Senin, 26 Februari 2018

Bentuk DanTanggungjawab Atas Terjadinya Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal Di Indonesia


Oleh Fitriah
Fakultas Hukum Universitas Palembang

Abstract
            After the reform, in Indonesia there are many new airlines in addition to government-owned airlines. Each airline is competing to serve passengers at a low price. Airlines often offer promo tickets. With the tariff war between airlines often forget the protection of the passengers themselves. So the plane often experienced schedule delay, baggage claim lost or the worst: accident accident. To implement the provisions of Law Number 1 Year 2009 on Aviation and provide protection and service of scheduled commercial airline passengers, it is necessary to regulate Flight Delay Management at the Scheduled Commercial Air Transport Agency in Indonesia. Referring to the Law stipulated Ministerial Regulation (PM) concerning the handling of flight delays (Delay Management) at the Business Air Transport Agency Commerce Scheduled in Indonesia. In Ministerial Regulation no. 89 Year 2015 is also described the scope of flight delays and factors causing delays. The factors causing flight delays (Delay Management) at the Scheduled Air Transport Operations Agency in Indonesia (Article 5 PM 89 of 2015) are: Flight management factor, operational tennis factor, weather factor, and other factors. In the event of delayed flight, the airline is responsible for providing compensation and anti-loss to the passenger. Air transport business entities shall compensate in accordance with the category of delay as referred to in Article 3 PM 89 of 2015.
Keywords: flight delays
Abstrak
 Setelah reformasi, di Indonesia bermunculan banyak sekali maskapai penerbangan baru selain maskapai yang dimiliki oleh pemerintah. Masing-masing maskapai penerbangan berlomba-lomba untuk melayani penumpang dengan harga yang murah. Maskapai seringkali menawarkan tiket promo. Dengan adanya perang tarif antara maskapai seringkali melupakan perlindungan terhadap penumpang itu sendiri. Sehingga  pesawat sering mengalami keterlambatan jadwal, klaim bagasi hilang ataupun yang terparah: musibah kecelakaan. Untuk melaksanakan ketentuan  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan memberikan perlindungan serta pelayanan penumpang angkutan udara niaga berjadwal, perlu diatur Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. Mengacu kepada Undang-Undang ditetapkan Peraturan Menteri (PM) tentang penanganan keterlambatan  penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. Dalam Peraturan Menteri No. 89 Tahun 2015 ini dijelaskan pula ruang lingkup keterlambatan penerbangan dan faktor penyebab keterlambatan. Adpun faktor-faktor penyebab terjadinya keterlambatan penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia (Pasal 5 PM 89 Tahun 2015) yaitu: Faktor manajemen airline,faktor tenis operasional, faktor cuaca, dan faktor lainnya. Dalam hal terjadi keterlambatan penerbangan (delay management), perusahaan penerbangan bertanggung jawab untuk memberikan kompesasi dan anti rugi kepada pihak penumpang. Badan usaha angkutan udara wajib memberikan kompesasi sesuai dengan kategori keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 PM 89 Tahun 2015.
Kata Kunci : keterlambatan penerbangan



I.                    
II.                PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pengangkutan udara memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan  perekonomian suatu negara karena pesawat terbang merupakan alat transportasi yang efisien, dinamis, dan cepat. Pesawat terbang juga merupakan transportasi yang secara keamanan dan kenyamanan sangat berkualitas dalam hal pelayanan kepada penumpang, jika aturan dan standar operasional prosedur dari hukum penerbangan benar-benar dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.
Kategori aspek penyelenggaran pengangkutan udara juga terbagi dua, yaitu  ada pengangkutan udara niaga dan bukan niaga.. Penerbangan niaga merupakan bentuk transportasi udara yang mengenakan biaya bagi penggunanya. Jenis penerbangan ini dibedakan lagi menjadi dua  bentuk, yaitu penerbangan niaga berjadwal dan penerbangan niaga tidak berjadwal.
Arus informasi, perhubungan, dan pengangkutan udara mengalami kemajuan pesat dengan munculnya berbagai perusahaan maskapai penerbangan baik di Indonesia maupun di dunia internasional . Di Indonesia sejak era reformasi bermunculan maskapai-maskapai baru yang dikelola oleh swasta. Timbulnya maskapai penerbangan yang sangat banyak di Indonesia berawal dari diratifikasinya World Trade Organization/ General Aviation Training & Testing Service (WTO/GATTs) oleh Indonesia, dimana dengan diratifikasinya  WTO/GATTs tersebut tidak dibenarkan lagi pemerintah Indonesia melakukan monopoli dibidang perusahaan jasa  penerbangan. Kebijakan penyelenggaraan penerbangan mempunyai ciri khas masing-masing di setiap  negara berdasarkan ideologi yang dianut. Di negeri-negeri sosialis seperti Rusia dan Republik Rakyat China, jasa angkutan udara dilakukan sepenuhnya oleh negara melalui otoritas yang mengaturnya: Civil Aviation Authority of China, Civil Aviation Administration– Russia, Civil Aviation Authority of Singapore. Berbeda dengan negara-negara liberal yang  penyelenggaraan angkutan udara cenderung bebas dimana pihak swasta juga dapat melakukan usaha jasa penerbangan.
Sedangkan di Indonesia setelah era reformasi , maskapai penerbangan mengkategorikan sebagai angkutan pernerbangan kelas menengah kebawah dan kelas menengah ke atas. Maskapai penerbangan low cost carrier : Air Asia, Lion Air, Sriwijaya Air dsb. Sedangkan maskapai penerbangan high cost carrier : Garuda Indonesia, Batik Air dan lain-lain. Setelah reformasi di Indonesia bermunculan banyak sekali maskapai penerbangan baru selain maskapai yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia sejak era orde lama. Masing-masing maskapai penerbangan berlomba-lomba untuk melayani penumpang dengan harga yang murah. Maskapai seringkali menawarkan tiket promo. Dengan adanya perang tarif antar maskapai seringkali melupakan perlindungan terhadap penumpang itu sendiri. Seringnya  pesawat mengalami keterlambatan jadwal, klaim bagasi hilang ataupun yang terparah: musibah kecelakaan. Dampak negatif dari penyelenggaraan usaha pengangkutan udara yang tidak mentaati  peraturan hukum udara yang berlaku, maka akan terjadi kelalaian dari pihak maskapai  penerbangan itu sendiri yang mengakibatkan kerugian kepada penumpang. Ketika terjadi kerugian yang dialami oleh penumpang, maka maskapai penerbangan bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Di Indonesia, sering terjadi kasus kecelakaan misalnya pada tahun 2002 pesawat Garuda Indonesia mengalami mendarat darurat di sungai Bengawan Solo. Tahun 2004 terjadi kecelakaan pesawat di Bandara Adi Sumarmo, Surakarta. Kemudian tahun 2007 pesawat Adam Air  jatuh di Selat Makassar dan pesawat Garuda Indonesia tergelincir di bandara Adi Sucipto Yogyakarta, dan di tahun 2012 pesawat demo Sukhoi menabrak Gunung Salak dan masih  banyak lainnya.
Angkutan udara niaga berjadwal dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional atau badan usaha angkutan udara luar negeri. Namun, di dalam negeri Indonesia, kegiatan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional. [1]/
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan memberikan perlindungan serta pelayanan penumpang angkutan udara niaga berjadwal, perlu diatur Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. dengan Peraturan Menteri No. 89 Tahun 2015. Dalam peraturan ini dijelaskan pula ruang lingkup keterlambatan penerbangan dan faktor penyebab keterlambatan. Keterlambatan penerbangan pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal terdiri dari keterlambatan penerbangan, tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat dan pembatalan penerbangan. Keterlambatan penerbangan dikelompokkan dalam enam  kategori keterlambatan, yaitu :
1. Keterlambatan 30 menit sampai dengan 60 menit,
2. Keterlambatan 61 menit s/d 120 menit,
3. Keterlambatan  121 menit s/d 180 menit,
4. Keterlambatan 181 menit s/d 240 menit,  
5. Keterlambatan lebih dari 240 menit dan
6.  Pembatalan penerbangan.
Keterlambatan penerbangan dimaksud dihitung berdasarkan perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan yaitu pada saat pesawat block off meninggalkan tempat parkir pesawat (apron) atau pada saat pesawat block on dan parkir di apron bandara tujuan.
Di dalam Peraturan Menteri ini juga dijelaskan faktor penyebab keterlambatan, penanganan keterlambatan penerbangan, pemberian kompensasi dan ganti rugi, asuransi, pengawasan dan penilaian, serta pemberian sanksi. Faktor penyebab keterlambatan antara lain faktor manajemen airline, teknis operasional, faktor cuaca dan faktor lain-lain. Sedangkan yang terkait dengan penanganan keterlambatan penerbangan diantaranya badan usaha angkutan udara wajib menyediakan petugas setingkat General Manager, Station Manager, staf lainnya atau pihak yang ditunjuk dan diberikan kewenangan penuh dalam mengambil keputusan di lapangan dalam menangani penumpang yang mengalami keterlambatan penerbangan.
Petugas sebagaimana dimaksud harus memastikan bahwa dalam memberikan pelayanannya harus bersikap empati serta adanya perhatian dan kepedulian, memberikan kemudahan bagi penumpang yang akan menyusun ulang rencana perjalanan dan membantu penumpang termasuk pemesanan pulang atau melakukan pemindahan ke penerbangan atau badan usaha angkutan dalam negeri lainnya.
B.        Permasalahan
Dari uraian dalam latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Bagaimanakah bentuk tanggungjawab atas terjadinya keterlambatan penerbangan (Delay Management) pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia ?
C.        Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
         Dari permasalahan di atas, maka tujuan penelitian adalah : Untuk mengetahui bentuk tanggungjawab atas terjadinya keterlambatan penerbangan (Delay Management) pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia.
D. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini menggunakan yuridis normative, yaitu penelitian yang menelusuri, meneliti, dan mengkaji objek tersebut terhadap data kepustakaan atau data sekunder dengan maksud membahas norma-norma hukum yang terdapat dalam PM No.89 Tahun 2015 . Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku dan hasil penelitian dan bahan hukum tersier yaitu berupa majalah dan kamus hukum dan lain-lain.
III. PEMBAHASAN
Pengangkutan artinya usaha membawa, mengantar atau memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dalam hal ini terkait unsur-unsur pengangkutan sebagai berikut : 
1.      Ada sesuatu yang diangkut. 
2.      Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutan. 
3.      Ada tempat yang dapat dilalui alat angkutan.  Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tertentu dgn selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri dengan membayar uang angkutan.  Peranan pengangkutan dalam dunia perdagangan bersifat mutlak, tanpa pengangkutan perusahaan tidak akan jalan.
Di dalam perjanjian pengangkutan terdapat kesepakatan antara pihak-pihak yang ingin mengadakan pengangkutan maka perjanjian pengangkutan menimbulkan hak dan kewajiban. Dimana para pihak yang dimaksud harus dengan sungguh-sungguh melaksanakannya. Pada dasarnya fungsi pengangkutan adalah untuk memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Jadi dengan pengangkutan maka dapat diadakan perpindahan barang-barang dari suatu tempat yang dirasa barang itu kurang berguna ke tempat di mana barang-barang tadi dirasakan akan lebih bermanfaat.
Pengangkutan memiliki nilai yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat, hal tersebut didasari oleh berbagai faktor, yaitu antara lain:
1.        Keadaan geografis Indonesia yang berupa daratan yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil, dan berupa perairan yang terdiri dari sebagian besar laut dan sungai serta danau memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udara guna menjangkau seluruh wilayah negara;
2.      Menunjang pembangunan di berbagai sektor
3.      Mendekatkan jarak antara desa dan kota
4.      Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Transportasi atau pengangkutan dapat dikelompokan menurut macam atau moda atau jenisnya (modes of transportation) yang dapat ditinjau dari segi barang yang diangkut, dari segi geografis transportasi itu berlangsung, dari sudut teknis serta dari sudut alat angkutannya. Secara rinci klasifakasi transportasi sebagai berikut :
1.      Dari segi barang yang diangkut, transportasi meliputi:
a.       angkutan penumpang (passanger);
b.      angkutan barang (goods);
c.       angkutan pos (mail).
2.      Dari sudut geografis. Ditinjau dari sudut geografis, transportasi dapat dibagi menjadi;
a.       Angkutan antar benua: misalnya dari Asia ke Eropah;
b.      Angkutan antar kontinental: misalnya dari Francis ke Swiss dan   diseterusnya sampai ke Timur Tengah;
c.       Angkutan antar pulau: misalnya dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera;
d.      Angkutan antar kota: misalnya dari Jakarta ke Bandung;
e.        Angkutan antar daerah: misalnya dari Jawa Barat ke Jawa Timur;
f.        Angkutan di dalam kota: misalnya kota Medan, Surabaya dan lain-lain.
3.      Dari sudut teknis dan alat pengangkutnya, Jika dilihat dari sudut teknis dan alat angkutnya, maka transportasi dapat dibedakan sebagai berikut:
a.       Angkutan jalan raya atau highway transportation(road transportation), seperti pengangkutan dengan menggunakan truk,bus dan sedan;
b.      Pengangkutan rel (rail transportation), yaitu angkutan kereta api, trem listrik dan sebagainya. Pengangkutan jalan raya dan pengangkutan rel kadang-kadang keduanya digabung dalam golongan yang disebut rail and road transportation atau land transportation (angkutan darat);
c.       Pengangkutan melalui air di pedalaman( inland transportation), seperti pengangkutan sungai, kanal, danau dan sebagainya;
d.      Pengangkutan pipa (pipe line transportation), seperti transportasi untuk mengangkut atau mengalirkan minyak tanah,bensin dan air minum;
e.       Pengangkutan laut atau samudera (ocean transportation), yaitu angkutan dengan menggunakan kapal laut yang mengarungi samudera;
f.       Pengangkutan udara (transportation by air atau air transportation), yaitu pengangkutan dengan menggunakan kapal terbang yang melalui jalan udara.
Barang muatan yang dimaksud adalah barang yang sah dan dilindungi oleh Undang-Undang. Dalam pengertian barang yang sah termasuk juga hewan. Secara fisik barang muatan dibedakan menjadi 6 golongan, yaitu :
a. barang berbahaya (bahan-bahan peledak);
b. barang tidak berbahaya;
c.  barang cair (minuman);
d.  barang berharga;
e.  barang curah (beras, semen,minyak mentah); dan
f.   barang khusus.
Secara alami barang muatan dapat dibedakan menjadi :
a   barang padat
b    barang cair
c.   barang gas
d.   barang rongga (barang-barang elektronik)
Dari jenisnya, barang muatan dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu :
a.   General Cargo, adalah jenis barang yang dimuat dengan cara membungkus dan mengepaknya dalam bentuk unit-unit kecil.
b.   Bulk Cargo, adalah jenis barang yang dimuat dengan cara mencurahkannya ke dalam kapal atau tanki.
c.   Homogeneous Cargo, adalah barang dalam jumlah besar yang dimuat dengan cara membungkus dan mengepakan.
Pemerintah menerapkan tarif yang berorientasi kepada kepentingan dan kemampuan masyarakat luas. Dengan berpedoman pada struktur dan golongan tarif tersebut, perusahaan umum, kereta api, perusahaan angkutan umum, perusahaan laut niaga, dan perusahaan udara niaga menetapkan tarif berorientasi kepada kelangsungan dan pengembangan usaha badan penyelenggara dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan serta perluasan jaringan angkutan..
Dalam pengangkutan udara baik orang atau badan hukum yang mengadakan perjanjian angkutan untuk mengangkut penumpang dengan pesawat terbang dan dengan menerima suatu imbalan. Angkutan udara diadakan dengan perjanjian antara para pihak. Tiket penumpang atau tiket bagasi merupakan tanda bukti telah terjadi  perjanjian pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan.
Timbulnya kewajiban antara kedua belah pihak dalam hal ini pemakai jasa angkutan dan pengusaha angkutan udara adalah, didahului dengan adanya perjanjian yang dilakukan dan disetujui sebelumnya, walaupun perjanjian yang disepakati bersama ini bersifat standar dalam arti berasal dari pihak pengusaha angkutan yang sudah dirumuskan sedemikian rupa sehingga para pemakai jasa tinggal menyetujuinya baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan. Mengenai hak, dan kewajiban pihak pengangkut ketentuannya sudah diatur di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU), selain itu terdapat pula dalam ketentuan khusus lainnya den tidak menyimpang dari ketentuan undang-undang.
Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh PT. Garuda Indonesia berfungsi sebagai sarana perhubungan antar pulau yang tidak, atau belum terjangkau oleh perhubungan darat dan laut juga berfungsi sebagai alat pembinaan bagi tumbuh dan berkembangnya perusahaan pengangkutan udara di Indonesia. Ditinjau dari sudut perannya pengangkutan udara merupakan tatanan dari perhubungan, yang merupakan keterpaduan kegiatan transportasi darat, laut dan udara, yang meliputi pengangkutan penumpang, barang dan bagasi.
Perpaduan tersebut menentukan karakteristik dari pengangkutan-pengangkutan udara sebagai suatu mata rantai dari tatanan perhubungan. Pada hakekatnya pembagian tugas masing-masing peranan pengangkutan tidak mungkin dilakukan mengingat antara pengangkutan darat, laut dan udara saling terkait. Peranan utama dari pengangkutan udara adalah melayani kebutuhan perhubungan nasional dan internasional dan menyediakan fasilitas transit penumpang untuk tempat tujuan tertentu.
Pengangkut juga bertanggung jawab untuk menanggung kerugian sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain pada tubuh yang diderita oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya, dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang.
Dan pasal tersebut ternyata bahwa pengangkut udara dianggap selalu bertanggung jawab, asal dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal itu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1.   Adanya kecelakaan yang terjadi,
2.   Kecelakaan ini harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara,
3.   Kecelakaan ini harus terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan yang berhubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang.
Sedangkan menurut Undang-undang No. 1 tahun 2009 tentang penerbangan, pasal yang mengatur tentang tanggung jawab diatur dalam pasal 43 ayat (1) yang berbunyi : Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan bertanggung jawab atas :
1.   Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut.
2.   Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut.
3.   Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terkait hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.
Prinsip-prinsip tanggung jawab khususnya untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara adalah :
1. Prinsip Presumption of Liability
Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi dan pengangkut udara tidak bertanggung jawab hanya bila la dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu. Jadi para pihak yang dirugikan tidak usah membuktikan adanya kesalahan dan pihak pengangkut. Prinsip ini dapat disimpulkan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian bila ia membuktikan bahwa ia dan semua orang yang dipekerjakan itu, telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan itu” Prinsip ini oleh pihak pengangkut dirasakan terlalu berat, sebab pihak pengangkut seolah-olah harus atau selalu bertanggung jawab apabila terjadi kerugian pada penumpang.
2. Prinsip Limitation of Liability
Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab, namun bertanggung jawab itu terbatas sampai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Ordonansi Pengangkutan, Udara maupun Konvensi Warsawa. Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara dalam ordonansi dimaksudkan pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan. Dalam penyelanggraan angkutan udara dibedakan menjadi dua yaitu :
1.      Angkutan udara niaga dan
2.      Angkutan udara bukan niaga.
Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran. Sedangkan angkutan udara bukan niaga ciri terpenting adalah tidak untuk kepentingan umum melainkan untuk keperluan-keperluan yang bersifat khusus misalnya dinas-dinas kenegaraan dan kepentingan militer. Kegiatan angkutan udara dilakukan oleh perusahaan angkutan udara, yaitu perusahaan yang mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan pos dengan memungut pembayaran.
Penerbangan komersial atau angkutan udara niaga adalah usaha pengangkutan dari penumpang-penumpang, barang-barang dan pos atau kegiatan keudaraan lainnya dengan memungut bayaran. Ada beberapa penggolongan kegiatan penerbangan komersial atau niaga, yaitu sebagai berikut:
1.      Penerbangan teratur (scheduled operation), yaitu penerbangan berencana menurut suatu jadwal perjalanan pesawat-pesawat yang tetap dan teratur;
2.      Penerbangan tidak0 teratur (non scheduled operation), yaitu penerbangan-penerbangan dengan pesawat-pesawat secara tidak berencana;
3.       Penerbangan suplementer, yaitu penerbangan-penerbangan dengan pesawat-pesawat berkapasitas 15 orang dan sifatnya suplementer dari penerbangan teratur ke tidak teratur;
4.      Penerbangan kegiatan keudaraan (aerial work), yaitu penerbangan-penerbangan yang bukan bertujuan untuk pengangkutan penumpang, barang atau pos melainkan untuk kegiatan udara lain dengan memungut bayaran antara lain untuk kegiatan-kegiatan penyemprotan, pemotretan, servey udara, dan lain-lain.
Sedangkan ciri-ciri penerbangan komersial atau niaga berjadwal pada umumnya sebagai berikut :
1.   penerbangan dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain atau sebaliknya dengan rute penerbangan yang telah ditetapkan;
2.    penerbangan dilakukan secara seri, lebih dari 1 (satu) kali penerbangan, secara terus menerus atau sedemikian rupa seringnya sehingga dapat dikatakan sebagai penerbangan teratur (regular);
3.    penerbangan tersebut terbuka untuk umum guna mengangkut penumpang dan/atau barang dengan memungut bayaran atas jasa angkutan tersebut;
4.    penerbangan dilakukan berdasarkan jadwal penerbangan yang telah ditetapkan terlebih dahulu terlepas apakah tersedia penumpang atau tidak, penerbangan tetap dilangsungkan;
5.    penerbangan jenis ini dimaksudkan untuk melayani masyarakat yang telah mengutamakan nilian waktu dari pada nilai uang;
6.    perusahaan penerbangnya diperbolehkan memasang iklan;
7.    penjualan tiket terbuka untuk umum secara individu.
Sedangkan ciri-ciri penerbangan tidak berjadwal secara umum, yaitu sebagai berikut:
1.    penerbangan dilakukan untuk mengangkut barang, orang, dan atau pos ke seluruh wilayah Republik Indonesia dengan tidak ada pembatasan rute penerbangan terteentu secara tetap;
2.  penerbangan tidak dilakukan sesuai dengan daftar perjalanan terbang/ jadwal penerbangan;
3.  penjualan karcis atau surat muatan udara secara sekaligus untuk seluruh kapasitas pesawat udara tersebut;
4.  penumpangnya merupakan suatu rombongan dan bukan merupakan penumpang umum yang dihimpun oleh pencarter atau biro perjalanan (travel beureau);
5.   pesawat udara pengangku penumpang, barang dan pos dari suatu tempat langsung ke tempat tujuan dengan tidak diperkenankan menurunkan dan atau menaikkan penumpang dalam perjalanan;
6.   perusahaan penerbangnya tidak diperkenankan memasang iklan di surat kabar, majalah, maupun media massa lainnya;
7.   tarif angkutan tidak berdasarkan surat keputusan pemerintah yang telah ditetapkan terlebih dahulu;
8.    jenis pengangkutan ini dimaksudkan untuk melayani masyarakat yang lebih mengutamakan nilai waktu dari pada nilai uang.
Penerbangan komersil dilihat dari segi wilayah operasi penerbangannya dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1.   Penerbangan domestik (nasional), yaitu penerbangan antar pelabuhan udara di wilayah Indonesia dengan menggunakan pesawat udara yang beregistrasi indonesia,
2.  Penerbangan internasional, adalah penerbangan dari pelabuhan udara Indonesia dengan atau tanpa melakukan transit di pelabuhan udara indonesia atau sebaliknya dengan tujuan pelabuhan udara negara lain.
Penerbangan internasional dilihat dari aspek perusahaan penerbangannya dikategorikan ke dalam 2 (dua) bentuk yaitu :
1.      Penerbangan internasional yang dilakukan oleh pesawat udara asing (registrasi asing);
2.      Penerbangan internasional yang dilakukan oleh pesawat udara nasional (registrasi nasional).
Dalam peraturan perundang-undangan juga dijelaskan beberapa defenisi yang berkenaan dengan kegaiatan pengangkutan udara, yaitu antara lain:
1.   Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait;
2.   Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu Bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara;
3.   Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.
                Keterlambatan penerbangan sampai saat ini masih menjadi persoalan dalam kegiatan penerbangan, masalah ini banyak mendapat perhatian dari berbagai pihak, karena alasan utama konsumen menggunakan jasa penerbangan karena ketepatan waktu tiba di tempat tujuan.
Terjadinya keterlambatan penerbangan ini disebabkan oleh berbagai faktor (Pasal 5 PM 89 Tahun 2015) yaitu :
1.     Faktor yang menyebabkan keterlambatan penerbangan meliputi :
a.   Faktor manajemen airline;
b.   Faktor tenis Operasional
c.   Faktor cuaca
d.  Faktor lain-lain
2.    Faktor manajemen airline adalah factor yang disebabkan oleh maskapai penerbangan, meliputi :
a.     Keterlambatan pilot,co pilot, dan awak kabin
b.    Keterlambatan jasa boga (catering)
c.     Keterlambatan penangan di darat
d.    Menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat (transfer) atau penerbanganlanjutan (conneting flight) dan
e.     Ketidaksiapan peswat udara.
3.    Faktor teknis operasional adalah factor yang disebabkan oleh kondisi Bandar udara pada saat keberangkatan atau kedatangan, meliputi :
a.    Bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara.
b.    Lingkungan menujubandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir atau kebakaran.
c.    Terjadinya antrian peswat udara lepas landas (take off) mendarat (lading) atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara
d.   Keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling)
4.    Faktor cuaca, meliputi :
a.     Hujan lebat
b.     Banjir
c.     Badai
d.    Kabut
e.     Asap
f.      Jarak pandang di bawah standar minimal
g.     Kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan.
5.     Faktor lain-lain, misalnya kerusuhan dan/atau demontrasi di wilayah Bandar udara.
              Keterlambatan penerbangan sampai saat ini masih menjadi persoalan dalam kegiatan penerbangan yang dikeluhkan oleh para konsumen. Keterlambatan bagi para penumpang tentu saja menimbulkan banyak sekali kerugian, terutama sekali merasa jenuh menunggu, tertundanya aktifitas-aktifitas yang semestinya bisa dilakukan bahkan akan kehilangan kesempatan-kesempatan yang akan di dapatnya.
Dalam hal terjadi keterlambatan penerbangan (delay management), perusahaan penerbangan bertanggung jawab untuk memberikan kompesasi dan anti rugi kepada pihak penumpang. Badan usaha angkutan udara wajib memberikan kompesasi sesuai dengan kategori keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yaitu berupa :
1.     Keterlambatan kategori 1 ( 30 menit s/d 60 menit) , kompensasinya berupa minuman ringan.
2.     Keterlambatan kategori 2 (61 menit s/d 120 menit), kompensasinya berupa minuman dan makanan ringan (snackbox).
3.     Keterlambatan kategori 3 ( 121 menit s/d 180 menit), kompensasinya berupa minuman dan makanan berat (heavy meal).
4.     Keterlambatan kategori 4 (181 menit s/d 240 menit), kompensasinya berupa minuman, makanan ringan ( snack box), makanan berat (heavy meal).
5.     Keterlambatan kategori 5, lebih dari 240 menit , kompensasinya berupa ganti rugi sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah)
6.     Keterlambatan kategori 6, pembatalan penerbangan, kompensasinya badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket)
7.     Keterlambatan pada kategori 2 sampai dengan 5, penumpang dapat dialihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket).
Selanjutnya pemberian kompensasi harus dilakukan secara aktif oleh petugas setingkat General Manager, Station Manager, staf lainnya atau pihak yang ditunjuk yang bertindak untuk dan atas nama badan usaha angkutan niaga berjadwal.
Dalam ganti kerugian untuk keterlambatan kategori 5 yaitu lebih dari 240 menit, wajib diansurasikan kepada perusahaan asuransi sesuai ketentuan berlaku serta pemberian ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk uang tunai atau voucher yang dapat diuangkan atau melalui transfer rekening selambat-lambatnya 3x 24 jam sejak keterlambatan dan pembatalan penerbangan terjadi.
Direktur Jenderal melakukan pengawasan dan penilaian terhadap badan usaha angkutan udara. Pengawasan yang terkait dengan masalah penanganan manajemen tentang keterlambatan penerbangan (delay management), dapat diberikan sanksi berupa :
1.    Teguran tertulis, apabila badan usaha angkutan udara dalam negeri mempunyai bobot penilaian di bawah 60% (tidak baik) berturut-turut selama tiga bulan.
2.    Pembekuan rute baru, apabila badan usaha angkutan udara dalam negeri mempunyai bobot penilaian di bawah 60 % (tidak baik) berturut-turut selama tiga bulan sejak diberikan surat peringatan.
3.    Pengurangan rute, apabila badan usaha angkutan udara dalam negeri mempunyai bobot penilaian di bawah 60% (tidak baaik) berturut-turut selama tiga bulan sejak diberikan sanksi pembekuan rute.
4.    Pencabutan izin usaha, apabila badan usaha dalam negeri mempunyai bobot 60% (tidak baik) berturut-turut selama tiga bulan sejak diberikan sanksi pengurangan rute.
IV.       PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya keterlambatan penerbangan (Delay Management) pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia (Pasal 5 PM 89 Tahun 2015) yaitu:
a.     Faktor manajemen airline;
b.    Faktor tenis Operasional;
c.     Faktor cuaca;
Dalam hal terjadi keterlambatan penerbangan (delay management), perusahaan penerbangan bertanggung jawab untuk memberikan kompesasi dan anti rugi kepada pihak penumpang. Badan usaha angkutan udara wajib memberikan kompesasi sesuai dengan kategori keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yaitu berupa :
a.    Keterlambatan kategori 1 ( 30 menit s/d 60 menit) , kompensasinya berupa minuman ringan.
b.    Keterlambatan kategori 2 (61 menit s/d 120 menit), kompensasinya berupa minuman dan makanan ringan (snackbox).
c.    Keterlambatan kategori 3 ( 121 menit s/d 180 menit), kompensasinya berupa minuman dan makanan berat (heavy meal).
d.   Keterlambatan kategori 4 (181 menit s/d 240 menit), kompensasinya berupa minuman, makanan ringan ( snack box), makanan berat (heavy meal).
e.     Keterlambatan kategori 5, lebih dari 240 menit , kompensasinya berupa ganti rugi sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah)
f.     Keterlambatan kategori 6, pembatalan penerbangan, kompensasinya badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket)
g.    Keterlambatan pada kategori 2 sampai dengan 5, penumpang dapat dialihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket).
B.     Saran
Dalam rangka untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi para pengguna jasa penerbangan maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap hukum yang mengatur tentang kegiatan penerbangan . Di samping itu juga perlu di perbaiki lagi jumlah nilai ganti rugi, sebab ganti rugi dalam undang-undang tersebut sangat kecil nilainya.
DAFTAR PUSTAKA
Ashsofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT Rineka Cipta. 2004
Emirzon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi, Arbitrase), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001.
Hartono, Sri Redjeki. Hukum Ekonomi Indonesia, Malang:Bayu Media. 2007
K.Martono. Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2001
Mansyur, M Ali. Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen. Yogyakarta. Penerbit GentaPress. 2007
Purwosutjipto, HMN. Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia 3:Hukum Pengangkutan, Jakarta: Penerbit Djambatan. 2003
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT Grasindo. 2000
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2006
Simatupang, Taufik. Aspek Hukum Periklanan. Bandung: PT Aditya Bakti. 2004
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 2006
Thohir Suriaatmadja, Toto. Pengangkutan Kargo Udara, Bandung:Pustaka Bani Quraisy. 2005
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2003
Wignjosoebroto, Soetandyo . Hukum Paradigma,Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Penerbit Huma. 2002



[1] / K. Martono dan Agus Pramono. , Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional . Jakarta: Rajawali Press. 2013. hal. 3

1 komentar: