Penulis : Abuyazid Bustomi
ABSTRAK
M.O.U secara umum merupakan
suatu nota kesepakatan dimana
masing masing pihak melakukan
penandatanganan sebagai suatu pedoman awal tanda adanya suatu kesepahaman
diantara mereka, sengaja
dibuat tidak formal karena biasanya hanya dilakukan di bawah tangan saja, dibuat ringkas karena pihak
yang menandatanganinya merupakan
pihak-pihak masih dalam negosiasi awal. Setelah pihak-pihak
memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan
tahapan studi kelayakan dan prospek transaksi bisnis
tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan. misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial
budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah
perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila
diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam
kontrak
Kata
Kunci : Memorandum of Understanding, Kesepakatan
A. Latar
Belakang
Globalisasi adalah suatu proses sosial dan
budaya yang dimulai dengan berinteraksinya suatu bangsa dengan bangsa lain.
Interaksi sosial buadaya tersebut membawa pengaruh bagi bangsa-bangsa di dunia.
Kebudayaan suatu bangsa menyerap berbagai pengaruh kebudayaan lain. Terjadi
banyak penyerapan atas unsur-unsur budaya seperti nilai, adat istiadat,
kebiasaan, kesenian, dan bahasa dalam suatu kebudayaan.
Dalam pengaturan hukum kontrak yang dibuat para pihak tersebut, kekuatannya sama dengan ketentuan yang termuat dalam undang-undang. Para pihak
dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all), sebatas yang tidak dilarang oleh undang-undang,
yurisprudensi dan kepatutan jadi kontrak tersebut akhirnya memang berkedudukan
seperti keranjang sampah saja.[1]
Masalah lemahnya
jaminan perlindungan hukum terhadap kepentingan bisnis merupakan akibat dari
lemahnya sistem hukum kontrak, di mana banyak hal-hal baru yang tidak diatur dalam sistem hukum di
Indonesia terutama mengenai kontrak. Rumusan yang lebih detail jika dimasukkan dalam suatu
kontrak, maka akan semakin baik pula kontrak tersebut. Karena jika hal kecil sudah dimasukkan dalam kontrak tersebut, kemungkinan untuk timbul
perselisihan di kemudian hari dapat ditekan serendah mungkin.
Terkadang kontrak sengaja
dibuat sesederhana
mungkin. Hal ini
dilakukan karena yang dilakukan baru
hanya ikatan dasar, di mana para
pihak belum bisa berpartisipasi atau belum cukup waktu untuk memikirkan
detail-detailnya dan agar ada suatu komitmen di antara para pihak, sementara
detailnya dibicarakan dikemudian hari. Untuk itu disepakati dahulu
prinsip-prinsip dasar dari suatu kesepakatan. Kesepakatan semacam ini sering
disebut sebagai Memorandum of
Understanding (Selanjutnya disingkat M.O.U).
Sebelum
transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi
awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan
pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung. Tahapan
berikutnya pembuatan M.O.U merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil
negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. M.O.U penting sebagai pegangan
untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar
untuk melakukan studi kelayakan. Maksudnya sebagai studi kelayakan adalah
setelah pihak-pihak memperoleh M.O.U sebagai pegangan atau pedoman awal, baru
dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility
study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi
bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi,
keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi
kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan
transaksi atau negosiasi lanjutan.[2]
Apa yang namanya M.O.U sebenarnya
tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia, terutama dalam hukum
kontrak di Indonesia. Dengan tidak diaturnya M.O.U di
dalam hukum konvesional kita, maka banyak menimbulkan kesimpangsiuran dalam
prakteknya, misalnya apakah M.O.U sesuai dengan peraturan hukum positif di
Indonesia, M.O.U dapat setingkat dengan perjanjian yang diatur dalam
KUH Perdata dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi suatu pengingkaran
di dalam kesepakatan semacam ini, juga yang paling ekstrim adalah ada yang
mempertanyakan apakah M.O.U merupakan suatu kontrak, mengingat M.O.U hanya
merupakan suatu nota-nota kesepakatan saja.
Selama ini secara awam dalam dunia bisnis orang hanya mengenal apa yang disebut
dengan perjanjian yang pasti terikat dengan ketentuan dari Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi
:
Untuk sahnya
persetujuan-persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat :
a. Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya;
b. Cakap untuk membuat suatu
perjanjian;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Kedua syarat yang pertama
dinamakan syarat subyektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subyek
perjanjian yakni orangnya yang menyangkut kehendak dan keadaan diri dari si
pembuat perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebut sebagai syarat
obyektif, karena mengenai obyek atau mengenai isi dari suatu perjanjian.
Akan tetapi
banyak orang memahami bahkan tidak mengetahui tentang keberadaan dari MOU dan
peranannya dalam dunia bisnis. Banyak orang mengira MOU dipersamakan dengan
kontrak, akan tetapi tidak sedikit pula yang menganggap MOU berbeda dengan
kontrak. Oleh karena itu dalam
penelitian ini, akan mengkaji
secara mendalam mengenai kedudukan dan kekuatan hukum dari MOU itu sendiri.
B. Permasalahan
Berdasarkan
uraian diatas akan dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimana Kekuatan dari Memorandum Of Understanding (MOU) ditinjau dari hukum kontrak menurut KUH Perdata ?
2. Bagaimana akibat hukum jika ada salah satu pihak melakukan
pengingkaran terhadap klausul-klausul dalam Memorandum Of Understanding
?
C. Ruang Lingkup dan Metode Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas penelitian
ini kajian lebih difokuskan pada Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dan bagaimana
akibat hukum jika ada salah satu pihak
melakukan pengingkaran terhadap
klausul-klausul dalam M.O.U tersebut.
Pembahasan lebih difokuskan pada pendekatan yuridis normatif. Sesuai peraturan
perundangan yang berlaku khususnya tentang segala segi hukum yang mengatur
mengenai perjanjian/kontrak.
D. TINJAUAN UMUM
1. Pengertian Kontrak
Kontrak
merupakan suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) antara dua atau lebih pihak yang dapat
menimbulkan, atau menghilangkan hubungan
hukum.[3] Dalam KUH Perdata tidak menyebutkan secara spesifik mengenai pengertian
kontrak, akan tetapi substansi yang terkandung dalam hukum kontrak adalah suatu perjanjian, jadi secara garis
besar pasal 1313 KUH Perdata merupakan salah satu landasan dari ayin kontrak. Adapun isi dari pasal 1313 KUH Perdata
memberikan pengertian mengenai
kontrak sebagai : “Suatu perjanjian dan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih.”
|
Kontrak
merupakan sebuah perjanjian yang mengikat para pihak. Tidak
semua perjanjian dapat dikatakan sebagai kontrak, yang membedakan adalah adanya
keistimewaan kontrak yang tidak dimiliki oleh semua perjanjian yaitu kewajiban ayin
yang bersifat mengikat para pihak. Jika sebuah perjanjian tidak mengandung
“perikatan” tersebut, maka perjanjian
itu bukan kontrak.
Kontrak merupakan sarana untuk memastikan apa yang hendak dicapai oleh
para pihak dapat diwujudkan[4].
Selain itu, kontrak mempunyai fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi
yuridis kontrak adalah memberikan kepastian ayin bagi para pihak. Sedangkan
fungsi ekonomis adalah menggerakkan sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih
rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.
Melalui kontrak terciptalah perikatan
atau hubungan ayin yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing–masing pihak
yang membuat kontrak. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para
pembuatnya saja. Hukum kontrak pada dasarnya merupakan aying bagi para pembuat kontrak dalam penutupan sesuai dengan jenis kontrak[5].
3.
Subyek Kontrak
Subyek kontrak merupakan pelaksana dari
suatu kontrak. Kontrak terjadi disebabkan oleh adanya hubungan hokum antara dua
orang atau lebih yang berada pada posisi berlawanan. Sebagai subyek kontrak, kreditur dan debitur mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dalam perjanjian, yaitu satu pihak berkewajiban
melaksanakan prestasi dan di pihak lain berhak menuntut pelaksanaan prestasi.
Dalam mengadakan perjanjian atau kontrak
setiap subyek hokum haruslah memenuhi persyaratan–persyaratan tertentu, sebagaimana yang diatur
dalam pasal 1320 BW, yaitu harus dewasa dan tidak di bawah pengampuan.
Sedangkan untuk subyek hokum “badan hokum” haruslah memenuhi persyaratan formal
suatu badan hokum. Badan hokum memiliki hak dan kewajiban yang sama selayaknya
orang, namun dalam pelaksanaannya digerakkan oleh organ badan hokum.
3. Obyek Kontrak
Obyek perikatan adalah prestasi adalah hak dan
kewajiban untuk memenuhi sesuatu, yaitu debitur berkewajiban atas suatu
prestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi, wujud dari prestasi adalah
Pasal 1234 BW, “Memberikan sesuatu” ialah kewajiban seseorang untuk
memberikan sesuatu atau menyerahkan sesuatu.
Memberikan sesuatu dapat diartikan baik penyerahan nyata maupun
penyerahan yuridis, misalnya : pinjam pakai, dan sewa. “Berbuat sesuatu” adalah
setiap prestasi berwujud berbuat sesuatu atau melakukan perbuatan tertentu yang
positif, misalnya memotong rumput, membersihkan halaman. Tidak berbuat sesuatu” yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu
yang telah dijanjikan, misalnya tidak mendirikan bangunan yang menutupi
pemandangan atau supaya membiarkan saja orang mengambil air dari sumurnya.
4. Penyusunan Kontrak
Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi beberapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan
isi kontrak. Tahapan yang pertama adalah Prakontrak terdiri
dari negosiasi, memorandum of Undersatnding (MoU), studi kelayakan dan negosiasi (lanjutan), dan pada saat pelaksanaan
kontrak yang dibutuhkan adalah Kontrak berupa
penulisan naskah awal, perbaikan naskah, penulisan naskah akhir dan penandatanganan, kemudian yang tidak kalah pentingnya Pasca kontrak berupa pelaksanaan isi kontrak dan penafsiran;
Pada saat pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU
merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam
bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan
untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar
untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak.
Setelah
pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru
dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan dan prospek
transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan. misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik,
lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam
menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi
lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya
dituangkan dalam kontrak.
Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam
menangkap berbagai keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa
kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar
dengan berpegang pada aturan tata bahasa yang berlaku. Judul harus dirumuskan secara
singkat, padat, dan jelas, kemudian identitas
lengkap pihak-pihak. Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang
lebar isi kontrak yang dapat dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat,
huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi kontrak paling banyak mengatur secara
detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau
klausula yang disepakati bersama.
Jika semua hal yang diperlukan telah
tertampung di dalam bagian isi tersebut, baru dirimuskan penutupan dan di bagian bawah kontrak dibubuhkan tanda tangan kedua
belah pihak dan para saksi. Dan akhirnya diberikan materai. Untuk
perusahaan/badan hukum memakai cap lembaga masing-masing.
5. Pola Pengaturan Kontrak dalam KUH Perdata
Sumber hukum utama dari suatu kontrak
yang berbentuk perundang-undangan adalah KUH Perdata, khususnya buku ketiga
yang berkaitan dengan kontrak adalah sebagai berikut :
1. Pengaturan tentang perikatan perdata
Pengaturan tentang perikatan perdata ini
merupakan pengaturan perikatan pada umumnya, yakni yang berlaku baik untuk
perikatan yang berasal dari kontrak maupun yang berlaku untuk perikatan yang
terbit karena undang-undang. Pengaturan tentang perikatan perdata (pada
umumnya) ini terdiri antara lain diatur dalam pasal 1233 – 1312 KUH Perdata.
2. Pengaturan tentang
perikatan yang timbul dari kontrak Telah
disebutkan bahwa suatu perikatan dapat timbul, baik karena adanya kontrak
maupun karena undang-undang. Perikatan timbul karena suatu kontrak menurut KUH
Perdata diatur dalam Bab Kedua Buku Ketiga, yang pengaturannya disebutkan dalam
pasal 1313 – 1351 KUH Perdata.
E. PEMBAHASAN
A. Kekuatan suatu Perjanjian/Memorandum
Of
Understanding (M.O.U) Menurut KUH Perdata
Istilah M.O.U yang
sering dipakai sebagai singkatan dari Memorandum
of Understanding atau nota
kesepahaman atau terkadang disebut sebagai nota kesepakatan dan merupakan istilah yang paling
populer dan lebih bersifat internasional dibandingkan dengan istilah-istilah
lainnya.[6]
Dalam
perbendaharaan kata Indonesia, istilah M.O.U diterjemahkan sebagai “Nota Kesepakatan atau Nota
Kesepahaman”. M.O.U secara umum merupakan
suatu nota kesepakatan dimana
masing-masing pihak melakukan penandatanganan sebagai suatu pedoman awal tanda
adanya suatu kesepahaman diantara mereka, sengaja dibuat tidak formal karena biasanya hanya dilakukan di bawah
tangan saja,
dibuat ringkas
karena pihak yang menandatanganinya merupakan pihak-pihak masih dalam negosiasi awal.
M.O.U sebenarnya
tidak dikenal dalam hukum konvensional kita, sehingga banyak yang
mempertanyakan bagaimana sesungguhnya kedudukan dari M.O.U itu sendiri. Untuk mengetahui apakah suatu
M.O.U bisa dikatakan kontrak atau bukan ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu antara lain mengenai :
1. Materi/ substansi dalam M.O.U
Mengetahui
materi atau substansi apa saja yang diatur dalam M.O.U sangat penting, karena
apakah dalam materi yang termaktub dalam M.O.U tersebut terdapat unsur-unsur
yang akan membuat hak dan kewajiban para pihak yang membuatnya sebagaimana yang dimaksud
dalam ketentuan
pasal 1338 KUHPerdata.
Dalam materi M.O.U tersebut
hanya mengatur mengenai ulasan-ulasan pokok saja, dimana dalam pasal M.O.U disebutkan bahwa
kerjasama mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan antar pihak akan ditentukan
dalam perjanjian pelaksanaan yang akan ditentukan oleh masing-masing pihak. Berdasarkan asas hukum kontrak
bahwa dapat disebut kontrak apabila suatu perjanjian itu bersifat final, maka dengan demikian M.O.U semacam ini belum bisa dikatakan sebagai suatu kontrak, karena belum
final dalam pembuatannya.
2. Ada tidaknya sanksi
Untuk menentukan suatu M.O.U
itu suatu kontrak atau bukan maka harus dilihat apakah M.O.U tersebut telah
memuat sanksi atau tidak. Kalau dalam M.O.U tidak memuat suatu sanksi yang
tegas maka M.O.U tersebut tidak dapat dikatakan suatu kontrak. Dan kalau hanya
memuat sanksi moral maka M.O.U tidak bisa dikatakan suatu kontrak berdasarkan
Teori Holmes yang menyatakan bahwa tidak ada sanksi moral dalam suatu kontrak.[7]
Suatu perjanjian dibuat, apapun
bentuknya lisan atau tertulis, pendek
atau panjang, lengkap/detil ataupun hanya diatur pokok-pokoknya saja, tetap
saja merupakan suatu perjanjian, dan karenanya mempunyai kekuatan hukum mengikat
layaknya suatu perjanjian.
Dan menurut
pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang artinya apapun yang dibuat sesuai
kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum yang berlaku baginya sehingga
mengikat bagi
kedua belah pihak
tersebut. Selain itu menurut asas kebebasan berkontrak dan asas konsensual maka
hal apa saja asalkan halal menurut hukum dan telah secara bebas disepakati maka
berlaku suatu perjanjian atau jika diterapkan secara tertulis maka hal tersebut
bisa dikatakan sebagai kontrak.[8]
Suatu
perjanjian jika yang diatur hanya hal-hal pokok saja, maka mengikatnya hanya terhadap hal-hal pokok tersebut. Sama halnya
jika suatu perjanjian hanya berlaku untuk suatu jangka waktu tertentu, maka
mengikatnya pun hanya untuk jangka waktu tertentu tersebut. Sungguh pun para
pihak tidak dapat dipaksakan untuk membuat perjanjian yang lebih rinci sebagai
tindak lanjut dari M.O.U, paling tidak, selama jangka waktu perjanjian itu
masih berlangsung, para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang sama dengan
pihak lain. Ini tentu jika dengan tegas disebutkan untuk itu dalam M.O.U
tersebut.
Berdasarkan
uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui kedudukan
dari M.O.U diperlukan suatu pengamatan yang jeli, apakah
materinya mengandung unsur kerugian non moral atau kerugian secara finansial
apabila tidak dilakukannya pemenuhan prestasi dan apakah dalam M.O.U mengandung
sanksi atau tidak. Apabila menimbulkan suatu kerugian non moral yaitu material
dan mengandung suatu sanksi yang jelas bagi para pihak yang mengingkarinya,
maka M.O.U tersebut sudah berkedudukan sebagai kontrak dan dianggap sudah
setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata mengenai
kebebasan berkontrak. Walaupun M.O.U tidak pernah disebutkan dengan tegas bahwa
itu merupakan suatu kontrak, akan tetapi kenyataannya kesepakatan semacam M.O.U
ini memang ada seperti yang ditegaskan dalam teori kontrak de facto (implied in-fact),
yakni sudah disebut sebagai kontrak, walaupun tidak pernah disebutkan dengan
tegas tetapi ada kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kontrak yang
sempurna. M.O.U dalam hal ini apabila dikaitkan dengan teori ini maka dapat
disebut sebagai suatu kontrak dengan segala macam konsekuensinya.
Tetapi apabila
dalam M.O.U tersebut hanya mengenai suatu hal belum final dan masih membutuhkan
perjanjian lain sebagai pendukungnya dan dalam M.O.U tersebut tidak terdapat sanksi
yang jelas terhadap pihak yang mengingkarinya, dan tidak mempunyai efek
terhadap kekuatan hukum dari suatu M.O.U.
A.
Akibat hukum jika ada salah satu pihak melakukan
pengingkaran terhadap klausul-klausul dalam M.O.U
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda
wanprestatie artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan
dalam perikatan, baik yang timbul perjanjian
maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau
persetujuan kedua belah pihak mengenai apa yang menjadi
obyek perjanjian.[9]
Apabila pihak
yang berkewajiban
tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka pihak yang
melakukan wanprestasi atau ingkar janji tersebut berkewajiban melakukan
|
Wanprestasi
seseorang debitur dapat berupa empat macam :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
2. Melaksanakan apa yang
dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana mestinya.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya
tetapi terlambat.
Wanprestasi
yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban
sebagaimana mestinya yang dibebankan
oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam
kontrak yang bersangkutan. Tindakan wanprestasi
membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut
pihak yang melakukan wanprestasi
untuk melakukan pemenuhan prestasi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak
ada satu pun pihak yang dirugikan karena prestasi tersebut.[11]
Hukuman bagi
yang melakukan Wanprestasi adalah sebagai berikut : melakukan pemenuhan perikatan, dapat
ditintut pembatalan
perikatan dan dituntut ganti rugi dan pemenuhan
perikatan dengan ganti rugi.
Pengingkaran yang terjadi dalam substansi dari M.O.U
dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu :
a. Pengingkaran terhadap
substansi M.O.U yang tidak berkedudukan sebagai kontrak.
b. Pengingkaran substansi M.O.U yang
berkedudukan sebagai kontrak (wanprestasi).
Untuk M.O.U yang tidak mempunyai suatu kekuatan hukum
yang memaksa (sanksi), maka M.O. tersebut sebaiknya diratifikasi menjadi sebuah kontrak baru dengan
substansi lebih tegas menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak disertai
dengan sanksi yang tegas pula jika terdapat uatu pelanggaran. Sedangkan untuk M.O.U yang sifatnya sudah
merupakan suatu kontrak maka apabila terjadi suatu wanprestasi terhadap substansi dalam M.O.U ini maka pihak
tersebut harus memenuhi prestasi yang telah dilanggarnya atau ia akan dikenai
sanksi dari perundang-undangan yang berlaku.
Apabila dalam suatu kontrak ada provisi atau ketetapan pasal yang
menentukan jumlah ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak debitur jika debitur
tersebut wanprestasi, maka pembayaran ganti rugi tersebut hanya sejumlah yang
ditetapkan dalam kontrak tersebut, Tidak boleh dilebihi atau dikurangi (pasal
1249 KUH Perdata). Akan tetapi jika jumlah kerugian yang disebut dalam kontrak
terlalu besar, sangat memberatkan bahkan tidak masuk akal, tentu tidak masuk
akal pula jika jumlah yang sangat besar tersebut harus dibayar oleh pihak
debitur sebagai suatu pemenuhan prestasi sungguhpun dia sudah terbukti
melakukan wanprestasi.[12]
Ketentuan sebagaimana diatur oleh
pasal 1249 tersebut harus dibaca bahwa dalam undang-undang mengisyaratkan bahwa
penentuan jumlah ganti rugi dalam kontrak oleh para pihak dalam kontrak
tersebut memang dimungkinkan. Hal ini sesuai dengan prinsip kebebasan
berkontrak.
Akan tetapi, penentuan jumlah
ganti rugi dalam suatu M.O.U sebagai kontrak dapat mengundang banyak persoalan
yuridis. Misalnya ganti rugi dalam bentuk apa yang diperbolehkan, apa ada
batas-batasnya, dan bagaimana pula jika ganti rugi tersebut terlalu memberatkan
sehingga sebenarnya sudah merupakan suatu hukuman (penalty), sehingga tidak sesuai lagi dengan teori sama nilai (Equivalent Theori) dimana teori ini
mengajarkan bahwa suatu kontrak harus memberikan prestasinya yang seimbang atau
sama nilai (equivalent). Jelasnya
adalah bahwa antara ganti rugi dan penalty
tujuannya masing-masing berbeda. Tujuan ganti rugi dalam kontrak adalah untuk
menetapkan secara pasti suatu jumlah ganti kerugian yang harus dibayar jika
terjadi wanprestasi, sedangkan tujuan dari penalty
adalah menghukum seseorang dengan sesuatu yang tidak seimbang dengan wanprestasi yang telah dilakukannya.
Untuk menjaga keseimbangan
antara hak dan kewajiban dari kedua belah pihak dalam kontrak yang bersangkutan
mengenai pemberian ganti rugi, maka dalam hukum kontrak didapatkan
petunjuk-petunjuk sebagai berikut :
1.
Merupakan suatu estimasi yang masuk akal atas suatu kompensasi yang adil.
2.
Jumlah ganti rugi tersebut harus masuk akal baik ditinjau pada saat dibuatnya
suatu kontrak ataupun pada saat terjadinya wanprestasi.
3.
Merupakan ganti rugi jika penentuan
jumlah dalam kontrak tersebut merupakan usaha dengan itikad
baik untuk melaksanakan estimasi yang benar. Jika tidak , itu namanya
penalty.
4.
Jumlah ganti rugi harus
layak dimana jumlah ganti rugi yang disebutkan dalam kontrak
tersebut harus masuk akal
dan tidak boleh berlebihan. Kapankah
diukur layak atau tidaknya jumlah
suatu ganti rugi.
Untuk itu ada dua teori, yaitu
sebagai berikut :
1) Teori Konvensional
Teori konvensional mengajarkan
bahwa ukuran layak atau tidaknya suatu penetapan jumlah ganti rugi dalam suatu kontrak
haruslah dilihat layak pada saat kontrak dibuat (ditandatangani). Teori yang
konvensional ini menimbulkan dua konsekuensi sebagai berikut :
a. Klausula ganti rugi dalam
kontrak tersebut tetap dapat diberlakukan, sungguhpun dalam kenyataannya
kerugian yang diderita jauh lebih rendah dari yang disebutkan dalam kontrak.
Asalkan ketika dibuat kontrak, jumlah tersebut dalam kontrak merupakan suatu
antisipasi yang rasional pada saat itu.
b. Jika ketika dibuat kontrak,
jumlah ganti rugi dalam kontrak tersebut dianggap terlalu berlebihan, klausula
tersebut tidak dapat diterapkan, meskipun kemudian ternyata memang terjadi
kerugian yang sangat besar di luar yang diantisipasi
2) Teori Modern
Teori modern lebih fleksibel
mengajarkan bahwa besarnya jumlah ganti rugi yang disebut dalam suatu kontrak
dianggap layak jika dilihat baik pada waktu dibuatnya (ditandatangani) suatu
kontrak, ataupun jika dilihat pada saat terjadinya kerugian. Teori ini membawa
dua konsekuensi hukum yaitu sebagai berikut :
a) Jika kerugian ternyata lebih
kecil ketimbang yang diperkirakan, sedangkan jumlah ganti rugi dalam kontrak
telah diantisipasi secara layak dan jumlahnya lebih besar, maka klausula dalam
kontrak tersebut dapat dilaksanakan (sungguhpun jumlahnya lebih besar). Jadi
dalam hal ini yang dilihat adalah jumlah pada saat kontrak dibuat.
b) Jika klausula dalam kontrak
menyebutkan jumlah yang terlalu tinggi dari yang dapat diantisipasi secara
layak, ketentuan kontrak tersebut masih bisa dilaksanakan jika ternyata pada
waktu wanprestasi terjadi, ternyata
memang di luar dugaan bahwa kerugiannya terlalu besar. [13]
Terlepas dari
semua hal tersebut, debitur dapat tidak
memenuhi prestasi dalam sebuah kontrak yang dilakukannya jika ada suatu
peristiwa yang tidak terduga pada saat pembuatan kontrak (force majeure), keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak
dalam beritikad buruk. Hal
tersebut sesuai dengan
pasal 1245 KUH Perdata yang berbunyi :
“ Tidaklah biaya ganti rugi dan bunga, harus
digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau apabila lantaran suatu
kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu
yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang
terlarang”.
Secara umum force majeure, maka force majeure sering dibeda menjadi dua yaitu :
1. Force majeure yang obyektif
Force majeure yang bersifat
obyektif ini terjadi atas benda yang merupakan obyek kontrak tersebut. Artinya
keadaan benda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi
prestasi sesuai kontrak, tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur.
Misalnya benda tersebut terbakar. Karena itu, pemenuhan prestasi sama sekali
tidak mungkin dilakukan karena yang terkena adalah benda yang merupakan obyek
dari kontrak, maka force majeure seperti ini disebut juga dengan physical
impossibility.
2. Force majeure yang subyektif
Sebaliknya, force majeure yang
bersifat subyektif terjadi bukan dalam hubungannya dengan obyek dari kontrak
yang bersangkutan, tetapi dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan
debitur itu sendiri. Misalnya jika debitur tersebut sakit berat sehingga tidak
mungkin untuk
berprestasai lagi.
F. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kekuatan suatu perjanjian dalam memorandum of understanding (M.O.U)
menurut KUH Perdata adalah merupakan suatu
perjanjian/pernyataan yang dibuat baik lisan atau tertulis yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
kedua pihak dan mempunyai sanksi yang umumnya
disebut sebagai Kontrak (Agreement is Agreement) (Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata).
2. Akibat hukum jika ada salah satu pihak melakukan pengingkaran terhadap
klausul-klausul dalam M.O.U, yaitu maka pihak tersebut harus
memenuhi prestasi yang telah dilanggarnya atau ia akan dikenai sanksi dari
perundang-undangan yang berlaku. Bila terjadi
ingkar dalam klausul MOU atau kontrak disebut wanprestasi berdasarkan pasal 1249 KUH Perdata
hal yang dapat dituntut adalah sebagai berikut a. Pemenuhan prestasi, b. Ganti
kerugian,c. Pemenuhan
prestasi disertai dengan ganti rugi dan d.
Pembatalan perjanjian.
B. Saran
1. Agar terjadi kejelasan dalam hukum mengenai kesepakatan/perjanjian yang hendaknya
dibuat dihadapan notaris atau pihak yang berwenang untuk dapat memberikan legalitas yang jelas.
2. Apabila terjadi pengingkaran atau
wanprestasi terhadap substansiya dari kesepakatan/perjanjian dari M.O.U maka harus disebutkan
terhadap sanksi karena untuk dapat memberikan
kepastian hukum dalam penggantian kerugian.
DAFTAR PUSTAKA
Amirizal, Hukum
Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Djambatan, Jakarta, 1999.
Andi Hamzah, Kamus
Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1986.
Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, Cetakan ke 25, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta,
2003.
Munir Fuady, Hukum
Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kedua, PT. Citra Ditya Bakti Bandung,
1999.
__________, Hukum
Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, PT. Citra Aditya Bakti
Bandung 2002.
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azaz-Azaz Hukum
Perdata,Alumni, Bandung,
1999.
Y. Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang
dan Jasa oleh Pemerintah.. Yuridika. Volume17, No. 1, Maret 2003.
Y. Sogar Simamora. Harmonisasi Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Indonesia Terhadap Sistem
Perdagangan Global, Yuridika.
Volume18, No. 2, Maret 2003
[1]
Munir Fuady, Hukum Kontrak, Dari Sudut Pandang
Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung,
1999, halaman 3.
[3] Op.Cit., halaman 4.
[4] Y.
Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak
Dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah.. Yuridika. Volume17, No. 1,
Maret 2003, halaman 26
[6]Andi
Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1986, halaman 319.
[7]Ibid., halaman 11
[10]Ibid, halaman 281
[11]
Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan
Praktik, Djambatan, Jakarta,
1999, halaman 36
[13]Ibid., halaman 151
0 komentar:
Posting Komentar