, pandangan terhadap hak milik sebagai hak yang
paling sempurna serta adanya prinsip bahwa setiap orang harus memikul sendiri
setiap kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan suatu perjanjian. Setiap
orang harus dipandang sama dan
diperlakukan sebagai orang bebas dan dengan kedudukan maupun hak yang sama. Untuk terjadinya
suatu perjanjian yang ideal
menurut Abdul Kadir Muhammmad,
Unsur-unsur suatu perjanjian, adalah sebagai berikut
:
1.
Adanya
pihak-pihak, artinya para pihak tersebut
bertindak sebagai subyek perjanjian
hukum harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan
hukum.
2.
Persetujuan
antara pihak artinya sebelum perjanjian dibuat dan ditanda tangani harus diberikan kebebasan untuk mengadakan
bergaining atau tawar menawar diantara keduanya
atau berdasarkan asas konsensualitas tanpa unsur paksaan dari pihak lain..
3.
Adanya
tujuan yang akan dicapai, dimana tujuan tersebut merupakan keinginan dari kedua belah pihak,
asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4.
Adanya
prestasi yang dilaksanakan artinya para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai
hak dan kewajiban tertentu satu dengan yang lainnya saling berlawanan.
5.
Adanya bentuk
tertentu, artinya suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun
tertulis, dalam hal suatu perjanjian
yang dibuat secara tertulis dan dibuat dalam suatu akta, maka akta tersebut
secara tertulis dan dibuat dalam suatu akta disebut akta outhentyk maupun akta
underhands.
2 Syarat Sah Terjadi Perjanjian
Suatu perjanjian
yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian
yang sah dan perjanjian itu akan
mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu
perjanjian diakui oleh undang-undang (legally concluded contract) haruslah
sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Hak ini dapat dilihat dari ketentuan pasal
1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
Supaya terjadi
persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat :
1.
Kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu
pokok persoalan tertentu;
4.
Suatu
sebab yang tidak dilarang.
Kesepakatan bagi
mereka yang mengikatkan diri, artinya setuju dan seia sekata atas hal-hal yang
diperjanjikan, dengan tanpa ada paksaan atau dwang, kekeliruan atau dwaling dan penipuan atau
berdog, Untuk menentukan kata sepakat terhadap suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Selanjutnya Teori
Kepercayaan (Vetrouwenstheorie)
menyatakan bahwa kesepakatan terjadi
bilamana ada pernyataan yang
secara objektif dapat dipercaya. [7]
Kecakapan untuk
membuat suatu perjanjian dan melakukan
perbuatan hubungan hukum adalah
mereka yang bisa dikatagorikan sebagai pendukung hak dan kewajiban berupa orang
perorang dan atau badan hukum. Akan
tetapi tidak semua orang dapat melakukan perbuatan hukum, hal ini sebagaimana ditentukan dalam pasal
1330 KUH Perdata yang menyatakan :Yang tak cakap membuat persetujuaan adalah :
1.
Orang-orang (Anak)
yang belum dewasa
2.
Orang atau mereka
yang ditaruh dibawah pengampuan ;
3.
Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang, ditentukan
undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang
untuk membuat persetujuan itu.
Hal tertentu dalam suatu
perjanjian harus telah ditentukan dan disepakati, dalam arti isi suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa
suatu barang yang sekurang-kurangnya
ditentukan jenisnya, walaupun barang itu tak perlu pasti, asal saja jumlah
itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Dengan kata lain bahwa hanya barang yang dapat diperdagangkan saja
yang dapat menjadi objek pokok dari persetujuan.
Menurut undang-undang, sebab yang halal dalam suatu perjanjian
adalah jika tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan dalam pasal 1337 KH Perdata,
yang intinya
menyatakan suatu sebab
adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila
sebab itu bertentanggan dengan
kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
Secara umum apabila dalam suatu perjanjian yang telah
dibuat didapati ada ketentuan tentang syarat subjektif tersebut tidak
terpenuhi, maka salah satu pihak yang mengadakan perjanjian mempunyai hak
untuk memohon kepada hakim untuk membatalkan perjanjian tersebut. Dan setelah
adanya permohonan pembatalan perjanjian tersebut dan diputuskan oleh hakim,
kemudian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, barulah perjanjian tersebut bisa dinyatakan
batal. Dengan kata lain selama perjanjian tersebut tidak dinyatakan
batal oleh putusan hakim Perdata, maka
perjanjian tersebut tidak bisa dikatakan batal demi hukum dan masih tetap
mengikat bagi mereka yang membuatnya. [8]
Terhadap ketentuan tentang tidak
terpebuhinya persyaratan obyektif dari suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut adalah batal demi
hukum, karena tujuan para pihak untuk
membuat suatu pejanjian menjadi batal, hal ini dikarenakan objek yang
diperjanjikan tersebut batal, maka
perjanjian tersebut scara otomatis batal demi hukum. [9]
3. Akibat Hukum Perjanjian Baku ( Standart )
Menurut ketentuan asas yang tercantum dalam pasal 1338 KUH
Perdata bahwa setiap persetujuan yang dibauat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Artinya setiap
persetujuan yang dibuat hanya berlaku dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum
yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang
membuatnya persetujuan harus mentaati hukum, sesuai dengan persyaratan sahnya suatu perjanjian 1320 KUH Perdata. [10]
Kebebasan berkontrak,
berpangkal dari kesamaan kedudukan para
pihak, pandangan terhadap hak milik sebagai hak yang paling sempurna serta
adanya prinsip bahwa setiap orang harus memikul sendiri setiap kerugian yang
ditimbulkan akibat perbatan suatunperjanjian.
Serta setiap orang harus dipandang sama dan diperlakukan sebagai orang
bebas dan dengan kedudukan maupun hak yang sama.
Suatu perjanjian tidak
saja mengikat pada apa yang dicantumkan semata-mata dalam perjanjian, tetapi
juga pada apa yang menurut sifatnya perjajian dihendaki oleh keadilan,
kebiasaan atau undang-undang, selanjutnya bahwa hak-hak atau kewajiban-keajiban
yang sudah lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian, meskipun pada pada
kenyataannya tidak dimasukkan kedalam
surat perjanjian, harus juga dianggap telah tercantum dalam perjanjian. [11]
Suatu perjanjian
yang disepakati harus dinyatakan secara bebas tidak ada tekanan dari
pihak lain sebagimana pasal 1321 KUH Perdata bahwa suatu kesepakatan
perjanjian itu sah dan mengikat apabila diberikan tidak karena
kehilapan, atau tidak dengan paksaan,
ataupun tidak karena penipuan. Dengan kata
lain, suatu kesepakatan harus diberikan bebas dari kehilapan, paksan, ataupun
penipuan. [12]
Secara umum akibat hukum dari perjanjian baku apabila telah memenuhi
ketentuan tentang syarat sahnya suatu
perjanjian sebgaimana yang teraurat dalam pasal 1320 KUH Perdata dan didasarkan
kehendak dari pihak membuatnya tanpa
adanya unsur kebebasan, kehilapan, paksaan ataupun penipuan, maka perjnjian tersebut berlaku mengikat dan
sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya tanpa terkecuali.
Apabila dalam perjanjian baku yang telah disepakati para
pihak, didapati ada pihak yang tidak melakukan prestasi
atau melaksanakan tapi tidak sebagaimana mestinya, maka pihak yang merasa dirugikan dapat
meminta pemenuhan isi dari perjanjian
baku kepada pihak tersebut. Dan
jika hal itu tidak diindahkan oleh pihak yang melakukan
wanprestasi, pihak yang merasa dirugikan
dapat melakukan upaya paksa secara hukum dengan melakukan gugatan perdata
kepada yang bersangkutan melalui pengadilan negeri setempat atau pengadilan
yang telah disepakati dalam
perjanjian baku tersebut.
III.
PENUTUP
Bahwa secara umum akibat hukum dari suatu
perjanjian pada umumnya termasuk perjanjian baku, apabila telah memenuhi
ketentuan tentang syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam
pasal 1320 KUH Perdata dengan berdasarkan asas yang terkandung dalam
pasal 1338 KUH Perdata, maka perjanjian yang disepakati dan ditanda
tangani para pihak secara sah, akan
berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang terikat dan membuat perjanjian tersebut.
Bahwa apabila didapati pihak yang
terikat dalam perjanjian tersebut,
tidak dapat melaksakan prestasi atau salah satu pihak melakukan
wansprestasi, maka terhadap pihak yang
merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada pihak tersebut untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Akan tetapi jika ternyata keberatan tersebut
tidak diindahkan, maka pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat dilakukan
pemaksaan secara hukum melalui gugatan kepengadilan negeri setempat atau
pengadilan yang telah disepakati dan tercantum dalam perjanjian baku tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
A.Buku
Abdul Kadir
Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung,
1982.
Djunaidi, Hukum
Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
C.F.G, Sunaryati
Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,
Bandung, 1991.
Subekti, Hukum
Perjanjian, Intermasa, Jakarta, Cet.IV, 1979.
---------, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980.
Setiawan, Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1977.
Purnadi
Purbacaraka, Soejono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung,
1986.
Rai Wijaya, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin,
Bekasi, 2004.
Wiryono
Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang
Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta, 1981.
B. Perundang-undangan
Kitab
Undang-Undang Huklum Perdata
[1].
C.F.G. Sunaryati Hartono,
Politik Hukum Menuju Satu Siatem Hukum
Nasional, Alumni, Bandung,
1991, Halaman 1. .
[3]. Purnadi
Purbacaraka, Soejono Soekanto, Perihal
Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, 1986, Halaman. 63.
[4]. Wiryono
Prodjodikoro, Hukum
Perdata Tentang Persetujuan
Tertentu, Sumur Bandung. 1981,Halaman.11.
[5].
Subekti, Hukum Perjanjian, Internusa,
Jakarta, Cet IV, 1979, Halaman. 13.
[6].
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980, Halaman. 139.
mari bergabung dengan kami di ionqq_com
BalasHapusmenangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi segera bergabung yuk dengan kami ^^