Selasa, 19 Juli 2016

KEKUATAN HUKUM SUATU MEMORANDUM OF UNDERSTANDING (MOU) MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA



Penulis : Abuyazid Bustomi
ABSTRAK
M.O.U secara umum merupakan suatu nota kesepakatan dimana masing masing pihak melakukan penandatanganan sebagai suatu pedoman awal tanda adanya suatu kesepahaman diantara mereka, sengaja dibuat tidak formal karena biasanya hanya dilakukan di bawah tangan saja, dibuat ringkas karena pihak yang menandatanganinya merupakan pihak-pihak masih dalam negosiasi awal. Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan. misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak

       Kata Kunci : Memorandum of Understanding,  Kesepakatan

A.  Latar Belakang
          
Globalisasi adalah suatu proses sosial dan budaya yang dimulai dengan berinteraksinya suatu bangsa dengan bangsa lain. Interaksi sosial buadaya tersebut membawa pengaruh bagi bangsa-bangsa di dunia. Kebudayaan suatu bangsa menyerap berbagai pengaruh kebudayaan lain. Terjadi banyak penyerapan atas unsur-unsur budaya seperti nilai, adat istiadat, kebiasaan, kesenian, dan bahasa dalam suatu kebudayaan.
           Dalam pengaturan hukum kontrak yang dibuat para pihak tersebut, kekuatannya sama dengan ketentuan yang termuat dalam undang-undang. Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all), sebatas yang tidak dilarang oleh undang-undang, yurisprudensi dan kepatutan jadi kontrak tersebut akhirnya memang berkedudukan seperti keranjang sampah saja.[1]
Masalah lemahnya jaminan perlindungan hukum terhadap kepentingan bisnis merupakan akibat dari lemahnya sistem hukum kontrak, di mana banyak hal-hal baru yang tidak diatur dalam sistem hukum di Indonesia terutama mengenai kontrak.  Rumusan yang lebih detail jika dimasukkan dalam suatu kontrak, maka akan semakin baik pula kontrak tersebut. Karena jika hal kecil sudah dimasukkan dalam kontrak tersebut, kemungkinan untuk timbul perselisihan di kemudian hari dapat ditekan serendah mungkin.
Terkadang kontrak sengaja dibuat sesederhana mungkin. Hal ini dilakukan karena yang  dilakukan  baru  hanya  ikatan dasar, di mana para pihak belum bisa berpartisipasi atau belum cukup waktu untuk memikirkan detail-detailnya dan agar ada suatu komitmen di antara para pihak, sementara detailnya dibicarakan dikemudian hari. Untuk itu disepakati dahulu prinsip-prinsip dasar dari suatu kesepakatan. Kesepakatan semacam ini sering disebut sebagai Memorandum of Understanding (Selanjutnya disingkat M.O.U).
          Sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung. Tahapan berikutnya pembuatan M.O.U merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. M.O.U penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan. Maksudnya sebagai studi kelayakan adalah setelah pihak-pihak memperoleh M.O.U sebagai pegangan atau pedoman awal, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan.[2]
                Apa yang namanya M.O.U sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia, terutama dalam hukum kontrak di Indonesia.                 Dengan tidak diaturnya M.O.U di dalam hukum konvesional kita, maka banyak menimbulkan kesimpangsiuran dalam prakteknya, misalnya apakah M.O.U sesuai dengan peraturan hukum positif di Indonesia,  M.O.U dapat  setingkat dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi suatu pengingkaran di dalam kesepakatan semacam ini, juga yang paling ekstrim adalah ada yang mempertanyakan apakah M.O.U merupakan suatu kontrak, mengingat M.O.U hanya merupakan suatu nota-nota kesepakatan saja. Selama ini secara awam dalam dunia bisnis orang hanya mengenal apa yang disebut dengan perjanjian yang pasti terikat dengan ketentuan dari Pasal 1320 KUH Perdata,  yang berbunyi  :
Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat :
a.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b.    Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
c.    Suatu hal tertentu;
d.   Suatu sebab yang halal.
                 Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subyek perjanjian yakni orangnya yang menyangkut kehendak dan keadaan diri dari si pembuat perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebut sebagai syarat obyektif, karena mengenai obyek atau mengenai isi dari suatu perjanjian.          
          Akan tetapi banyak orang memahami bahkan tidak mengetahui tentang keberadaan dari MOU dan peranannya dalam dunia bisnis. Banyak orang mengira MOU dipersamakan dengan kontrak, akan tetapi tidak sedikit pula yang menganggap MOU berbeda dengan kontrak. Oleh karena itu dalam penelitian ini, akan mengkaji secara mendalam mengenai kedudukan dan kekuatan hukum dari MOU itu sendiri.
        
B.  Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas akan dirumuskan permasalahan sebagai       berikut :
1.         Bagaimana Kekuatan  dari Memorandum Of Understanding  (MOU)  ditinjau dari hukum kontrak  menurut KUH Perdata ?

2.      Bagaimana akibat hukum jika ada salah satu pihak  melakukan  pengingkaran terhadap klausul-klausul dalam Memorandum Of Understanding ?

C. Ruang Lingkup dan Metode Penelitian
    Untuk mendapatkan gambaran yang jelas penelitian ini kajian lebih difokuskan pada Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dan bagaimana akibat hukum  jika ada salah satu pihak melakukan  pengingkaran terhadap klausul-klausul dalam M.O.U tersebut.
Pembahasan lebih difokuskan pada pendekatan yuridis normatif. Sesuai  peraturan perundangan yang berlaku khususnya tentang segala segi hukum yang mengatur mengenai perjanjian/kontrak.


D. TINJAUAN  UMUM

1. Pengertian Kontrak


            Kontrak merupakan suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) antara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, atau menghilangkan hubungan hukum.[3] Dalam KUH Perdata tidak menyebutkan secara spesifik mengenai pengertian kontrak, akan tetapi substansi yang terkandung dalam hukum kontrak adalah suatu perjanjian, jadi secara garis besar pasal 1313 KUH Perdata merupakan salah satu landasan dari ayin kontrak. Adapun isi dari pasal 1313 KUH Perdata memberikan pengertian mengenai kontrak sebagai : “Suatu perjanjian dan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih.”

 
Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris “Contract” yang berarti perjanjian. Kontrak lebih menunjukkan pada nuansa bisnis atau komersil dalam hubumgam ayin yang dibentuk, sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas. Menurut KUH Perdata telah memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-pihak membuat konrak secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis maupun lisan sama-sama mengikat, asalkan memenuhi syarat–syarat yang diatur dalam pasal 1320 BW.
       Kontrak merupakan sebuah perjanjian yang mengikat para pihak. Tidak semua perjanjian dapat dikatakan sebagai kontrak, yang membedakan adalah adanya keistimewaan kontrak yang tidak dimiliki oleh semua perjanjian yaitu kewajiban ayin yang bersifat mengikat para pihak. Jika sebuah perjanjian tidak mengandung “perikatan tersebut, maka perjanjian itu bukan kontrak.
       Kontrak merupakan sarana untuk memastikan apa yang hendak dicapai oleh para pihak dapat diwujudkan[4]. Selain itu, kontrak mempunyai fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis kontrak adalah memberikan kepastian ayin bagi para pihak. Sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.
Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan ayin yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing–masing pihak yang membuat kontrak. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Hukum kontrak pada dasarnya merupakan aying bagi para pembuat kontrak dalam penutupan sesuai dengan jenis kontrak[5].

3.      Subyek Kontrak
Subyek kontrak merupakan pelaksana dari suatu kontrak. Kontrak terjadi disebabkan oleh adanya hubungan hokum antara dua orang atau lebih yang berada pada posisi berlawanan. Sebagai subyek kontrak, kreditur dan debitur mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam perjanjian, yaitu satu pihak berkewajiban melaksanakan prestasi dan di pihak lain berhak menuntut pelaksanaan prestasi.
Dalam mengadakan perjanjian atau kontrak setiap subyek hokum haruslah memenuhi persyaratan–persyaratan tertentu, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320 BW, yaitu harus dewasa dan tidak di bawah pengampuan. Sedangkan untuk subyek hokum “badan hokum” haruslah memenuhi persyaratan formal suatu badan hokum. Badan hokum memiliki hak dan kewajiban yang sama selayaknya orang, namun dalam pelaksanaannya digerakkan oleh organ badan hokum.

3. Obyek Kontrak
         Obyek perikatan adalah prestasi adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi sesuatu, yaitu debitur berkewajiban atas suatu prestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi, wujud dari prestasi adalah Pasal 1234 BW,  Memberikan sesuatu” ialah kewajiban seseorang untuk memberikan sesuatu atau menyerahkan sesuatu.
         Memberikan sesuatu dapat diartikan baik penyerahan nyata maupun penyerahan yuridis, misalnya : pinjam pakai, dan sewa. “Berbuat sesuatu” adalah setiap prestasi berwujud berbuat sesuatu atau melakukan perbuatan tertentu yang positif, misalnya memotong rumput, membersihkan halaman. Tidak berbuat sesuatu” yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan, misalnya tidak mendirikan bangunan yang menutupi pemandangan atau supaya membiarkan saja orang mengambil air dari sumurnya.
   
4.  Penyusunan Kontrak
   Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi beberapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak. Tahapan yang pertama adalah Prakontrak terdiri dari negosiasi, memorandum of Undersatnding (MoU), studi kelayakan dan negosiasi (lanjutan), dan pada saat pelaksanaan kontrak yang dibutuhkan adalah Kontrak  berupa penulisan naskah awal, perbaikan naskah, penulisan naskah akhir dan penandatanganan, kemudian yang tidak kalah pentingnya Pasca kontrak berupa pelaksanaan isi kontrak  dan penafsiran;
Pada saat pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak.
           Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan. misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.
     Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam menangkap berbagai keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa yang berlaku. Judul harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas, kemudian identitas lengkap pihak-pihak. Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak yang dapat dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi kontrak paling banyak mengatur secara detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau klausula yang disepakati bersama.
Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi tersebut, baru dirimuskan penutupan dan di bagian bawah kontrak dibubuhkan tanda tangan kedua belah pihak dan para saksi. Dan akhirnya diberikan materai. Untuk perusahaan/badan hukum memakai cap lembaga masing-masing.

5. Pola Pengaturan Kontrak dalam KUH Perdata

         Sumber hukum utama dari suatu kontrak yang berbentuk perundang-undangan adalah KUH Perdata, khususnya buku ketiga yang berkaitan dengan kontrak adalah sebagai berikut :     
      1. Pengaturan tentang perikatan perdata
    Pengaturan tentang perikatan perdata ini merupakan pengaturan perikatan pada umumnya, yakni yang berlaku baik untuk perikatan yang berasal dari kontrak maupun yang berlaku untuk perikatan yang terbit karena undang-undang. Pengaturan tentang perikatan perdata (pada umumnya) ini terdiri antara lain diatur dalam pasal 1233 – 1312 KUH Perdata.
      2. Pengaturan tentang perikatan yang timbul dari kontrak       Telah disebutkan bahwa suatu perikatan dapat timbul, baik karena adanya kontrak maupun karena undang-undang. Perikatan timbul karena suatu kontrak menurut KUH Perdata diatur dalam Bab Kedua Buku Ketiga, yang pengaturannya disebutkan dalam pasal 1313 – 1351 KUH Perdata.
E. PEMBAHASAN

A.   Kekuatan  suatu  Perjanjian/Memorandum   Of   Understanding  (M.O.U)   Menurut KUH Perdata
Istilah M.O.U yang sering dipakai sebagai singkatan dari Memorandum of Understanding atau nota kesepahaman atau terkadang disebut sebagai nota kesepakatan dan merupakan istilah yang paling populer dan lebih bersifat internasional dibandingkan dengan istilah-istilah lainnya.[6]
Dalam perbendaharaan kata Indonesia, istilah M.O.U diterjemahkan sebagai “Nota Kesepakatan atau Nota Kesepahaman”. M.O.U secara umum merupakan suatu nota kesepakatan dimana masing-masing pihak melakukan penandatanganan sebagai suatu pedoman awal tanda adanya suatu kesepahaman diantara mereka, sengaja dibuat tidak formal karena biasanya hanya dilakukan di bawah tangan saja, dibuat ringkas karena pihak yang menandatanganinya merupakan pihak-pihak masih dalam negosiasi awal.
M.O.U sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional kita, sehingga banyak yang mempertanyakan bagaimana sesungguhnya kedudukan dari M.O.U itu sendiri. Untuk mengetahui apakah suatu M.O.U bisa dikatakan kontrak atau bukan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu antara lain mengenai :

      1.  Materi/ substansi dalam M.O.U
Mengetahui materi atau substansi apa saja yang diatur dalam M.O.U sangat penting, karena apakah dalam materi yang termaktub dalam M.O.U tersebut terdapat unsur-unsur yang akan membuat hak dan kewajiban para pihak yang membuatnya sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan pasal 1338 KUHPerdata.
Dalam materi M.O.U tersebut hanya mengatur mengenai ulasan-ulasan pokok saja, dimana dalam pasal M.O.U disebutkan bahwa kerjasama mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan antar pihak akan ditentukan dalam perjanjian pelaksanaan yang akan ditentukan oleh masing-masing pihak. Berdasarkan asas hukum kontrak bahwa dapat disebut kontrak apabila suatu perjanjian itu bersifat final, maka dengan demikian M.O.U semacam ini belum bisa dikatakan sebagai suatu kontrak, karena belum final dalam pembuatannya.

2.    Ada tidaknya sanksi
            Untuk menentukan suatu M.O.U itu suatu kontrak atau bukan maka harus dilihat apakah M.O.U tersebut telah memuat sanksi atau tidak. Kalau dalam M.O.U tidak memuat suatu sanksi yang tegas maka M.O.U tersebut tidak dapat dikatakan suatu kontrak. Dan kalau hanya memuat sanksi moral maka M.O.U tidak bisa dikatakan suatu kontrak berdasarkan Teori Holmes yang menyatakan bahwa tidak ada sanksi moral dalam suatu kontrak.[7]
Suatu perjanjian dibuat, apapun bentuknya lisan atau tertulis, pendek atau panjang, lengkap/detil ataupun hanya diatur pokok-pokoknya saja, tetap saja merupakan suatu perjanjian, dan karenanya mempunyai kekuatan hukum mengikat layaknya suatu perjanjian.
Dan menurut pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang artinya apapun yang dibuat sesuai kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum yang berlaku baginya sehingga mengikat bagi kedua belah pihak tersebut. Selain itu menurut asas kebebasan berkontrak dan asas konsensual maka hal apa saja asalkan halal menurut hukum dan telah secara bebas disepakati maka berlaku suatu perjanjian atau jika diterapkan secara tertulis maka hal tersebut bisa dikatakan sebagai kontrak.[8]
Suatu perjanjian jika yang diatur hanya hal-hal pokok saja, maka mengikatnya hanya terhadap hal-hal pokok tersebut. Sama halnya jika suatu perjanjian hanya berlaku untuk suatu jangka waktu tertentu, maka mengikatnya pun hanya untuk jangka waktu tertentu tersebut. Sungguh pun para pihak tidak dapat dipaksakan untuk membuat perjanjian yang lebih rinci sebagai tindak lanjut dari M.O.U, paling tidak, selama jangka waktu perjanjian itu masih berlangsung, para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang sama dengan pihak lain. Ini tentu jika dengan tegas disebutkan untuk itu dalam M.O.U tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui kedudukan dari M.O.U diperlukan suatu pengamatan yang jeli,  apakah materinya mengandung unsur kerugian non moral atau kerugian secara finansial apabila tidak dilakukannya pemenuhan prestasi dan apakah dalam M.O.U mengandung sanksi atau tidak. Apabila menimbulkan suatu kerugian non moral yaitu material dan mengandung suatu sanksi yang jelas bagi para pihak yang mengingkarinya, maka M.O.U tersebut sudah berkedudukan sebagai kontrak dan dianggap sudah setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak. Walaupun M.O.U tidak pernah disebutkan dengan tegas bahwa itu merupakan suatu kontrak, akan tetapi kenyataannya kesepakatan semacam M.O.U ini memang ada seperti yang ditegaskan dalam teori kontrak de facto (implied in-fact), yakni sudah disebut sebagai kontrak, walaupun tidak pernah disebutkan dengan tegas tetapi ada kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kontrak yang sempurna. M.O.U dalam hal ini apabila dikaitkan dengan teori ini maka dapat disebut sebagai suatu kontrak dengan segala macam konsekuensinya.
Tetapi apabila dalam M.O.U tersebut hanya mengenai suatu hal belum final dan masih membutuhkan perjanjian lain sebagai pendukungnya dan dalam M.O.U tersebut tidak terdapat sanksi yang jelas terhadap pihak yang mengingkarinya, dan tidak mempunyai efek  terhadap kekuatan hukum dari suatu M.O.U.

A.    Akibat hukum  jika ada salah satu pihak melakukan  pengingkaran terhadap klausul-klausul dalam M.O.U
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda wanprestatie artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik yang timbul perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan  kedua belah pihak mengenai apa yang menjadi obyek perjanjian.[9]
Apabila pihak yang berkewajiban tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka  pihak yang melakukan wanprestasi atau ingkar janji tersebut berkewajiban melakukan

 
 penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila siberutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
                 Wanprestasi seseorang debitur dapat berupa empat macam :
1.   Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
2.   Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana mestinya.
3.   Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4.   Melakukan apa yang menurut yang dijanjikan tidak boleh dilakukannya. [10]
       Wanprestasi yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya  yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk melakukan pemenuhan prestasi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pun pihak yang dirugikan karena prestasi tersebut.[11]
        Hukuman   bagi   yang melakukan Wanprestasi   adalah sebagai berikut  : melakukan pemenuhan perikatan, dapat ditintut pembatalan perikatan dan dituntut ganti rugi dan pemenuhan perikatan dengan ganti rugi.
        Pengingkaran yang terjadi dalam substansi dari M.O.U dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu :
a.       Pengingkaran terhadap substansi M.O.U yang tidak berkedudukan sebagai kontrak.
b.      Pengingkaran substansi M.O.U yang berkedudukan sebagai kontrak (wanprestasi).
 Untuk M.O.U yang tidak mempunyai suatu kekuatan hukum yang memaksa (sanksi), maka M.O. tersebut sebaiknya diratifikasi menjadi sebuah kontrak baru dengan substansi lebih tegas menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak disertai dengan sanksi yang tegas pula jika terdapat uatu pelanggaran. Sedangkan untuk M.O.U yang sifatnya sudah merupakan suatu kontrak maka apabila terjadi suatu wanprestasi  terhadap substansi dalam M.O.U ini maka pihak tersebut harus memenuhi prestasi yang telah dilanggarnya atau ia akan dikenai sanksi dari perundang-undangan yang berlaku.
            Apabila dalam suatu kontrak ada provisi atau ketetapan pasal yang menentukan jumlah ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak debitur jika debitur tersebut wanprestasi, maka pembayaran ganti rugi tersebut hanya sejumlah yang ditetapkan dalam kontrak tersebut, Tidak boleh dilebihi atau dikurangi (pasal 1249 KUH Perdata). Akan tetapi jika jumlah kerugian yang disebut dalam kontrak terlalu besar, sangat memberatkan bahkan tidak masuk akal, tentu tidak masuk akal pula jika jumlah yang sangat besar tersebut harus dibayar oleh pihak debitur sebagai suatu pemenuhan prestasi sungguhpun dia sudah terbukti melakukan wanprestasi.[12]
Ketentuan sebagaimana diatur oleh pasal 1249 tersebut harus dibaca bahwa dalam undang-undang mengisyaratkan bahwa penentuan jumlah ganti rugi dalam kontrak oleh para pihak dalam kontrak tersebut memang dimungkinkan. Hal ini sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak.
Akan tetapi, penentuan jumlah ganti rugi dalam suatu M.O.U sebagai kontrak dapat mengundang banyak persoalan yuridis. Misalnya ganti rugi dalam bentuk apa yang diperbolehkan, apa ada batas-batasnya, dan bagaimana pula jika ganti rugi tersebut terlalu memberatkan sehingga sebenarnya sudah merupakan suatu hukuman (penalty), sehingga tidak sesuai lagi dengan teori sama nilai (Equivalent Theori) dimana teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak harus memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai (equivalent). Jelasnya adalah bahwa antara ganti rugi dan penalty tujuannya masing-masing berbeda. Tujuan ganti rugi dalam kontrak adalah untuk menetapkan secara pasti suatu jumlah ganti kerugian yang harus dibayar jika terjadi wanprestasi, sedangkan tujuan dari penalty adalah menghukum seseorang dengan sesuatu yang tidak seimbang dengan wanprestasi yang telah dilakukannya.
Untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dari kedua belah pihak dalam kontrak yang bersangkutan mengenai pemberian ganti rugi, maka dalam hukum kontrak didapatkan petunjuk-petunjuk sebagai berikut :
1. Merupakan suatu estimasi yang masuk akal atas suatu kompensasi yang adil.
2. Jumlah ganti rugi tersebut harus masuk akal baik ditinjau pada saat dibuatnya suatu kontrak ataupun pada saat terjadinya wanprestasi.
3. Merupakan  ganti  rugi  jika  penentuan  jumlah dalam  kontrak tersebut merupakan usaha dengan itikad baik untuk melaksanakan estimasi yang benar. Jika tidak  , itu   namanya penalty.
4. Jumlah  ganti  rugi  harus  layak  dimana  jumlah  ganti rugi yang disebutkan dalam   kontrak  tersebut  harus  masuk  akal  dan tidak boleh berlebihan. Kapankah diukur    layak atau tidaknya jumlah suatu ganti rugi.

             Untuk itu ada dua teori, yaitu sebagai  berikut :
1)      Teori Konvensional
Teori konvensional mengajarkan bahwa ukuran layak atau tidaknya suatu penetapan  jumlah ganti rugi dalam suatu kontrak haruslah dilihat layak pada saat kontrak dibuat (ditandatangani). Teori yang konvensional ini menimbulkan dua konsekuensi sebagai berikut :
a.       Klausula ganti rugi dalam kontrak tersebut tetap dapat diberlakukan, sungguhpun dalam kenyataannya kerugian yang diderita jauh lebih rendah dari yang disebutkan dalam kontrak. Asalkan ketika dibuat kontrak, jumlah tersebut dalam kontrak merupakan suatu antisipasi yang rasional pada saat itu.
b.      Jika ketika dibuat kontrak, jumlah ganti rugi dalam kontrak tersebut dianggap terlalu berlebihan, klausula tersebut tidak dapat diterapkan, meskipun kemudian ternyata memang terjadi kerugian yang sangat besar di luar yang diantisipasi
2)      Teori Modern
Teori modern lebih fleksibel mengajarkan bahwa besarnya jumlah ganti rugi yang disebut dalam suatu kontrak dianggap layak jika dilihat baik pada waktu dibuatnya (ditandatangani) suatu kontrak, ataupun jika dilihat pada saat terjadinya kerugian. Teori ini membawa dua konsekuensi hukum yaitu sebagai berikut :
a)    Jika kerugian ternyata lebih kecil ketimbang yang diperkirakan, sedangkan jumlah ganti rugi dalam kontrak telah diantisipasi secara layak dan jumlahnya lebih besar, maka klausula dalam kontrak tersebut dapat dilaksanakan (sungguhpun jumlahnya lebih besar). Jadi dalam hal ini yang dilihat adalah jumlah pada saat kontrak dibuat.
b)   Jika klausula dalam kontrak menyebutkan jumlah yang terlalu tinggi dari yang dapat diantisipasi secara layak, ketentuan kontrak tersebut masih bisa dilaksanakan jika ternyata pada waktu wanprestasi terjadi, ternyata memang di luar dugaan bahwa kerugiannya terlalu besar. [13]

Terlepas dari semua hal tersebut,  debitur dapat tidak memenuhi prestasi dalam sebuah kontrak yang dilakukannya jika ada suatu peristiwa yang tidak terduga pada saat pembuatan kontrak (force majeure), keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam  beritikad  buruk. Hal  tersebut  sesuai  dengan  pasal 1245 KUH Perdata yang berbunyi :
Tidaklah biaya ganti rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau apabila lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Secara umum force majeure, maka force majeure sering dibeda menjadi dua yaitu :
1.    Force majeure yang obyektif
Force majeure yang bersifat obyektif ini terjadi atas benda yang merupakan obyek kontrak tersebut. Artinya keadaan benda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai kontrak, tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur. Misalnya benda tersebut terbakar. Karena itu, pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan karena yang terkena adalah benda yang merupakan obyek dari kontrak, maka force majeure seperti ini disebut juga dengan physical impossibility.
2.    Force majeure yang subyektif
Sebaliknya, force majeure yang bersifat subyektif terjadi bukan dalam hubungannya dengan obyek dari kontrak yang bersangkutan, tetapi dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur itu sendiri. Misalnya jika debitur tersebut sakit berat sehingga tidak mungkin untuk berprestasai lagi.
 

F. PENUTUP
                               

A.    Kesimpulan


1.  Kekuatan   suatu  perjanjian dalam memorandum   of  understanding   (M.O.U)      menurut KUH Perdata  adalah merupakan  suatu perjanjian/pernyataan  yang            dibuat baik lisan atau tertulis yang mempunyai kekuatan hukum yang    mengikat kedua pihak dan mempunyai sanksi yang umumnya  disebut        sebagai Kontrak (Agreement is Agreement)  (Pasal 1320 dan  Pasal 1338 ayat            1 KUH Perdata).

      2. Akibat hukum  jika ada salah satu pihak melakukan  pengingkaran   terhadap klausul-klausul dalam M.O.U, yaitu  maka pihak tersebut harus memenuhi prestasi yang telah dilanggarnya atau ia akan dikenai sanksi dari perundang-undangan yang berlaku.  Bila terjadi ingkar dalam klausul MOU atau kontrak disebut  wanprestasi berdasarkan pasal 1249 KUH Perdata hal yang dapat dituntut adalah sebagai berikut  a.   Pemenuhan prestasi, b.   Ganti kerugian,c.   Pemenuhan prestasi disertai dengan ganti rugi  dan  d. Pembatalan perjanjian.

B.     Saran


1. Agar terjadi kejelasan dalam hukum mengenai  kesepakatan/perjanjian  yang  hendaknya dibuat dihadapan notaris atau pihak yang berwenang untuk dapat  memberikan legalitas yang jelas.

     2. Apabila terjadi pengingkaran atau wanprestasi terhadap substansiya dari  kesepakatan/perjanjian dari M.O.U maka harus disebutkan  terhadap sanksi karena untuk dapat memberikan kepastian hukum dalam penggantian kerugian.

 

DAFTAR PUSTAKA


Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Djambatan, Jakarta, 1999.
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan ke 25,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2003.
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kedua, PT. Citra Ditya Bakti Bandung, 1999.
__________, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, PT. Citra Aditya Bakti Bandung 2002.
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azaz-Azaz Hukum Perdata,Alumni, Bandung, 1999.
Y. Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa  oleh Pemerintah.. Yuridika. Volume17, No. 1,  Maret 2003.    
Y. Sogar Simamora. Harmonisasi Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Indonesia Terhadap Sistem Perdagangan Global, Yuridika. Volume18, No. 2, Maret 2003






[1] Munir Fuady, Hukum Kontrak, Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,  PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,  halaman  3.
[2] Ibid, halaman  43.

[3] Op.Cit., halaman  4.
[4] Y. Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah.. Yuridika. Volume17, No. 1,  Maret 2003, halaman 26
              [5] Y. Sogar Simamora.   Harmonisasi Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Indonesia Terhadap Sistem Perdagangan Global, Yuridika. Volume18, No. 2, Maret 2003, halaman  25
[6]Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, halaman  319.
[7]Ibid., halaman  11
[8] Munir Fuady III, Op.Cit.,  halaman  92-94.
[9]Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azaz-Azaz Hukum Perdata,Alumni, Bandung, 1999., halamaan  280.
[10]Ibid, halaman 281
[11] Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Djambatan, Jakarta, 1999,  halaman 36
              [12]Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku ke IV, PT. Citra Aditya Bakti , Bandung, 2002, halaman  150
[13]Ibid., halaman 151

0 komentar:

Posting Komentar