Selasa, 19 Juli 2016

Kedudukan Lembaga Khusus Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia



Penulis : Barhamudin

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis kedudukan lembaga  Khusus Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu Penelitian hukum  dilakukan dengan mengkonsepsikan hukum sebagai law in book  meliputi nilai atau norma hukum positif yang berlaku dalam masyarakat, menjadi acuan perilaku setiap orang. Penelitian ini mengkaji bahan hukum yang terkait dengan permasalahan penelitian, yaitu norma hukum dan asas-asas hukum yang berlaku, norma hukum yang pernah berlaku serta norma hukum yang dapat berlaku di masa depan, dengan pendekatan, yaitu : 1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach); 2. Pendekatan Konsep (conceptual approach). Pendekatan   konsep. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukan, bahwa kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai wewenang luar biasa, bahkan menjadi super body karena dalam hal penanganan tindak pidana  korupsi lembaga ini lebih tinggi dari jaksa agung. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga Negara Khusus merupakan lembaga Negara Bantu (State auxiliary organs) adalah sebuah lembaga yang bersifat sementara untuk menunjang kinerja dari lembaga negara utama yaitu lembaga Kejaksaan dan lembaga Kepolisian, dan apabila kinerja lembaga negara utama sudah bekerja  secara efetif dan efisien, maka kehadiran state auxiliary organs ini sudah tidak diperlukan lagi, atau dengan kata lain state auxiliary organs ini dapat dibubarkan ketika lembaga negara utama sudah dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara baik atau dapat dikurangi tugas dan wewenangnya yang menyangkut bidang peradilan pidana seperti penyidikan dan penuntutan. Sedangkan tugas yang berkaitan dengan pencegahan dapat dipermanenkan.

Kata kunci : Korupsi, lembaga khusus.

A. Pendahuluan.
Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan dan  perkembangan setelah  reformasi  pada tahun 1998 dengan dilakukannya  perubahan terhadap UUD 1945, Kelembagaan negara  mengalami banyak perkembangan setelah adanya amandemen tersebut banyak lembaga Negara baru yang dibentuk seperti mahkamah konstitusi dan komisi yudisial, ada juga lembaga negara yang dihapus dari stuktur kelembagaan negara yaitu Dewan Pertimbangan Agung dan adanya check and balances antar lembaga negara dimana sebelumnya merupakan supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat berpindah menjadi supremasi konstitusi dan tidak lagi menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara sehingga semua lembaga negara sederajat kedudukannya. demikian pula perkembangan lembaga   negara   yang sebelumnya  belum kita kenal sebelumnya tersebut bersifat sebagai lembaga negara Bantu (state auxiliary organs). Lembaga-lembaga  ini  lahir  karena  kinerja lembaga utama belum bekerja secara efektif dan efisien  dalam  rangka  mewujudkan  penyelenggaraan  pemerintahan  yang  baik (good  governance). 
Menurut Jimly  Asshidiqie seperti dalam perkembagan di Inggris dan di Amerika Serikat, lembaga-lembaga atau komisi-komisi itu ada yang masih berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, tetapi ada pula yang bersifat independen dan berada di luar wilayah kekuasaan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Pada umumnya, pembentukan lembaga-lembaga independen ini didorong oleh kenyataan bahwa birokrasi di lingkungan pemerintahan dinilai tidak dapat lagi memenuhi tuntutan kebutuhan akan pelayanan umum dengan standar mutu yang semakin meningkat dan diharapkan semakin efisien dan efektif.[1]
Perkembangan  masyarakat  yang sangat dinamis dan tuntutan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang bersih sebagai akibat dari pengalaman buruk terhadap rezim pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan.[2]  Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi ini dibentuk berdasarkan amanat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk memperkuat eksistensi dan legitimasi dalam menjalankan  tugasnya, komisi ini diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam perkembangannya, ternyata lembaga ini mengalami bebagai resistensi yang menghadangnya dan  mulai mendapat reaksi keras, terutama dari pihak yang tidak menginginkan kehadiranya. Reaksi tersebut muncul karena Komisi Pemberantasan Korupsi adalah state auxiliary organs, diberi kewenangan yang luar biasa dalam hal pemberantasan korupsi. Akibat terjadinya kasus korupsi pengadaan simulator SIM dan kasus Budi Gunawan yang melibatkan petinggi polri,  dimana kedua lembaga baik polri maupun Komisi Pemberantasan Korupsi bersikukuh untuk mengambil alih penangan kasus tersebut dan adanya rencana perubahan undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi oleh DPR. Demikian pula upaya yang  menggambarkan resistensi yang dilakukan terhadap eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah adanya beberapa kali uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan  kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.[3]
Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap sebagai super body masih banyak diperdebatkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena masih dianggap  kabur keberadaannya, dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi banyak melanggar Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi yang kedudukannya lebih rendah dari lembaga negara lainnya dan hanya merupakan sebagai komisi seharusnya tidak perlu diberi kewenangan yang begitu luas.
Dengan demikian keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi masih banyak dipertanyakan, baik dari kalangan masyarakat awan yang dibingungkan dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi, dari kalangan pembuat undang-undang dalam hal ini legislatif juga terheran dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang ternyata setelah adanya Komisi Pemberantasan Korupsi segala bentuk korupsi baik yang ada di eksekutif, legislatif, dan yudikatif langsung dapat diungkap. Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan kinerjanya dalam mengungkap kasus-kasus korupsi besar di negeri ini.
Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang di nilai belum cukup kuat  untuk menentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan yang berdasarkan UUD 1945. Bahkan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi belum didasarkan konsepsi yang utuh dalam sistem ketatanegaraan, terlihat dari masih sering diperbincangkan kedudukannya dan  apabila terjadi tumpang tindih dan sengketa dengan lembaga lainnya penyelesaian juga dilakukan oleh mahkamah konstitusi, mengingat Komisi Pemberantasan Korupsi hanya bersifat lembaga negara bantu serta diberikan kewenangan oleh Undang-undang bukan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
            Lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara itu dapat berada dalam lingkup  eksekutif, legislative, dan yudikatif ataupun yang bersifat campuran. Kenyataan dewasa menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan tidak mungkin tidak saling bersentuhan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lainnya sesuai dengan prinsip checks and balances.[4]  Dengan demikian,  masih sangatlah menarik untuk di kaji  kedudukan lembaga negara baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini berjudul : Kedudukan Lembaga  Khusus Komisi Pemberantasan Korupsi  dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. 


B. Permasalahan
Berdasarkan  latar  belakang  diatas,  maka pembahasan  difokuskan pada  masalah  berikut:  Bagaimana kedudukan lembaga Negara Khusus Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut. Mengetahui dan menganalisis kedudukan lembaga  Khusus Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun secara praktis. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai kedudukan lembaga negara, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi, secara jelas sesuai dengan  ketatanegaraan yang dianut negara ini berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai aturan dasar  tertinggi negara. Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan akan menghilangkan atau setidaknya mereduksi perdebatan dan yang cenderung negative terkait dengan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara  serta hubungan kerja komisi tersebut dengan organ-organ kekuasaan lain di negara ini.
E. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu Penelitian hukum  dilakukan dengan mengkonsepsikan hukum sebagai law in book  meliputi nilai atau norma hukum positif yang berlaku dalam masyarakat, menjadi acuan perilaku setiap orang. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.[5]
Penelitian ini mengkaji bahan hukum yang terkait dengan permasalahan penelitian, yaitu norma hukum dan asas-asas hukum yang berlaku, norma hukum yang pernah berlaku serta norma hukum yang dapat berlaku di masa depan.  Untuk menjawab masalah  digunakan pendekatan, yaitu : 
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk mendeskripsikan pengaturan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
2.   Pendekatan Konsep (conceptual approach). Pendekatan   konsep   digunakan   untuk  memahami  maksud dan mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional yang mendasari keberadaan lembaga Negara ad hoc dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier.
- Bahan  hukum  primer,  Yaitu  bahan  hukum  yang  bersifat mengikat berupa peraturan perundang - undangan, dalam hal ini UUD 1945, Undang-   Undang   No. 48  tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang- Undang   Nomor  30  Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatasan Korupsi, Undang- Undang   No. 31  tahun 1999  tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan peraturan lain yang berhubungan dengan materi yang  bahas.
- Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitanya dengan  bahan hukum primer, karena  bersifat menjelaskan, yang dapat  membantu  menganalisis dan  memahami  bahan hukum  primer,  terdiri  dari  literature  maupun  kajian  para  sarjana.
- Bahan hukum tersier yang terdiri kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan lain-lain.

E. PEMBAHASAN.
1. Lembaga Negara
Membahas sistem pemerintahan berarti membicarakan pula mengenai pembagian kekuasaan dan hubungan antar lembaga negara. Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang memiliki hubungan fungsional, baik antara bagian yang satu dengan bagian yang lain maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhan, sehingga hubungan itu dapat menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya, akibat yang ditimbulkan jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik maka akan mempengaruhi bagian-bagian yang lainnya.[6] Secara, etimologi, kata pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan pemerintah berasal dari kata perintah. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata-kata tersebut mempunyai arti sebagai berikut:[7]
a.  Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu;
b. Pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara (daerah negara) atau badan yang tertinggi yang memerintah suatu negara;
c.  Pemerintahan adalah suatu perbuatan atau cara, urusan dalam hal memerintah.
Sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang merupakan perbuatan pemerintahan yang dilakukan oleh organ-organ atau lembaga-lembaga negara seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, dan sebagainya, di mana dengan kekuasannya masing-masing lembaga negara tersebut saling bekerjasama dan berhubungan secara fungsional dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.[8] Berdasarkan rumusan di atas, sistem pemerintahan dapat ditinjau dari segi pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara dan sifat hubungan antar lembaga negara.
 Pembagian kekuasaan dalam suatu Negara dapat dibedakan secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan yang didasarkan pada fungsi maupun mengenai lembaga negara yang melaksanakan fungsi tersebut; dan  secara  vertikal,  yaitu  pembagian kekuasaan  di  antara  beberapa  tingkatan  pemerintah  yang  akan melahirkan garis hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian.[9]
John Locke adalah sarjana yang pertama kali mengemukakan teori pemisahan kekuasaan yang membagi kekuasaan pada negara menjadi kekuasaan legislatif (kekuasaan membentuk undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan yang menjalankan undang-undang), serta kekuasaan federatif (kekuasaan yang meliputi perang dan damai, membuat perserikatan, dan segala tindakan dengan semua orang serta badan-badan di luar negeri).[10] Hal yang sama juga disampaikan oleh Montesquieu yang adanya tiga cabang kekuasaan dalam suatu negara yaitu fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang kemudian dikenal sebagai trias politica. Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara tersebut dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara, dengan ketentuan satu organ hanya menjalankan satu fungsi dan tidak boleh mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak.[11]
Konsep Montesquieu saat ini dianggap tidak lagi relevan mengingat ketidakmungkinan mempertahankan prinsip bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksclusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Dalam kenyataan sekarang ini, hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan ketiganya saling sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances.[12]
Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam literature Inggris, istilah political institution digunakan untuk menyebut lembaga negara, sedangkan bahasa Belanda mengenal istilah staat organen[13] atau staatsorgaan[14] untuk mengartikan lembaga negara. Sementara di Indonesia, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan negara, atau organ negara.[15]
Istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa dikenal dengan sebutan organisasi non-pemerintah (ornop). Oleh karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut lembaga negara, baik berada dalam ranah eksekutif, legislatif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.[16]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “lembaga” memiliki beberapa arti, salah satu arti yang paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu usaha. Kamus tersebut juga memberi contoh frase yang menggunakan kata lembaga, yaitu “lembaga pemerintah” yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Apabila kata “pemerintah” diganti dengan kata “negara”, maka frase “lembaga negara” diartikan sebagai badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan negara (khususnya di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif).[17]
Salah satu konsekuensi dari dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 adalah munculnya beragam penafsiran mengenai istilah “lembaga negara” akibat kekurang jelasan UUD Negara RI Tahun 1945 dalam mengatur lembaga negara. Hal ini dapat terlihat dari tiadanya kriteria untuk menentukan apakah suatu lembaga dapat diatur atau tidak dalam konstitusi. Dari berbagai penafsiran yang ada, salah satunya adalah penafsiran yang membagi lembaga negara menjadi lembaga negara utama (state main organ) dan lembaga negara bantu (state auxiliary organ). Lembaga Negara utama mengacu kepada paham trias politica yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan menggunakan pola pikir ini, yang dapat dikategorikan sebagai lembaga negara utama menurut UUD Negara RI Tahun 1945 adalah MPR, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Dengan demikian, lembaga-lembaga lain yang tidak termasuk kategori tersebut merupakan lembaga negara bantu.[18]
2. Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.[19] Kebutuhan akan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi dilatarbelakangi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara yang berkaitan dengan Lembaga peradilan yang mengurusi masalah korupsi yang diharapkan dapat menegakkan hukum justru dinilai ikut menyuburkan perilaku korupsi.
Tindak pidana korupsi itu sendiri adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap penyelenggaraan Negara yang bersih dan dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, diharapkan dapat dibebaskan dari segala bentuk perbuatan yang tidak terpuji ini, sehingga terbentuk aparat dan aparatur penyelenggara negara yang benar-benar bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan, bahwa nama Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (K PK). Status hukum komisi ini secara tegas ditentukan sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Pembentukan komisi ini bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah berjalan sejak sebelumnya.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang itu, komisi bekerja berdasarkan asas-asas, yaitu : (a) kepastian hukum, (b) keterbukaan, (c) akuntabilitas, (d) kepentingan umum, proposionalitas.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman.[20] Adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia yang sifatnya independen masih sering di perdebatkan karena masih kurang jelasnya keberadaan lembaga tersebut.
Mahkamah Konstitusi dalam tafsirannya telah menyebutkan bahwa terdapat dua perbedaan makna yang signifikan dari penyebutan lembaga negara dengan menggunakan huruf kecil dan huruf kapital pada L dan N. yang dimaksud “Lembaga Negara” tidak sama dengan “lembaga negara”. Penyebutan suatu lembaga sebagai “lembaga negara (dengan huruf kecil)” tidak memberikan status “Lembaga Negara” pada lembaga yang bersangkutan. Dalam penjelasan selanjutnya Mahkamah Konstitusi menjelaskan tentang kelahiran institusi-institusi demokrasi dan “lembaga-lembaga negara” dalam berbagai bentuk diantaranya yang paling banyak di Indonesia adalah dalam bentuk komisi-komisi. Menurut penjelasan Mahkamah Konstitusi, bahwa : Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and banlances untuk kepentingan yang lebih besar. [21]
Dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi tentang kasus ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, istilah “lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang-Undang dan bahkan Keputusan Presiden (Keppres).
Dengan demikian, Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga pemberantas korupsi bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara sosiologis urgensi keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi lebih penting dalam rangka pemberantasan korupsi, yang sudah demikian meluas dan sistemik dalam masyarakat Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi dbutuhkan sebagai trigger mechanism untuk mendorong lembaga-lembaga penegak hukum yang selam ini belum berfungsi secara efektif, dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas supervise sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang  melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.[22] Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka atau seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak diterimannya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) bahwa ; Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menempatkan tersangka di Rumsh Tahanan tersebut. lihat pula penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf I.
Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam hal melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;
2. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;
Luasnya cakupan tugas negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, terkadang tidak dapat sepenuhnya oleh lembaga-lembaga yang secara konvensional ada dalam sebuah negara, yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Oleh karena itu, diperlukan sebuah lembaga negara, yang meliputi cara kerja dan pengorganisasian kerja yang sesuai dengan dinamika kebutuhan masyarakat. tersebut. Berbagai istilah lain juga sering digunakan untuk menyebut lembaga ini, misal lembaga kuasi negara, state auxiliary agencies, state auxiliary bodies, lembaga ekstra struktural, state auxiliary organs, independent regulatory bodies, dan komisi negara. Sesuai dengan istilah yang diberikan kepadanya, fungsi dari lembaga-lembaga semacam ini adalah sebagai lembaga penunjang dari lembaga negara utama (main state organ).
Peran dan tugas sebuah lembaga independen tersebut sebenarnya sudah dilakukan oleh lembaga negara yang sudah ada, tetapi dengan keadaan ketidakpercayaan publik (public distrust) kepada eksekutif, maka dipandang perlu dibentuk lembaga yang sifatnya independen, dalam arti tidak merupakan bagian dari tiga pilar kekuasaan. Lembaga-lembaga ini biasanya dibentuk pada sektor-sektor cabang kekuasaan seperti yudikatif (quasi yudisial) dan eksekutif (quasi eksekutif) yang fungsinya bisa berupa pengawasan terhadap lembaga negara yang berada di sektor yang sama atau mengambil alih beberapa kewenangan lembaga negara di sektor yang sama.
Lembaga-lembaga quasi ini berbentuk semi-independen, dalam arti mereka tidak terikat dalam hal struktur tetapi terikat secara pendanaan. Struktur lembaga-lembaga ini tidak berada di bawah departemen pemerintahan atau lembaga-lembaga yang kewenangannya diberi oleh konstitusi dan undang-undang, mereka bertanggung jawab secara langsung kepada publik dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat contohnya seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Konsep pertanggungjawaban berupa  penerbitan  laporan  berkala  yang  memuat pertanggungjawaban  anggaran  dan  kinerja  kewenangannya  selama  kurun waktu tertentu dan transparansi informasi kepada publik.[23]
Budiman Tanuredjo  mengemukakan bahwa: Secara teoretis yang dimaksud dengan state auxiliary agency adalah kehendak negara untuk membuat lembaga baru yang personilnya diambil dari unsur-unsur non-negara, diberi otoritas dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan state auxiliary agencies sebenarnya juga berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi.[24] Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal  Konsep kelembagaan yang bersifat sebagai penunjang ini akhirnya berkembang  juga  di  Indonesia dan terus berkembang hingga saat proses perubahan UUD 1945.
Salah satu fenomena dalam ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945 adalah lahirnya state auxiliary organs, yang berbentuk komisi-komisi Negara, yang  memberi kesan bahwa berbagai institusi yang ada selama ini tidak berjalan efektif. DPR belum mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja lembaga negara yang berada di bawah lembaga eksekutif . Di sisi lain, lembaga kuasi negara adalah terobosan sekaligus perwujudan ketidakpercayaan rakyat dan pimpinan negara terhadap lembaga kenegaraan yang ada.[25] Lembaga Negara Bantu (State auxiliary organs) ini adalah sebuah lembaga yang bersifat sementara untuk menunjang kinerja dari lembaga negara utama, dan apabila kinerja atau permasalahan yang ditangani oleh lembaga negara utama sudah teratasi, kehadiran state auxiliary organs ini sudah tidak diperlukan lagi, atau dengan kata lain state auxiliary organs ini dapat dibubarkan ketika lembaga negara utama sudah dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara baik. Untuk mengetahui eksistensi komisi negara dalam sistem ketatanegaraan, harus dipahami pengertian organ atau lembaga negara secara lebih dalam.[26] Menurut Jellinek pengertian organ ini dibagi dalam dua golongan besar, yaitu:[27]
a. Alat perlengkapan negara yang langsung (unmittelbare organ)
b. Alat-alat perlengkapan negara yang tak langsung (mittelbare organ)
Adapun  ukuran langsung atau tidak,  ialah   langsung tidaknya bersumber pada konstitusi.  Dalam hal organ-organ  yang  langsung,  maka  apabila  organnya tidak ada,  maka negaranya   pun  tidak ada. Dan mengenai organ yang tidak langsung, adanya selalu bergantung pada organ-organ yang langsung. Mengenai organ-organ yang langsung, maka organ yang langsung ini dapat terdiri atas organ-organ tertentu, dapat tunggal, misalnya yang menjelma dalam monarki absolut pada zaman negara-negara kuno, terdapat organ langsung yang tunggal.
Di Amerika Serikat alat perlengkapan negara yang tertinggi lebih dari satu. Artinya walaupun mula-mula kedaulatan itu cuma satu, yaitu terletak pada rakyat, tetapi kemudian dipisahkan dalam bidang-bidang tertentu, yaitu tiga badan. Dengan demikian kalau dipakai teori Jellinek untuk melihat Amerika Serikat, maka sesuai dengan Trias Politica terdapat tiga unmittelbare organen (ekskutif, legislatif dan yudikatif) yang merupakan sekundair organen. Ketiganya memegang kedaulatan tertinggi dalam bidang masing-masing. Untuk organ yang tidak langsung kalau dipakai ukuran Jellinek, maka organ yang tidak langsung bersumber pada organ yang langsung. Oleh karena itu sifat hakekatnya dilihat dari segi bahwa ia bertanggungjawab pada organ yang langsung dan berada di bawah kekuasaan organ yang langsung. Itu sifat hakekat dari mittelbare organen.[28]
Dalam hal organ yang tidak langsung ini dapat diadakan beberapa pembagian. Pembagian yang terpenting yaitu pembagian antara organ yang membentuk wewenang semacam wewenang dari organ yang langsung, dan organ tidak langsung yang tidak memiliki wewenang semacam itu. Jellinek menyebutnya organ tidak langsung yang memiliki wewenang-wewenang dari penguasa (organ langsung) disebutnya dengan istilah: (a) notwendige organ; (b) sedang yang tidak memiliki, facultative organ. Yang memiliki wewenang semacam wewenang dari yang langsung. Sebagai contoh wewenang perundang- undangan. Dalam beberapa hal wewenang perundang-undangan ini diberikan pada organ bawahan misalnya pada daerah otonomi. Sedangkan organ yang tidak memiliki wewenang, disebut dengan birokrasi yaitu organ yang menyelenggarakan hal-hal rutin.[29]
Hans Kelsen membagi lembaga atau organ negara ke dalam dua bagian (luas dan sempit), meliputi: Whoever  fulfills  a  function  determined  by  the  legal  order  is  an  organ. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ.[30] Setiap individu, orang, ataupun lembaga dapat disebut sebagai suatu organ negara bila berfungsi untuk menciptakan norma (norm creating) atau menjalankan norma (norm applying). Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying).
Menurut Firmansyah Arifin sebagaimana dikutip Gunawan A Tauda, ada beberapa hal pokok yang mempengaruhi terbentuknya lembaga-lembaga baru yang bersifat independent, diantaranya :[31]
a. Ketiadaan kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada akibat asumsi korupsi sistemik, mengakar, dan sulit diberantas.
b.Tidak adanya independensi lembaga negara, karena terpengaruh kekuasaan salah satu cabang kekuasaan negara.
c.Ketidakmampuan lembaga negara yang ada dalam melaksanakan tugas urgent di masa transisi.
d.Pengaruh global akan pembentukan auxiliary organ state agency.
e.Tekanan lembaga-lembaga internasional, sehingga demokrasi satu-satunya jalan bagi negara yang dulunya dibawah rezim otoriter.
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintah, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Lembaga negara bantu yang baru dibentuk setelah reformasi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembentukan komisi ini sebagai amanat dari ketentuan pasal 43 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.  Kemudian dibentuklah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang sah didirikan dan mempunyai legitimasi untuk menjalakan tugasnya mulai tanggal 27 Desember 2002.
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.[32] Dalam penjelasan umum dinyatakan, bahwa Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
            Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
            Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang  pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.
Adapun tujuan dibentuknnya Komisi Pemberantasan Korupsi tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan KorupsI dibentuk karena institusi (kepolisian, kejaksaan, peradilan) yang seharusnya mencegah korupsi tidak berjalan bahkan larut dan terbuai dalam korupsi. pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan. karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. begitu parahnya maka korupsi di indonesia sudah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime). cara penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. untuk itulah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai wewenang luar biasa, sehingga kalangan hukum menyebutnya sebagai suatu lembaga super (super body). 
Jika dilihat dari penjelasan umum yang menyatakan, bahwa diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang  pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan dan dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 perlu dibentuk badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimuat dalam konsederan huruf (c) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi. Hal ini menunjukan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai  State auxiliary organs ini adalah sebuah lembaga yang bersifat sementara untuk menunjang kinerja dari lembaga negara utama yaitu lembaga Kejaksaan dan lembaga Kepolisian, dan apabila kinerja lembaga negara utama sudah teratasi secara efetif dan efisien, maka kehadiran state auxiliary organs ini sudah tidak diperlukan lagi, atau dengan kata lain state auxiliary organs ini dapat dibubarkan ketika lembaga negara utama sudah dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara baik.
            Lembaga penegak hukum di luar lembaga permanen adalah lembaga ad hoc yang sifatnya sementara, sudah sewajarnya bila lembaga ad hoc diberi kurun waktu berlaku yaitu sampai terciptanya kondisi di mana lembaga-lembaga penegak hukum permanen yang telah ada mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai yang diamanatkan peraturan perundang-undangan dengan mewujudkan kinerja yang optimal.[33]            
.Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dikategorikan sebagai badan khusus yang diberi kewenangan yudisial seperti, Kepolisian dan Kejaksaan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara, khususnya perkara korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sepenuhnya bersifat ad hoc, karena menurut United Nations Convention Against Corruption (Pasal 6) yang sudah diratifikasi Indonesia, ada yang bersifat permanen dan ada bersifat sementara. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat permanen adalah kewenangan untuk mencegah korupsi sedangkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat sementara ialah tindakan yang represif, seperti penyidikan dan terutama penuntutan.[34]
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah  lembaga permanen karena tidak ada satu pun instansi Lembaga yang memiliki kewenangan pencegahan tindak pidana korupsi dalam artian memiliki mandat khusus seperti menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan, melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi dan melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum. Komisi Pemberantasan Korupsi juga berwenang meminta laporan instansi terkait pencegahan korupsi. Dalam tugas monitor korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi juga melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah. Dalam penjelasan umum secara tegas disebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai trigger mechanism, yaitu berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi. Kewenangan ini hanya dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.[35]
Dari uraian diatan dapat dinyatakan, bahwa tugas dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi yang ada di indonesia, apabila dibandingkan dengan komisi pemberantasan korupsi di negara lainnya, maka Komisi Pemberantasan Korupsi di indonesia, jauh lebih luas tugas dan fungsinya, baik dalam bidang preventif maupun represif, bahkan menjadi super body karena dalam hal penyidikan tindak pidana  korupsi lembaga ini lebih tinggi dari jaksa agung, karena dapat mengambil alih perkara dari kejaksaan dan kepolisian, bahkan mensupervisi lembaga kejaksaan dan kepolisian dalam penyidikan delik korupsi walaupun dalam praktiknya tidak pernah terjadi.[36] Disamping itu ada tugas lainnya yaitu meminta dan menerima Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LKHPN). Mengenai tugas dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi yang ada di indonesia, jika dibandingkan dengan komisi pemberantasan korupsi di negara lainnya, maka Komisi Pemberantasan Korupsi di indonesia, jauh lebih luas tugas dan fungsinya, bahkan menjadi super body karena dalam hal penyidikan delik korupsi lembaga ini lebih tinggi dari jaksa agung, karena dapat mengambil alih perkara dari kejaksaan bahkan melakukan supervisi lembaga kejaksaan dan kepolisian dalam penyidikan tindak pidana  korupsi.

G. Kesimpulan
Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai wewenang luar biasa, bahkan menjadi super body karena dalam hal penanganan tindak pidana  korupsi lembaga ini lebih tinggi dari jaksa agung, karena dapat mengambil alih perkara dari kejaksaan dan kepolisian dengan melakukan koordinasi dan supervisi, terhadap lembaga kejaksaan dan kepolisian dalam  penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana  korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga Negara Khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang  pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan dan merupakan lembaga Negara Bantu (State auxiliary organs) adalah sebuah lembaga yang bersifat sementara untuk menunjang kinerja dari lembaga negara utama yaitu lembaga Kejaksaan dan lembaga Kepolisian, dan apabila kinerja lembaga negara utama sudah bekerja secara efetif dan efisien, maka kehadiran state auxiliary organs ini sudah tidak diperlukan lagi, atau dengan kata lain state auxiliary organs ini dapat dibubarkan ketika lembaga negara utama sudah dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara baik atau dapat dikurangi tugas dan wewenangnya yang menyangku bidang peradilan pidana seperti penyidikan dan penuntutan. Sedangkan tugas yang berkaitan dengan pencegahan dapat dipermanenkan.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Firmansyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005. 
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Andi Hamzah. 2007. Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen: Tugas Fungsi dan Kewenangan KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI, Komisi Yudisial dan Komisi Ombudsman.Jakarta: Majalah Hukum Nasional.
Ady Kusnadi. 2006. Penelitian Aspek Hukum Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Ibrahim, Johnny. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2008.
Manan, Bagir. 2003. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1990. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press.
Soekanto, Soerjono. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Ermansjah Djaja, 2008. Memberantas Korupsi Bersama KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (Komisi Pemberantasan Korupsi) Jakarta: Sinar Grafika.
Ismail Suny, 1978, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Penerbit Aksara Baru.
Teuku Amir Hamzah (ed.), 2003,  Ilmu Negara: Kuliah Padmo Wahjono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indo Hill Co., Jakarta
Ni’matul Huda. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
R. H. Sri. M Soemantri. 2006. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Kedudukan, tugas, dan wewenang Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI.
Moh. Kusnardi dan  Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988.
Pamudji, Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1985.
Sri Soemantri, Sistem Pemerintahan Negara ASEAN, Bandung: Penerbit Transito, 1976.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. ke-22, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Konstitusi Press.
_______________. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
_______________. 2007. Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945. Jakarta: Majalah Hukum Nasional.
Jimly Asshiddiqie. Denpasar, 14-18 Juli 2003. Stuktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII.
http://reformasihukum.org/konten.php?nama=Konstitusi&op=detail_konstitu si&id=35.
http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=202&co id=3&caid=3.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-II/2004 (Putusan dalam Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 (Putusan dalam Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Penyiaran Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Surat Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: KEP. 07/Komisi Pemberantasan Korupsi/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara N


[1] Asshidiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press. 2006. hal. 29.
[2] Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undan-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
[3] Kasus Bibit S. Riyanto,Chandra M. Hamzah, Abraham Samad dan Bambang Wijayanto.
[4]  Op. cit. hal.  33
[5] Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2008. hal. 32.
[6] Moh. Kusnardi dan  Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hal. 66.
[7]   Pamudji, Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 3.
[8] Sri Soemantri, Sistem Pemerintahan Negara ASEAN, Bandung: Penerbit Transito, 1976, hal. 58.
[9] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. ke-22, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal. 138.
[10] Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Penerbit Aksara Baru, 1978, hal.6
[11] Asshiddiqie, Jimly, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, makalah disampaikan pada seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hal. 2
[12] Ibid.
[13] Arifin, Firmansyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005.  hal. 29.
[14] Asshiddiqie,  Op. cit., hal. 31.
[15] Arifin dkk., loc. cit.
[16] Asshiddiqie, loc. cit.
[17] Arifin dkk., Op. cit., hal. 30.
[18] Ibid., hlm. 36.
[19] Undang-Undang  Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3.

[20] Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 38 menyatakan :
(1) Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman.
(2)   Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:  a. penyelidikan dan penyidikan; b. penuntutan;  c. pelaksanaan putusan; d. pemberian jasa hukum; dan  e. penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
(3) Ketentuan mengenai badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
[21] Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Komisi Penyiaran Indonesia (UU KPI) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[22] Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentangKkomisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 8 ayat (2)
[23] http://reformasihukum. org/konten.php? nama = Konstitusi&op=detail_konstitu si&id=35).
[24] http://ww.unisosdem.org /ekopol_detail. php?aid =202&co id=3&caid=3.
[25] Ketidakpercayaan ini bukan saja dimonopoli oleh publik secara umum, tetapi juga oleh para elit tingkat atas yang berada dalam lembaga-lembaga negara yang tersedia. Ketidakpercayaan yang ada, bisa diperkirakan berangkat dari kegagalan lembaga-lembaga negara yang ada dalam menjalankan fungsi-fungsi dasarnya atau sebagai akibat dari meluasnya penyimpangan fungsi lembaga-lembaga yang ada selama Orde Baru, yaitu : 1.Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada akibat asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik dan mengakar dan sulit untuk diberantas; 2.Tidak independennya lembaga-lembaga yang ada karena satu atau lain halnya tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lain; 3.Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan demokrasi dan korupsi, kolusi, nepotisme;
[26] Jimly  Assiddiqie,  Perkembangan  dan  Konsolidasi  Lembaga  Negara  Pasca  Reformasi, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi  RI, Jakarta, 2006, hal.. 36-40
[27] Teuku Amir Hamzah (ed.), Ilmu Negara: Kuliah Padmo Wahjono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indo Hill Co., Jakarta 2003,.hal. 12
[28] Jimly Asshiddiqie, Op. Cit. hal. 29
[29] Ibid., hal. 225.
[30] Ibid, hal. 36
[31] http://nidsmozaik.wordpress. com/201 3/12/05/kedudukan-komisi-komisi-independen-dalam-sistem-check-and-balances-berdasar-uud- 1945/
[32] Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentangKkomisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 3
[33] Hasil kesimpulan seminar tanggal 16 Juli 2012, dengan topic Eksistensi Lembaga Penegak Hukum Ad Hoc Ditinjau Dari Sistem Peradilan Pidana, Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI,  http:// www. kejaksaan.go.id/ unit_ kejaksaan. php? idu=28&idsu=39&id=3403
[34] Ibid
[35] Anonim, KPK Sebagai Lembaga Permanen, Internet
[36] Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 6 menyatakan , Bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a.koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

0 komentar:

Posting Komentar