Oleh Fitriah
Fakultas Hukum Universitas Palembang
Abstract
After
the reform, in Indonesia there are many new airlines in addition to
government-owned airlines. Each airline is competing to serve passengers at a
low price. Airlines often offer promo tickets. With the tariff war between
airlines often forget the protection of the passengers themselves. So the plane
often experienced schedule delay, baggage claim lost or the worst: accident
accident. To implement the provisions of Law Number 1 Year 2009 on Aviation and
provide protection and service of scheduled commercial airline passengers, it
is necessary to regulate Flight Delay Management at the Scheduled Commercial
Air Transport Agency in Indonesia. Referring to the Law stipulated Ministerial
Regulation (PM) concerning the handling of flight delays (Delay Management) at
the Business Air Transport Agency Commerce Scheduled in Indonesia. In
Ministerial Regulation no. 89 Year 2015 is also described the scope of flight
delays and factors causing delays. The factors causing flight delays (Delay
Management) at the Scheduled Air Transport Operations Agency in Indonesia
(Article 5 PM 89 of 2015) are: Flight management factor, operational tennis
factor, weather factor, and other factors. In the event of delayed flight, the
airline is responsible for providing compensation and anti-loss to the
passenger. Air transport business entities shall compensate in accordance with
the category of delay as referred to in Article 3 PM 89 of 2015.
Keywords:
flight delays
Abstrak
Setelah reformasi, di
Indonesia bermunculan banyak sekali maskapai penerbangan baru selain maskapai
yang dimiliki oleh pemerintah. Masing-masing maskapai penerbangan
berlomba-lomba untuk melayani penumpang dengan harga yang murah. Maskapai
seringkali menawarkan tiket promo. Dengan adanya perang tarif antara maskapai
seringkali melupakan perlindungan terhadap penumpang itu sendiri. Sehingga pesawat sering mengalami keterlambatan
jadwal, klaim bagasi hilang ataupun yang terparah: musibah kecelakaan. Untuk melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan dan memberikan perlindungan serta pelayanan penumpang
angkutan udara niaga berjadwal, perlu diatur Penanganan Keterlambatan
Penerbangan (Delay Management) Pada
Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. Mengacu kepada Undang-Undang ditetapkan Peraturan Menteri
(PM) tentang penanganan keterlambatan
penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga
Berjadwal di Indonesia. Dalam Peraturan Menteri No. 89 Tahun 2015 ini dijelaskan
pula ruang lingkup keterlambatan penerbangan dan faktor penyebab keterlambatan.
Adpun faktor-faktor
penyebab terjadinya keterlambatan penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal
di Indonesia (Pasal 5 PM 89 Tahun 2015) yaitu: Faktor manajemen airline,faktor
tenis operasional, faktor cuaca, dan faktor lainnya. Dalam hal terjadi keterlambatan penerbangan (delay management), perusahaan
penerbangan bertanggung jawab untuk memberikan kompesasi dan anti rugi kepada
pihak penumpang. Badan usaha angkutan udara wajib memberikan kompesasi sesuai
dengan kategori keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 PM 89 Tahun
2015.
Kata Kunci :
keterlambatan penerbangan
I.
II.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pengangkutan udara memainkan peranan
yang sangat penting dalam perkembangan
perekonomian suatu negara karena pesawat terbang merupakan alat
transportasi yang efisien, dinamis, dan cepat. Pesawat terbang juga merupakan
transportasi yang secara keamanan dan kenyamanan sangat berkualitas dalam hal
pelayanan kepada penumpang, jika aturan dan standar operasional prosedur dari
hukum penerbangan benar-benar dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.
Kategori aspek penyelenggaran pengangkutan
udara juga terbagi dua, yaitu ada
pengangkutan udara niaga dan bukan niaga.. Penerbangan niaga merupakan bentuk
transportasi udara yang mengenakan biaya bagi penggunanya. Jenis penerbangan
ini dibedakan lagi menjadi dua bentuk,
yaitu penerbangan niaga berjadwal dan penerbangan niaga tidak berjadwal.
Arus informasi, perhubungan, dan
pengangkutan udara mengalami kemajuan pesat dengan munculnya berbagai
perusahaan maskapai penerbangan baik di Indonesia maupun di dunia internasional
. Di Indonesia sejak era reformasi bermunculan maskapai-maskapai baru yang
dikelola oleh swasta. Timbulnya maskapai penerbangan yang sangat banyak di
Indonesia berawal dari diratifikasinya World
Trade Organization/ General Aviation
Training & Testing Service (WTO/GATTs)
oleh Indonesia, dimana dengan diratifikasinya
WTO/GATTs tersebut tidak
dibenarkan lagi pemerintah Indonesia melakukan monopoli dibidang perusahaan
jasa penerbangan. Kebijakan
penyelenggaraan penerbangan mempunyai ciri khas masing-masing di setiap negara berdasarkan ideologi yang dianut. Di
negeri-negeri sosialis seperti Rusia dan Republik Rakyat China, jasa angkutan
udara dilakukan sepenuhnya oleh negara melalui otoritas yang mengaturnya: Civil Aviation Authority of China, Civil
Aviation Administration– Russia, Civil Aviation Authority of Singapore. Berbeda
dengan negara-negara liberal yang
penyelenggaraan angkutan udara cenderung bebas dimana pihak swasta juga
dapat melakukan usaha jasa penerbangan.
Sedangkan di Indonesia setelah era
reformasi , maskapai penerbangan mengkategorikan sebagai angkutan pernerbangan
kelas menengah kebawah dan kelas menengah ke atas. Maskapai penerbangan low cost carrier : Air Asia, Lion Air,
Sriwijaya Air dsb. Sedangkan maskapai penerbangan high cost carrier : Garuda Indonesia, Batik Air dan lain-lain.
Setelah reformasi di Indonesia bermunculan banyak sekali maskapai penerbangan
baru selain maskapai yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia sejak era orde
lama. Masing-masing maskapai penerbangan berlomba-lomba untuk melayani
penumpang dengan harga yang murah. Maskapai seringkali menawarkan tiket promo.
Dengan adanya perang tarif antar maskapai seringkali melupakan perlindungan
terhadap penumpang itu sendiri. Seringnya
pesawat mengalami keterlambatan jadwal, klaim bagasi hilang ataupun yang
terparah: musibah kecelakaan. Dampak negatif dari penyelenggaraan usaha
pengangkutan udara yang tidak mentaati
peraturan hukum udara yang berlaku, maka akan terjadi kelalaian dari
pihak maskapai penerbangan itu sendiri
yang mengakibatkan kerugian kepada penumpang. Ketika terjadi kerugian yang
dialami oleh penumpang, maka maskapai penerbangan bertanggung jawab atas
kerugian tersebut. Di Indonesia, sering terjadi kasus kecelakaan misalnya pada tahun
2002 pesawat Garuda Indonesia mengalami mendarat darurat di sungai Bengawan
Solo. Tahun 2004 terjadi kecelakaan pesawat di Bandara Adi Sumarmo, Surakarta. Kemudian
tahun 2007 pesawat Adam Air jatuh di
Selat Makassar dan pesawat Garuda Indonesia tergelincir di bandara Adi Sucipto
Yogyakarta, dan di tahun 2012 pesawat demo Sukhoi menabrak Gunung Salak dan
masih banyak lainnya.
Angkutan udara niaga berjadwal dapat
dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional atau badan usaha angkutan
udara luar negeri. Namun, di dalam negeri Indonesia, kegiatan angkutan udara
niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan
udara nasional. [1]/
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal
100 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan memberikan perlindungan
serta pelayanan penumpang angkutan udara niaga berjadwal, perlu diatur
Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay
Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. dengan
Peraturan Menteri No. 89 Tahun 2015. Dalam peraturan ini dijelaskan pula ruang
lingkup keterlambatan penerbangan dan faktor penyebab keterlambatan.
Keterlambatan penerbangan pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal
terdiri dari keterlambatan penerbangan, tidak terangkutnya penumpang dengan
alasan kapasitas pesawat dan pembatalan penerbangan. Keterlambatan penerbangan
dikelompokkan dalam enam kategori
keterlambatan, yaitu :
1. Keterlambatan 30 menit sampai dengan 60 menit,
2. Keterlambatan 61 menit s/d 120 menit,
3. Keterlambatan 121
menit s/d 180 menit,
4. Keterlambatan 181 menit s/d 240 menit,
5. Keterlambatan lebih dari 240 menit dan
6.
Pembatalan penerbangan.
Keterlambatan penerbangan dimaksud
dihitung berdasarkan perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan
yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan yaitu
pada saat pesawat block off
meninggalkan tempat parkir pesawat (apron)
atau pada saat pesawat block on dan
parkir di apron bandara tujuan.
Di dalam Peraturan Menteri ini juga
dijelaskan faktor penyebab keterlambatan, penanganan keterlambatan penerbangan,
pemberian kompensasi dan ganti rugi, asuransi, pengawasan dan penilaian, serta
pemberian sanksi. Faktor penyebab keterlambatan antara lain faktor manajemen
airline, teknis operasional, faktor cuaca dan faktor lain-lain. Sedangkan yang
terkait dengan penanganan keterlambatan penerbangan diantaranya badan usaha
angkutan udara wajib menyediakan petugas setingkat General Manager, Station
Manager, staf lainnya atau pihak yang ditunjuk dan diberikan kewenangan penuh
dalam mengambil keputusan di lapangan dalam menangani penumpang yang mengalami
keterlambatan penerbangan.
Petugas sebagaimana dimaksud harus
memastikan bahwa dalam memberikan pelayanannya harus bersikap empati serta
adanya perhatian dan kepedulian, memberikan kemudahan bagi penumpang yang akan
menyusun ulang rencana perjalanan dan membantu penumpang termasuk pemesanan
pulang atau melakukan pemindahan ke penerbangan atau badan usaha angkutan dalam
negeri lainnya.
B.
Permasalahan
Dari uraian dalam latar belakang di atas dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut : Bagaimanakah bentuk tanggungjawab atas terjadinya
keterlambatan penerbangan (Delay
Management) pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia ?
C.
Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Dari permasalahan di atas, maka tujuan
penelitian adalah : Untuk mengetahui bentuk tanggungjawab atas terjadinya
keterlambatan penerbangan (Delay
Management) pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia.
D. Metodologi Penelitian
Metode
yang digunakan pada penelitian ini menggunakan yuridis normative, yaitu
penelitian yang menelusuri, meneliti, dan mengkaji objek tersebut terhadap data
kepustakaan atau data sekunder dengan maksud membahas norma-norma hukum yang
terdapat dalam PM No.89 Tahun 2015 . Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku dan hasil penelitian
dan bahan hukum tersier yaitu berupa majalah dan kamus hukum dan lain-lain.
III. PEMBAHASAN
Pengangkutan
artinya usaha membawa, mengantar atau memindahkan orang atau barang dari suatu
tempat ke tempat yang lain. Dalam hal ini terkait unsur-unsur pengangkutan
sebagai berikut :
1.
Ada
sesuatu yang diangkut.
2.
Tersedianya
kendaraan sebagai alat angkutan.
3.
Ada
tempat yang dapat dilalui alat angkutan.
Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari
tempat asal ke tempat tujuan.
Pengangkutan
adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana
pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau
orang dari suatu tempat ke tempat tertentu dgn selamat, sedangkan pengirim
mengikatkan diri dengan membayar uang angkutan.
Peranan pengangkutan dalam dunia perdagangan bersifat mutlak, tanpa
pengangkutan perusahaan tidak akan jalan.
Di
dalam perjanjian pengangkutan terdapat kesepakatan antara pihak-pihak yang
ingin mengadakan pengangkutan maka perjanjian pengangkutan menimbulkan hak dan
kewajiban. Dimana para pihak yang dimaksud harus dengan sungguh-sungguh
melaksanakannya. Pada dasarnya fungsi pengangkutan adalah untuk memindahkan
barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk
meningkatkan daya guna dan nilai. Jadi dengan pengangkutan maka dapat diadakan
perpindahan barang-barang dari suatu tempat yang dirasa barang itu kurang
berguna ke tempat di mana barang-barang tadi dirasakan akan lebih bermanfaat.
Pengangkutan memiliki nilai yang sangat vital dalam
kehidupan masyarakat, hal tersebut didasari oleh berbagai faktor, yaitu antara
lain:
1.
Keadaan geografis Indonesia yang
berupa daratan yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil, dan berupa
perairan yang terdiri dari sebagian besar laut dan sungai serta danau
memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udara guna
menjangkau seluruh wilayah negara;
2.
Menunjang pembangunan di berbagai sektor
3.
Mendekatkan jarak antara desa dan
kota
4.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Transportasi atau pengangkutan dapat dikelompokan menurut
macam atau moda atau jenisnya (modes of transportation) yang dapat
ditinjau dari segi barang yang diangkut, dari segi geografis transportasi itu
berlangsung, dari sudut teknis serta dari sudut alat angkutannya. Secara rinci
klasifakasi transportasi sebagai berikut :
1.
Dari segi barang yang diangkut,
transportasi meliputi:
a.
angkutan penumpang (passanger);
b.
angkutan barang (goods);
c.
angkutan pos (mail).
2.
Dari sudut geografis. Ditinjau dari
sudut geografis, transportasi dapat dibagi menjadi;
a.
Angkutan antar benua: misalnya dari
Asia ke Eropah;
b.
Angkutan antar kontinental: misalnya
dari Francis ke Swiss dan diseterusnya
sampai ke Timur Tengah;
c.
Angkutan antar pulau: misalnya dari
Pulau Jawa ke Pulau Sumatera;
d.
Angkutan antar kota: misalnya dari
Jakarta ke Bandung;
e.
Angkutan
antar daerah: misalnya dari Jawa Barat ke Jawa Timur;
f.
Angkutan
di dalam kota: misalnya kota Medan, Surabaya dan lain-lain.
3.
Dari sudut teknis dan alat
pengangkutnya, Jika dilihat dari sudut teknis dan alat angkutnya, maka
transportasi dapat dibedakan sebagai berikut:
a.
Angkutan jalan raya atau highway
transportation(road transportation), seperti pengangkutan dengan
menggunakan truk,bus dan sedan;
b.
Pengangkutan rel (rail
transportation), yaitu angkutan kereta api, trem listrik dan sebagainya.
Pengangkutan jalan raya dan pengangkutan rel kadang-kadang keduanya digabung
dalam golongan yang disebut rail and road transportation atau land transportation
(angkutan darat);
c.
Pengangkutan melalui air di
pedalaman( inland transportation), seperti pengangkutan sungai, kanal,
danau dan sebagainya;
d.
Pengangkutan pipa (pipe line
transportation), seperti transportasi untuk mengangkut atau mengalirkan
minyak tanah,bensin dan air minum;
e.
Pengangkutan laut atau samudera (ocean
transportation), yaitu angkutan dengan menggunakan kapal laut yang
mengarungi samudera;
f.
Pengangkutan udara (transportation
by air atau air transportation), yaitu pengangkutan dengan menggunakan
kapal terbang yang melalui jalan udara.
Barang muatan yang dimaksud adalah barang yang sah dan
dilindungi oleh Undang-Undang. Dalam pengertian barang yang sah termasuk juga
hewan. Secara fisik barang muatan dibedakan menjadi 6 golongan, yaitu :
a.
barang berbahaya (bahan-bahan peledak);
b. barang
tidak berbahaya;
c.
barang cair (minuman);
d.
barang berharga;
e.
barang curah (beras, semen,minyak mentah); dan
f.
barang khusus.
Secara alami barang muatan dapat dibedakan menjadi :
a barang
padat
b
barang cair
c.
barang gas
d.
barang rongga (barang-barang elektronik)
Dari jenisnya, barang muatan dapat dibedakan
menjadi 3 golongan, yaitu :
a. General Cargo, adalah jenis barang yang
dimuat dengan cara membungkus dan mengepaknya dalam bentuk unit-unit kecil.
b. Bulk Cargo, adalah jenis barang yang
dimuat dengan cara mencurahkannya ke
dalam kapal atau tanki.
c. Homogeneous Cargo,
adalah barang dalam jumlah besar yang dimuat dengan cara membungkus dan
mengepakan.
Pemerintah
menerapkan tarif yang berorientasi kepada kepentingan dan kemampuan masyarakat
luas. Dengan berpedoman pada struktur dan golongan tarif tersebut, perusahaan
umum, kereta api, perusahaan angkutan umum, perusahaan laut niaga, dan
perusahaan udara niaga menetapkan tarif berorientasi kepada kelangsungan dan
pengembangan usaha badan penyelenggara dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
serta perluasan jaringan angkutan..
Dalam
pengangkutan udara baik orang atau badan hukum yang mengadakan perjanjian
angkutan untuk mengangkut penumpang dengan pesawat terbang dan dengan menerima
suatu imbalan. Angkutan udara diadakan dengan perjanjian antara para pihak.
Tiket penumpang atau tiket bagasi merupakan tanda bukti telah terjadi
perjanjian pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan.
Timbulnya kewajiban antara kedua
belah pihak dalam hal ini pemakai jasa angkutan dan pengusaha angkutan udara
adalah, didahului dengan adanya perjanjian yang dilakukan dan disetujui
sebelumnya, walaupun perjanjian yang disepakati bersama ini bersifat standar
dalam arti berasal dari pihak pengusaha angkutan yang sudah dirumuskan
sedemikian rupa sehingga para pemakai jasa tinggal menyetujuinya baik secara
diam-diam maupun secara terang-terangan. Mengenai hak, dan kewajiban pihak
pengangkut ketentuannya sudah diatur di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara
(OPU), selain itu terdapat pula dalam ketentuan khusus lainnya den tidak
menyimpang dari ketentuan undang-undang.
Pengangkutan udara yang
diselenggarakan oleh PT. Garuda Indonesia berfungsi sebagai sarana perhubungan
antar pulau yang tidak, atau belum terjangkau oleh perhubungan darat dan laut
juga berfungsi sebagai alat pembinaan bagi tumbuh dan berkembangnya perusahaan
pengangkutan udara di Indonesia. Ditinjau dari sudut perannya pengangkutan
udara merupakan tatanan dari perhubungan, yang merupakan keterpaduan kegiatan
transportasi darat, laut dan udara, yang meliputi pengangkutan penumpang,
barang dan bagasi.
Perpaduan tersebut menentukan
karakteristik dari pengangkutan-pengangkutan udara sebagai suatu mata rantai
dari tatanan perhubungan. Pada hakekatnya pembagian tugas masing-masing peranan
pengangkutan tidak mungkin dilakukan mengingat antara pengangkutan darat, laut
dan udara saling terkait. Peranan utama dari pengangkutan udara adalah melayani
kebutuhan perhubungan nasional dan internasional dan menyediakan fasilitas
transit penumpang untuk tempat tujuan tertentu.
Pengangkut juga bertanggung jawab
untuk menanggung kerugian sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain
pada tubuh yang diderita oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan
kerugian itu ada hubungannya, dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas
pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik
ke atau turun dari pesawat terbang.
Dan pasal tersebut ternyata bahwa
pengangkut udara dianggap selalu bertanggung jawab, asal dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan dalam pasal itu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1. Adanya kecelakaan yang terjadi,
2. Kecelakaan ini harus ada hubungannya dengan pengangkutan
udara,
3.
Kecelakaan ini harus terjadi di atas
pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan yang berhubungan dengan naik
ke atau turun dari pesawat terbang.
Sedangkan menurut Undang-undang No.
1 tahun 2009 tentang penerbangan, pasal yang mengatur tentang tanggung jawab
diatur dalam pasal 43 ayat (1) yang berbunyi : Perusahaan angkutan udara yang
melakukan kegiatan angkutan bertanggung jawab atas :
1. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut.
2. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut.
3. Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang
diangkut apabila terkait hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.
Prinsip-prinsip tanggung jawab
khususnya untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan dalam
Konvensi Warsawa dan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara adalah :
1. Prinsip Presumption of Liability
Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu bertanggung jawab
untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi dan
pengangkut udara tidak bertanggung jawab hanya bila la dapat membuktikan bahwa
ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu. Jadi para pihak yang
dirugikan tidak usah membuktikan adanya kesalahan dan pihak pengangkut. Prinsip
ini dapat disimpulkan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian
bila ia membuktikan bahwa ia dan semua orang yang dipekerjakan itu, telah
mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian atau
bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan itu” Prinsip
ini oleh pihak pengangkut dirasakan terlalu berat, sebab pihak pengangkut
seolah-olah harus atau selalu bertanggung jawab apabila terjadi kerugian pada
penumpang.
2. Prinsip Limitation of Liability
Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab,
namun bertanggung jawab itu terbatas sampai jumlah tertentu sesuai dengan
ketentuan yang telah diatur dalam Ordonansi Pengangkutan, Udara maupun Konvensi
Warsawa. Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara dalam ordonansi dimaksudkan
pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan. Dalam penyelanggraan
angkutan udara dibedakan menjadi dua yaitu :
1.
Angkutan
udara niaga dan
2.
Angkutan
udara bukan niaga.
Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan
memungut pembayaran. Sedangkan angkutan udara bukan niaga ciri terpenting
adalah tidak untuk kepentingan umum melainkan untuk keperluan-keperluan yang
bersifat khusus misalnya dinas-dinas kenegaraan dan kepentingan militer.
Kegiatan angkutan udara dilakukan oleh perusahaan angkutan udara, yaitu
perusahaan yang mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut
penumpang, kargo, dan pos dengan memungut pembayaran.
Penerbangan komersial atau angkutan udara niaga adalah usaha
pengangkutan dari penumpang-penumpang, barang-barang dan pos atau kegiatan
keudaraan lainnya dengan memungut bayaran. Ada beberapa penggolongan kegiatan
penerbangan komersial atau niaga, yaitu sebagai berikut:
1.
Penerbangan teratur (scheduled
operation), yaitu penerbangan berencana menurut suatu jadwal perjalanan
pesawat-pesawat yang tetap dan teratur;
2.
Penerbangan tidak0 teratur (non
scheduled operation), yaitu penerbangan-penerbangan dengan pesawat-pesawat
secara tidak berencana;
3.
Penerbangan
suplementer, yaitu penerbangan-penerbangan dengan pesawat-pesawat berkapasitas
15 orang dan sifatnya suplementer dari penerbangan teratur ke tidak teratur;
4.
Penerbangan kegiatan keudaraan (aerial
work), yaitu penerbangan-penerbangan yang bukan bertujuan untuk
pengangkutan penumpang, barang atau pos melainkan untuk kegiatan udara lain
dengan memungut bayaran antara lain untuk kegiatan-kegiatan penyemprotan,
pemotretan, servey udara, dan lain-lain.
Sedangkan ciri-ciri penerbangan komersial atau niaga
berjadwal pada umumnya sebagai berikut :
1. penerbangan dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain atau
sebaliknya dengan rute penerbangan yang telah ditetapkan;
2. penerbangan dilakukan secara seri, lebih dari 1 (satu) kali
penerbangan, secara terus menerus atau sedemikian rupa seringnya sehingga dapat
dikatakan sebagai penerbangan teratur (regular);
3. penerbangan tersebut terbuka untuk umum guna mengangkut
penumpang dan/atau barang dengan memungut bayaran atas jasa angkutan tersebut;
4. penerbangan dilakukan berdasarkan jadwal penerbangan yang
telah ditetapkan terlebih dahulu terlepas apakah tersedia penumpang atau tidak,
penerbangan tetap dilangsungkan;
5. penerbangan jenis ini dimaksudkan untuk melayani masyarakat
yang telah mengutamakan nilian waktu dari pada nilai uang;
6. perusahaan penerbangnya diperbolehkan memasang iklan;
7. penjualan tiket terbuka untuk umum secara individu.
Sedangkan ciri-ciri penerbangan tidak berjadwal secara umum,
yaitu sebagai berikut:
1. penerbangan dilakukan untuk mengangkut barang, orang, dan
atau pos ke seluruh wilayah Republik Indonesia dengan tidak ada pembatasan rute
penerbangan terteentu secara tetap;
2. penerbangan tidak dilakukan sesuai dengan daftar perjalanan
terbang/ jadwal penerbangan;
3. penjualan karcis atau surat muatan udara secara sekaligus
untuk seluruh kapasitas pesawat udara tersebut;
4. penumpangnya merupakan suatu rombongan dan bukan merupakan
penumpang umum yang dihimpun oleh pencarter atau biro perjalanan (travel
beureau);
5. pesawat udara pengangku penumpang, barang dan pos dari suatu
tempat langsung ke tempat tujuan dengan tidak diperkenankan menurunkan dan atau
menaikkan penumpang dalam perjalanan;
6. perusahaan penerbangnya tidak diperkenankan memasang iklan
di surat kabar, majalah, maupun media massa lainnya;
7. tarif angkutan tidak berdasarkan surat keputusan pemerintah
yang telah ditetapkan terlebih dahulu;
8. jenis pengangkutan ini dimaksudkan untuk melayani masyarakat
yang lebih mengutamakan nilai waktu dari pada nilai uang.
Penerbangan komersil dilihat dari segi wilayah operasi
penerbangannya dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1.
Penerbangan domestik (nasional),
yaitu penerbangan antar pelabuhan udara di wilayah Indonesia dengan menggunakan
pesawat udara yang beregistrasi indonesia,
2.
Penerbangan internasional, adalah
penerbangan dari pelabuhan udara Indonesia dengan atau tanpa melakukan transit
di pelabuhan udara indonesia atau sebaliknya dengan tujuan pelabuhan udara
negara lain.
Penerbangan internasional dilihat dari aspek perusahaan
penerbangannya dikategorikan ke dalam 2 (dua) bentuk yaitu :
1.
Penerbangan internasional yang
dilakukan oleh pesawat udara asing (registrasi asing);
2.
Penerbangan internasional yang dilakukan
oleh pesawat udara nasional (registrasi nasional).
Dalam peraturan perundang-undangan juga dijelaskan beberapa
defenisi yang berkenaan dengan kegaiatan pengangkutan udara, yaitu antara lain:
1. Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan
dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang
terkait;
2. Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan
pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan
atau lebih dari satu Bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa
bandar udara;
3. Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan
memungut pembayaran.
Keterlambatan penerbangan
sampai saat ini masih menjadi persoalan dalam kegiatan penerbangan, masalah ini
banyak mendapat perhatian dari berbagai pihak, karena alasan utama konsumen
menggunakan jasa penerbangan karena ketepatan waktu tiba di tempat tujuan.
Terjadinya keterlambatan penerbangan ini disebabkan oleh
berbagai faktor (Pasal 5 PM 89 Tahun 2015) yaitu :
1. Faktor yang menyebabkan keterlambatan penerbangan
meliputi :
a. Faktor manajemen airline;
b. Faktor tenis Operasional
c. Faktor cuaca
d. Faktor lain-lain
2. Faktor manajemen airline
adalah factor yang disebabkan oleh maskapai penerbangan, meliputi :
a. Keterlambatan pilot,co pilot, dan awak kabin
b. Keterlambatan jasa boga (catering)
c. Keterlambatan penangan di darat
d. Menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat (transfer)
atau penerbanganlanjutan (conneting
flight) dan
e. Ketidaksiapan peswat udara.
3. Faktor teknis operasional adalah factor yang disebabkan
oleh kondisi Bandar udara pada saat keberangkatan atau kedatangan, meliputi :
a. Bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat
digunakan operasional pesawat udara.
b. Lingkungan menujubandar udara atau landasan terganggu
fungsinya misalnya retak, banjir atau kebakaran.
c. Terjadinya antrian peswat udara lepas landas (take off) mendarat (lading) atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara
d. Keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling)
4. Faktor cuaca, meliputi :
a. Hujan lebat
b. Banjir
c. Badai
d. Kabut
e. Asap
f. Jarak pandang di bawah standar minimal
g. Kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang
mengganggu keselamatan penerbangan.
5. Faktor lain-lain, misalnya kerusuhan dan/atau demontrasi
di wilayah Bandar udara.
Keterlambatan
penerbangan sampai saat ini masih menjadi persoalan dalam kegiatan penerbangan
yang dikeluhkan oleh para konsumen. Keterlambatan bagi para penumpang tentu
saja menimbulkan banyak sekali kerugian, terutama sekali merasa jenuh menunggu,
tertundanya aktifitas-aktifitas yang semestinya bisa dilakukan bahkan akan
kehilangan kesempatan-kesempatan yang akan di dapatnya.
Dalam hal
terjadi keterlambatan penerbangan (delay
management), perusahaan penerbangan bertanggung jawab untuk memberikan
kompesasi dan anti rugi kepada pihak penumpang. Badan usaha angkutan udara
wajib memberikan kompesasi sesuai dengan kategori keterlambatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 yaitu berupa :
1. Keterlambatan kategori 1 ( 30 menit s/d 60 menit) ,
kompensasinya berupa minuman ringan.
2. Keterlambatan kategori 2 (61 menit s/d 120 menit),
kompensasinya berupa minuman dan makanan ringan (snackbox).
3. Keterlambatan kategori 3 ( 121 menit s/d 180 menit),
kompensasinya berupa minuman dan makanan berat (heavy meal).
4. Keterlambatan kategori 4 (181 menit s/d 240 menit),
kompensasinya berupa minuman, makanan ringan ( snack box), makanan berat (heavy
meal).
5. Keterlambatan kategori 5, lebih dari 240 menit ,
kompensasinya berupa ganti rugi sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah)
6. Keterlambatan kategori 6, pembatalan penerbangan,
kompensasinya badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan
berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket)
7. Keterlambatan pada kategori 2 sampai dengan 5, penumpang
dapat dialihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya
tiket (refund ticket).
Selanjutnya pemberian kompensasi harus dilakukan secara
aktif oleh petugas setingkat General Manager, Station Manager, staf lainnya
atau pihak yang ditunjuk yang bertindak untuk dan atas nama badan usaha
angkutan niaga berjadwal.
Dalam ganti kerugian untuk keterlambatan kategori 5 yaitu
lebih dari 240 menit, wajib diansurasikan kepada perusahaan asuransi sesuai
ketentuan berlaku serta pemberian ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk uang
tunai atau voucher yang dapat diuangkan atau melalui transfer rekening
selambat-lambatnya 3x 24 jam sejak keterlambatan dan pembatalan penerbangan
terjadi.
Direktur Jenderal melakukan pengawasan dan penilaian
terhadap badan usaha angkutan udara. Pengawasan yang terkait dengan masalah penanganan
manajemen tentang keterlambatan penerbangan (delay management), dapat diberikan sanksi berupa :
1. Teguran tertulis, apabila badan usaha angkutan udara
dalam negeri mempunyai bobot penilaian di bawah 60% (tidak baik) berturut-turut
selama tiga bulan.
2. Pembekuan rute baru, apabila badan usaha angkutan udara
dalam negeri mempunyai bobot penilaian di bawah 60 % (tidak baik)
berturut-turut selama tiga bulan sejak diberikan surat peringatan.
3. Pengurangan rute, apabila badan usaha angkutan udara
dalam negeri mempunyai bobot penilaian di bawah 60% (tidak baaik)
berturut-turut selama tiga bulan sejak diberikan sanksi pembekuan rute.
4. Pencabutan izin usaha, apabila badan usaha dalam negeri
mempunyai bobot 60% (tidak baik) berturut-turut selama tiga bulan sejak
diberikan sanksi pengurangan rute.
IV. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya keterlambatan penerbangan (Delay Management) pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal
di Indonesia (Pasal 5 PM 89 Tahun 2015) yaitu:
a.
Faktor manajemen airline;
b.
Faktor tenis Operasional;
c.
Faktor cuaca;
Dalam hal terjadi keterlambatan penerbangan (delay management), perusahaan
penerbangan bertanggung jawab untuk memberikan kompesasi dan anti rugi kepada
pihak penumpang. Badan usaha angkutan udara wajib memberikan kompesasi sesuai
dengan kategori keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yaitu berupa :
a. Keterlambatan kategori 1 ( 30 menit s/d 60 menit) ,
kompensasinya berupa minuman ringan.
b. Keterlambatan kategori 2 (61 menit s/d 120 menit),
kompensasinya berupa minuman dan makanan ringan (snackbox).
c. Keterlambatan kategori 3 ( 121 menit s/d 180 menit),
kompensasinya berupa minuman dan makanan berat (heavy meal).
d. Keterlambatan kategori 4 (181 menit s/d 240 menit),
kompensasinya berupa minuman, makanan ringan ( snack box), makanan berat (heavy
meal).
e. Keterlambatan kategori 5, lebih dari 240 menit ,
kompensasinya berupa ganti rugi sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah)
f. Keterlambatan kategori 6, pembatalan penerbangan,
kompensasinya badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan
berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket)
g. Keterlambatan pada kategori 2 sampai dengan 5, penumpang
dapat dialihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya
tiket (refund ticket).
B.
Saran
Dalam rangka untuk memberikan
pelayanan yang terbaik bagi para pengguna jasa penerbangan maka perlu dilakukan
peninjauan kembali terhadap hukum yang mengatur tentang kegiatan penerbangan .
Di samping itu juga perlu di perbaiki lagi jumlah nilai ganti rugi, sebab ganti
rugi dalam undang-undang tersebut sangat kecil nilainya.
DAFTAR PUSTAKA
Ashsofa,
Burhan. Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT Rineka Cipta. 2004
Emirzon,
Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi,
Konsolidasi, Arbitrase), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001.
Hartono,
Sri Redjeki. Hukum Ekonomi Indonesia, Malang:Bayu Media. 2007
K.Martono.
Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo,
2001
Mansyur,
M Ali. Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan
Perlindungan Konsumen. Yogyakarta. Penerbit GentaPress. 2007
Purwosutjipto,
HMN. Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia 3:Hukum Pengangkutan,
Jakarta: Penerbit Djambatan. 2003
Shidarta.
Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT Grasindo. 2000
Sidabalok,
Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung. PT. Citra Aditya
Bakti. 2006
Simatupang,
Taufik. Aspek Hukum Periklanan. Bandung: PT Aditya Bakti. 2004
Soekanto,
Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
2006
Thohir
Suriaatmadja, Toto. Pengangkutan Kargo Udara, Bandung:Pustaka Bani Quraisy.
2005
Widjaja,
Gunawan dan Ahmad Yani. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. 2003
Wignjosoebroto,
Soetandyo . Hukum Paradigma,Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Penerbit
Huma. 2002
[1] / K. Martono dan Agus Pramono. , Hukum Udara Perdata Internasional dan
Nasional . Jakarta: Rajawali Press. 2013. hal. 3
mari bergabung dengan kami di ionqq^^com
BalasHapus