Penulis : Barhamudin
Abstrak
Penelitian ini bertujuan
mengetahui dan menganalisis kedudukan lembaga
Khusus Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu
Penelitian hukum dilakukan dengan
mengkonsepsikan hukum sebagai law in book
meliputi nilai atau norma hukum positif yang berlaku dalam masyarakat,
menjadi acuan perilaku setiap orang. Penelitian ini mengkaji bahan hukum yang
terkait dengan permasalahan penelitian, yaitu norma hukum dan asas-asas hukum
yang berlaku, norma hukum yang pernah berlaku serta norma hukum yang dapat
berlaku di masa depan, dengan pendekatan, yaitu : 1. Pendekatan
Perundang-undangan (statute approach); 2. Pendekatan Konsep (conceptual
approach). Pendekatan konsep. Data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian
menunjukan, bahwa kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai
wewenang luar biasa, bahkan menjadi super body karena dalam hal
penanganan tindak pidana korupsi lembaga
ini lebih tinggi dari jaksa agung. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga
Negara Khusus merupakan lembaga Negara Bantu (State auxiliary organs) adalah
sebuah lembaga yang bersifat sementara untuk menunjang kinerja dari lembaga
negara utama yaitu lembaga Kejaksaan dan lembaga Kepolisian, dan apabila kinerja
lembaga negara utama sudah bekerja
secara efetif dan efisien, maka kehadiran state auxiliary organs ini
sudah tidak diperlukan lagi, atau dengan kata lain state auxiliary organs ini
dapat dibubarkan ketika lembaga negara utama sudah dapat melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya secara baik atau dapat dikurangi tugas dan wewenangnya yang
menyangkut bidang peradilan pidana seperti penyidikan dan penuntutan. Sedangkan
tugas yang berkaitan dengan pencegahan dapat dipermanenkan.
Kata kunci : Korupsi, lembaga khusus.
A. Pendahuluan.
Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami
perubahan dan perkembangan setelah reformasi
pada tahun 1998 dengan dilakukannya
perubahan terhadap UUD 1945, Kelembagaan negara mengalami banyak perkembangan setelah adanya
amandemen tersebut banyak lembaga Negara baru yang dibentuk seperti mahkamah
konstitusi dan komisi yudisial, ada juga lembaga negara yang dihapus dari
stuktur kelembagaan negara yaitu Dewan Pertimbangan Agung dan adanya check and
balances antar lembaga negara dimana sebelumnya merupakan supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat berpindah menjadi supremasi konstitusi dan tidak lagi
menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara
sehingga semua lembaga negara sederajat kedudukannya. demikian pula
perkembangan lembaga negara yang sebelumnya belum kita kenal sebelumnya tersebut bersifat
sebagai lembaga negara Bantu (state auxiliary organs). Lembaga-lembaga ini
lahir karena kinerja lembaga utama belum bekerja secara efektif
dan efisien dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan
yang baik (good governance).
Menurut Jimly
Asshidiqie seperti dalam perkembagan di Inggris dan di Amerika Serikat,
lembaga-lembaga atau komisi-komisi itu ada yang masih berada dalam ranah
kekuasaan eksekutif, tetapi ada pula yang bersifat independen dan berada di
luar wilayah kekuasaan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Pada umumnya,
pembentukan lembaga-lembaga independen ini didorong oleh kenyataan bahwa
birokrasi di lingkungan pemerintahan dinilai tidak dapat lagi memenuhi tuntutan
kebutuhan akan pelayanan umum dengan standar mutu yang semakin meningkat dan
diharapkan semakin efisien dan efektif.[1]
Perkembangan
masyarakat yang sangat dinamis
dan tuntutan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang bersih sebagai akibat
dari pengalaman buruk terhadap rezim pemerintahan yang penuh dengan unsur
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan
kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai
kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan.[2] Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi.
Komisi ini dibentuk berdasarkan amanat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk memperkuat eksistensi
dan legitimasi dalam menjalankan
tugasnya, komisi ini diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Dalam perkembangannya, ternyata lembaga ini
mengalami bebagai resistensi yang menghadangnya dan mulai mendapat reaksi keras, terutama dari
pihak yang tidak menginginkan kehadiranya. Reaksi tersebut muncul karena Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah state auxiliary organs, diberi kewenangan yang luar
biasa dalam hal pemberantasan korupsi. Akibat terjadinya kasus korupsi
pengadaan simulator SIM dan kasus Budi Gunawan yang melibatkan petinggi
polri, dimana kedua lembaga baik polri
maupun Komisi Pemberantasan Korupsi bersikukuh untuk mengambil alih penangan
kasus tersebut dan adanya rencana perubahan undang-undang tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi oleh DPR. Demikian pula upaya yang menggambarkan resistensi yang dilakukan
terhadap eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah adanya beberapa kali uji
materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan kriminalisasi
terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.[3]
Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi yang
dianggap sebagai super body masih banyak diperdebatkan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia karena masih dianggap
kabur keberadaannya, dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi banyak
melanggar Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi yang kedudukannya
lebih rendah dari lembaga negara lainnya dan hanya merupakan sebagai komisi
seharusnya tidak perlu diberi kewenangan yang begitu luas.
Dengan demikian keberadaan Komisi Pemberantasan
Korupsi masih banyak dipertanyakan, baik dari kalangan masyarakat awan yang
dibingungkan dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi, dari kalangan
pembuat undang-undang dalam hal ini legislatif juga terheran dengan keberadaan
Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang ternyata setelah adanya Komisi Pemberantasan
Korupsi segala bentuk korupsi baik yang ada di eksekutif, legislatif, dan
yudikatif langsung dapat diungkap. Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan
kinerjanya dalam mengungkap kasus-kasus korupsi besar di negeri ini.
Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang di
nilai belum cukup kuat untuk menentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan yang berdasarkan UUD
1945. Bahkan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi belum didasarkan konsepsi
yang utuh dalam sistem ketatanegaraan, terlihat dari masih sering
diperbincangkan kedudukannya dan apabila
terjadi tumpang tindih dan sengketa dengan lembaga lainnya penyelesaian juga
dilakukan oleh mahkamah konstitusi, mengingat Komisi Pemberantasan Korupsi
hanya bersifat lembaga negara bantu serta diberikan kewenangan oleh
Undang-undang bukan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lembaga
apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut sebagai
lembaga negara. Lembaga negara itu dapat berada dalam lingkup eksekutif, legislative, dan yudikatif ataupun
yang bersifat campuran. Kenyataan dewasa menunjukkan bahwa hubungan antar
cabang kekuasaan tidak mungkin tidak saling bersentuhan bahkan ketiganya
bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lainnya sesuai dengan
prinsip checks and balances.[4]
Dengan demikian, masih sangatlah
menarik untuk di kaji kedudukan lembaga
negara baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Penelitian ini berjudul : Kedudukan Lembaga Khusus Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
B. Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang diatas,
maka pembahasan difokuskan
pada masalah berikut:
Bagaimana kedudukan lembaga Negara Khusus Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, penelitian
ini bertujuan sebagai berikut. Mengetahui dan menganalisis kedudukan
lembaga Khusus Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun secara praktis. Dari segi
teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
mengenai kedudukan lembaga negara, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi, secara
jelas sesuai dengan ketatanegaraan yang
dianut negara ini berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai aturan
dasar tertinggi negara. Sedangkan secara
praktis, penelitian ini diharapkan akan menghilangkan atau setidaknya mereduksi
perdebatan dan yang cenderung negative terkait dengan kedudukan Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara
serta hubungan kerja komisi tersebut dengan organ-organ kekuasaan lain
di negara ini.
E. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
yaitu Penelitian hukum dilakukan dengan
mengkonsepsikan hukum sebagai law in book
meliputi nilai atau norma hukum positif yang berlaku dalam masyarakat,
menjadi acuan perilaku setiap orang. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian
hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika,
dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.[5]
Penelitian ini mengkaji bahan hukum yang terkait
dengan permasalahan penelitian, yaitu norma hukum dan asas-asas hukum yang
berlaku, norma hukum yang pernah berlaku serta norma hukum yang dapat berlaku
di masa depan. Untuk menjawab
masalah digunakan pendekatan, yaitu
:
1. Pendekatan
Perundang-undangan (statute approach) Pendekatan perundang-undangan dilakukan
untuk mendeskripsikan pengaturan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).
Pendekatan konsep digunakan
untuk memahami maksud dan mengetahui makna yang dikandung
oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara
konsepsional yang mendasari keberadaan lembaga Negara ad hoc dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan
bahan hukum tersier.
- Bahan hukum
primer, Yaitu bahan
hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang
- undangan, dalam hal ini UUD 1945, Undang-
Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang- Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatasan Korupsi, Undang- Undang No. 31
tahun 1999 tentang Pemberatasan
Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan peraturan lain yang berhubungan dengan materi yang bahas.
- Bahan hukum sekunder,
yaitu bahan hukum yang erat kaitanya dengan
bahan hukum primer, karena
bersifat menjelaskan, yang dapat
membantu menganalisis dan memahami
bahan hukum primer, terdiri
dari literature maupun
kajian para sarjana.
- Bahan hukum tersier yang terdiri kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar
dan lain-lain.
E. PEMBAHASAN.
1. Lembaga Negara
Membahas sistem pemerintahan berarti membicarakan
pula mengenai pembagian kekuasaan dan hubungan antar lembaga negara. Sistem
adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang memiliki hubungan
fungsional, baik antara bagian yang satu dengan bagian yang lain maupun
hubungan fungsional terhadap keseluruhan, sehingga hubungan itu dapat
menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya, akibat yang ditimbulkan jika salah satu bagian tidak bekerja dengan
baik maka akan mempengaruhi bagian-bagian yang lainnya.[6] Secara, etimologi, kata pemerintahan
berasal dari kata pemerintah, dan pemerintah berasal dari kata perintah.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata-kata tersebut mempunyai arti sebagai
berikut:[7]
a. Perintah adalah perkataan yang
bermaksud menyuruh melakukan sesuatu;
b. Pemerintah adalah
kekuasaan memerintah suatu negara (daerah negara) atau badan yang tertinggi
yang memerintah suatu negara;
c. Pemerintahan adalah suatu
perbuatan atau cara, urusan dalam hal memerintah.
Sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai segala
sesuatu yang merupakan perbuatan pemerintahan yang dilakukan oleh organ-organ
atau lembaga-lembaga negara seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, dan
sebagainya, di mana dengan kekuasannya masing-masing lembaga negara tersebut
saling bekerjasama dan berhubungan secara fungsional dalam rangka
menyelenggarakan kepentingan rakyat.[8] Berdasarkan rumusan di atas, sistem
pemerintahan dapat ditinjau dari segi pembagian kekuasaan di antara
lembaga-lembaga negara dan sifat hubungan antar lembaga negara.
Pembagian
kekuasaan dalam suatu Negara dapat dibedakan secara horizontal, yaitu pembagian
kekuasaan yang didasarkan pada fungsi maupun mengenai lembaga negara yang
melaksanakan fungsi tersebut; dan
secara vertikal, yaitu
pembagian kekuasaan di antara
beberapa tingkatan pemerintah
yang akan melahirkan garis
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antara pemerintah
federal dan pemerintah negara bagian.[9]
John Locke adalah sarjana yang pertama kali
mengemukakan teori pemisahan kekuasaan yang membagi kekuasaan pada negara
menjadi kekuasaan legislatif (kekuasaan membentuk undang-undang), kekuasaan
eksekutif (kekuasaan yang menjalankan undang-undang), serta kekuasaan federatif
(kekuasaan yang meliputi perang dan damai, membuat perserikatan, dan segala
tindakan dengan semua orang serta badan-badan di luar negeri).[10] Hal yang sama juga disampaikan oleh
Montesquieu yang adanya tiga cabang kekuasaan dalam suatu negara yaitu fungsi
eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang kemudian dikenal sebagai trias
politica. Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara tersebut
dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara, dengan ketentuan satu organ
hanya menjalankan satu fungsi dan tidak boleh mencampuri urusan masing-masing
dalam arti yang mutlak.[11]
Konsep Montesquieu saat ini dianggap tidak lagi
relevan mengingat ketidakmungkinan mempertahankan prinsip bahwa ketiga
organisasi tersebut hanya berurusan secara eksclusif dengan salah satu dari
ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Dalam kenyataan sekarang ini, hubungan antar
cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan
ketiganya saling sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan
prinsip checks and balances.[12]
Lembaga negara bukan konsep yang secara
terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam literature Inggris,
istilah political institution digunakan untuk menyebut lembaga negara,
sedangkan bahasa Belanda mengenal istilah staat organen[13] atau staatsorgaan[14] untuk mengartikan lembaga negara.
Sementara di Indonesia, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan
negara, atau organ negara.[15]
Istilah lembaga negara atau organ negara dapat
dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat, atau
yang biasa dikenal dengan sebutan organisasi non-pemerintah (ornop). Oleh karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai
lembaga masyarakat dapat disebut lembaga negara, baik berada dalam ranah
eksekutif, legislatif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.[16]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “lembaga”
memiliki beberapa arti, salah satu arti yang paling relevan digunakan dalam
penelitian ini adalah badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu
usaha. Kamus tersebut juga memberi contoh frase yang menggunakan kata lembaga,
yaitu “lembaga pemerintah” yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan
dalam lingkungan eksekutif. Apabila kata “pemerintah” diganti dengan kata
“negara”, maka frase “lembaga negara” diartikan sebagai badan-badan negara di
semua lingkungan pemerintahan negara (khususnya di lingkungan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif).[17]
Salah satu konsekuensi dari dilakukannya perubahan
terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 adalah munculnya beragam penafsiran mengenai
istilah “lembaga negara” akibat kekurang jelasan UUD Negara RI Tahun 1945 dalam
mengatur lembaga negara. Hal ini dapat terlihat dari tiadanya kriteria untuk
menentukan apakah suatu lembaga dapat diatur atau tidak dalam konstitusi. Dari
berbagai penafsiran yang ada, salah satunya adalah penafsiran yang membagi
lembaga negara menjadi lembaga negara utama (state main organ) dan lembaga
negara bantu (state auxiliary organ). Lembaga Negara utama mengacu kepada paham
trias politica yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga fungsi eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Dengan menggunakan pola pikir ini, yang dapat
dikategorikan sebagai lembaga negara utama menurut UUD Negara RI Tahun 1945
adalah MPR, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA),
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Dengan demikian,
lembaga-lembaga lain yang tidak termasuk kategori tersebut merupakan lembaga
negara bantu.[18]
2. Komisi Pemberantasan
Korupsi
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan: Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.[19] Kebutuhan akan adanya Komisi
Pemberantasan Korupsi dilatarbelakangi rendahnya kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga negara yang berkaitan dengan Lembaga peradilan yang mengurusi
masalah korupsi yang diharapkan dapat menegakkan hukum justru dinilai ikut
menyuburkan perilaku korupsi.
Tindak pidana korupsi itu sendiri adalah tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap penyelenggaraan
Negara yang bersih dan dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, diharapkan
dapat dibebaskan dari segala bentuk perbuatan yang tidak terpuji ini, sehingga
terbentuk aparat dan aparatur penyelenggara negara yang benar-benar bersih dan
bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan,
bahwa nama Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut
Komisi Pemberantasan Korupsi (K PK). Status hukum komisi ini secara tegas
ditentukan sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Pembentukan
komisi ini bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah berjalan sejak sebelumnya.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang itu, komisi
bekerja berdasarkan asas-asas, yaitu : (a) kepastian hukum, (b) keterbukaan,
(c) akuntabilitas, (d) kepentingan umum, proposionalitas.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga
negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi
tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman.[20] Adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
di Indonesia yang sifatnya independen masih sering di perdebatkan karena masih
kurang jelasnya keberadaan lembaga tersebut.
Mahkamah Konstitusi dalam tafsirannya telah
menyebutkan bahwa terdapat dua perbedaan makna yang signifikan dari penyebutan
lembaga negara dengan menggunakan huruf kecil dan huruf kapital pada L dan N.
yang dimaksud “Lembaga Negara” tidak sama dengan “lembaga negara”. Penyebutan suatu
lembaga sebagai “lembaga negara (dengan huruf kecil)” tidak memberikan status
“Lembaga Negara” pada lembaga yang bersangkutan. Dalam penjelasan selanjutnya
Mahkamah Konstitusi menjelaskan tentang kelahiran institusi-institusi demokrasi
dan “lembaga-lembaga negara” dalam berbagai bentuk diantaranya yang paling
banyak di Indonesia adalah dalam bentuk komisi-komisi. Menurut penjelasan
Mahkamah Konstitusi, bahwa : Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan
sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara
lebih sempurna menjalankan prinsip check and banlances untuk kepentingan yang
lebih besar. [21]
Dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi tentang
kasus ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, istilah “lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga
negara yang hanya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi,
tetapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan
dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang-Undang dan
bahkan Keputusan Presiden (Keppres).
Dengan demikian, Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagai lembaga pemberantas korupsi bukan berada di luar sistem ketatanegaraan,
tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang
rangka dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara sosiologis urgensi keberadaan
Komisi Pemberantasan Korupsi lebih penting dalam rangka pemberantasan korupsi,
yang sudah demikian meluas dan sistemik dalam masyarakat Indonesia. Komisi
Pemberantasan Korupsi dbutuhkan sebagai trigger mechanism untuk mendorong
lembaga-lembaga penegak hukum yang selam ini belum berfungsi secara efektif,
dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas
supervise sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang melakukan
pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan
tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga
mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.[22] Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi
mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib
menyerahkan tersangka atau seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen
lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja,
terhitung sejak diterimannya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) bahwa ; Ketentuan ini bukan
diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika
tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut
tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejaksaan atau
Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara
untuk menempatkan tersangka di Rumsh Tahanan tersebut. lihat pula penjelasan
Pasal 12 ayat (1) huruf I.
Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga
segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan
tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam hal melaksanakan tugas monitor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
1. Melakukan pengkajian
terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan
pemerintah;
2. Memberi saran kepada
pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika
berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
Luasnya cakupan tugas negara untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, terkadang tidak dapat sepenuhnya oleh lembaga-lembaga
yang secara konvensional ada dalam sebuah negara, yakni eksekutif, yudikatif,
dan legislatif. Oleh karena itu, diperlukan sebuah lembaga negara, yang
meliputi cara kerja dan pengorganisasian kerja yang sesuai dengan dinamika
kebutuhan masyarakat. tersebut. Berbagai istilah lain juga sering digunakan
untuk menyebut lembaga ini, misal lembaga kuasi negara, state auxiliary
agencies, state auxiliary bodies, lembaga ekstra struktural, state auxiliary
organs, independent regulatory bodies, dan komisi negara. Sesuai dengan istilah
yang diberikan kepadanya, fungsi dari lembaga-lembaga semacam ini adalah
sebagai lembaga penunjang dari lembaga negara utama (main state organ).
Peran dan tugas sebuah lembaga independen tersebut
sebenarnya sudah dilakukan oleh lembaga negara yang sudah ada, tetapi dengan
keadaan ketidakpercayaan publik (public distrust) kepada eksekutif, maka dipandang
perlu dibentuk lembaga yang sifatnya independen, dalam arti tidak merupakan
bagian dari tiga pilar kekuasaan. Lembaga-lembaga ini biasanya dibentuk pada
sektor-sektor cabang kekuasaan seperti yudikatif (quasi yudisial) dan eksekutif
(quasi eksekutif) yang fungsinya bisa berupa pengawasan terhadap lembaga negara
yang berada di sektor yang sama atau mengambil alih beberapa kewenangan lembaga
negara di sektor yang sama.
Lembaga-lembaga quasi ini berbentuk
semi-independen, dalam arti mereka tidak terikat dalam hal struktur tetapi
terikat secara pendanaan. Struktur lembaga-lembaga ini tidak berada di bawah
departemen pemerintahan atau lembaga-lembaga yang kewenangannya diberi oleh
konstitusi dan undang-undang, mereka bertanggung jawab secara langsung kepada
publik dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat contohnya seperti Komisi Yudisial,
Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Konsep
pertanggungjawaban berupa penerbitan laporan
berkala yang memuat pertanggungjawaban anggaran
dan kinerja kewenangannya
selama kurun waktu tertentu dan
transparansi informasi kepada publik.[23]
Budiman Tanuredjo
mengemukakan bahwa: Secara teoretis yang dimaksud dengan state auxiliary
agency adalah kehendak negara untuk membuat lembaga baru yang personilnya
diambil dari unsur-unsur non-negara, diberi otoritas dan dibiayai oleh negara
tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan state auxiliary agencies sebenarnya
juga berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan
dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengawasi.[24] Jadi, meskipun negara masih tetap kuat,
ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan
akuntabilitas horizontal Konsep
kelembagaan yang bersifat sebagai penunjang ini akhirnya berkembang juga
di Indonesia dan terus berkembang
hingga saat proses perubahan UUD 1945.
Salah satu fenomena dalam ketatanegaraan Indonesia
setelah perubahan UUD 1945 adalah lahirnya state auxiliary organs, yang
berbentuk komisi-komisi Negara, yang
memberi kesan bahwa berbagai institusi yang ada selama ini tidak
berjalan efektif. DPR belum mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap
kinerja lembaga negara yang berada di bawah lembaga eksekutif . Di sisi lain,
lembaga kuasi negara adalah terobosan sekaligus perwujudan ketidakpercayaan
rakyat dan pimpinan negara terhadap lembaga kenegaraan yang ada.[25] Lembaga Negara Bantu (State auxiliary
organs) ini adalah sebuah lembaga yang bersifat sementara untuk menunjang
kinerja dari lembaga negara utama, dan apabila kinerja atau permasalahan yang
ditangani oleh lembaga negara utama sudah teratasi, kehadiran state auxiliary
organs ini sudah tidak diperlukan lagi, atau dengan kata lain state auxiliary
organs ini dapat dibubarkan ketika lembaga negara utama sudah dapat
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara baik. Untuk
mengetahui eksistensi komisi negara dalam sistem ketatanegaraan, harus dipahami
pengertian organ atau lembaga negara secara lebih dalam.[26] Menurut Jellinek
pengertian organ ini dibagi dalam dua golongan besar, yaitu:[27]
a. Alat perlengkapan negara yang langsung (unmittelbare organ)
Adapun
ukuran langsung atau tidak, ialah langsung tidaknya bersumber pada konstitusi. Dalam hal organ-organ yang
langsung, maka apabila
organnya tidak ada, maka
negaranya pun tidak ada. Dan mengenai organ yang tidak
langsung, adanya selalu bergantung pada organ-organ yang langsung. Mengenai
organ-organ yang langsung, maka organ yang langsung ini dapat terdiri atas
organ-organ tertentu, dapat tunggal, misalnya yang menjelma dalam monarki
absolut pada zaman negara-negara kuno, terdapat organ langsung yang tunggal.
Di Amerika Serikat alat perlengkapan
negara yang tertinggi lebih dari satu. Artinya walaupun mula-mula kedaulatan
itu cuma satu, yaitu terletak pada rakyat, tetapi kemudian dipisahkan dalam
bidang-bidang tertentu, yaitu tiga badan. Dengan demikian kalau dipakai teori
Jellinek untuk melihat Amerika Serikat, maka sesuai dengan Trias Politica
terdapat tiga unmittelbare organen (ekskutif, legislatif dan yudikatif) yang
merupakan sekundair organen. Ketiganya memegang kedaulatan tertinggi dalam bidang masing-masing. Untuk organ yang tidak langsung
kalau dipakai ukuran Jellinek, maka organ yang tidak langsung bersumber pada
organ yang langsung. Oleh karena itu sifat hakekatnya dilihat dari segi bahwa
ia bertanggungjawab pada organ yang langsung dan berada di bawah kekuasaan
organ yang langsung. Itu sifat hakekat dari mittelbare organen.[28]
Dalam hal organ yang tidak langsung ini dapat
diadakan beberapa pembagian. Pembagian yang terpenting yaitu pembagian antara
organ yang membentuk wewenang semacam wewenang dari organ yang langsung, dan
organ tidak langsung yang tidak memiliki wewenang semacam itu. Jellinek
menyebutnya organ tidak langsung yang memiliki wewenang-wewenang dari penguasa
(organ langsung) disebutnya dengan istilah: (a) notwendige organ; (b) sedang
yang tidak memiliki, facultative organ. Yang memiliki wewenang semacam wewenang
dari yang langsung. Sebagai contoh wewenang perundang- undangan. Dalam beberapa
hal wewenang perundang-undangan ini diberikan pada organ bawahan misalnya pada
daerah otonomi. Sedangkan organ yang tidak memiliki wewenang, disebut dengan
birokrasi yaitu organ yang menyelenggarakan hal-hal rutin.[29]
Hans Kelsen
membagi lembaga atau organ negara ke dalam dua bagian (luas dan sempit),
meliputi: Whoever fulfills a
function determined by
the legal order
is an organ. Siapa saja yang menjalankan suatu
fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ.[30]
Setiap individu, orang, ataupun lembaga dapat disebut sebagai suatu organ
negara bila berfungsi untuk menciptakan norma (norm creating) atau menjalankan
norma (norm applying). Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk
organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap
jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan
fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau
bersifat menjalankan norma (norm applying).
Menurut
Firmansyah Arifin sebagaimana dikutip Gunawan A Tauda, ada beberapa hal pokok
yang mempengaruhi terbentuknya lembaga-lembaga baru yang bersifat independent,
diantaranya :[31]
a. Ketiadaan kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada akibat
asumsi korupsi sistemik, mengakar, dan sulit diberantas.
b.Tidak adanya independensi lembaga negara, karena terpengaruh
kekuasaan salah satu cabang kekuasaan negara.
c.Ketidakmampuan lembaga negara yang ada dalam melaksanakan tugas
urgent di masa transisi.
d.Pengaruh global akan
pembentukan auxiliary organ state agency.
e.Tekanan lembaga-lembaga internasional, sehingga demokrasi
satu-satunya jalan bagi negara yang dulunya dibawah rezim otoriter.
Lembaga negara
terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintah, lembaga pemerintahan
non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada
yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang
dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Lembaga negara bantu yang baru
dibentuk setelah reformasi di Indonesia
adalah Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembentukan komisi ini sebagai amanat dari
ketentuan pasal 43 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kemudian dibentuklah Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang sah didirikan dan
mempunyai legitimasi untuk menjalakan tugasnya mulai tanggal 27 Desember 2002.
Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.[32]
Dalam penjelasan umum dinyatakan, bahwa Tindak pidana korupsi di Indonesia
sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke
tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara
maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta
lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya
tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa
dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan
luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan
secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan
hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu
diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu
badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari
kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal,
intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Berdasarkan ketentuan
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi,
memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan,
susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang
serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.
Adapun tujuan
dibentuknnya Komisi Pemberantasan Korupsi tidak lain adalah meningkatkan daya
guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Komisi
Pemberantasan KorupsI dibentuk karena institusi (kepolisian, kejaksaan,
peradilan) yang seharusnya mencegah korupsi tidak berjalan bahkan larut dan
terbuai dalam korupsi. pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai
sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. oleh karena itu pemberantasan
korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan.
karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan
menghambat pembangunan nasional. begitu parahnya maka korupsi di indonesia
sudah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime).
cara penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. untuk itulah
dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai wewenang luar biasa,
sehingga kalangan hukum menyebutnya sebagai suatu lembaga super (super
body).
Jika dilihat
dari penjelasan umum yang menyatakan, bahwa diperlukan metode penegakan hukum
secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai
kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional
serta berkesinambungan dan dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
perlu dibentuk badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi
Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi,
termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimuat
dalam konsederan huruf (c) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi. Hal ini menunjukan bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai State
auxiliary organs ini adalah sebuah lembaga yang bersifat sementara untuk
menunjang kinerja dari lembaga negara utama yaitu lembaga Kejaksaan dan lembaga
Kepolisian, dan apabila kinerja lembaga negara utama sudah teratasi secara
efetif dan efisien, maka kehadiran state auxiliary organs ini sudah tidak
diperlukan lagi, atau dengan kata lain state auxiliary organs ini dapat
dibubarkan ketika lembaga negara utama sudah dapat melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya secara baik.
Lembaga
penegak hukum di luar lembaga permanen adalah lembaga ad hoc yang sifatnya
sementara, sudah sewajarnya bila lembaga ad hoc diberi kurun waktu berlaku
yaitu sampai terciptanya kondisi di mana lembaga-lembaga penegak hukum permanen
yang telah ada mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai yang diamanatkan
peraturan perundang-undangan dengan mewujudkan kinerja yang optimal.[33]
.Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat dikategorikan sebagai badan khusus yang diberi
kewenangan yudisial seperti, Kepolisian dan Kejaksaan untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara, khususnya perkara korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sepenuhnya bersifat ad hoc, karena menurut
United Nations Convention Against Corruption (Pasal 6) yang sudah diratifikasi
Indonesia, ada yang bersifat permanen dan ada bersifat sementara. Kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat permanen adalah kewenangan untuk
mencegah korupsi sedangkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang
bersifat sementara ialah tindakan yang represif, seperti penyidikan dan
terutama penuntutan.[34]
Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lembaga
permanen karena tidak ada satu pun instansi Lembaga yang memiliki kewenangan
pencegahan tindak pidana korupsi dalam artian memiliki mandat khusus seperti
menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan,
melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan
penyelenggara negara (LHKPN), menerima laporan dan menetapkan status
gratifikasi dan melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum. Komisi Pemberantasan Korupsi juga
berwenang meminta laporan instansi terkait pencegahan korupsi. Dalam tugas
monitor korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi juga melakukan pengkajian
terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan
pemerintah. Dalam penjelasan umum secara tegas disebutkan bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagai trigger mechanism, yaitu berfungsi sebagai pemicu dan
pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi. Kewenangan
ini hanya dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.[35]
Dari uraian diatan dapat dinyatakan, bahwa tugas
dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi yang ada di indonesia, apabila
dibandingkan dengan komisi pemberantasan korupsi di negara lainnya, maka Komisi
Pemberantasan Korupsi di indonesia, jauh lebih luas tugas dan fungsinya, baik
dalam bidang preventif maupun represif, bahkan menjadi super
body karena dalam hal penyidikan tindak pidana korupsi lembaga ini lebih tinggi dari jaksa
agung, karena dapat mengambil alih perkara dari kejaksaan dan kepolisian, bahkan
mensupervisi lembaga kejaksaan dan kepolisian dalam penyidikan delik korupsi
walaupun dalam praktiknya tidak pernah terjadi.[36] Disamping itu ada tugas lainnya yaitu
meminta dan menerima Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LKHPN). Mengenai
tugas dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi yang ada di indonesia, jika
dibandingkan dengan komisi pemberantasan korupsi di negara lainnya, maka Komisi
Pemberantasan Korupsi di indonesia, jauh lebih luas tugas dan fungsinya, bahkan
menjadi super body karena dalam hal penyidikan delik korupsi lembaga
ini lebih tinggi dari jaksa agung, karena dapat mengambil alih perkara dari
kejaksaan bahkan melakukan supervisi lembaga kejaksaan dan kepolisian dalam
penyidikan tindak pidana korupsi.
G. Kesimpulan
Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang
mempunyai wewenang luar biasa, bahkan menjadi super body karena dalam
hal penanganan tindak pidana korupsi
lembaga ini lebih tinggi dari jaksa agung, karena dapat mengambil alih perkara
dari kejaksaan dan kepolisian dengan melakukan koordinasi dan supervisi,
terhadap lembaga kejaksaan dan kepolisian dalam
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
lembaga Negara Khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas
dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi,
yang pelaksanaannya dilakukan secara
optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan dan merupakan
lembaga Negara Bantu (State auxiliary organs) adalah sebuah lembaga yang bersifat
sementara untuk menunjang kinerja dari lembaga negara utama yaitu lembaga
Kejaksaan dan lembaga Kepolisian, dan apabila kinerja lembaga negara utama
sudah bekerja secara efetif dan efisien, maka kehadiran state auxiliary organs
ini sudah tidak diperlukan lagi, atau dengan kata lain state auxiliary organs
ini dapat dibubarkan ketika lembaga negara utama sudah dapat melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya secara baik atau dapat dikurangi tugas dan wewenangnya yang
menyangku bidang peradilan pidana seperti penyidikan dan penuntutan. Sedangkan tugas
yang berkaitan dengan pencegahan dapat dipermanenkan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Firmansyah dkk, Lembaga Negara dan
Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional (KRHN), 2005.
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan
Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Andi Hamzah. 2007. Arah Pembangunan Hukum
Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen: Tugas Fungsi dan Kewenangan KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI, Komisi Yudisial dan Komisi Ombudsman.Jakarta: Majalah Hukum
Nasional.
Ady Kusnadi. 2006. Penelitian Aspek Hukum
Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Ibrahim, Johnny. 2005. Teori dan
Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum.
Jakarta: Kencana. 2008.
Manan, Bagir. 2003. Teori dan Politik
Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1990.
Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press.
Soekanto, Soerjono. 2006. Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Ermansjah Djaja, 2008. Memberantas Korupsi
Bersama KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (Komisi Pemberantasan Korupsi) Jakarta:
Sinar Grafika.
Ismail Suny, 1978, Pembagian Kekuasaan
Negara, Jakarta: Penerbit Aksara Baru.
Teuku Amir Hamzah (ed.), 2003, Ilmu Negara: Kuliah Padmo Wahjono, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Indo Hill Co., Jakarta
Ni’matul Huda. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
R. H. Sri. M Soemantri. 2006. Analisis dan Evaluasi Hukum
Tentang Kedudukan, tugas, dan wewenang Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945.
Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988.
Pamudji, Perbandingan Pemerintahan, Bina
Aksara, Jakarta, 1985.
Sri Soemantri, Sistem Pemerintahan Negara
ASEAN, Bandung: Penerbit Transito, 1976.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu
Politik, cet. ke-22, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Konstitusi Press.
_______________. 2006. Perkembangan dan
Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
_______________. 2007. Hubungan Antar
Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945. Jakarta: Majalah Hukum
Nasional.
Jimly Asshiddiqie. Denpasar, 14-18 Juli
2003. Stuktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun
1945. Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII.
http://reformasihukum.org/konten.php?nama=Konstitusi&op=detail_konstitu
si&id=35.
http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=202&co
id=3&caid=3.
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia
Tahun 1945.
Ketetapan
MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-II/2004 (Putusan dalam Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-I/2003 (Putusan dalam Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2002 tentang Komisi Penyiaran Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Surat Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: KEP. 07/Komisi
Pemberantasan Korupsi/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan
Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara N
[1] Asshidiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta:
Konstitusi Press. 2006. hal. 29.
[2] Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undan-Undang
Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
[3] Kasus Bibit S. Riyanto,Chandra M. Hamzah,
Abraham Samad dan Bambang Wijayanto.
[4] Op. cit. hal.
33
[6] Moh. Kusnardi
dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum
Tata Negara Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sinar Bakti,
Jakarta, 1988, hal. 66.
[7] Pamudji, Perbandingan Pemerintahan, Bina
Aksara, Jakarta, 1985, hal. 3.
[8] Sri Soemantri,
Sistem Pemerintahan Negara ASEAN, Bandung: Penerbit Transito, 1976, hal. 58.
[9] Miriam Budiardjo,
Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. ke-22, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001,
hal. 138.
[10] Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara,
Jakarta: Penerbit Aksara Baru, 1978, hal.6
[11] Asshiddiqie, Jimly, Struktur
Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, makalah
disampaikan pada seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14-18 Juli
2003, hal. 2
[12] Ibid.
[13] Arifin, Firmansyah dkk, Lembaga Negara
dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, Jakarta : Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN), 2005. hal. 29.
[14] Asshiddiqie, Op. cit., hal. 31.
[15] Arifin dkk., loc. cit.
[16] Asshiddiqie, loc. cit.
[17] Arifin
dkk., Op. cit., hal. 30.
[18] Ibid.,
hlm. 36.
[20] Undang-Undang Nomor 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 38 menyatakan :
(1) Selain
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi,
terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman.
(2) Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyelidikan dan penyidikan; b.
penuntutan; c. pelaksanaan putusan; d.
pemberian jasa hukum; dan e.
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
(3)
Ketentuan mengenai badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang.
[21] Putusan Mahkamah Konstitusi
No.005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian Undang-Undang No. 32
Tahun 2002 tentang Komisi Penyiaran Indonesia (UU KPI) terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[24] http://ww.unisosdem.org /ekopol_detail.
php?aid =202&co id=3&caid=3.
[25] Ketidakpercayaan
ini bukan saja dimonopoli oleh publik secara umum, tetapi juga oleh para elit
tingkat atas yang berada dalam lembaga-lembaga negara yang tersedia.
Ketidakpercayaan yang ada, bisa diperkirakan berangkat dari kegagalan
lembaga-lembaga negara yang ada dalam menjalankan fungsi-fungsi dasarnya atau
sebagai akibat dari meluasnya penyimpangan fungsi lembaga-lembaga yang ada
selama Orde Baru, yaitu : 1.Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah
ada akibat asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik dan mengakar dan
sulit untuk diberantas; 2.Tidak independennya lembaga-lembaga yang ada karena
satu atau lain halnya tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau
kekuasaan lain; 3.Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk
melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena
persoalan demokrasi dan korupsi, kolusi, nepotisme;
[26] Jimly Assiddiqie,
Perkembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal..
36-40
[27] Teuku
Amir Hamzah (ed.), Ilmu Negara: Kuliah Padmo Wahjono, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Indo Hill Co., Jakarta 2003,.hal. 12
[28] Jimly Asshiddiqie, Op. Cit. hal. 29
[29] Ibid.,
hal. 225.
[31] http://nidsmozaik.wordpress. com/201
3/12/05/kedudukan-komisi-komisi-independen-dalam-sistem-check-and-balances-berdasar-uud-
1945/
[32] Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002
tentangKkomisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 3
[33] Hasil kesimpulan seminar tanggal 16 Juli 2012,
dengan topic Eksistensi Lembaga Penegak Hukum Ad Hoc Ditinjau Dari Sistem
Peradilan Pidana, Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI, http:// www. kejaksaan.go.id/ unit_
kejaksaan. php? idu=28&idsu=39&id=3403
[34] Ibid
[36] Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 6 menyatakan , Bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a.koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi; dan
e.melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.
0 komentar:
Posting Komentar