Senin, 26 Februari 2018

KEKUATAN MENGIKAT ISI DARI PERJANJIAN BAKU (STANDARD CONTRACT ) BAGI PARA PIHAK YANG MEMBUATNYA


Oleh Abuyazid Bustomi
Fakultas Hukum   Universitas  Palembang

ABSTRACT
               The purpose of this study is to describe and analyze the obedience of a standard contractual agreement for the parties that make it. The treaty constitutes an act whereby one or more persons commit themselves to one or more persons, in which case the legal standing between the parties to the treaty is the same and balanced. The agreement pursuant to the conception of article 1313 of the Civil Code, only mentions the party that binds itself to the other without determining what purpose the agreement is made. The treaty may be interpreted as an agreement by which two or more mutually excelent persons execute one thing in the field of property. This paper examines how the power of law and the consequences of standard / standard contract law for both parties in terms of freedom of contact. This writing is a normative juridical research. In general, the legal consequences of a treaty generally include a standard agreement, if it has fulfilled the terms of the terms of the validity of an agreement, then the agreement agreed and signed by the parties will be valid as a law for those who are bound and enter into the agreement. If the party bound in the agreement, unable to perform the performance or one of the parties to default, then the party who feels aggrieved may submit an objection to the party to perform the fulfillment of achievement, but if not ignored, then the party who feels aggrieved can do lawsuit Civil to the local District Court or the courts agreed upon and contained in the standard agreement.
Keywords: Raw Agreement

ABSTRAK
Tujuan Penelitian ini  menjabarkan dan menganalisis Kekeatan mengikat perjanjian baku bagi para pihak yang mem,buatnya..             Perjanjian merupakan suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, dalam hal ini kedudukan hukum antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Perjanjian   menurut  konsepsi  pasal  1313 KUH Perdata, hanya menyebutkan tentang pihak yang mengikatkan diri pada pihak lainya tanpa  menentukan tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat. Perjanjian dapat diartikan  sebagai  suatu    persetujuan  dengan mana dua orang atau lebih saling menigkatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Tulisan ini mengkaji bagaimana kekuatan hukum dan akibat hukum perjanjian standar/baku bagi kedua belah pihak ditinjau dari aspek kebebasan berkontak. Penulisan ini merupakan penelitian yuridis  normatif. Secara umum akibat hukum dari  suatu  perjanjian pada umumnya termasuk perjanjian baku, apabila telah memenuhi ketentuan tentang syarat sahnya suatu perjanjian, maka perjanjian yang disepakati dan ditandatangani para pihak secara sah, akan  berlaku sebagai undang-undang  bagi mereka yang terikat dan membuat perjanjian tersebut.  Apabila pihak yang terikat dalam  perjanjian  tersebut,  tidak dapat melaksanakan prestasi atau salah satu pihak melakukan wansprestasi,  maka terhadap pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada pihak tersebut  untuk melaksanakan pemenuhan prestasi, tapi  bila tidak diindahkan, maka pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri setempat atau pengadilan yang telah disepakati dan tercantum dalam perjanjian baku tersebut.
Kata Kunci : Perjanjian Baku


I.    PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
             Dalam  suatu ceramah di Lembaga Bantuan  Hukum Jakarta Sunaryati Hartono  mengemukakan bahwa hukum itu bukan merupakan tujuan,  akan tetapi hanya merupakan sarana dan jembatan yang harus membawa kita kepada ide yang dicita-citakan. [1]
              Menarik apa yang dikatakan di atas, bila  menyimak tentang ide yang ingin dicita-citakan  (das sollen),   artinya kita berupaya mewujudkan keinginan  tersebut dengan mencari format  dan pola, yang selanjutnya,  bagaimana membawa kehendak, keinginan  tersebut agar dituangkan kedalam  isi  perjanjian yang dibuat para pihak (das sein).
              Secara umum perjanjian adalah  suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, dalam hal ini kedudukan hukum antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang, akan tetapi perjanjian tersebut mempunyai pengertian yang luas  dan umum,  tanpa menyebutkan  untuk tujuan apa perjanjian tersebut dibuat. Hal  tersebut  disebabkan  pengertian  perjanjian   menurut  konsepsi  pasal  1313 KUH Perdata, hanya menyebutkan tentang pihak yang mengigatkan diri pada pihak lainya tanpa  menentukan tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat.
               Oleh karena itu suatu perjanjian akan lebih luas juga tegas artinya,  jika pengertian   mengenai  perjanjian  tersebut  diartikan  sebagai  suatu   persetujuan  dengan mana dua orang atau lebih saling menigkatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. [2]
               Suatu persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, persetujuan-persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.  Dan persetujuan –persetujuan itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik. [3]
             Persetujuan (overeenkomsten) merupakan suatu perbuatan hukum berupa kata sepakat antara dua pihak atau lebih  mengenai harta benda  kekayaan antara, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,  sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. [4]
               Dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak yang akan mengadakan perjanjian   adalah sama dan seimbang,  yang selanjutnya  dikenal dengan asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract, Maksud asas tersebut adalah bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat perjanjian yang berisi dan macam apa pun bentuk dan isinya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang,  kesusilaan dan ketertiban umum.  Atau dengan  pengertian lain asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan  yang seluas-luasnya kepada masyarakat, untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan  dalam  bentuk apa pun,  sepanjang  tidak melanggar undang-undang,  ketertiban  umum. Atau dengan pengertian lain asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat, untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan dalam bentuk apa saja, sepanjang tidak melanggar undang-undang dan kesusilaan. [5]
            Sebagian besar  perjanjian-perjanjian bersumber dari kesepakatan kedua belah pihak,  akan tetapi ada sebagian yang bersumber dari suatu perbuatan yang tak melanggar hukum dari salah satu pihak, yaitu perbuatan tertentu yang meskipun bersifat sebelah atau unilateral, akan tetapi undang-undang menentukan  akibat bagi pembuat dari perjanjian itu.   Suatu perjanjian yang dibuat secara sah dan tidak bertentanggan dengan undang-undang adalah mengikat kudua belah pihak, dan perjanjian itu pada umumnya tidak dapat di tarik kembali, kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang.[6] Dengan demikian jelas bahwa  perjanjian merupakan suatu hubungan hukum, yang berarti bahwa  yang tersangkut dalam perjanjian tersebut haknya dijamin dan  dilindunggi  oleh  hukum  atau  undang-undang.   Sehingga  apabila  haknya  tidak dipenuhi secara sukarela, dia berhak menuntut melalui pengadilan supaya orang,yang bersangkutan dipaksa  untuk memenuhi atau menegakkan haknya.
              Berdasarkan uraian tersebut di atas, dan semakin berkembangannya kebutuhan pelaku dunia usaha, orang perorang dan badan hukum untuk melakukan perbuatan hukum berupa perjanjian yang lebih praktis, efektip, menghemat biaya, berdaya guna  dan tidak menyimpang dari ketentuan persyaratan perjanjian pada umumnya. Untuk itu penulis mencoba memfokuskan kajian penulisan ini dengan thema  “ Kekuatan  Hukum Perjanjian Baku dalam pelaksanaannya bagi para pelaku dunia usaha orang perorang dan badan hukum “.

B. Permasalahan
             Perjanjian Baku (standart contract), merupakan  kebutuhan dan menjadi dinamika temuan hukum bagi para pihak yang berkepentingan, baik untuk kepentingan  pelaku dunia usaha orang perorang ataupun Badan hukum, dengan tidak mengenyampingkan ketentuan tentang  syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan ketentuan yang tersirat dalam asas kebebasan berkontrak.   Perjanjian mana yang disepakati  para pihak tersebut adakalanya telah ditentukan format dan isi dari perjanjian tersebut.  Sehingga yang terjadi  ada  pihak yang harus menyetujui isi perjanjian tersebut  tanpa ada pilihan namun tidak ada tekanan dalam kesepakatan perjanjian itu.  Atas dasar hal tersebut di atas penulis akan membahas mengenai:   Bagaimana kekuatan  dan akibat hukum perjanjian baku (standart  contract)  bagi kedua belah pihak ditinjau dari aspek  ketentuan kebebasan berkontrak bagi pihak yang membuatnya?

C. Metode  Penelitian

Jenis Penelusuran dan Bahan Hukum dalam penjulisan  ini merupakan penelitian hukum normatif (normative-legal research). Penelitian normatif dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum berupa teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang ada hubungannya dengan pokok bahasan.
D. Tujuan  Penelitian : 
Untuk mengkajidan menganalisis  bagaima Kekuatan Hukum dan Akibat Hukum Perjanjian Standar/baku bagi Kedua Belah Pihak ditinjau dari Aspek Kebebasan Berkontak.
II. PEMBAHASAN
1.      Unsur - Unsur  Dalam  Perjanjian
                Asas kebebasan berkontrak, yang menjadi asas utama dalam suatu perjanjian, berpangkal pada kesamaan kedudukan para pihak, pandangan terhadap hak milik sebagai hak yang paling sempurna serta adanya prinsip bahwa setiap orang harus memikul sendiri setiap kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan suatu perjanjian. Setiap orang  harus dipandang sama dan diperlakukan sebagai orang bebas dan dengan kedudukan  maupun hak yang sama. Untuk terjadinya suatu  perjanjian  yang ideal   menurut   Abdul Kadir  Muhammmad,  Unsur-unsur suatu perjanjian, adalah sebagai  berikut  :
1.        Adanya pihak-pihak, artinya  para pihak tersebut bertindak sebagai subyek  perjanjian hukum  harus telah  dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum.
2.        Persetujuan antara pihak artinya sebelum perjanjian dibuat dan ditanda tangani  harus diberikan kebebasan untuk mengadakan bergaining atau tawar menawar diantara keduanya  atau berdasarkan asas konsensualitas tanpa unsur paksaan dari pihak lain..
3.        Adanya tujuan yang akan dicapai, dimana tujuan tersebut  merupakan keinginan dari kedua belah pihak, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4.        Adanya prestasi yang dilaksanakan artinya para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu satu dengan yang lainnya saling berlawanan.
5.        Adanya  bentuk  tertentu, artinya suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis,  dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis dan dibuat dalam suatu akta, maka akta tersebut secara tertulis dan dibuat dalam suatu akta disebut akta outhentyk maupun akta underhands.
2   Syarat Sah Terjadi  Perjanjian
              Suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan  perjanjian itu akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.   Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (legally concluded contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang.  Hak ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 1320  KUH Perdata  menyebutkan bahwa  :
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat :
1.        Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.        Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.        Suatu pokok persoalan tertentu;
4.        Suatu sebab yang tidak dilarang.
                 Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan diri, artinya setuju dan seia sekata atas hal-hal yang diperjanjikan, dengan tanpa ada paksaan atau dwang,  kekeliruan atau dwaling dan penipuan atau berdog,  Untuk  menentukan kata sepakat  terhadap suatu perjanjian  yang dibuat oleh para pihak. Selanjutnya  Teori  Kepercayaan (Vetrouwenstheorie) menyatakan bahwa kesepakatan terjadi  bilamana  ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya. [7]
             Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian dan melakukan  perbuatan hubungan hukum  adalah mereka yang bisa dikatagorikan sebagai pendukung hak dan kewajiban berupa orang perorang dan atau badan hukum.  Akan tetapi tidak semua orang dapat melakukan perbuatan hukum,  hal ini sebagaimana ditentukan dalam pasal 1330 KUH Perdata  yang menyatakan  :Yang tak cakap membuat persetujuaan adalah :
1.        Orang-orang (Anak)  yang belum dewasa
2.        Orang atau mereka  yang ditaruh dibawah pengampuan ;
3.        Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang, ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan itu.
              Hal tertentu dalam suatu perjanjian harus telah ditentukan dan disepakati, dalam arti isi suatu  persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya  ditentukan jenisnya, walaupun barang itu tak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Dengan kata lain bahwa  hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek pokok dari persetujuan.           
             Menurut undang-undang,  sebab yang halal dalam suatu perjanjian adalah jika tidak dilarang  oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum,  ketentuan ini disebutkan  dalam pasal 1337 KH Perdata,
yang intinya menyatakan  suatu  sebab  adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu  bertentanggan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
              Secara umum  apabila dalam suatu perjanjian yang telah dibuat didapati ada ketentuan tentang syarat subjektif tersebut tidak terpenuhi,  maka salah satu pihak  yang mengadakan perjanjian mempunyai hak untuk memohon kepada hakim untuk membatalkan perjanjian tersebut. Dan setelah adanya permohonan pembatalan perjanjian tersebut dan diputuskan oleh hakim, kemudian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, barulah  perjanjian tersebut bisa dinyatakan batal.   Dengan kata lain  selama perjanjian tersebut tidak dinyatakan batal oleh putusan hakim Perdata,  maka perjanjian tersebut tidak bisa dikatakan batal demi hukum dan masih tetap mengikat bagi mereka yang membuatnya. [8]
        Terhadap ketentuan tentang tidak terpebuhinya persyaratan obyektif dari suatu perjanjian,  maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum,  karena tujuan para pihak untuk membuat suatu pejanjian menjadi batal, hal ini dikarenakan objek yang diperjanjikan tersebut batal,  maka perjanjian tersebut scara otomatis batal demi hukum. [9]
3.       Akibat  Hukum Perjanjian  Baku ( Standart )
           Menurut ketentuan  asas yang tercantum dalam pasal 1338 KUH Perdata bahwa setiap persetujuan yang dibauat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang  membuatnya.  Artinya setiap persetujuan yang dibuat hanya berlaku dan mengikat bagi para pihak  yang membuatnya.  Kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang  membuatnya persetujuan harus mentaati hukum,  sesuai dengan persyaratan sahnya  suatu perjanjian 1320 KUH Perdata. [10]
           Kebebasan berkontrak, berpangkal  dari kesamaan kedudukan para pihak, pandangan terhadap hak milik sebagai hak yang paling sempurna serta adanya prinsip bahwa setiap orang harus memikul sendiri setiap kerugian yang ditimbulkan akibat perbatan suatunperjanjian.  Serta setiap orang harus dipandang sama dan diperlakukan sebagai orang bebas dan dengan kedudukan maupun hak yang sama.
          Suatu perjanjian tidak saja mengikat pada apa yang dicantumkan semata-mata dalam perjanjian, tetapi juga pada apa yang menurut sifatnya perjajian dihendaki oleh keadilan, kebiasaan atau undang-undang, selanjutnya bahwa hak-hak atau kewajiban-keajiban yang sudah lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian, meskipun pada pada kenyataannya  tidak dimasukkan kedalam surat perjanjian, harus juga dianggap telah tercantum dalam perjanjian. [11]               
           Suatu  perjanjian  yang disepakati harus dinyatakan secara bebas tidak ada tekanan dari pihak lain sebagimana pasal 1321 KUH Perdata bahwa suatu kesepakatan perjanjian  itu sah  dan mengikat apabila diberikan tidak karena kehilapan, atau tidak dengan paksaan,  ataupun tidak karena penipuan.  Dengan kata lain, suatu kesepakatan harus diberikan bebas dari kehilapan, paksan, ataupun penipuan. [12]
          Secara umum akibat hukum dari  perjanjian baku apabila telah memenuhi ketentuan  tentang syarat sahnya suatu perjanjian sebgaimana yang teraurat dalam pasal 1320 KUH Perdata dan didasarkan kehendak dari  pihak membuatnya tanpa adanya unsur kebebasan, kehilapan, paksaan ataupun penipuan,  maka perjnjian tersebut berlaku mengikat dan sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya tanpa terkecuali.
          Apabila dalam  perjanjian baku yang telah disepakati para pihak,  didapati  ada pihak yang tidak melakukan  prestasi  atau melaksanakan tapi tidak sebagaimana mestinya,  maka pihak yang merasa dirugikan dapat meminta pemenuhan  isi dari perjanjian baku kepada  pihak tersebut.  Dan  jika hal itu tidak diindahkan oleh pihak yang melakukan wanprestasi,  pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan upaya paksa secara hukum dengan melakukan gugatan perdata kepada yang bersangkutan melalui pengadilan negeri setempat atau pengadilan yang telah disepakati  dalam perjanjian  baku tersebut.
III. PENUTUP
          Bahwa  secara umum akibat hukum dari  suatu  perjanjian pada umumnya termasuk perjanjian baku, apabila telah memenuhi ketentuan tentang syarat sahnya suatu perjanjian  sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam pasal 1320  KUH Perdata  dengan berdasarkan asas yang terkandung dalam pasal 1338  KUH Perdata,  maka perjanjian yang disepakati dan ditanda tangani para pihak secara sah, akan  berlaku sebagai undang-undang  bagi mereka yang terikat dan membuat perjanjian tersebut. 
           Bahwa apabila didapati pihak yang terikat dalam  perjanjian  tersebut,  tidak dapat melaksakan prestasi atau salah satu pihak melakukan wansprestasi,  maka terhadap pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada pihak tersebut  untuk melaksanakan pemenuhan prestasi.  Akan tetapi jika ternyata keberatan tersebut tidak diindahkan, maka pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat dilakukan pemaksaan secara hukum melalui gugatan kepengadilan negeri setempat atau pengadilan yang telah disepakati dan tercantum dalam perjanjian baku tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Abdul Kadir Muhammad,  Hukum  Perikatan,  Alumni,  Bandung,  1982.
Djunaidi,  Hukum Perburuhan  Perjanjian Kerja,  Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
C.F.G, Sunaryati Hartono,  Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,  Alumni,  Bandung, 1991.
Subekti,     Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, Cet.IV, 1979.
---------,     Pokok-Pokok  Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980.
Setiawan,  Hukum  Perikatan,  Bina Cipta, Bandung, 1977.
Purnadi Purbacaraka, Soejono Soekanto,  Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, 1986.
Rai Wijaya, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin, Bekasi, 2004.
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta, 1981.
B. Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Huklum Perdata







[1]. C.F.G.  Sunaryati  Hartono,  Politik  Hukum Menuju Satu Siatem  Hukum  Nasional,  Alumni,     Bandung,  1991,  Halaman 1.   .
[2]. Abdul kadir Muhammad,  Hukum  Perikatan,  Alumni, Bandung, 1982, Halaman. 78.
[3]. Purnadi Purbacaraka,  Soejono Soekanto,  Perihal  Kaedah  Hukum,  Alumni, Bandung, 1986,  Halaman. 63.
[4]. Wiryono Prodjodikoro,  Hukum  Perdata Tentang  Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung. 1981,Halaman.11.
[5]. Subekti, Hukum Perjanjian, Internusa, Jakarta, Cet IV, 1979, Halaman. 13.
[6]. Subekti,  Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980, Halaman. 139.
[7]. R. Setiawan,  Pokok-Pokok Hukum Perikatan,   Binacipta,  Bandung,  1977,  Halaman 58.
[8]. Djumadi,  Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Persad, Jakarta, 1995t,  Halaman. 16.
[9]. Djumadi,  Ibid, Halaman,  17.
[10]. Setiawan,   Hukum Perikatan,  Binacipta, Bandung, 1977, Halaman. 64.
[11]. Subekti,  Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1980,  Halaman. 140.
[12]. Rai Wijaya,  Merancang Suatu  Kontrak, Megapoin,  Bekasi, 2004, Halaman  47.

1 komentar:

  1. mari bergabung dengan kami di ionqq_com
    menangkan uang jutaan rupiah
    ditunggu apa lagi segera bergabung yuk dengan kami ^^

    BalasHapus